“Tapi aku butuh bukti kalau kalian sudah ....”
“Astaga Shara, kamu anggap kami ini apa?” potong Rio, kali ini dia benar-benar sudah tidak bisa menahan diri lagi. “Kalau kamu tidak percaya bahwa kami akan melakukannya, sebaiknya malam ini aku dan Via tidur terpisah saja.”“Nggak bisa begitu, Mas! Aku cuma ... aku nggak yakin kalau Via mau melakukannya, aku takut hal itu juga yang akan bikin kamu nggak jadi melanjutkan rencana kita!” Shara masih gigih dengan pendapatnya. “Pokoknya cepat selesaikan, setelah itu kamu ke kamar sebelah.”Terjadi kesunyian panjang setelah Shara mengakhiri ucapannya.“Kak ...?” panggil Slavia lirih. “Aku ... aku belum siap kalau ....”“Mau sampai kapan kamu siap, hah?” tukas Shara tidak sabar. “Sudah Mas, langsung kamu selesaikan saja. Nggak usah pakai pemanasan segala, nggak penting!”Ada air bening yang menggenang di mata Slavia ketika Shara berbalik dan menutup pintu dengan keras.“Vi?” panggil Rio pelan.“I—ya Kak?” Slavia menyahut dengan tubuh gemetar.“Kita ... kita harus melakukannya.”“Tapi, Kak ....”“Shara tetap akan menungguku di kamar sebelah, kamu sendiri tidak mampu untuk melawan keinginannya kan?” ujar Rio berat hati. “Kalau aku ... aku cuma ingin membuat istriku bahagia, setidaknya aku dan kamu bisa buktikan kalau cara ini belum tentu berhasil juga. Mungkin di saat itu, Shara baru benar-benar menyerah.”Slavia menggigit bibirnya. Menurutnya mudah saja bagi Rio untuk bicara seperti itu, posisinya sebagai pria tidak akan begitu kentara jika mereka berpisah nanti.Namun, bagaimana dengan Slavia yang harus merelakan dirinya berlabel janda? Kelak masih adakah pria baik-baik yang bersedia mempersuntingnya meski tidak lagi berstatus perawan?“Vi?” panggil Rio lagi, suara baritonnya yang serak membuat Slavia terlonjak di tempatnya berdiri. “Jangan sampai Shara bersikap kasar lagi sama kamu.”“Jadi ... kita akan tetap melakukannya, Kak?” tanya Slavia lirih, nyaris tidak terdengar.“Terpaksa, saat ini tidak ada pilihan lain bagi kita.”“Kenapa Kakak nggak coba lawan? Masa suami kalah sama istri?”“Aku bukannya tidak berani melawan, tapi aku lebih takut istriku bunuh diri betulan.”Slavia menghirup udara banyak-banyak sebelum berkata, “Terserah Kakak, aku belum mampu melawan Kak Shara ... Apalagi ayah dan ibu kami juga sudah setuju.”Rio mengulurkan tangannya dan memegang bahu Slavia.“Aku janji kalau kamu akan mendapatkan imbalan yang pantas untuk pengorbanan kamu ini,” ucapnya yang justru terasa bagaikan belati dingin yang menusuk tepat ke jantung hati.Kenapa Slavia merasa seakan-akan dirinya adalah wanita panggilan?“Aku minta izin untuk melakukan kewajibanku, ya?” ucap Rio sembari mendaratkan kecupan singkat di atas ubun-ubun Slavia. “Kamu tidak perlu takut, aku tidak akan menyakiti kamu.”Dengan berat hati, Slavia mengangguk.“Iya, Kak ....”Detak jantung yang dirasakan Slavia mulai menjadi-jadi saat kebayanya mulai tertanggal satu per satu. Hingga dua tubuh itu berpindah ke atas tempat tidur yang sudah Shara dekorasi sedemikian rupa untuk malam pertama mereka.Slavia bergetar hebat ketika merasakan beban berat itu mulai menghimpitnya.“Kak?”“Ya?”“Bisa tolong ... tutup mataku saja? Punya dasi kan?”Rio menegakkan dirinya, dia sangat mengerti kondisi psikologis Slavia yang sebetulnya belum siap untuk menikah. Segera diambilnya sepotong dasi untuk dia ikatkan ke mata adik iparnya itu.“Kalau kamu takut, kamu boleh pegang bahuku.” Rio mempersilakan.“Terima kasih sudah mengerti aku, Kak ....”“Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu mau berkorban demi kakakmu.”Setelah mata Slavia tertutup dengan sempurna, Rio segera menuntaskan kewajibannya sebagai suami malam itu juga.***Di kamar sebelah, hati Shara terasa berdenyut nyeri. Membayangkan suaminya memadu kasih dengan adik sendiri benar-benar membuatnya tersiksa luar dalam, tapi tentu saja dia tidak akan mengakuinya.Semua ini Shara lakukan demi menghadirkan buah hati di tengah-tengah rumah tangga mereka yang selama ini terasa sunyi tanpa adanya tangisan seorang bayi.Hingga kemudian pintu kamar itu terbuka dan Rio muncul dengan wajah dan bagian depan rambutnya yang basah.“Mas, sudah selesai?” Shara menyambut dengan senyum ceria untuk meredakan nyeri di hatinya.“Sesuai kehendak kamu,” jawab Rio datar.“Terima kasih ya, Mas. Aku mencintai kamu, makanya aku melakukan ini ...” Shara membenamkan wajahnya di dada bidang Rio. “Semoga niat baik aku ini mendapatkan hasil yang setimpal, Mas.”Rio enggan menjawab. Sekarang ini hati Shara yang mungkin saja terluka, pikirnya. Suatu saat pasti Slavia akan merasakan sakit hati yang sama saat dipisahkan dari bayinya kelak.Untuk itu Rio berharap kalau Slavia tidak akan mengandung bibit yang telah dia tanamkan dalam rahimnya, dia berjanji akan mencarikan jodoh yang baik untuk adik iparnya itu jika mereka berpisah nanti.“Tidur yuk, Mas? Aku ngantuk ....”“Iya, Ra.”Keesokan paginya, Shara langsung mendatangi kamar utama untuk melihat kondisi Slavia.“Hei, adikku sayang! Masih tidur saja, gimana semalam?” oceh Shara sambil menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuh adiknya. “Bangun yuk, sarapan!”“Sebentar, Kak ... Badanku sakit ....”Shara yang sudah sangat penasaran segera membantu Slavia untuk bangun dari posisi.“Aduh, Kak ... pelan-pelan ...” rintih Slavia dengan kondisi rambut awut-awutan dan baju yang tidak lagi rapi.“Sini aku antar ke kamar mandi, habis itu kamu harus sarapan ... Biar punya energi maksimal karena kamu akan melakukannya rutin sama Mas Rio.”Slavia langsung terbatuk-batuk mendengar ucapan kakaknya.Selagi Slavia bersih-bersih di kamar mandi, Shara melipir ke tempat tidur dan mulai beres-beres. Ketika dia melipat selimutnya, beberapa titik noda merah muncul di permukaan seprai.Seketika hatinya merasakan gejolak yang tidak menentu. Di satu sisi Shara merasa senang karena Rio ternyata sudah menyentuh Slavia sesuai keinginannya, tapi di sisi lainnya dia juga merasa hatinya terusik saat tahu suaminya menyentuh wanita selain istrinya.Aku akan punya anak sebentar lagi, pikir Shara menghibur diri.Slavia keluar kamar dan menemukan Shara sedang terpaku di samping tempat tidur.“Kak, biar aku yang rapikan!”Shara menoleh sambil menyeka matanya. “Sudah selesai kok, Vi! Ayo, kamu sarapan dulu.”Slavia mengangguk sungkan. Dia bisa memahami perasaan kakaknya yang sedang morat-marit tidak keruan, tapi Slavia bisa apa?Di saat yang menjadi pihak ketika dalam rumah tangga kakaknya justru adalah dirinya sendiri ....“Aku akan siapkan keperluan Mas Rio, kamu sarapan saja dulu.” Shara menyuruh dan Slavia tidak sebodoh itu untuk menolaknya.Ada sensasi aneh pada kedua pahanya ketika Slavia melangkah sejak awal ke kamar mandi. Kini dia menuruni tangga dengan hati-hati, berharap tidak lagi bertemu dengan kakak iparnya untuk sementara waktu.Setelah kejadian semalam, Slavia mana punya keberanian untuk bertatap muka dengan Rio lagi.Begitu tiba di dapur, Slavia membuka tudung saji dan terlihatlah beberapa menu masakan yang sudah disajikan Shara dalam beberapa piring.“Kakak masak?” tanya Slavia ketika Shara turun ke dapur.“Enggaklah, aku beli. Itu aku sengaja siapkan makanan yang bergizi tinggi, supaya mendukung program hamil kamu.” Shara menjelaskan.Slavia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan memandang Shara.Bersambung—Slavia lantas menaruh foto terakhir dan sukses membuat Shara terperanjat. “Kenapa kamu menaruh foto Mas Rio di situ?” “Memangnya salah kalau foto ayah kandung ditaruh dekat dengan anak-anak kandungnya?” Shara melotot. “Anak-anak kandung ...? Anak Mas Rio dengan kamu cuma Nico!” “Coba perhatikan lagi, yang ini mamanya Luna. Bibir dan hidungnya sangat mirip sama Mas Rio.” Dengan napas yang menderu cepat, Shara mengamati foto Rio dan Lunara bergantian. Semakin dilihat, semakin kemiripan itu menjelma nyata. “Nggak ... ini nggak mungkin! Mas Rio punya anak lagi ... selain Nico?” Slavia mengangguk tenang. “Kamu bohong, Vi. Kapan kamu hamil lagi? Itu pasti anak dari laki-laki lain kan? Anak dari suami baru kamu!” “Aku belum pernah menikah lagi sampai sekarang,” kata Slavia jujur. “Seharusnya kamu berpikir, gimana ceritanya aku tinggal berjauhan sama Mas Rio, tapi masih bisa hamil anaknya?” Shara menatap Slavia dengan penuh dendam. “Aku nggak percaya ini ....” “Tanya saja sama Mas
Sebuah mobil asing ternyata sudah menunggu ketika Ardan tiba di rumah Slavia. “Itu mobilnya Pak Rio, Dan!” “Mau aku antar sampai rumah?” “Nggak usah, aku akan hadapi Pak Rio sendiri.” “Apa kamu yakin, Vi? Kalau dia menyakiti kamu gimana?” “Aku sudah mempekerjakan asisten rumah tangga, Dan. Setidaknya aku nggak benar-benar sendirian di rumah,” jawab Slavia. “Kamu pulang saja, kamu juga harus istirahat karena ada air in kamu sama Raras sibuk banget bantu aku.” Mau tak mau Ardan mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kamu harus cepat hubungi aku atau Raras.” “Pasti, aku turun ya?” Dengan berat hati, kartun terpaksa mengganggu dan membiarkan Slavia turun dari mobilnya. “Lama sekali, sengaja?” sambut Rio datar ketika akhirnya Slavia muncul di hadapannya. “Aku kan harus jaga-jaga, takutnya kamu coba-coba menyerangku karena aku sudah melaporkan istri kamu ke polisi.” “Bisa kita bicara baik-baik?” “Oke, masuk saja ke rumahku.” Tanpa menunggu jawaban Rio, Slavia segera meninggal pergi mem
“Kenapa, Bik?” “Ada polisi di depan, Pak ....” “Polisi? Mereka cari siapa?” Rio terbelalak kaget. “Cari ibu, Pak ... Saya nggak berani bilang Bu Shara, makanya saya langsung bilang Bapak saja.” Rio mengusap wajahnya dengan kalut. Ada masalah apa lagi ini? “Selamat malam, Pak!” “Selamat malam, ada perlu apa ya Pak?” tanya Rio sopan. “Kami datang ke sini sambil membawa perintah surat penangkapan untuk Bu Shara,” jawab salah seorang petugas yang datang. “Memangnya istri saya kenapa, Pak?” “Istri Bapak ditangkap atas laporan pengayaan terhadap Bu Slavia.” Rio terperanjat kaget, terlebih ketika petugas polisi menyebut nama mantan istri keduanya. “Mas, ini kita mau ke mana?” tanya Shara ketika Rio menjemputnya di kamar. “Ada yang mau bertemu sama kamu ....” “Siapa?” Rio tidak menjawab. Bukannya dia seorang suami yang tega, justru dia sangat ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya. “Polisi? Kok mereka ada di sini sih, Mas?” Shara langsung menghentikan langkahnya s
Shara manggut-manggut, dia sangat yakin jika Slavia tidak akan seberani itu untuk melapor. Atau dia akan membuat namanya kembali viral, dan berimbas ke bisnis online yang digelutinya. “Gimana keadaan kamu, Vi?” “Ya beginilah, Ras ... Luna gimana?” “Ardan yang jemput Luna, kamu tenang saja.” Slavia menarik napas panjang. “Kamu harus dirawat ingat di sini ya?” tanya Raras. “Sebenarnya aku mau pulang, tapi tapi kepalaku pusing banget dan sama dokter diminta untuk observasi di klinik dulu sementara ....” “Atau kamu pindah ke rumah sakit saja?” “Nggak usah lah Ras, aku kan dianiaya bukan sakit kronis.” Raras menghela napas. “Tapi menurutku perbuatan mereka itu sudah sangat keterlaluan, mereka nggak Cuma mempermalukan kamu, Vi. Mereka juga menganiaya kamu, entah apa yang akan terjadi seandainya aku sama Ardan nggak datang ....” “Oh ya, kalian berdua kok bisa tahu posisiku sama apa yang aku alami?” tanya Slavia penuh rasa syukur. “Bukannya kamu yang nelepon pakai aplikas
Jantung Slavia berpacu dengan cepat ketika para wanita itu merundungnya baik verbal maupun fisik, dari mulai menjambak rambut, menampar wajah, dan menarik telinganya beramai-ramai. “Hentikan ini, aku nggak sepenuhnya salah!” teriak Slavia sambil menutupi wajahnya. “Banyak omong, aku viralkan kamu ya!” “Dasar pelakor hina!” Slavia berusaha melawan, tapi tentu saja dia kalah jumlah. Orang-orang mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, bahkan ada yang berusaha untuk menghentikan penganiayaan itu. “Stop, Ibu-Ibu! Ini ada apa?” “Tolong jangan main hakim sendiri!” “Anda ini kan sesama perempuan, kenapa menyakiti perempuan?” Teman-teman Shara menghentikan sejenak aksi bar-bar mereka. “Dia ini pelakor!” “Betul, dia adalah orang ketiga dalam rumah tangga teman kami!” “Haahh? Jadi dia itu pelakor?” Slavia menurunkan tangannya dan berteriak. “Bohong, itu semua fitnah!” “Wah, berani juga pelakor ini!” “Iya nih, dasar nggak punya malu!” “Aku memang bukan pelakor, istri perta
Mana bisa begitu,” tolak Shara. “Nico itu anak Mas Rio, dan aku adalah istrinya.” “Aku nggak peduli, aku ini ibu kandung Nico.” “Nggak bisa, Vi. Sesuai perjanjian, Nico harus kamu serahkan kepada Shara dan Rio untuk dirawat.” Rini menengahi. “Ibu lupa kalau perjanjian itu sudah enggak berlaku lagi?” tanya Slavia mengingatkan. “Mas Rio dan ibunya sendiri yang datang untuk bujuk aku supaya melanjutkan pernikahan itu, sedangkan uang ganti rugi yang sudah Kak Shara bayarkan juga diganti sama Mas Rio.” “Jadi kamu mau uang?” sentak Shara. “Tolong deh, bisa nggak jangan pakai teriak-teriak?” Slavia mengingatkan. “Di sini itu tempat umum, bukan tempat buat marah-marah ....” Rini mengusap tangan Shara. “Tenang.” Slavia menarik napas. “Sejak awal aku sudah bilang sama mas Rio Kalau aku cuma mau mengurus masalah hak asuh Nico, aku nggak peduli lagi sama kalian berdua. Asal aku nggak diusik, aku juga nggak akan mengusik kamu ataupun Mas Rio.” “Kamu nggak usah bohong, Vi. Buktinya kamu int
Aku mungkin menyesalkan ide kamu, tapi ... aku tidak menyesali kehadiran Nico sedikit pun.” “Kamu bikin aku sakit hati, Mas. Kamu tega ....” “Kamu sendiri tega memaksaku menduakan pernikahan kita, sampai kamu mencoba bunuh diri dan membuatku tersudut bersama Via. Ingat?” Shara mati kutu. Semua yang Rio ucapkan terasa seperti beberapa anak panah yang meluncur bersamaan dan menancap tepat di ulu hatinya. “Justru itu aku minta kamu untuk memperbaiki pernikahan kita, Mas. Aku nggak mau ada Via lagi di tengah-tengah kita, cukup Nico saja yang akan jadi pelengkap kebahagiaan ... Belum lagi anak kita nanti seandainya aku diberi kepercayaan untuk hamil anak kamu.” Rio memijat keningnya, rasa pusing kini seringkali mampir sejak dia bertemu kembali dengan Slavia dan juga bocah perempuan itu. “Mas, apa ucapan aku ada yang salah? Kok kamu diam saja?” tanya Shara khawatir. “Aku terlalu pusing dengan semua ini ....” “Oke, kita sebaiknya jangan membicarakan soal Via atau perjanjian masa lalu
“Istri satu-satunya ya, sungguh membanggakan. Akan jauh lebih membanggakan lagi kalau kamu bisa kasih keturunan sama suami kamu,” sindir Slavia tepat sasaran. “Kamu ....” “Atau jangan-jangan kamu juga sudah berhasil punya anak? Kalau begitu, kembalikan Nico sama aku. Bukankah kamu bisa merawat anak kandung kamu sendiri?” tanya Slavia pura-pura. “Mulut kamu itu ya, Vi. Pengin aku robek-robek rasanya!” Slavia tersenyum kecil. “Kamu masih nggak berubah juga ya, suka emosian.” “Diam kamu, aku sudah kasih kamu peringatan. Jangan sampai aku bikin mental kamu hancur untuk yang kedua kalinya.” Mendengar ancaman itu, Slavia seketika berdiri dan membuat Shara terperanjat kaget saat melihat sorot matanya yang tajam membunuh. “Coba saja, kamu pikir aku masih sama seperti Via yang dulu?” “Apa maksud kamu?” “Pikir saja sendiri, kamu masih bisa mikir kan?” “Jangan kurang ajar kamu!” Shara ikut berdiri dan bersiap melayangkan tamparan ke wajah Slavia, tapi tangan itu tidak pernah mendarat d
“Daripada Nico tahu dari orang lain, nanti dia malah bingung. Kasihan,” ucap Rio sembari memejamkan mata. “Kita tetap harus kasih tahu dia, Ra.” “Aku mohon pertimbangkan lagi keputusan kamu, Mas. Bukankah Via punya niat jelek untuk merampas Nico dari tangan kamu?” “Aku akan membujuknya supaya tidak melakukan hal itu.” “Membujuk gimana?” Shara menyipitkan mata. “Jangan bilang kalau kamu diam-diam menemui Via di belakang aku, ya?” “Ngapain aku harus diam-diam? Aku tidak harus minta izin kamu buat bicara sama Via kan?” tukas Rio, tampak tidak senang. “Bukan begitu juga maksud aku, Mas ....” “Aku bisa lihat kalau Via dendam sekali sama kita, seolah kita sudah melakukan kesalahan besar di masa lalu.” Rio menambahkan, membuat wajah Shara memucat. “Aku tidak habis pikir sama Via, dia benar-benar sudah berubah.” Shara menelan ludah, dia merasa harus segera berbuat sesuatu. “Terus apa rencana kamu?” “Seperti yang aku bilang tadi, aku akan minta Via untuk tidak meributkan soal hak asuh