Sesekali Dyra mengalihkan pandangan dari layar televisi untuk memastikan Ghavin apakah masih serius dengan ponselnya. Ternyata pria itu benar-benar tidak pergi kemanapun. Ghavin sepertinya memang sengaja mengambil cuti. Tapi bukan itu yang Dyra pikirkan sekarang, melainkan keputusan Ghavin yang ingin bercerai dari Marissa masih sangat mengejutkan baginya. Mengingat hubungan keduanya selama ini terlihat baik-baik saja, meski belum memiliki keturunan.
Dyra malah jadi resah, menganggap sudah pasti dirinya penyebab hancurnya pernikahan Ghavin dengan Marissa yang sempat membuat iri banyak orang. Tidak hanya itu, ia juga akan tersudut lantaran keputusan itu Ghavin certuskan tidak lama setelah pernikahan mereka dilakukan. “Akan ada yang datang.” Ghavin tiba-tiba bicara untuk memberitahu Dyra, tapi sayangnya Dyra yang sedang sibuk berpikir mengabaikannya. “Ada yang mengusik pikirkanmu?” Ghavin menatap heran Dyra yang masih merenung. “Hah?” Dyra terkesiap, dan seketika berubah gugup saat tidak sengaja beradu pandang dengan netra Ghavin. “Mas mengatakan sesuatu?” “Apa yang kau pikirkan?” Ghavin mengulang pertanyaannya. Mendesak nafas kasar sekali, akhirnya Dyra memutuskan untuk bertanya. “Kenapa Mas ingin bercerai dengan Mbak Marissa? Aku tahu tidak berhak ikut campur hubungan kalian. Tapi keputusan itu Mas ambil tidak lama setelah kita menikah, dan bukankah pernikahan kita hanya untuk dua tahun saja?” Dyra mengulang ucapan Marissa kemarin, walaupun sebenarnya Ghavin sendiri tidak pernah mengatakan itu padanya. Namun, bukannya memberi penjelasan, Ghavin malah langsung berdiri dan berjalan menuju pintu utama. Dyra yang kesal dengan sikap tak acuh Ghavin malah tiba-tiba dikejutkan dengan kemunculan Bella, dan diikuti Galih serta Ghavin di belakangnya. Begitu tahu ada yang datang, Dyra segera berdiri untuk menyambut. “Bella? Silahkan duduk.” Dyra mempersilahkan ramah tamunya. “Terima kasih.” Sayangnya sikap ramah yang Dyra tunjukkan hanya dibalas senyum terpaksa wanita itu. “Mbak mau kemana?” Dyra terhenyak ketika Bella menahannya saat akan pergi ke dapur. “Aku mau ke dapur.” Dyra melirik Ghavin yang masih berbicara serius dengan Galih. Kedua pria itu duduk di sofa berbeda. “Kau butuh sesuatu?” “Biar aku saja yang menyiapkan minum Mas Galih.” Anehnya, mengetahui perhatian Bella pada suaminya, bukannya senang malah timbul rasa bersalah dalam diri Dyra. “Ayo. Kenapa bengong?” “Ah, iya.” Ghavin diam-diam memperhatikan Dyra yang berjalan lebih dulu dan diikuti Bella menuju dapur. “Laporannya sudah aku siapkan. Setelah kembali dari sini aku langsung kirim ke email Mas.” Galih menjelaskan. Terhenyak mendengar suara Galih, Ghavin langsung beralih dari Dyra yang bertepatan hilang di balik dinding penyekat dapur. “Aku juga butuh berkas yang kemarin. Minta Stella siapkan besok.” “Iya, Mas.” Di tempat berbeda, mulai terjadi ketegangan. “Aku tidak yakin tujuanmu menjadi istri kedua Mas Ghavin hanya untuk menjadikannya ayah pengganti Megan.” Dyra seketika menghentikan langkahnya, tidak menyangka Bella akan mengatakan itu ketika mereka baru memasuki dapur. “Kau benar-benar licik! Dibalik wajahmu yang lugu ternyata kau wanita yang sangat serakah.” Tidak memperdulikan tuduhan Bella, Dyra pilih segera menuang air ke dalam panci. “Aku memang tidak pernah menyukai Marissa, tapi aku lebih membencimu.” Dyra tetap meletakan panci ke atas kompor, lantas menghidupkan apinya. Menunjukkan sikap tenang, padahal faktanya Dyra sedang mengendalikan diri akibat sekelumit rasa yang timbul di dalam sana. Kesal terus diabaikan, Bella berjalan cepat, lantas menarik kasar tangan Dyra hingga mereka berdiri berhadapan. Namun, ketika akan melayangkan tamparan, ternyata Dyra cukup cekatan menahan tangannya lebih dulu. “Aku tahu kau membenciku, tapi aku juga tidak akan membiarkanmu menyakitiku!” Dyra menyentak tangan Bella kasar. “Aku tidak akan membela diri, ataupun berusaha membuat orang menyukaiku. Baik dulu maupun sekarang, aku punya alasan kuat untuk bisa ada di keluarga ini.” “Cih! Itu karena kau tahu seberapa kaya keluarga Pramana.” Dyra mendesak nafas kasar saat dituduh hanya mengincar harta keluarga suaminya. “Kau ingin mencerahkan masa depanmu, untuk itu kau dulu menggoda Ghava sampai rela hamil sebelum menikah. Murahan!” Tidak ingin berdebat lagi dan membuat para lelaki lama menunggu, Dyra pilih segera menyiapkan minuman untuk Ghavin meski dengan hati bergemuruh menahan kesal atas ucapan Bella yang menyebutnya murahan. Sebenarnya tidak hanya Bella, bahkan semua wanita di muka bumi ini akan menjudge dirinya murahan ketika menilai dari sudut pandang mereka. “Sebaiknya kau cepat buatkan minuman Galih,” ujar Dyra bergegas pergi sambil membawa nampan berisikan secangkir minuman untuk Ghavin. “Cih! Dia semakin besar kepala.” Bella mendengus marah saat menatap punggung Dyra menjauh. “Kau boleh berbangga diri sekarang, tapi lihat saja apa yang bisa aku lakukan untuk membalas sakit hatiku padamu.” ********** "Lusa mertuaku mengundang kalian makan malam memperingati ulang tahun pernikahan mereka. Kami mewakili mereka mengundang kalian secara pribadi.” Galih menjelaskan tujuan sebenarnya ia datang bersama sang istri. “Tadinya mama dan papa yang mau datang, tapi ketika Bella mengatakan ingin melihat rumah baru kalian, aku memutuskan untuk mewakili mereka.” Sambil menyimak, Dyra diam-diam memperhatikan gestur tubuh serta sikap hangat Galih pada Bella, penuh kelembutan. Tapi yang paling membuatnya terkesan, cara menatap Galih yang teduh dan dalam menunjukkan betapa dia sangat meratukan pasangannya. Setidaknya Bella beruntung mendapatkan Galih yang tidak jauh berbeda dengan Ghava. Menurut cerita yang pernah ia dengar, para pria dari keluarga besar Pramana memang memiliki sikap yang hangat dan penyayang pasangan, tak terkecuali Martin. Dulu, sempat beberapa kali bertemu Martin bersama mendiang istrinya, Dyra bisa melihat seberapa besar mertuanya itu mencintai sang ibu mertua. Bukti lainnya, ketika ia menjadi istri Ghava Pramana, bisa mendapatkan banyak cinta dari lelakinya. “Kami sangat berharap kalian bisa hadir,” lanjut Galih beralih menatap Ghavin dan terakhir Dyra. “Datang ya, Mbak.” Galih sangat berharap Dyra tidak absen. “Maaf, tapi sepertinya aku—” “---kami akan datang,” serobot Ghavin memotong kalimat Dyra setelah meneguk minumannya. “Kami berdua pasti akan datang,” terangnya seraya meletakkan cangkir kembali ke atas meja. Tadinya Dyra menganggap Ghavin akan pilih menghadiri undangan orang tua Bella bersama Marissa, tetapi ketika mengetahui Galih tersenyum sambil menganggukkan kepala pelan, ia berubah cemas. ******** “Ghavin ingin bercerai dariku.” Kalimat Marissa seketika menyentak Romi yang sedang serius memperhatikan jalan, ia bahkan sampai mengurangi kecepatan laju kendaraannya. “Kau serius?” Pria itu menoleh Marissa sebentar sebelum kembali ke depan. Kondisi jalan memang sedang ramai lancar, ia harus lebih fokus agar tidak terjadi tabrakan. “Apa dia tahu hubungan kita?” Romi bertanya cemas. “Entahlah. Tapi setelah malam itu dia tidak sekalipun pulang ke rumah, dan semalam lebih memilih mendatangi istri mudanya.” “Kau cemburu?” Di tengah kecemasan, Romi merasa perlu memastikan perasaan Marissa terhadap Ghavin. Mengingat keduanya sudah lama hidup bersama. “Apa maksudmu menanyakan itu padaku!” Marissa mendengus kesal mendengar pertanyaan Romi yang dianggap tidak penting. “Jika aku cemburu, itu artinya masih ada cinta untuk dia, dan jika cinta masih ada mana mungkin aku bermain api denganmu di belakangnya!” Puas dengan jawaban Marissa, tangan Romi terulur untuk mengusap rambut lurus wanitanya. “Kau tahu aku bisa gila tanpamu.” “Astaga! Apa mungkin dia!” Marissa mendadak tegang saat ingat sesuatu.“Dia?” Dyra sampai terkejut, tidak menyangka. Terlebih sosok itu tidak datang sendiri, melainkan bersama pria yang juga masih berstatus suaminya. “Mbak Marissa,” bisiknya. Ia lantas beralih menatap Ghavin. Ia hanya khawatir suaminya yang masih sangat membenci Marissa jadi lepas kendali.“Aku tidak seburuk itu, Sayang. Dengan menganggapnya tidak ada, itu jauh lebih baik.” Ghavin seolah paham apa yang Dyra pikirkan. Mendengar itu keluar dari mulut suaminya, Dyra kembali tersenyum, dan kali ini benar-benar ringan dari hati. Namun, tanpa Dyra maupun Ghavin ketahui, Bella langsung menghadang. “Kenapa kau datang?”“Ini bukan acaramu,” balas Marissa sinis. Gayanya masih saja angkuh, dan penuh percaya diri. “Aku hanya ingin memberi selamat pada putri mantan suamiku, apa itu salah?” Enggan menanggapi ucapan Marissa, Bella beralih pada pria yang bersamanya—Tuan Prabu. “Bawa wanita ini pergi, Tuan. Sebelum dia membuat kekacauan disini.”Tuan Prabu terkekeh pelan. Tangannya melingkar di pingga
Hari ulang tahun Megan akhirnya tiba bersama cahaya yang berbeda. Dalam dua hari dua malam, halaman belakang rumah mereka telah berubah menjadi negeri dongeng. Bukan karena permintaan Megan—si kecil yang bahkan belum pandai merangkai kata, melainkan karena mimpi lama Dyra. Mimpi sederhana seorang gadis kecil yang dulu pernah berharap menikah seperti tuan putri bersama kakak penyelamatnya. Kini, takdir seakan mendukung hari bahagia Megan bertepatan dengan satu tahun usia pernikahan Dyra bersama Ghavin. Semesta sengaja memberi hadiah paling indah.Ghavin tidak ragu. Setelah semua luka yang pernah ditanggung Dyra, ia berjanji tak akan membiarkan istrinya hanya mengenang perih. Hari ini adalah pengingat, bahwa kebahagiaan akhirnya berpihak pada mereka. Bahwa cinta yang berliku tetap tahu jalannya untuk pulang ke pemilik yang sejati.“Sayang…” suara Ghavin memecah keheningan kamar, lembut namun penuh arti. Duduk di tepi ranjang dengan tuksedo putih yang terpasang rapi, ia menatap istrinya
Selesai bicara, Ghavin hanya menatap datar Romi yang berdiri dengan nafas berat, wajahnya tegang. Tapi ada yang berbeda dari pria itu, sorot matanya yang dulu penuh ambisi kini redup, seperti menyimpan luka yang belum kering sepenuhnya. “Cukup sampai di sini omong kosong itu!” Suara Romi pelan tapi penuh ketegasan. “Setelah semua yang terjadi, kau datang dan bicara soal pernikahan seperti sedang menawarkan solusi untuk masalah keuangan.” Ghavin melihat itu, sebelum berpaling setetes bulir bening meluncur. Ia hanya terus menatap Romi dengan tetap duduk tenang, tidak terpancing emosi. “Bukan penawaran. Bukan perintah juga. Ini permintaan.” “Permintaan dari siapa? Dari dirimu yang dulu hampir membunuhku? Dari kakak yang sudah kehilangan adiknya karena rencana bodohku? Atau dari suami Dyra yang terlalu takut Fira akan berpaling padaku?” Nafas Ghavin tertahan sejenak. Suara Romi semakin meninggi, tetapi jelas ada getar samar di dalamnya. Bukan marah sepenuhnya, lebih seperti seseor
Hari-hari sudah berganti meski masih di tahun yang sama. Tapi tidak ada yang berbeda dari Romi setelah dibebaskan bersyarat. Tentunya setelah Galih memilih jalur damai, dan Ghavin masih memberinya satu kesempatan lagi. Kali ini bukan sebagai mantan teman, melainkan seorang ayah yang ingin berubah demi anaknya. Semua itu Ghavin lakukan lantaran ia sadar, sedekat apapun ia memiliki hubungan baik dengan Arjuna, tetaplah Romi yang dibutuhkan. Meski sudah lebih dua bulan bebas, Romi masih betah mengurung diri di dalam apartemen. Menikmati hari-harinya hanya bersama sang putra. Beruntungnya Fira selalu menyempatkan diri datang setiap pagi untuk memastikan kondisi Arjuna. Romi sekarang hanya ingin menikmati perannya—menjadi ayah yang baik untuk putranya. Ia bahkan tidak ragu menyiapkan semua kebutuhan Arjuna mulai dari membuatkan makanan, memandikan dan membersihkan setelah Arjuna buang hajat. Semua dijalani dengan telaten, dan tentunya penuh kesabaran. Siapa sangka sosok yang dulu pe
Kenapa bocah itu memanggilku papa?” kata Romi dengan gigi bergemeratak saat beringsut duduk dengan susah payah. Ia tidak mau di lain waktu terjadi masalah, hanya karena bocah itu memanggilnya dengan sebutan ‘papa’. Namun, alih-alih segera menjelaskan, Fira malah fokus melihat cara duduk Romi yang sudah payah. Seandainya Romi bisa mendengarkan dirinya, mungkin hal tersebut tidak akan terjadi. “Arjuna memang putramu.” Duar! Punggung Romi yang baru bersandar ke dinding tersentak seketika. Matanya mendelik tajam—menatap tidak percaya Fira. Walaupun ia bajingan, gemar bermain wanita. Tapi demi apapun ia yakin tidak pernah melakukannya dengan Fira, wanita berkelas yang bahkan menatapnya saja seringkali merasa tidak percaya diri. “Mustahil! Kita bahkan tidak pernah melakukannya.” Kalimat itu meluncur begitu saja ditengah ketidakpercayaan. Tapi sialnya, begitu melihat perubahan wajah Fira, muncul kecemasan di hati. Romi khawatir akan kecurigaan yang tiba-tiba menggerayangi benak
“Rantai dia! Pastikan malam ini dia tidak mendapat jatah makan!” Seorang pria berseragam sipil memberi perintah saat akan meninggalkan ruangan sel. Dua pria lain bergegas menuruti perintahnya, bahkan tidak peduli sekalipun Romi sudah setengah sadar. Perintah atasan tetap harus dilaksanakan. “Setidaknya dia ingin menjaga tubuhnya tetap sehat.” Sepenggal kata itu terus terngiang di benak Romi. Tubuhnya tertelungkup di lantai dingin tanpa alas, wajahnya sudah babak belur. Darah mengalir dari sudut bibir. Ia hanya bisa pasrah ketika dua penjaga mengikat tangannya dengan rantai. Matanya terbuka sayu, sebenarnya ia masih cukup bertenaga sekedar melempar kedua pria itu menghantam dinding jeruji, tapi tidak dengan hatinya. Rasanya sangat sakit, senyum itu, sudah sangat lama ia lihat, tapi masih tergambar jelas di ingatan. “Apa perlu kita dudukan dia?” Sepertinya tidak perlu. Biarkan saja.” Romi hanya menatap tajam mereka yang menjulang di depannya—tanpa pergerakan, tapi benaknya