Share

4. Mendadak berubah

Penulis: Damaya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-01 17:25:33

Pagi itu ketiga kalinya Dyra mengajak Megan jalan-jalan pagi. Selain ingin mendapatkan udara segar, mereka juga masih perlu mengenal lingkungan baru. Tinggal di perumahan elit, Dyra bersyukur memilih tetangga yang ramah. Lingkungan sehat yang membuatnya nyaman, dan tentunya tidak ada yang tahu dirinya istri kedua Ghavin Pramana.

Begitu memasuki pagar rumahnya, Dyra melihat Martin masih ada di dekat kolam ikan. Padahal matahari mulai terik untuk pria itu tetap ada di sana. Dyra segera mendorong stroller Megan mendekati sang mertua. “Papa, sudah waktunya sarapan?”

Martin yang terhenyak segera menoleh "Papa sengaja menunggu kalian," kilahnya tidak ingin Dyra tahu dirinya sedang merenung.

"Kalau begitu kita masuk sekarang." Dyra lantas membuka kunci rem pada roda di kursi roda Martin, dan setelahnya pria itu menarik tuas di atas roda kanan untuk jalan sendiri memasuki rumah.

Melihat Martin bisa dengan mudah menggerakkan kursi rodanya, Dyra menyusul bersama stroller bayinya.

“Apa dia belum bangun? Sesampainya di ruang tengah dan mengetahui meja makan masih kosong, Martin menoleh Dyra yang ada di belakangnya untuk bertanya. “Dia pergi lagi?”

“Papa tahu Mas Ghavin pulang?" Dyra balik bertanya cemas, mengingat Ghavin pulang dengan kondisi yang tidak biasa.

"Papa sempat mendengar suara mobilnya semalam. Tapi terlalu malas untuk keluar.” Martin berbohong.

Padahal faktanya lewat celah pintu yang sengaja dibuka, ia melihat Ghavin berjalan menuju kamar. Tadinya Martin ingin menyambut kedatangan putranya, tetapi saat tahu Ghavin pulang dengan kondisi marah, ia memilih menahan keinginannya.

"Biar aku pastikan dulu, dia juga bisa terlambat ke kantor kalau memang belum bangun." Setidaknya Dyra lega, menganggap Martin tidak melihat bagaimana kacaunya Ghavin semalam.

“Pergilah, biarkan Megan bersama papa." Dyra lantas menggeser stroller putrinya ke depan Martin sebelum pergi ke kamar.

Rumah yang mereka tinggali sekarang memang hanya satu lantai, tetapi dengan ukuran yang luas dan tentunya tak kalah mewah dari rumah sebelumnya. Sedangkan kamar Martin berdekatan dengan garasi, sehingga tidak heran jika pria paruh baya itu bisa mendengar suara deru mesin mobil putranya semalam.

************

“Mas tidak pergi ke kantor hari ini?” Setelah memperhatikan cukup lama wajah tenang suaminya yang masih terlelap, dan ingat obrolan mereka semalam di ruang kerja Ghavin, akhirnya Dyra bisa bersikap sedikit lunak. Ia juga membiarkan Ghavin tidur di ranjangnya. "Mas.. ."

Namun, sudah berulang kali memanggil tak juga ada jawaban. Ghavin masih tertelungkup disertai dengkuran halus. Pria itu terlihat kelelahan, Dyra jadi berpikir akan membiarkan Ghavin tetap tidur dan bangun atas keinginannya sendiri.

Tetapi setelah dipikir lagi, ia tidak ingin membuat sang mertua kecewa. Detik berikutnya ia memutuskan mencoba kembali. Kali ini dengan menggoyang bahu Ghavin. “Mas.. bangun, sudah siang—aw!”

Tanpa diduga, Ghavin malah langsung menarik tangan Dyra hingga tubuhnya jatuh ke atas dada pria itu yang sudah berubah terlentang. Sialnya lagi, tangan Ghavin dengan cepat sudah membelit pinggang Dyra yang masih sangat terkejut.

“Diamlah. Aku masih ingin tidur di hari liburku.”

Tidak tahu Ghavin sadar atau tidak siapa yang sedang didekap, tapi yang pasti Dyra dibuat mematung seketika. Tindakan spontan Ghavin telah mengingatkan Dyra pada malam dimana takdir mengujinya.

"Aku akan segera keluar." Sadar Dyra tidak bergerak di atas, Ghavin yang sudah membuka mata lantas menjatuhkan tangan ke samping.

Namun, melihat Dyra tetap bergeming, timbul rasa bersalah di hati Ghavin. "Maafkan aku, Dyra."

Tidak tahu permintaan maaf itu untuk kesalahan yang mana, tapi Dyra merasa harus segera menghindar. Ia lantas pergi keluar tanpa berniat menerima permintaan maaf Ghavin.

"Kau pasti sangat membenciku," ujar Ghavin pelan menatap kepergian Dyra.

********

"Proyek mana yang sekarang menyita waktumu, Vin?" pertanyaan sarkas Martin menarik perhatian Ghavin yang baru saja duduk di kursinya.

Sebenarnya Martin hanya ingin tahu kemana putranya sejak dua minggu terakhir. Sebab, ia ragu Ghavin pilih pulang ke rumah Marissa.

"Proyek di Singapura sedikit berkendala. Maaf, aku baru bisa mengunjungi kalian lagi setelah pindah." Ghavin bicara jujur, meski sebenarnya keberadaannya di negeri singa tersebut hanya dua hari, sisanya ia memilih menginap di hotel, dan tetap bekerja seperti biasa. Walaupun memang jarang ada di kantor.

Mengetahui Dyra masih banyak diam sejak menyiapkan makanan untuknya, Ghavin pilih menikmati sarapannya dengan tenang.

"Papa hanya tidak mau kamu terlalu sibuk. Sekarang ada Dyra yang bisa memperhatikanmu."

Sayangnya, kalimat Martin tidak bisa Dyra dengar, karena bertepatan dengan itu ia telah meninggalkan kursinya untuk menenangkan Megan yang menangis mau susu.

"Iya, Pa." Hanya jawaban singkat yang Ghavin berikan. Ternyata ia lebih fokus memperhatikan Dyra yang lebih mementingkan kebutuhan Megan dibanding kebutuhan tubuhnya sendiri.

"Wah! Wah! Benar-benar keluarga bahagia!" Bukan hanya suara, tapi juga kemunculan Marissa yang tiba-tiba dan mampu memecah ketenangan di meja makan membuat Dyra yang baru saja bisa menikmati makanannya lagi setelah membantu Megan menghabiskan setengah botol susu, jadi khawatir suara lantang Marissa akan mengejutkan putrinya.

"Ikutlah duduk dan makan jika kau mau, Risa." Martin menawarkan.

Tapi ternyata malah dibalas senyum sinis—Marissa tidak mau bergabung. “Aku tunggu kau di sofa." Mengabaikan tawaran basa-basi Martin, Marissa memberitahu Ghavin.

Ghavin mendesak nafas kesal melihat sikap Marissa yang tidak pernah bisa menjaga etika pada sang ayah. Ia yang memang sudah selesai segera menghabiskan air di gelasnya, lantas meninggalkan meja makan setelah mengusap mulut menggunakan tisu.

"Kenapa tidak pulang?"

Marissa langsung melempar nada sinis begitu tahu Ghavin pilih duduk dengan jarak cukup jauh darinya.

"Ini juga rumahku." Dengan suara pelan Ghavin mengingatkan jika saja Marissa lupa.

"Tapi seharusnya kau pulang ke rumah kita setelah dua minggu menghilang tanpa kabar!" Marissa mengkritik sikap Ghavin yang tidak biasa, sama sekali tidak memberi kabar dirinya. Padahal sebelumnya Ghavin setiap menit pasti menelpon untuk menanyakan keberadaannya. “Kau tidak berniat melanggar kesepakatan kita, bukan?” Mata Marissa memicing curiga.

Marissa tahu Ghavin tiba semalam di rumah baru itu dari petugas keamanan yang ia bayar untuk memata-matai Ghavin beserta istri barunya. Untuk itu pagi-pagi sekali ia segera menyusul, tidak peduli meski harus berkendaraan seorang diri dari kediamannya.

"Aku tidak bisa lagi pulang ke rumah yang sudah aku alihkan atas namamu---"

"----kenapa?” Marissa menyerobot cepat. “Ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba berubah? Apa karena wanita kampung itu?” Marissa yakin Dyra sengaja mencuri dengar pembicaraan mereka dengan tidak segera meninggalkan meja makan.

“Marissa, mari kita bercerai.” Kalimat tiba-tiba Ghavin tidak hanya mengejutkan Marissa, tapi juga Dyra yang sedang membereskan piring bekas mereka makan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   Tamat

    “Dia?” Dyra sampai terkejut, tidak menyangka. Terlebih sosok itu tidak datang sendiri, melainkan bersama pria yang juga masih berstatus suaminya. “Mbak Marissa,” bisiknya. Ia lantas beralih menatap Ghavin. Ia hanya khawatir suaminya yang masih sangat membenci Marissa jadi lepas kendali.“Aku tidak seburuk itu, Sayang. Dengan menganggapnya tidak ada, itu jauh lebih baik.” Ghavin seolah paham apa yang Dyra pikirkan. Mendengar itu keluar dari mulut suaminya, Dyra kembali tersenyum, dan kali ini benar-benar ringan dari hati. Namun, tanpa Dyra maupun Ghavin ketahui, Bella langsung menghadang. “Kenapa kau datang?”“Ini bukan acaramu,” balas Marissa sinis. Gayanya masih saja angkuh, dan penuh percaya diri. “Aku hanya ingin memberi selamat pada putri mantan suamiku, apa itu salah?” Enggan menanggapi ucapan Marissa, Bella beralih pada pria yang bersamanya—Tuan Prabu. “Bawa wanita ini pergi, Tuan. Sebelum dia membuat kekacauan disini.”Tuan Prabu terkekeh pelan. Tangannya melingkar di pingga

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   105

    Hari ulang tahun Megan akhirnya tiba bersama cahaya yang berbeda. Dalam dua hari dua malam, halaman belakang rumah mereka telah berubah menjadi negeri dongeng. Bukan karena permintaan Megan—si kecil yang bahkan belum pandai merangkai kata, melainkan karena mimpi lama Dyra. Mimpi sederhana seorang gadis kecil yang dulu pernah berharap menikah seperti tuan putri bersama kakak penyelamatnya. Kini, takdir seakan mendukung hari bahagia Megan bertepatan dengan satu tahun usia pernikahan Dyra bersama Ghavin. Semesta sengaja memberi hadiah paling indah.Ghavin tidak ragu. Setelah semua luka yang pernah ditanggung Dyra, ia berjanji tak akan membiarkan istrinya hanya mengenang perih. Hari ini adalah pengingat, bahwa kebahagiaan akhirnya berpihak pada mereka. Bahwa cinta yang berliku tetap tahu jalannya untuk pulang ke pemilik yang sejati.“Sayang…” suara Ghavin memecah keheningan kamar, lembut namun penuh arti. Duduk di tepi ranjang dengan tuksedo putih yang terpasang rapi, ia menatap istrinya

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   104

    Selesai bicara, Ghavin hanya menatap datar Romi yang berdiri dengan nafas berat, wajahnya tegang. Tapi ada yang berbeda dari pria itu, sorot matanya yang dulu penuh ambisi kini redup, seperti menyimpan luka yang belum kering sepenuhnya. “Cukup sampai di sini omong kosong itu!” Suara Romi pelan tapi penuh ketegasan. “Setelah semua yang terjadi, kau datang dan bicara soal pernikahan seperti sedang menawarkan solusi untuk masalah keuangan.” Ghavin melihat itu, sebelum berpaling setetes bulir bening meluncur. Ia hanya terus menatap Romi dengan tetap duduk tenang, tidak terpancing emosi. “Bukan penawaran. Bukan perintah juga. Ini permintaan.” “Permintaan dari siapa? Dari dirimu yang dulu hampir membunuhku? Dari kakak yang sudah kehilangan adiknya karena rencana bodohku? Atau dari suami Dyra yang terlalu takut Fira akan berpaling padaku?” Nafas Ghavin tertahan sejenak. Suara Romi semakin meninggi, tetapi jelas ada getar samar di dalamnya. Bukan marah sepenuhnya, lebih seperti seseor

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   103.

    Hari-hari sudah berganti meski masih di tahun yang sama. Tapi tidak ada yang berbeda dari Romi setelah dibebaskan bersyarat. Tentunya setelah Galih memilih jalur damai, dan Ghavin masih memberinya satu kesempatan lagi. Kali ini bukan sebagai mantan teman, melainkan seorang ayah yang ingin berubah demi anaknya. Semua itu Ghavin lakukan lantaran ia sadar, sedekat apapun ia memiliki hubungan baik dengan Arjuna, tetaplah Romi yang dibutuhkan. Meski sudah lebih dua bulan bebas, Romi masih betah mengurung diri di dalam apartemen. Menikmati hari-harinya hanya bersama sang putra. Beruntungnya Fira selalu menyempatkan diri datang setiap pagi untuk memastikan kondisi Arjuna. Romi sekarang hanya ingin menikmati perannya—menjadi ayah yang baik untuk putranya. Ia bahkan tidak ragu menyiapkan semua kebutuhan Arjuna mulai dari membuatkan makanan, memandikan dan membersihkan setelah Arjuna buang hajat. Semua dijalani dengan telaten, dan tentunya penuh kesabaran. Siapa sangka sosok yang dulu pe

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   102

    Kenapa bocah itu memanggilku papa?” kata Romi dengan gigi bergemeratak saat beringsut duduk dengan susah payah. Ia tidak mau di lain waktu terjadi masalah, hanya karena bocah itu memanggilnya dengan sebutan ‘papa’. Namun, alih-alih segera menjelaskan, Fira malah fokus melihat cara duduk Romi yang sudah payah. Seandainya Romi bisa mendengarkan dirinya, mungkin hal tersebut tidak akan terjadi. “Arjuna memang putramu.” Duar! Punggung Romi yang baru bersandar ke dinding tersentak seketika. Matanya mendelik tajam—menatap tidak percaya Fira. Walaupun ia bajingan, gemar bermain wanita. Tapi demi apapun ia yakin tidak pernah melakukannya dengan Fira, wanita berkelas yang bahkan menatapnya saja seringkali merasa tidak percaya diri. “Mustahil! Kita bahkan tidak pernah melakukannya.” Kalimat itu meluncur begitu saja ditengah ketidakpercayaan. Tapi sialnya, begitu melihat perubahan wajah Fira, muncul kecemasan di hati. Romi khawatir akan kecurigaan yang tiba-tiba menggerayangi benak

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   101

    “Rantai dia! Pastikan malam ini dia tidak mendapat jatah makan!” Seorang pria berseragam sipil memberi perintah saat akan meninggalkan ruangan sel. Dua pria lain bergegas menuruti perintahnya, bahkan tidak peduli sekalipun Romi sudah setengah sadar. Perintah atasan tetap harus dilaksanakan. “Setidaknya dia ingin menjaga tubuhnya tetap sehat.” Sepenggal kata itu terus terngiang di benak Romi. Tubuhnya tertelungkup di lantai dingin tanpa alas, wajahnya sudah babak belur. Darah mengalir dari sudut bibir. Ia hanya bisa pasrah ketika dua penjaga mengikat tangannya dengan rantai. Matanya terbuka sayu, sebenarnya ia masih cukup bertenaga sekedar melempar kedua pria itu menghantam dinding jeruji, tapi tidak dengan hatinya. Rasanya sangat sakit, senyum itu, sudah sangat lama ia lihat, tapi masih tergambar jelas di ingatan. “Apa perlu kita dudukan dia?” Sepertinya tidak perlu. Biarkan saja.” Romi hanya menatap tajam mereka yang menjulang di depannya—tanpa pergerakan, tapi benaknya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status