"Ini rumah mendiang papaku. Kamu nggak berhak ngusir aku dan anakku, Satrio!"
"Tidak berhak katamu? Jelas-jelas kamu sudah menandatangani surat perjanjian, berikut surat cerai.”
Ucapan pria berengsek itu membuat jantung Dini berpacu. Wajahnya seketika memerah padam. "Kamu biadab, Satrio! Kamu menjebakku!"
Wanita itu lantas berteriak, mencoba menerjang Satrio—mantan suami liciknya dengan pukulan bertubi-tubi. Namun, sekuat apa pun dia menyerang, Dini tetap kalah.
Bukan hanya tenaga yang kalah, dia pun kalah bukti ... sebab Satrio benar, dialah yang menyerahkan seluruh harta warisannya pada pria itu.
Berbekal rasa cinta dan percaya, Dini luput membaca satu pun kalimat di dokumen yang Satrio berikan.
"Pergi kamu dari sini. Dan bawa anak harammu itu.”
Satrio mendorong Dini dengan kasar. Pria itu bahkan tidak membiarkan Dini membawa satu pun barang-barangnya dari rumah.
Hanya bersama sang anak, Dini pun akhirnya terusir dari rumahnya.
Hubungannya dengan Satrio memang rumit. Dia sudah mengandung sebelum pernikahannya yang terjalin atas dasar perjodohan oleh orang tua.
Saat itu, baik Satrio maupun keluarganya bersedia bertanggung jawab ... sebab mereka pun membutuhkan pernikahan itu demi perusahaan keluarganya yang di ambang kebangkrutan.
Semua kebaikan itu nyatanya berubah ketika kematian ayah Dini. Satrio mulai bermain mata dengan sekretarisnya, dan bahkan berani membawa wanita itu ke rumah mereka.
Dan sekarang ... posisi Dini sebagai nyonya rumah itu tergantikan oleh pelakor yang naik tahta.
Dini menatap iba pada anaknya yang tengah tertidur pulas dalam dekapannya. Air matanya nyaris mengalir, manakala memikirkan ... bagaimana caranya membuat pengobatan sang anak tetap berjalan, sementara dia sekarang tidak memiliki apa-apa?
"Bu, apa bisa dapat tindakannya dulu, bayarnya belakangan? Saya akan cari uangnya segera."
"Tidak bisa Bu. Ketentuan di rumah sakit ini, biaya administrasi harus dilunasi dulu baru pasien akan mendapatkan terapi yang dibutuhkannya."
Dini sontak menghela napas panjang dan dalam. Tiga bulan sudah dia berpisah dengan Satrio. Dia sudah habis-habisan menjual perhiasan yang dia kenakan ketika keluar dari rumah.
Ponsel yang jadi satu-satunya barang berharga Dini pun sudah terjual. Praktis, tidak ada satu pun benda berharga yang bisa dia jual lagi untuk membiayai pengobatan sang anak yang menderita talasemia.
Dini sudah berusaha berhemat dengan mencari kerja serabutan dan tinggal di rumah kontrakan sepetak yang paling murah. Tapi tetap saja uangnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan berobat putrinya.
Tidak punya pilihan lain, Dini bahkan merendahkan harga dirinya dengan cara menemui Satrio.
Namun, harapannya tentu saja tidak terwujud, sebab pria itu enggan menolong. Dia bahkan diusir oleh satpam baru yang dipekerjakan pria itu, sebab dianggap sebagai seorang pengemis.
Saat Dini tengah dalam kebingungan ... sebuah percakapan kemudian terdengar dari seorang pria yang membelakanginya, dengan seorang pria lainnya yang berseragam dokter.
"Kalau kamu ingin mencari Ibu pengganti, jangan cari di Indonesia.” Kalimat pertama itu langsung berhasil membuat perhatian Dini tercurah sepenuhnya. “Pergilah ke luar negeri. Aku tidak bisa membantumu,” kata pria yang berseragam sneli putih itu.
Seolah mendapatkan jawaban atas doa-doanya, Dini lantas menghampiri dua pria itu.
"Saya bersedia.” Dua pria itu menegang. Sang dokter menaruh tatapan penuh, sementara bahu pria yang masih membelakanginya semakin terlihat kaku. “Saya wanita baik-baik. Saya mau menjadi ibu pengganti, asalkan bayarannya bisa untuk membiayai pengobatan putri saya."
Namun, ketika pria yang membelakangi Dini memutar tubuhnya ... wanita itu seketika menyesal dengan penawarannya.
"Dini? Dini Putri Lestari?" kata pria itu.
Ingin rasanya dia menarik kata-katanya, tapi keadaan putrinya yang saat ini masih ada di IGD kembali membayang.
“K-kak Rio?” Dini menyebut nama pria itu dengan ragu.
Pria yang dipanggil Rio itu menatap Dini dengan saksama, kemudian bertanya dengan suara baritonnya, “Apa maksud ucapanmu tadi?”
Dini menunduk, dia memintal-mintal kedua tangannya.
“Aku bersedia menjadi ibu pengganti untuk Kak Rio dan istri.” Dini menaikkan pandangannya, kali ini emosi kesedihan dan harapan terlihat jelas di pelupuk mata. “Asalkan Kakak mau menanggung biaya pengobatan putriku."
Andai Dini tahu, pria yang membutuhkan ibu pengganti itu adalah Rio, dia tidak akan gegabah menawarkan diri.
Bagaimana pun, melihat Rio membuat perasaan Dini berkecamuk antara senang, marah, dan sedih ... semua bercampur jadi satu.
"Anakmu sakit apa?" tanya Rio lagi.
Pria itu menatap Dini dengan pandangan khawatirnya.
"Talasemia. Dia ada di IGD sekarang dan butuh transfusi darah malam ini juga, tetapi aku kehabisan uang.”
Di hadapannya, Rio terdengar menghela napas panjang. Berulang kali pria itu menatap Dini dan dokternya secara bergantian.
“Aku turut prihatin dengan keadaan anakmu, Din.” Pria itu menjeda kalimatnya sebelum melanjutkan, “Tapi, maaf. Aku tidak bisa menerima istri orang menjadi Ibu pengganti.”
Mata Dini sontak membulat. Tetapi kemudian dia sadar, jika Rio tidak tahu kabarnya setelah Dini memutuskan menerima perjodohan itu.
“A-aku sudah bercerai, Kak.”
Sedetik, dua detik, tiga detik, Rio memperhatikan Dini dari atas ke bawah, hingga matanya yang dingin kembali menatap Dini.
"Baiklah, tapi dengan satu syarat."
Binar kebahagiaan muncul di mata wanita itu. "Apapun. Asal biaya pengobatan anakku ditanggung!" ujarnya dengan tidak sabaran.
"Kamu harus menikah denganku, dan mengikuti semua peraturan yang kubuat.”
Kedua mata Dini kini mengerjap, kaget. "Apa harus begitu? Bukannya—“
"Aku tidak bisa menjawab banyak pertanyaan. Jika kamu ingin aku menolong anakmu, itu syaratnya."
Dini terdiam. Dalam ingataannya, Rio begitu lembut. Namun, pria yang saat ini berdiri di hadapannya itu sama sekali tidak demikian.
Namun, Dini pun sadar bahwa itu adalah karena kesalahan yang telah ia perbuat di masa lalu.
Untuk itu, mengesampingkan rasa nyeri di relung hatinya, Dini mengangguk. "Ya, aku setuju, tapi aku punya syarat juga dalam pernikahan itu."
"Aku tidak menerima syarat apapun!” tolak Rio cepat. Mata pria itu menatap Dini dengan tajam. “Jika kamu setuju, aku akan bayar biaya pengobatan anakmu dan menanggung kalian seumur hidupku. Jika tidak, maka aku akan mencari orang lain.”
“Seumur hidup? Apa itu tidak terlalu lama?” tanya Dini sanksi. “Maksudku ... bagaimana bisa aku percaya ucapan Kak Rio?”
Di hadapannya, Rio tersenyum sinis. “Aku bukan seorang pengkhianat yang meninggalkan kekasih 7 tahunnya menikah dengan pria lain, Dini.”
Tidak disangka kalau jawaban Rio langsung seganas itu dan membuatnya Dini terdiam, menunduk tak berani bicara lagi.
"Aku akan melegalkan perjanjian kita di mata hukum. Kamu tidak perlu khawatir.”
Mengesampingkan nyeri di hatinya ... Dini pun kembali mengangguk. "Baiklah, yang penting anakku bisa segera mendapatkan pengobatan."
"Dokter Teddy akan mengurusnya setelah kamu sah menjadi istriku malam ini juga!"
Semua berjalan begitu cepat dan ijab kabul pun sudah terjadi. Penghulu dan saksi sudah pergi, kini hanya menyisakan Dini dan Rio yang masih sama-sama berdiam diri.Tidak tahan dengan situasi yang kaku antara dirinya dan Rio, Dini pun memutuskan untuk keluar dari salah satu kamar rumah sakit yang disewa Rio hanya untuk pernikahan mereka."Permisi, Kak.""Memang siapa yang menyuruhmu pergi?"Sayangnya suara Rio yang otoriter itu menahan langkahnya."Apa ada yang ingin Kak Rio bicarakan?"Kemudian, tatapan elang milik Rio mengedar ... menatap Dini dari ujung kepala hingga ujung kaki.Sadar dilihat dengan saksama oleh mantan kekasihnya, Dini pun menunduk ... merasa minder dengan perbedaan penampilan mereka kini."Apa yang terjadi padamu? Ke mana kembang kampus yang dulu cantik itu?”"Ah, itu....” Sesaat, Dini termangu, bingung. Hingga kemudian dia hanya berujar singkat, tanpa berusaha bercerita lebih lanjut. “Roda kehidupan berputar, Kak.”Rio menganggukkan kepalanya nyaris tak kentara. "
Dini berjengit, kaget, tetapi beruntung diabisa segera mengontrol ekspresinya dan berhasil menemukan jawaban dengan cepat."Ah, kurasa itu hanya persepsi Kakak.”Dini memulas senyum tipis untuk mendukung alibinya. “Onde-onde adalah makanankesukaanku. Aku sering membawanya dan membagi-bagikannya ketika kuliah dulu.Jadi kurasa dia terpengaruh olehku karena ini makanan favoritku."Tidak lama, seruan seorang bocah membuat Dinimenoleh."Mama, itu temen Mama yang tolonginAnggia?""Oh, iya Sayang. Namanya Om Rio.” Tepatsaat itu, Anggia telah menghampiri Rio lebih dulu. “Dia yang membayarpengobatan Anggia kemarin sama minjemin rumahnya buat kita tinggalsementara."Bocah kecil itu masih memperhatikan Rio yangberdiri dengan tangan terlipat di depan dadanya, menatap pria itu dengan rasapenasaran."Om Rio, makasih udah tolongin Anggia dirumah sakit."Anggia tersenyum lepas, kemudian tanpa didugamendekat dan mengulurkan tangannya. Sejenak, Rio terlihat terkesiap dengansikap bocah yang
"Eh, maaf Kak!"Bukan hanya Dini saja yang langsung takberkutik saat mendengar celetukan Rio. Dua suster yang juga sedang asik dengancemilan mereka pun langsung membisu.“Ibu macam apa yang tidak menyiapkan minumuntuk anaknya yang sedang makan?!” sindir Rio lagi. “A-ah, iya. Sebentar.” Buru-buru Dini bergerakmengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air mineral."Berikan padaku!” Rio langsung merebutgelas itu dari tangan Dini. “Jangan lupa kopiku!" katanya yang langsungmelenggang menuju Anggia lagi.Sepeninggal Rio, Dini dengan cekatan meracikkopi kesukaan pria itu yang sudah berada di luar kepalanya. 7 tahun terbiasabersama, membuat Dini begitu paham apa yang pria itu inginkan.Piccolo latte adalah kopi yang dikenal berasaldari Spanyol, kesukaan Rio. Tidak butuh waktu lama, wanita itu pun segeramembawa kopi racikannya menghadap si empunya."Ini kak!" seru Dini tanpa menatapRio saat membawa gelasnya mendekat. Bibir Rio yang melengkung tipis kala melihatkopi yang disa
"Oh iya kalau begitu aku ganti bajudulu."Baik, kalau begitu aku siap-siap dulu—“"Tidak perlu!” Baru saja Dini membaliktubuhnya, suara Rio kembali menghentikan langkahnya. Wanita itu kembalimenghadap pria itu dengan pandangan bingung. “Apa tidak apa-apa?” tanya Dini, merujuk padapenampilannya yang masih memakai pakaian rumah biasa.Maksud gadis itu adalah ... dia inginmenghargai istri Rio. Bagaimana pun menurutnya, menemui ‘majikannya’ denganmemakai gaun rumah—daster lusuh, adalah hal yang kurang pantas.“Aku tidak membawamu untuk memikatnya.” Rioberujar dengan tatapan tajam. “Kamu hanya wanita yang kupinjam rahimnya. Bukanwanita yang kunikahi dengan sungguh-sungguh.”Saat itu, Dini tertohok. Benar juga, pikirnya.Dia bukanlah siapa-siapa. Dia bukan wanita yang akan menjadi saingan istri Rio.Bagaimana pun, dia hanyalah ‘pembantu’,membantu Rio dan istrinya mendapatkan anak dengan rahimnya.Setelah itu, mereka pun bergegas.Awalnya, suasana mobil terasa mencekam karenatidak
Pagi hari ini, ada yang berbeda dari Dini.Wajah wanita itu tidak secerah biasanya, ditambah jalannya yang terlihat tidakbiasa.Semua ini karena dia yang terlalu banyakmenangis semalam. Sedang kakinya, karena dia berjalan dari restoran hingga kerumah, karena lupa membawa uang dan juga ponselnya.Ekspresi Dini semakin keruh mana kala orangyang semalam membuatnya tersiksa datang ke rumah ini."Mana kopi dan sarapanku?" kata Rioyang langsung duduk di meja makan usai menyapa Anggia."Memangnya di rumah Bapak tidak adasarapan?" Dini berkata ketus, tetapi kemudian kembali sibuk menatalauk-pauk di meja."Aku tidak punya kewajiban menjawabpertanyaanmu!" Rio menatap Dini dengan dingin kendati wanita itu tidakmelihat ke arahnya. "Lagipula, aku sudah membayarmu untuk menurutikeinginanku."Dini menatap garang ke arah Rio. "TapiKak Ri--maksudku, Pak Rio membayarku bukan untuk hal ini.""Terserah. Bagaimana pun, mencaripenggantimu bukan hal sulit untukku." Rio melirik ke arah Anggia yan
"Pak Rio, saya tahu ini rumah Anda. Tapi,riskan sekali kalau dilihat orang Anda masuk ke dalam kamar ini berdua dengansaya. Apa yang—““Kamu terlalu percaya diri, Dini.” Rio menolehdan menatap dingin Dini dengan seringai tipis di bibirnya. “Aku sudah punyaistri yang sempurna. Kamu pikir, aku akan tergoda denganmu seperti dulu?”Mengingat kesempurnaan tubuh istrinya Riokemarin, cantik, wangi, tubuhnya bersih dengan kulit terawat, dan pastinya kayaraya, Dini tak ragu menggelengkan kepalanya. Wanita itu sempurna. Hanyalaki-laki bodoh yang mau mengganti Christa dengan wanita seperti Dini."Lagi pula aku tidak tertarik denganwanita bekas laki-laki lain!"Pedih, lagi-lagi Rio bicara melukai relunghati Dini. Memang Rio tidak melukai fisik Dini, tapi kata-katanya sangat kejamsekali. Ini lebih menyakitkan untuknya ketimbang dipukul, diusir, dan dimakioleh Satrio."Kalau begitu, kenapa Bapak inginberduaan dengan saya di sini?"“Aku hanya ingin memastikan kamu tidak akanbertindak bo
“Diamlah!”Rio menarik kaki Dini ke atas pangkuannya. MataDini sudah memejam, takut membayangkan yang tidak-tidak.Namun, tidak ada yang terjadi lagi selain kakinyaterasa dipegang oleh Rio dengan begitu hati-hati.“Bapak sedang apa?” tanyanya, bingung.“Apa kamu bodoh?” ujar Rio ketus, tetapimatanya tidak lepas dari luka-luka dan kaki Dini yang terlihat mulaimembengkak. “Kakimu terluka, tetapi tidak mencari bantuan untuk diobati? Apakamu benar-benar ingin membuatku dalam masalah besar?”Kalau ada tempat bersembunyi untuk menutupiwajahnya, Dini rasanya ingin masuk ke tempat itu karena dia malu sekali sempatberpikir Rio akan melakukan melecehkannya. Padahal Dini sadar kalau istri Riokecantikannya tak bisa dibandingkan dengan dirinya yang sekarang.Dugaan Dini salah besar!“Luka sekecil apa pun akan mengganggumu, danmembuat proses bayi tabungku terkendala. Bukan hanya kamu yang dirugikan, akudan istriku justru pihak yang paling dirugikan di sini!”Dini diam. Menurutnya, alasan
“Apa? Bapak mencoba memeras saya?”Kaget, Dini berseru pada Rio.“Bayarannya bukan itu!” Rio kemudian mencuci tangannya di wastafel sebelum kemudian kembali mengangkat Dini dalam gendongannya.Pria itu tidak mengizinkan Dini jalan sendiri alasannya kaki Dini baru diobati dan Rio tidak menutupnya dengan kasa. Alasannya lagi, kasa tidak tersedia di kotak P3K-nya.Dini pasrah, tapi dia juga ingin kepastian dari Rio apa yang pria itu inginkan.Saat Rio sudah mendudukkannya di tempat tidur Dini kembali menagih karena tidak mau berhutang Budi pada Rio lebih banyak lagi. “Lalu, bayaran seperti apa yang Bapak minta?” "Kalau sudah waktunya, nanti aku memberitahumu!" seru Rio yang kembali duduk di samping Dini dan memberikan pijatan.Mulanya, Dini menjerit-jerit kesakitan. Namun, semakin lama ... bahkan nyaris 30 menit Rio melakukannya, dia menjadi semakin nyaman. Rasa sakit itu seolah perlahan sirna."Jangan melakukan kebodohan yang sama yang bisa menyusahkan orang lain!" seru Rio sembari men