Share

5 Tersiksa Luar Dalam

“Tapi aku butuh bukti kalau kalian sudah ....”

“Astaga Shara, kamu anggap kami ini apa?” potong Rio, kali ini dia benar-benar sudah tidak bisa menahan diri lagi. “Kalau kamu tidak percaya bahwa kami akan melakukannya, sebaiknya malam ini aku dan Via tidur terpisah saja.”

“Nggak bisa begitu, Mas! Aku cuma ... aku nggak yakin kalau Via mau melakukannya, aku takut hal itu juga yang akan bikin kamu nggak jadi melanjutkan rencana kita!” Shara masih gigih dengan pendapatnya. “Pokoknya cepat selesaikan, setelah itu kamu ke kamar sebelah.”

Terjadi kesunyian panjang setelah Shara mengakhiri ucapannya.

“Kak ...?” panggil Slavia lirih. “Aku ... aku belum siap kalau ....”

“Mau sampai kapan kamu siap, hah?” tukas Shara tidak sabar. “Sudah Mas, langsung kamu selesaikan saja. Nggak usah pakai pemanasan segala, nggak penting!”

Ada air bening yang menggenang di mata Slavia ketika Shara berbalik dan menutup pintu dengan keras.

“Vi?” panggil Rio pelan.

“I—ya Kak?” Slavia menyahut dengan tubuh gemetar.

“Kita ... kita harus melakukannya.”

“Tapi, Kak ....”

“Shara tetap akan menungguku di kamar sebelah, kamu sendiri tidak mampu untuk melawan keinginannya kan?” ujar Rio berat hati. “Kalau aku ... aku cuma ingin membuat istriku bahagia, setidaknya aku dan kamu bisa buktikan kalau cara ini belum tentu berhasil juga. Mungkin di saat itu, Shara baru benar-benar menyerah.”

Slavia menggigit bibirnya. Menurutnya mudah saja bagi Rio untuk bicara seperti itu, posisinya sebagai pria tidak akan begitu kentara jika mereka berpisah nanti.

Namun, bagaimana dengan Slavia yang harus merelakan dirinya berlabel janda? Kelak masih adakah pria baik-baik yang bersedia mempersuntingnya meski tidak lagi berstatus perawan?

“Vi?” panggil Rio lagi, suara baritonnya yang serak membuat Slavia terlonjak di tempatnya berdiri. “Jangan sampai Shara bersikap kasar lagi sama kamu.”

“Jadi ... kita akan tetap melakukannya, Kak?” tanya Slavia lirih, nyaris tidak terdengar.

“Terpaksa, saat ini tidak ada pilihan lain bagi kita.”

“Kenapa Kakak nggak coba lawan? Masa suami kalah sama istri?”

“Aku bukannya tidak berani melawan, tapi aku lebih takut istriku bunuh diri betulan.”

Slavia menghirup udara banyak-banyak sebelum berkata, “Terserah Kakak, aku belum mampu melawan Kak Shara ... Apalagi ayah dan ibu kami juga sudah setuju.”

Rio mengulurkan tangannya dan memegang bahu Slavia.

“Aku janji kalau kamu akan mendapatkan imbalan yang pantas untuk pengorbanan kamu ini,” ucapnya yang justru terasa bagaikan belati dingin yang menusuk tepat ke jantung hati.

Kenapa Slavia merasa seakan-akan dirinya adalah wanita panggilan?

“Aku minta izin untuk melakukan kewajibanku, ya?” ucap Rio sembari mendaratkan kecupan singkat di atas ubun-ubun Slavia. “Kamu tidak perlu takut, aku tidak akan menyakiti kamu.”

Dengan berat hati, Slavia mengangguk.

“Iya, Kak ....”

Detak jantung yang dirasakan Slavia mulai menjadi-jadi saat kebayanya mulai tertanggal satu per satu. Hingga dua tubuh itu berpindah ke atas tempat tidur yang sudah Shara dekorasi sedemikian rupa untuk malam pertama mereka.

Slavia bergetar hebat ketika merasakan beban berat itu mulai menghimpitnya.

“Kak?”

“Ya?”

“Bisa tolong ... tutup mataku saja? Punya dasi kan?”

Rio menegakkan dirinya, dia sangat mengerti kondisi psikologis Slavia yang sebetulnya belum siap untuk menikah. Segera diambilnya sepotong dasi untuk dia ikatkan ke mata adik iparnya itu.

“Kalau kamu takut, kamu boleh pegang bahuku.” Rio mempersilakan.

“Terima kasih sudah mengerti aku, Kak ....”

“Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu mau berkorban demi kakakmu.”

Setelah mata Slavia tertutup dengan sempurna, Rio segera menuntaskan kewajibannya sebagai suami malam itu juga.

***

Di kamar sebelah, hati Shara terasa berdenyut nyeri. Membayangkan suaminya memadu kasih dengan adik sendiri benar-benar membuatnya tersiksa luar dalam, tapi tentu saja dia tidak akan mengakuinya.

Semua ini Shara lakukan demi menghadirkan buah hati di tengah-tengah rumah tangga mereka yang selama ini terasa sunyi tanpa adanya tangisan seorang bayi.

Hingga kemudian pintu kamar itu terbuka dan Rio muncul dengan wajah dan bagian depan rambutnya yang basah.

“Mas, sudah selesai?” Shara menyambut dengan senyum ceria untuk meredakan nyeri di hatinya.

“Sesuai kehendak kamu,” jawab Rio datar.

“Terima kasih ya, Mas. Aku mencintai kamu, makanya aku melakukan ini ...” Shara membenamkan wajahnya di dada bidang Rio. “Semoga niat baik aku ini mendapatkan hasil yang setimpal, Mas.”

Rio enggan menjawab. Sekarang ini hati Shara yang mungkin saja terluka, pikirnya. Suatu saat pasti Slavia akan merasakan sakit hati yang sama saat dipisahkan dari bayinya kelak.

Untuk itu Rio berharap kalau Slavia tidak akan mengandung bibit yang telah dia tanamkan dalam rahimnya, dia berjanji akan mencarikan jodoh yang baik untuk adik iparnya itu jika mereka berpisah nanti.

“Tidur yuk, Mas? Aku ngantuk ....”

“Iya, Ra.”

Keesokan paginya, Shara langsung mendatangi kamar utama untuk melihat kondisi Slavia.

“Hei, adikku sayang! Masih tidur saja, gimana semalam?” oceh Shara sambil menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuh adiknya. “Bangun yuk, sarapan!”

“Sebentar, Kak ... Badanku sakit ....”

Shara yang sudah sangat penasaran segera membantu Slavia untuk bangun dari posisi.

“Aduh, Kak ... pelan-pelan ...” rintih Slavia dengan kondisi rambut awut-awutan dan baju yang tidak lagi rapi.

“Sini aku antar ke kamar mandi, habis itu kamu harus sarapan ... Biar punya energi maksimal karena kamu akan melakukannya rutin sama Mas Rio.”

Slavia langsung terbatuk-batuk mendengar ucapan kakaknya.

Selagi Slavia bersih-bersih di kamar mandi, Shara melipir ke tempat tidur dan mulai beres-beres. Ketika dia melipat selimutnya, beberapa titik noda merah muncul di permukaan seprai.

Seketika hatinya merasakan gejolak yang tidak menentu. Di satu sisi Shara merasa senang karena Rio ternyata sudah menyentuh Slavia sesuai keinginannya, tapi di sisi lainnya dia juga merasa hatinya terusik saat tahu suaminya menyentuh wanita selain istrinya.

Aku akan punya anak sebentar lagi, pikir Shara menghibur diri.

Slavia keluar kamar dan menemukan Shara sedang terpaku di samping tempat tidur.

“Kak, biar aku yang rapikan!”

Shara menoleh sambil menyeka matanya. “Sudah selesai kok, Vi! Ayo, kamu sarapan dulu.”

Slavia mengangguk sungkan. Dia bisa memahami perasaan kakaknya yang sedang morat-marit tidak keruan, tapi Slavia bisa apa?

Di saat yang menjadi pihak ketika dalam rumah tangga kakaknya justru adalah dirinya sendiri ....

“Aku akan siapkan keperluan Mas Rio, kamu sarapan saja dulu.” Shara menyuruh dan Slavia tidak sebodoh itu untuk menolaknya.

Ada sensasi aneh pada kedua pahanya ketika Slavia melangkah sejak awal ke kamar mandi. Kini dia menuruni tangga dengan hati-hati, berharap tidak lagi bertemu dengan kakak iparnya untuk sementara waktu.

Setelah kejadian semalam, Slavia mana punya keberanian untuk bertatap muka dengan Rio lagi.

Begitu tiba di dapur, Slavia membuka tudung saji dan terlihatlah beberapa menu masakan yang sudah disajikan Shara dalam beberapa piring.

“Kakak masak?” tanya Slavia ketika Shara turun ke dapur.

“Enggaklah, aku beli. Itu aku sengaja siapkan makanan yang bergizi tinggi, supaya mendukung program hamil kamu.” Shara menjelaskan.

Slavia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan memandang Shara.

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status