Share

PAMER KEMESRAAN

"Oh iya kalau begitu aku ganti baju dulu."Baik, kalau begitu aku siap-siap dulu—“

"Tidak perlu!” Baru saja Dini membalik tubuhnya, suara Rio kembali menghentikan langkahnya. Wanita itu kembali menghadap pria itu dengan pandangan bingung.

“Apa tidak apa-apa?” tanya Dini, merujuk pada penampilannya yang masih memakai pakaian rumah biasa.

Maksud gadis itu adalah ... dia ingin menghargai istri Rio. Bagaimana pun menurutnya, menemui ‘majikannya’ dengan memakai gaun rumah—daster lusuh, adalah hal yang kurang pantas.

“Aku tidak membawamu untuk memikatnya.” Rio berujar dengan tatapan tajam. “Kamu hanya wanita yang kupinjam rahimnya. Bukan wanita yang kunikahi dengan sungguh-sungguh.”

Saat itu, Dini tertohok. Benar juga, pikirnya. Dia bukanlah siapa-siapa. Dia bukan wanita yang akan menjadi saingan istri Rio.

Bagaimana pun, dia hanyalah ‘pembantu’, membantu Rio dan istrinya mendapatkan anak dengan rahimnya.

Setelah itu, mereka pun bergegas.

Awalnya, suasana mobil terasa mencekam karena tidak ada obrolan apa pun di sana. Hanya deru mobil, dan suara klakson dari kendaraan lain yang sesekali terdengar.

Sampai Rio memulai percakapan lebih dulu.

“Dengar, Dini. Rahasiakan soal pernikahan kita dari istriku.” Rio menatap dari ekor matanya ke arah Dini. “Kamu hanya perlu jelaskan posisimu sebagai ibu pengganti.”

Wanita itu mengangguk, paham. "Ya, aku mengerti Kak."

Rio mengangkat tangannya ke udara.

"Dan satu lagi!" seru Rio. "Jangan panggil aku Kak. Aku tidak ingin istriku berspekulasi."

"Eh maksudnya?"

"Aku tidak ingin istriku salah paham, jika dia tahu kita saling mengenal. Panggilanmu itu bisa membuatnya berpikir ke arah sana.” Rio menjelaskan dengan suara dinginnya. “Lagipula, itu semua masa lalu yang tidak ingin lagi kuingat.”

Perasaan Dini tak jelas. Dia malu dengan teguran Rio dan merasa perih juga. Dia memang bodoh. Seharusnya dia memanggil Rio dengan sebutan Pak Rio sejak awal.

Rio benar, Dini bukan adiknya dan mereka sudah tidak seperti dulu.

"Baik Pak Rio," ucap Dini sembari menahan sesak dalam dadanya, dia sungguh berharap air matanya tak akan menetes.

"Berhentikan mobilnya sebelum halte!"

Belum hilang rasa sakit di dalam hati Dini, dia kembali mendengar perintah Rio pada sopirnya yang membuatnya bingung.

"Turun! Kamu tidak berharap istriku melihatmu satu mobil denganku, kan?"

"Eh, iya Kak- ehm, maaf, Pak Rio maksudku."

Setelahnya, Dini turun dari mobil dan berjalan menuju restoran yang disebutkan Rio. Beruntung, dia bertemu dengan Teddy yang baru turun dari mobil ketika sampai di parkiran.

Jika tidak, Dini yakin ... Dengan penampilannya yang seperti ini, dia pasti tidak diizinkan masuk ke restoran mewah tempat pertemuan itu diadakan.

"Hai Teddy! Siapa yang bersamamu?"

Seorang wanita berkulit putih berkilau dan cantik bak supermodel itu bertanya pada Teddy.

Wanita itu menggandeng mesra tangan Rio, menguatkan Dini tentang tebakannya jika dialah istri Rio.

"Dia ibu pengganti yang tadi kuceritakan," jelas Rio pada sang istri.

Tatapan menilai langsung diperlihatkan wanita itu pada Dini. "Oh, jadi dia calon ibu penggantinya?"

Dini menangkap ada nada keberatan dalam suara wanita berkelas itu. Lama bergaul dalam lingkaran anak-anak konglomerat, Dini sangat mengetahui arti tatapan dan sebab wanita itu terlihat merendahkannya.

"Kamu ... keberatan?" tanya Rio usai menyimak respons sang istri yang tidak langsung menyetujui. "Kalau kamu keberatan--"

"Tidak, Sayang." Cepat-cepat, wanita itu langsung memotong perkataan sang suami. "Aku tahu, pasti sulit mencari ibu pengganti, apalagi di sini. Aku tidak masalah, yang penting kita bisa punya anak."

Wanita itu mengecup pipi Rio dengan mesra di akhir kalimat, membuat Dini memalingkan wajahnya.

Harus dia akui, hatinya memanas melihat kemesraan yang ditunjukkan pasangan itu di hadapannya.

"Nah, Dini ... Ini Ibu Christa, istrinya Pak Rio." Dokter Teddy mulai bersuara usai kedua orang di hadapannya terlihat tenang.

Sambil menundukkan kepalanya, Dini berujar, "Selamat malam, Bu. Namaku Dini."

Christa tersenyum. "Selamat malam, Dini. Senang berkenalan denganmu. Terima kasih ya, sudah mau membantu kami. Ayo, silakan duduk."

Wanita itu kemudian menyilakan Dini juga Teddy untuk menempat meja yang telah dipesannya.

Sejenak, mereka sibuk dengan makanan yang telah datang. Kecuali Dini yang terkadang masih terus 'terganggu' dengan pemandangan kemesraan yang diperlihatkan Rio dan Christa.

Rio terlihat begitu perhatian pada sang istri, sementara Christa terlihat begitu menghargai sang suami. Sungguh pasangan yang benar-benar dimabuk cinta, pikirnya.

Namun, semakin Dini melihat kemesraan itu, dia jadi tidak nyaman. Beruntung, sesekali Dokter Teddy mengajaknya berbicara mengenai makanan mereka, yang akhirnya mampu membuat perhatian Dini teralih.

Hingga kemudian, suara Christa terdengar usai makanan di piring wanita itu sisa sedikit. "Kalau boleh tahu, apa alasanmu ingin membantu kami?"

"Anakku menderita talasemia, dan aku butuh biaya."

Christa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ah, aku turut prihatin untuk anakmu. Pasti berat menghadapi ini." Wanita itu terlihat berempati.

"Itulah kenapa aku meminta dia melakukan tes kesehatan secara menyeluruh, sebelum kita memulai penanaman benih, Sayang." Rio memandang dingin ke arah Dini. "Aku tidak ingin anak kita bernasib sama seperti anaknya."

Lagi, Dini merasa dipojokkan. Apalagi dengan nada bicara Rio yang begitu ketus.

"Sayang!" Christa menyenggol lengan sang suami. Dia kemudian menatap Dini dengan senyum tipisnya, "Maafkan suamiku, Dini. Dia memang agak sedikit kasar kalau bicara. Aku yakin dia tidak bermaksud merendahkanmu, dia hanya khawatir pada calon anak kami."

Dini sadar, matanya memerah. Untuk itu, dia semakin menundukkan kepalanya guna menyembunyikan perasaan sakit.

Kendati begitu, dia mengangguk dan berkata, "Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti."

Namun, Rio tampak belum puas menorehkan luka di hati Dini. Pria itu kembali mengeluarkan kata-kata tajamnya. "Kamu tidak perlu terlalu baik padanya, Sayang. Dia hanya membantu, kita juga sudah berikan kompensasi yang cukup untuknya."

"Sayang--"

"Maaf, Bu, Pak." Merasa tidak sanggup lagi menahan sakit hati, Dini lantas memberanikan diri untuk bangkit. "Sa-saya tidak bisa berlama-lama, sebab anak saya tidak ada yang jaga." Dia agak terbata-bata. "Kalau sudah tidak ada yang ingin dibicarakan, saya pamit dulu."

Tanpa menunggu jawaban dari dua majikannya, Dini meninggalkan restoran mewah itu.

Ketika sampai di parkiran, tubuhnya seketika luruh. Dadanya naik-turun bersamaan dengan tangisnya yang terdengar pilu.

Dia tidak menyangka, jika ucapan Rio bisa melukainya sampai sedalam ini.

"Apa yang harus kulakukan supaya dia bisa memaafkanku?"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Kata kata Rio sangat menyakitkan hati Dini...
goodnovel comment avatar
Yuli Yazid
berusaha sabar serta kuat Dini setiap orang punya masa lalu yang pahit antara kalian suatu saat nanti pasti kebenaran akan terungkap
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status