Dyra menerima pernikahannya dengan Ghavin, kembaran sang suami, karena permintaan sang mertua. Terlebih, Ghavin tampaknya ingin menjadi ayah pengganti untuk Megan—putrinya. Lantas, bagaimana kisah keduanya? Terlebih saat Dyra tahu Ghavin memutuskan menjadikan Dyra istri kedua bukan hanya karena alasan mulia itu.....
Lihat lebih banyakKedua tangan Dyra yang tertaut di atas pangkuan basah oleh keringat. Jantungnya berdetak kencang menunggu persetujuan yang tak kunjung ayah mertuanya berikan. Terlebih kehadiran Ghavin membuatnya semakin tidak nyaman sekaligus cemas, Martin bakal melarangnya pergi.
“Kamu yakin dengan keputusanmu, Nak?” Martin merasa perlu memastikan, walaupun sudah jelas terlihat keseriusan di wajah Dyra. Akhirnya setelah cukup lama bungkam, suara pelan Martin dianggap seperti angin segar. Dyra lantas mengangguk yakin. Keinginannya hanya pergi dari rumah mewah Pramana agar bisa memulai hidup baru. “Iya, Pa. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku hanya ingin menata hati dan melanjutkan hidup di kampung bersama Megan.” Dyra menjelaskan. Namun, baru saja menutup mulut, suara Ghavin menyentak Dyra yang seketika beralih pandang. “Kau tidak boleh membawa Megan. Jika ingin pergi, pergi saja sendiri!” Terkejut dengan larangan Ghavin, Dyra menyela tidak terima. “Apa maksud Mas mengatakan itu?” Untuk pertama kalinya ia kembali bicara pada pria yang pernah sangat dihindari. Seolah mengabaikan sakit hatinya dulu, Dyra menatap berani Ghavin yang dianggap berlebihan. “Megan putriku, aku yang jauh lebih berhak dari siapapun juga. Termasuk Mas!” tegasnya mengingatkan. “Sejak kepergian Ghava, Megan menjadi tanggung jawabku,” balas Ghavin tak kalah tegas. Apapun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan Dyra membawa Megan keluar dari rumah orang tuanya. Sebagai wanita yang pernah melahirkan Megan, Dyra menganggap Ghavin sudah sangat keterlaluan. “Mas sadar dengan apa yang baru saja Mas katakan?” Selain menahan kesal, Dyra juga harus menguatkan hati ketika beradu pandang dengan netra Ghavin. Ia belum bisa melupakan kesakitannya dulu, tapi karena ingin memperjuangkan putrinya, ia tidak peduli sekalipun mesti melawan Ghavin yang egois. “Aku ibunya. Aku yang telah mengandung dan berjuang melahirkannya. Sedangkan Mas hanya paman. Seharusnya Mas sadar itu.” Dyra benar-benar kesal, dan satu hal yang akan selalu tertanam di benaknya, Ghavin tetap menjadi sosok yang paling menyebalkan dalam hidupnya. “Pilihan ada padamu, memilih tetap bertahan atau pergi tanpa Megan.” Ghavin tak ubahnya hanya gumpalan-gumpalan daging membungkus tulang, tanpa hati dan perasaan. Pria egois yang sama sekali tidak memahami perjuangan seorang ibu. “Apa karena Mas belum pernah melihat nikmatnya Mbak Marissa hamil dan sakitnya melahirkan? Untuk itu bisa sangat egois seperti sekarang?” Dyra menyerang tepat di titik yang membuat Ghavin seketika terdiam. Ghavin lantas berdehem dan membenahi posisi duduknya, bukan karena tersinggung dengan ucapan Dyra, ia hanya tidak suka Dyra menyebut nama istrinya. Sempat menyesali ucapannya yang dirasa berlebihan, Dyra menatap bersalah Martin yang menundukkan kepala. Tetapi begitu ingat keegoisan Ghavin, ia menganggap justru dirinya-lah yang lebih patut dikasihani. “Kalau begitu kita menikah saja. Dengan menjadi istri keduaku, kau tidak akan pergi kemanapun, dan tetap bersama putrimu.” Pernyataan Ghavin tentu saja sangat tidak terduga. Dyra bahkan sampai tertegun tidak percaya, menganggap pria itu hanya sedang menguji kesetiaannya. “Aku serius, menikahlah denganku. Aku yang akan menjadi pengganti Ghava untuk kalian.” “Benar, Nak. Akan lebih baik jika kalian menikah.” Martin ikut bersuara. Belum usia keterkejutan Dyra atas ajakan tak terduga Ghavin, kali ini sang mertua ikut mencetuskan pendapat yang sama. Dyra jadi berpikir, tidak hanya Ghavin tapi Martin juga sama egoisnya. Lebih mengutamakan kepentingan mereka tanpa memikirkan kondisi mentalnya. “Papa.. .” Dyra hanya mampu menatap tidak percaya Martin yang duduk di kursi roda. Pria itu terlihat mendesak nafas pasrah, tapi juga menganggukkan kepala. Itu artinya tidak akan merubah apa yang sudah diucapkan. “Dengan menjadi istri kedua Ghavin, kamu tetap merasa nyaman di rumah ini. Walaupun sebenarnya baik dulu maupun sekarang, bagi papa tidak ada bedanya. Kamu tetap putri papa, Nak.” Martin tahu sejak kepergian putra keduanya, Dyra terlihat tidak senyaman dulu. Sebenarnya wajar Dyra bersikap demikian, mengingat sekarang mereka hanya tinggal berdua yang tentunya bisa saja menimbulkan fitnah. Meski sebenarnya jauh dari lubuk hati yang terdalam, ia telah menyayangi Dyra selayaknya putri kandung sendiri. Tidak ada perasaan lain yang dimiliki, kasih sayangnya tulus sebagai ayah, walaupun hanya ayah mertua. Karena itu untuk membiarkan Dyra pergi bersama cucu satu-satunya, Martin sebenarnya tidak pernah rela. “Jadi Papa ingin menjadikan aku orang ketiga dalam pernikahan kakak iparku sendiri?” Dyra yang masih sangat terkejut menatap sesak Martin dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Bahkan memikirkan saja aku tidak pernah,” lanjutnya kecewa. Bulir bening yang baru saja menyebrangi pipi, buru-buru Dyra usap dengan punggung tangan. Menikah lagi bukan hal yang mudah untuk diputuskan, bahkan berpikir saja belum pernah ia lakukan. Apalagi menjadi istri kedua Ghavin—-pria yang dulu pernah membuatnya nyaris gila. Sekalipun Ghavin lajang saja ia tidak akan mau menikah dengan pria itu, apalagi yang jelas-jelas telah beristri. Bagaimana mungkin ia akan hidup tenang saat orang lain menjudge buruk dirinya. Sedangkan tujuannya kembali ke kampung untuk mencari ketenangan batin. “Maaf, aku tidak bisa.” Setelah bisa menguasai diri, Dyra menolak tegas. Akan lebih baik menjanda daripada menjadi orang ketiga dalam pernikahan orang lain. Keputusan logis yang pasti siapapun akan memilihnya. “Baik. Jika itu keputusanmu. Tapi aku pastikan Megan akan bersamaku.” Mendengar penegasan Ghavin, darah Dyra seakan mendidik panas. Pria itu benar-benar keterlaluan. “Kenapa tidak meminta istrimu segera hamil, dengan begitu kalian punya penerus Pramana tanpa mempersulit hidupku!” Jika Ghavin bisa sangat egois, kalimat Dyra tak ubahnya pedang tajam. Menganggap permasalahan sebenarnya hanya karena khawatir kehilangan penerus. Maka sebagai ibu, Dyra akan memperjuangkan apa yang menjadi haknya. “Aku memang miskin, tapi bagaimanapun caraku nanti, aku akan berusaha keras memberikan Megan kehidupan yang layak.” Dyra beralih menatap mata sendu Martin. “Sampai kapanpun Megan tetap cucu papa, aku tidak bisa merubah itu.” Namun, ketika melihat kecemasan di wajah tua Martin, ternyata Dyra tetap tidak tega, dan sekuat hati berusaha tegar. “Hanya saja sekarang, biarkan aku pergi. Aku tidak bisa terus ada disini. Rumah ini terlalu banyak menyimpan kenangan Mas Ghava.” Naasnya, bulir bening kembali terjun bebas. Nyatanya setiap kali mengingat kepergian suaminya yang mendadak, hati Dyra masih berdenyut nyeri. “Aku mohon Papa bisa mengerti kondisiku.” Sambil terisak Dyra berharap Martin bisa lebih bijak. Melihat kesedihan Dyra, mustahil hati Martin tidak terenyuh. Mata tuanya juga ikut meneteskan bulir bening. Sayangnya, ia tak kalah berkeras hati dari sang putra, merasa keputusan itu sudah paling tepat daripada membiarkan Dyra pergi. “Menikah dengan Ghavin atau pilih pergi tanpa Megan!”Di basement, mereka sempat bertemu Ghava yang ternyata akan pergi bersama Bella. Ghava hanya melambaikan tangan sebelum memasuki mobilnya, sedangkan Bella melempar senyum kecil pada Ghavin. “Kita tidak menggunakan supir, Pak?” Dyra sedikit terkejut saat tahu Ghavin membuka pintu samping kemudi. “Tidak. Kita akan pulang terlambat.” Dyra akhirnya hanya mengangguk patuh. Tidak merasa curiga sedikitpun dengan pertemuan yang sudah Romi rencanakan. Tapi hatinya tetap merasakan ketidaknyamanan, hanya saja ia berusaha mengabaikan itu. Kurang lebih satu jam melajukan banteng besinya di jalan raya yang ramai lancar, mereka telah tiba di restoran hotel xxx. Benar saja, Romi sudah menunggu di sana, dan langsung berdiri menyambut begitu melihat kedatangan Ghavin bersama Dyra. “Duduklah dulu. Mungkin dia sedang dalam perjalanan.” Dyra merasa janggal dengan kata ‘mungkin’ yang Romi ucapan. Tapi mengingat pria itu memiliki hubungan baik dengan atasannya, ia pilih tidak berkomentar, dan segera ik
Ghavin membuka pintu kamarnya perlahan, tetapi begitu mendapati ranjang kosong ia berubah panik, dan buru-buru mencari Dyra ke kamar mandi.“Ada apa?” Dyra terkejut bercampur heran, Ghavin tiba-tiba menerobos pintu toilet. Bahkan tidak langsung pergi saat tahu ia sedang duduk di atas kloset. “Maaf. Teruskan saja.” Ghavin langsung menutup pintu.Dyra yang memang sudah selesai dengan urusannya segera menyusul keluar, ternyata Ghavin menunggu dengan duduk di tepi ranjang.“Apa kau sudah merasa lebih baik?” “Aku hanya butuh istirahat.”“Hmm. Tidurlah.” Ghavin akan bangkit, tapi Dyra menahannya.“Kalian gagal menangkapnya?” Tidak menemukan kepuasan di wajah Ghavin seperti telah berhasil melakukan sesuatu yang paling diinginkan, Dyra menebak cemas.“Romi sudah diamankan. Kita berharap saja dia tidak berniat melarikan diri sebelum Surya kembali.” Mendengar itu Dyra menghela nafas lega, tapi detik berikutnya berubah tegang.“Bagaimana dengan Bella dan putranya?” Ghavin bangkit, lalu maju s
“Jangan bergerak! Anda kami tangkap!” Tiga pria berseragam sipil sigap masuk dan langsung menyergap Romi. “Kalian pikir bisa menghentikanku dengan cara seperti ini?” Romi tersenyum tipis saat tangannya dibelenggu ke belakang. “Setidaknya aku masih punya nurani dengan membiarkanmu tetap hidup.” Roni terhenyak dengan suara itu. Ghavin muncul. “Aku sempat ingin melakukannya dengan tanganku sendiri, tapi perselingkuhanmu dengan Marissa membuatku tahu segalanya tentang dia. Aku berterima kasih untuk itu.” “Cih! Setelah mendapatkan Jalang itu kau bisa mengatakan ini padaku,” cibir Romi sinis tapi tiba-tiba meringai licik. “Seharusnya kau tahu, dia lebih licik dari Marissa. Bagaimana dia telah merebut Ghava dari Bella, dan merebutmu dari Marissa!” Tidak ada yang ikut bicara, karena tahu permasalah itu hanya Ghavin dan Romi. “Tidak ada yang istriku rebut. Bahkan sekalipun aku dari Bella.” Ghavin sempat melirik Bella singkat sebelum akhirnya lanjut bicara. “Selama ini aku menyayangi Be
Bella duduk di tepi ranjang, memandangi putranya yang tertidur lelap di box bayi. Wajahnya masih sedikit pucat, tapi kondisinya sudah jauh lebih baik. Ketukan pelan terdengar, ia pun menoleh. "Masuk," ucapnya lembut.Pintu terbuka, dan sosok yang tidak ia duga muncul dengan seikat bunga lily putih di tangan."Hai, adik kecil," sapa pria itu dengan senyum hangat.Bella terbelalak. "Kakak?"Romi melangkah masuk dan menutup pintu perlahan. "Kau terlihat sehat. Syukurlah.""Bagaimana kau bisa disini? Kukira kau...""Mati?" Romi tersenyum tipis. "Kabar kematianku terlalu dilebih-lebihkan."Bella menatapnya bingung. Ada sesuatu yang berbeda dari Romi yang ia kenal. Pria di hadapannya ini tampak lebih tenang, lebih... manusiawi."Aku dengar kau sudah melahirkan," Romi meletakkan bunga di atas meja samping tempat tidur dan mendekat ke box bayi. "Dia tampan, seperti ayahnya.""Apa yang kau inginkan, Kak?" Bella memang belum mengetahui apapun. Penculikan Dyra, dan ketegangan di gudang tempat Dy
Ledakan dahsyat mengguncang area itu. Gelombang kejutnya menghempaskan mereka ke depan. Ghavin memeluk Dyra, melindunginya dengan tubuhnya sendiri saat mereka terjatuh ke tanah.Puing-puing kayu dan debu beterbangan ke segala arah. Gudang yang tadinya berdiri kokoh kini sebagian besar hancur oleh ledakan.Setelah beberapa saat, Ghavin mengangkat kepalanya. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya pada Dyra.Dyra mengangguk lemah, tubuhnya masih gemetar hebat. "Kau menyelamatkanku..."Ghavin membantu Dyra berdiri. Janur dan pria misterius itu juga mulai bangkit."Terima kasih," ucap Ghavin pada keduanya. "Tanpa kalian, aku tidak mungkin bisa menyelamatkan istriku.""Tapi saya tidak berhasil menangkap Romi, Tuan. Saya kehilangan jejak di persimpangan."Ghavin mengangguk. Yakin Romi masih menyiapkan rencana lain untuk keluarganya. "Siapa kau sebenarnya?" Beralih, Ghavin bertanya pada pria misterius itu."Saya Surya, Tuan." jawab pria itu. "Saya mantan anak buah Romi. Saya tidak bisa mengikuti dia l
Ghavin melangkah masuk ke dalam gudang dengan waspada. Debu-debu beterbangan tertiup angin yang masuk melalui celah-celah dinding kayu yang lapuk. Samar-samar ia bisa mendengar suara isakan dari dalam kegelapan gudang yang luas itu."Dyra?" panggil Ghavin hati-hati.Tak ada jawaban, hanya suara isakan yang semakin jelas. Ghavin mengambil ponsel dari sakunya, mengaktifkan senter dan mengarahkannya ke sumber suara. Seketika jantungnya seolah berhenti berdetak.Di tengah gudang, Dyra duduk di sebuah kursi kayu usang. Matanya sembab oleh air mata. “Sayang.” Dyra terkejut dengan suara Ghavin. “Jangan mendekat Mas!” teriaknya frustasi. Ghavin membeku seketika. Meyakini ada yang tidak beres dengan istrinya.“Ada apa, Sayang?”“Tertanam bom di bawah kursi Nyonya Dyra, Tuan.” Seorang pria bertubuh jangkung muncul dari kegelapan. Wajahnya tidak Ghavin kenal, tapi dari gesturnya, Ghavin tahu ia bukan orang biasa. "Nyonya tidak bisa meninggal kursi, atau bomnya akan meledak.” pria itu memperinga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen