Pagi hari ini, ada yang berbeda dari Dini. Wajah wanita itu tidak secerah biasanya, ditambah jalannya yang terlihat tidak biasa.
Semua ini karena dia yang terlalu banyak menangis semalam. Sedang kakinya, karena dia berjalan dari restoran hingga ke rumah, karena lupa membawa uang dan juga ponselnya.
Ekspresi Dini semakin keruh mana kala orang yang semalam membuatnya tersiksa datang ke rumah ini.
"Mana kopi dan sarapanku?" kata Rio yang langsung duduk di meja makan usai menyapa Anggia.
"Memangnya di rumah Bapak tidak ada sarapan?" Dini berkata ketus, tetapi kemudian kembali sibuk menata lauk-pauk di meja.
"Aku tidak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu!" Rio menatap Dini dengan dingin kendati wanita itu tidak melihat ke arahnya. "Lagipula, aku sudah membayarmu untuk menuruti keinginanku."
Dini menatap garang ke arah Rio. "Tapi Kak Ri--maksudku, Pak Rio membayarku bukan untuk hal ini."
"Terserah. Bagaimana pun, mencari penggantimu bukan hal sulit untukku." Rio melirik ke arah Anggia yang sudah fokus dengan makanannya, tidak mengindahkan perdebatan orang dewasa di hadapannya. "Tapi coba pikirkan, siapa yang mau menanggung biaya pengobatannya?"
Dini berdecak dan menghela napas panjang. "Tunggu sebentar."
Meski sebal, Dini tetap ke dapur untuk menyiapkan tambahan sarapan yang diminta Rio.
Saat itulah, mata Rio mengamati ada yang berbeda dari Dini.
Langkah kaki wanita itu terlihat tertatih. Namun, pria itu menahan pertanyaannya, menunggu hingga Dini kembali usai mengambilkan makanan untuknya.
"Ada apa dengan kakimu?" tanya Rio datar, enggan menatap juga ke arah Dini.
"Terkilir," kilah Dini menyembunyikan kebenarannya.
Rio terlihat mengangguk pelan, tetapi kemudian mulut tajamnya kembali berujar, "Ceroboh! Bagaimana bisa kamu menjaga calon anakku kalau kamu saja tidak bisa menjaga dirimu?"
Tidak tahan, Dini meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Dia lantas menoleh ke Anggia. "Sayang, kalau sudah selesai makannya, main sama suster dulu, ya."
Bocah itu menurut, dan langsung bergegas pergi dari meja makan.
Usai tinggal hanya Dini dan Rio di meja itu, suasana berubah menjadi lebih dingin.
"Sepertinya Bapak tidak benar-benar percaya dengan saya untuk menjadi ibu pengganti." Dini berujar tegas, menatap tajam ke arah Rio yang juga tengah menatapnya sengit. "Kalau Bapak ragu, saya bersedia mengundurkan diri."
Dini berdiri dari duduknya, menyebabkan bangku makan yang tadi dia duduki berdecit nyaring.
Rio berdecih, menatap semakin dingin dengan seringai tipis di bibir.
"Kamu benar-benar bukan Dini yang kukenal dulu," katanya dengan suara dalam. "Ke mana Dini, gadis manis dan penurut yang kukenal dulu?"
'Kak Rio juga berubah. Kakak bukan lagi pria yang kukenal dulu.' Rasanya, Dini ingin sekali berujar demikian. Namun, dia menahannya hanya keluar di pikiran.
"Apa Kakak sengaja mengulur-ulur waktu proses penanaman embrio untuk menyiksaku?" tanya Dini dengan sorot nanar. "Apa Kakak berniat membalas dendam karena kesalahanku di masa lalu?"
"Balas dendam?" Rio mengulang kata-kata Dini, kemudian tertawa sumbang. "Apa untungnya untukku?" Dia menatap Dini dalam-dalam. "Apa kamu merasa dirugikan atas kesepakatan kita?" tantang Rio lagi.
Di tempatnya, Dini diam mematung.
Secara materil, dia memang tidak dirugikan. Justru, Rio memberikan segala yang dia butuhkan mulai dari biaya perobatan sang anak, uang harian-bulanan, hingga tempat tinggal.
Namun, secara batin ... Dini merasa Rio benar-benar sedang menyiksanya. Apalagi dengan kesepakatan, jika dia hanya bisa terbebas setelah wanita itu melahirkan keturunan untuk pria itu.
"Tidak." Akhirnya, Dini menjawab pertanyaan Rio. Dia lantas mengukir senyum, meski tatapannya masih menghujam. "Lantas, kapan saya bisa membalas budi pada Pak Rio yang dermawan?" ujar Dini mengubah sapaannya menjadi lebih formal.
"Bersiaplah, dua hari lagi Teddy akan mengatur jadwal untuk pengecekan kesehatanmu."
Dini mengangguk patuh. "Baiklah. Jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, saya permisi."
"Siapa yang menyuruhmu pergi?" Suara bariton Rio kembali menahan langkah Dini yang sudah memutar tubuh. "Aku ingin berbicara denganmu, tapi tidak di sini." Kemudian, Rio bangun dari duduknya dan berkata, "Ikut aku!"
Rio memimpin langkah, sedang Dini mengekor di belakang. Namun, ketika pria itu berhenti di sebuah pintu kamar, yang tidak lain adalah kamar selama dia berada di sini ... Langkah Dini spontan berhenti.
'Mau apa dia mengajakku berbicara di dalam kamar?'
"Pak Rio, saya tahu ini rumah Anda. Tapi,riskan sekali kalau dilihat orang Anda masuk ke dalam kamar ini berdua dengansaya. Apa yang—““Kamu terlalu percaya diri, Dini.” Rio menolehdan menatap dingin Dini dengan seringai tipis di bibirnya. “Aku sudah punyaistri yang sempurna. Kamu pikir, aku akan tergoda denganmu seperti dulu?”Mengingat kesempurnaan tubuh istrinya Riokemarin, cantik, wangi, tubuhnya bersih dengan kulit terawat, dan pastinya kayaraya, Dini tak ragu menggelengkan kepalanya. Wanita itu sempurna. Hanyalaki-laki bodoh yang mau mengganti Christa dengan wanita seperti Dini."Lagi pula aku tidak tertarik denganwanita bekas laki-laki lain!"Pedih, lagi-lagi Rio bicara melukai relunghati Dini. Memang Rio tidak melukai fisik Dini, tapi kata-katanya sangat kejamsekali. Ini lebih menyakitkan untuknya ketimbang dipukul, diusir, dan dimakioleh Satrio."Kalau begitu, kenapa Bapak inginberduaan dengan saya di sini?"“Aku hanya ingin memastikan kamu tidak akanbertindak bo
“Diamlah!”Rio menarik kaki Dini ke atas pangkuannya. MataDini sudah memejam, takut membayangkan yang tidak-tidak.Namun, tidak ada yang terjadi lagi selain kakinyaterasa dipegang oleh Rio dengan begitu hati-hati.“Bapak sedang apa?” tanyanya, bingung.“Apa kamu bodoh?” ujar Rio ketus, tetapimatanya tidak lepas dari luka-luka dan kaki Dini yang terlihat mulaimembengkak. “Kakimu terluka, tetapi tidak mencari bantuan untuk diobati? Apakamu benar-benar ingin membuatku dalam masalah besar?”Kalau ada tempat bersembunyi untuk menutupiwajahnya, Dini rasanya ingin masuk ke tempat itu karena dia malu sekali sempatberpikir Rio akan melakukan melecehkannya. Padahal Dini sadar kalau istri Riokecantikannya tak bisa dibandingkan dengan dirinya yang sekarang.Dugaan Dini salah besar!“Luka sekecil apa pun akan mengganggumu, danmembuat proses bayi tabungku terkendala. Bukan hanya kamu yang dirugikan, akudan istriku justru pihak yang paling dirugikan di sini!”Dini diam. Menurutnya, alasan
“Apa? Bapak mencoba memeras saya?”Kaget, Dini berseru pada Rio.“Bayarannya bukan itu!” Rio kemudian mencuci tangannya di wastafel sebelum kemudian kembali mengangkat Dini dalam gendongannya.Pria itu tidak mengizinkan Dini jalan sendiri alasannya kaki Dini baru diobati dan Rio tidak menutupnya dengan kasa. Alasannya lagi, kasa tidak tersedia di kotak P3K-nya.Dini pasrah, tapi dia juga ingin kepastian dari Rio apa yang pria itu inginkan.Saat Rio sudah mendudukkannya di tempat tidur Dini kembali menagih karena tidak mau berhutang Budi pada Rio lebih banyak lagi. “Lalu, bayaran seperti apa yang Bapak minta?” "Kalau sudah waktunya, nanti aku memberitahumu!" seru Rio yang kembali duduk di samping Dini dan memberikan pijatan.Mulanya, Dini menjerit-jerit kesakitan. Namun, semakin lama ... bahkan nyaris 30 menit Rio melakukannya, dia menjadi semakin nyaman. Rasa sakit itu seolah perlahan sirna."Jangan melakukan kebodohan yang sama yang bisa menyusahkan orang lain!" seru Rio sembari men
"Aku tidak setuju! Kamu pembawa gen Thalasemia!"Syukur suaminya sudah bicara lebih dulu dan menolak penawaran Dini. Karena Christa sejujurnya tak setuju juga.Dia dari awal memang tidak terlalu menyukai Dini. Menurutnya, wanita itu selain kotor, tak berasal dari strata sosial yang sama, satu lagi, bagaimana bisa dia menerima sel telur Dini dan merawat anak itu nantinya seperti anaknya sendiri?Ini tak bisa, Christa jijik!"Rio, cuma gen pembawa. Lagian Kamu kan sehat! Aku rasa nggak ada masalah jika Dini menyumbangkan sel telurnya." Rio memang belum pernah mengecek terkait thalasemia."Daripada kita ambil sel telur asal dari dari pendonor yang gak dikenal, ini akan lebih bermasalah. Dan lagi, kamu tahu kan gimana sistem di Indonesia? Ribet! Kecuali kalau kalian bisa bawa Dini ke luar negeri dan inseminasi buatan di sana. Baru deh, ada kemungkinan bisa cari sel telur di sana."Rio juga paham soal ini. Tapi kemungkinan keluar negeri, apa itu mungkin?"Sayang, papaku akan curiga kalau k
"Pak Rio, hentikan!"Dini meronta, dia bukan wanita bodoh yang tidak tahu apa yang dimaksud oleh pernyataan Rio barusan.Bayangan tentang penyatuan diri dalam benaknya memang indah. Tapi tidak! Bukan yang seperti itu yang harus mereka lakukan!Hubungannya dengan Rio tidak bisa sejauh itu. Terlebih, Dini punya dua alasan. Rio mencintai istrinya dan dia tak ingin dilecehkan lalu dibuang dan dihinakan. Karena ini lebih buruk dari hubungannya dengan Satrio. Dialah wanita kedua. Dini tak sudi dicap sebagai pelakor.Ditambah lagi, mereka memang tidak boleh melakukannya. Anggia dan penyakitnya adalah rahasia terbesar Dini. Dan dia dilarang melakukan itu dengan Rio. Dini tidak bisa! Dia semakin kuat meronta ingin lepas dari cangkuman Rio."Sssh, kenapa menggigitku, kamu terlalu bernafsu?"Dini memang sengaja menggigit bahu Rio untuk membuat jarak dan menyelamatkan dirinya. Bukan karena dia bernafsu."Pak, apa Anda tidak sadar kalau Anda punya istri?""Lalu apa kamu sadar kalau kamu sudah menik
"Ti, makasih ya, udah nganter sampai sini dan doain saya berhasil ya!""Iya Bu, semangat ya! Saya yakin kalau ibu pasti lolos kok! Masakan ibu kan enak!"Peluang kesempatan untuk mendapatkan project catering di PH tidak akan disia-siakan oleh Dini apalagi setelah mendengar banyak manis yang bisa didapatkannya dari cerita Titi. Setelah mendapat jawaban dari saudaranya Titi yang bekerja di PH dan memikirkan selama dua minggu, akhirnya Dini memberanikan diri untuk ikut.Ini kesempatannya! Lagi pula projectnya salah satu project besar yang akan menghandle catering sekitar 250 orang per harinya untuk satu project sinetron yang sedang naik daun. Nilai yang sangat diharapkan oleh Dini. Dia pun membulatkan hatinya untuk datang ke lokasi test akan dilaksanakan. Dan seharusnya Dini menyerahkan CV tapi karena bantuan dari orang dalam, yaitu saudaranya Titi, dia bisa ikut test penyisihan. Untuk datang ke tempat itu, Dini yang tidak punya uang dan tidak mau menggunakan uang Rio akhirnya menumpang
"Mbak Dini, sabar ya, sebenarnya kita juga heran dengan keputusan ini soalnya dari rasa masakannya, nasi goreng Mbak Dini itu lebih enak! Bahkan kru yang dapat nasi hainan banyak yang minta nasi gorengnya. Soalnya nasi hainan dengan bebek panggangnya amis!"Dini memang kalah dalam memperebutkan tender catering PH. Tapi pujian yang disampaikan oleh saudaranya Titi yang mewakili para kru sudah seperti oase di padang pasir untuknya. Dini sangat bersyukur dan terharu. Masakannya bisa diterima."Terima kasih. Gapapa, Mas. Memang beginilah rezeki. Tidak ada yang tahu. Datang dari mana dan apa yang bisa kita dapat nantinya, semua rahasia ilahi. Cuma aku sangat berterima kasih sama kamu yang sudah kasih aku izin buat ikutan seleksi ini. Padahal aku nggak punya KTP! Dan aku nggak ngisi CV. Makasih ya."Dini paham kalaupun dia lolos, dia akan dapat kendala baru saat tanda tangan kontrak karena tidak punya data pribadi tentang dirinya.Jadi dia legowo dan tak mau berlama-lama di sana, izin pami
"Nah, benar kamu Dini? Kamu-- apa kabarnya? Mas hampir aja nggak ngenalin kamu loh! Kenapa kamu jadi kurusan kayak gini? Dini sehat?""Mas Darsa sendiri ngapain disini?""Loh, ini kan stasiun televisi miliknya Mas. Kamu lupa kalau Mas punya stasiun TV?"Dini meringis kecil dan dia mengangguk merasa malu sekaligus menyesal karena dia sama sekali tidak kepikiran tentang Darsa dan stasiun televisinya. Dan jelas mimik wajah Dini juga cara Darsa menyapanya membuat Christa tak suka. Begitupun Rio yang memang tanpa ekspresi tapi sebenarnya memiliki keingintahuan yang besar di dalam hatinya. Mereka menanti jawaban Dini."Dan ... kamu kenal sama Christa?""Ketemu tadi di dalam Mas. aku ikutan seleksi buat tender catering. Kebetulan Ibu Christa jurinya.""Oh ya, apa kamu yang bikin nasi goreng itu dan menang?" Dini dan Christa jujur saja kaget ketika Darsa langsung menebak begitu.Christa mulai ketar-ketir menunggu jawaban Dini dan sebetulnya dia ingin menerobos bicara untuk menyelamatkan diri