Share

6 Dia Juga Istri Kamu

Slavia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan memandang Shara.

“Sudah lama aku mau tanya soal ini, Kak ... Kalaupun aku hamil dan Kakak yang membesarkan anak aku nanti, apakah orang-orang tidak tambah julid? Maksud aku ... itu sama saja bukan anak kandung Kakak kan?”

Shara ikut mengambil piring sambil menyahut. “Tenang saja, aku sudah menyiapkan rencana ini dengan sangat sempurna. Kalau nantinya kamu berhasil hamil, aku akan di rumah untuk mengurus kamu ....”

“Nggak usah repot-repot, Kak!”

“Apanya yang repot, dengan begitu orang-orang akan aku buat percaya kalau aku hamil dan harus istirahat total di rumah.”

Astaga, batin Slavia dalam hatinya. Shara terlihat sangat terobsesi memiliki momongan hanya karena terbawa perasaan terhadap komentar teman-teman tongkrongannya.

Setelah selesai sarapan, Slavia duduk-duduk di halaman belakang. Rumah Rio sangat besar dan terkesan sepi karena hanya ditinggali oleh dua anggota keluarga saja, pantas jika Shara merasa kesepian.

“Aku mau pergi, kamu jaga rumah ya?” pesan Shara. “Seharian ini Mas Rio biasanya kerja di kantor, nanti ada ibu-ibu yang datang untuk beres-beres rumah. Terserah kamu mau ngapain, asal jangan sampai fisikmu capek. Ingat kalau saat ini kamu sedang mengemban tugas yang sangat penting, yaitu supaya bisa hamil anak Mas Rio!”

“Iya, Kak ...” sahut Slavia lirih.

Setelah Shara meninggalkan rumah, Slavia masih duduk di halaman belakang sembari menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.

Aku jalani saja dulu, pikir Slavia. Toh aku juga belum dapat pekerjaan sejak lulus kuliah, hitung-hitung sambil belajar jadi istri yang baik.

Untuk siapa pun jodohnya nanti ....

***

Shara tiba di rumah ketika hari sudah sore, hanya selang beberapa menit sebelum Arsen pulang kerja.

“Aku agak tidak enak badan,” ungkap Rio ketika bertemu dengan Shara di dapur.

“Mentang-mentang pengantin baru,” goda Shara. “Aku buatkan minuman jahe ya, Mas?”

Rio mengangguk. “Bisa pijat sekalian juga tidak?”

“Bisa, nanti aku minta tolong Via dulu ... Aku juga baru sampai rumah nih, Mas.”

Rio seketika tertegun.

“Kenapa harus Via?”

“Karena dia juga istri kamu kan? Kami bisa urus kamu bersama-sama kok, Mas.”

Rio diam saja, bahkan ketika Shara betul-betul memerintahkan Slavia untuk memijatnya di kamar utama.

Dengan canggung, Slavia memberanikan diri untuk meminta Rio membuka bajunya.

“Apa nggak risi, Kak? Pakai baju basah begitu ...” komentarnya.

“Aku kan tadi tidur pakai baju ini,” ujar Rio. “Wajar lah kalau basah, tadi saja aku keringetan banyak sekali ...”

“Kak Shara bilang jangan lupa Kakak diurusin, diperhatikan pola makannya, dikasih suplemen juga biar tahan cuaca ... Wah, segitunya ya Kak Shara masih perhatian sama Kakak?” kata Slavia lagi.

“Begitulah, Shara sebenarnya adalah istri yang perhatian, karena itu aku tidak ingin kehilangan dia.” Rio menimpali.

“Semoga kalian langgeng, syukur-syukur Kak Shara yang segera hamil dan bukan aku.”

“Semoga, dia itu cuma terpengaruh sama teman-temannya yang suka pamer anak.” Rio mengernyit. “Ini kamu yakin bisa pijit?”

“Coba dulu,” kata Slavia meyakinkan. “Sini, aku bantu ...”

“Tidak usah, aku bisa sendiri. Aku sudah dewasa,” tolak Rio, yang kemudian membuka kancing kemejanya satu per satu dan mengusap sisa-sisa keringat dengan kemejanya tadi.

Slavia menoleh dan melihat Rio yang sudah bertelanjang dada.

“Kakak mau duduk apa tengkurap?” tanya Slavia. “Kalau duduk, aku bisa sambil nonton film.”

“Tengkurap saja deh,” jawab Rio. “Aku masih mau tidur lagi.”

Rio mengubah posisinya menjadi berbaring tengkurap. Dia bisa merasakan ketika Slavia mulai mengoleskan minyak kayu putih ke area yang akan dia pijit.

Sesaat kemudian Slavia mulai memijat bahu Rio dengan kepala terarah ke layar televisi yang menayangkan film horor kesukaannya.

“Kamu kenapa nontonnya film hantu?” komentar Rio sambil memejamkan mata. “Cewek kan biasanya suka drama romantis!”

“Seleraku kan beda, Kak!” Slavia menoleh dan memperkuat pijatannya di bahu kekar Rio. Satu tangannya terulur dan memegang lekukan di bahu Rio kemudian tangan satunya masih bergerak memijat.

Alih-alih merasa risi, tangan Slavia yang halus dan bersentuhan langsung dengan kulitnya membuat Rio serasa membeku. Dia memejamkan kedua matanya sambil berusaha rileks, tapi sentuhan Slavia lama-lama membangunkan sisi dirinya yang lain.

“Vi, sudah cukup enakan ini.” Rio mengingatkan.

Slavia lantas menuang beberapa tetes minyak kayu putih kemudian membalurkannya dengan merata di punggung Rio.

Untuk beberapa saat lamanya Slavia mengusap-usap sekujur punggung suaminya dengan tangannya yang halus, membuat Rio seakan melayang hingga langit ke tujuh.

Ketika Rio merasakan ada sesuatu yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman, mendadak dia membalikkan badannya dan tanpa sengaja menindih satu lengan Slavia yang masih terjulur.

“Eh Kak, aduh! Tangan aku kejepit nih!” protes Slavia panik. “Kakak kenapa sih balik badan nggak bilang-bilang?”

“Kak, beneran ini tangan aku nyelip di bawah badan Kakak!” seru Slavia lagi sambil berusaha keras menarik tangannya yang tertindih tubuh Rio.

Tanpa diduga, Shara masuk ke dalam kamar utama sambil membawa secangkir jahe panas mengepul.

“Mas, diminum dulu air jahenya ...” Shara terkesiap ketika melihat penampakan yang ada di depan matanya.

“Kak, aku kejepit nih!” teriak Slavia kesal, belum menyadari kedatangan kakaknya.

“Ya ampun, apanya yang kejepit, Vi?” seru Shara sambil meletakkan cangkir jahenya di atas meja samping tempat tidur.

“Eh, Kak Shara!” Slavia menoleh sambil membungkuk karena lengannya yang masih terhimpit tubuh Rio. “Ini ... tanganku ketindih.”

Shara mengerjabkan matanya heran, karena menurutnya bukan Slavia yang tertindih melainkan Rio. Jelas-jelas matanya melihat Slavia yang posisinya membungkuk menindih Rio yang berbaring di bawahnya.

“Ya sudah, nanti jangan lupa air jahenya diminum.” Shara berbalik dan buru-buru pergi meninggalkan kamar utama secepat mungkin.

Rio membuka sebelah matanya.

“Kak, bangun! Tangan aku nih ...” rengek Slavia. “Aku sudah kesemutan ini!”

“Apa sih, ribut sekali cuma tangan kamu saja yang kejepit,” gumam Rio. Dia membuka matanya dan melihat kepala Slavia membungkuk tepat di atas dadanya.

“Serius Kak, tangan aku kesemutan ini ...” keluh Slavia lagi. “Kakak cepat bangun dong.”

“Ini sudah ada yang bangun gara-gara kamu,” celetuk Rio.

Slavia mendongak dengan wajah berkeringat. Rio sampai bisa melihat bulu matanya yang panjang dan lentik di kedua matanya yang besar seperti boneka.

Dari sepasang mata boneka yang dimiliki Slavia, pandangan Rio perlahan turun ke daerah perbukitan yang tersembunyi di balik kaos berkerah yang dipakai istri keduanya.

Slavia mengikuti arah pandangan Rio yang mencurigakan, kemudian dengan satu tangannya yang masih bebas, dia langsung mendorong pelan wajah kakak iparnya itu sejauh mungkin.

“Ingat istri kamu, Kak!” omel Slavia antara malu dan marah. “Bukannya nolong aku, kamu malah lihat-lihat nggak jelas! Mata keranjang!”

“Duh ...” Rio memegang wajahnya. “Kan kamu sendiri yang menunjukkannya ke aku. Jangan menuduhku seakan-akan aku ini laki-laki mesum seperti di luaran sana ....”

“Memang itu kenyataannya,” sergah Slavia membela diri. “Terus ini gimana urusannya, Kak? Tangan aku sudah mati rasa.”

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status