“Untuk apa mereka datang?”
Martin mendesak putranya yang masih bergeming, setelah kepergian Dyra ke kamar membawa Megan. “Mengundangku dan Dyra ke acara anniversary Paman Darwin.” Ghavin menjawab apa adanya. “Ingat Ghavin! Sejak dulu papa tidak pernah menyukai wanita itu. Kau tetap harus berhati-hati." Martin mengingatkan. Curiga kedatangan Bella bukan saja karena ingin menyampaikan undangan pribadi orang tuanya, melainkan ada alasan lain. “Papa tahu dia masih sangat keras kepala untuk bisa menjadi bagian keluarga kita." “Dia sudah menjadi bagian keluarga kita setelah Galih menikahinya, Pa.” Ghavin balik mengingatkan agar sang ayah segera menyingkirkan pikiran buruk terhadap mantan kekasih kembarannya. "Aku percaya Galih bisa menjaganya." Walaupun faktanya memang benar Bella telah menjadi bagian keluarga besar Pramana setelah dinikahi sang keponakan, tetap saja Martin tidak bisa tenang. Dua kali pernah kehilangan orang tersayang membuatnya berpikir kritis terhadap keturunan Darwin. “Papa hanya merasa perlu mengingatkanmu. Jangan sampai nanti kamu menyesal telah mengabaikan peringatan papa hari ini." Ghavin pilih tidak menjawab, melihat keseriusan sang ayah ia jadi berpikir. Kecemasan orang tua tak jarang bisa jadi kenyataan, dan begitu sadar siapa Bella, seketika rahangnya mengeras mengingat pengkhianatan Marissa. Melihat Ghavin tiba-tiba berdiri, Martin berubah cemas. “Mau kemana?” “Masih ada sedikit pekerjaan yang harus aku selesaikan.” “Gunakan hari liburmu untuk keluarga, Vin. Jangan hanya mementingkan pekerjaan yang tidak ada habisnya.” Martin kembali mengingatkan. Pasalnya selama ini putra sulungnya itu terlalu sibuk bekerja sampai-sampai jarang mengunjungi dirinya ketika masih tinggal bersama Marissa. “Aku tidak akan lama.” Ghavin hanya akan memastikan sesuatu yang sebelumnya sudah disimpan di ruang kerjanya. “Kalau begitu, pergilah.” Martin akhirnya melunak. Biar bagaimanapun ada banyak kehidupan yang digantungkan di bahu putranya. Ia tidak boleh egois hanya karena ingin mendekatkan Ghavin dengan sang cucu sekaligus ibunya. ********* Sesaat setelah duduk di kursi kerjanya, Ghavin mengeluarkan kotak kecil berwarna hitam dari dalam laci, dan segera membukanya. Namun, ketika mengetahui apa isi di dalam kotak tersebut, rahangnya seketika mengeras. Ia marah meyakini hadiah itu bukan untuknya, dan langsung melemparnya ke kotak sampah. Setelahnya meraih ponsel yang semalam juga ia tinggalkan untuk menghubungi seseorang. “Dimana dia?” lugasnya bertanya begitu panggilan terhubung. Tapi detik berikutnya segera dimatikan saat tahu yang dicari tidak ada di tempat. Ghavin lantas melakukan panggilan baru ke nomor lain. “Cari tahu dimana dia sekarang,” ujarnya memberi perintah. Jika saja malam itu ia tidak pergi dan melihatnya sendiri, mungkin sampai detik ini menganggap Marissa masih hanya miliknya. Selama ini ia selalu percaya dan membiarkan Marissa dengan semua kesibukannya, tanpa pernah berpikir sang istri akan melakukan pengkhianatan. Sampai akhirnya ia sadar kerja kerasnya selama ini hanyalah kebodohan. Marissa hanya menganggap dirinya mesin penghasil uang. ******** “Tenangkan dirimu. Tidak mungkin dia ada disana malam itu. Karena aku tahu dia sedang di luar negeri.” Tidak tahan melihat kecemasan di wajah Marissa, Romi coba menenangkan tapi selalu gagal. Meski sebenarnya sekalipun Ghavin mengetahui hubungan terlarangnya dengan Marissa, ia tidak peduli. Karena memang berharap Ghavin segera tahu. “Bagaimana aku bisa tenang, coba kau pikir, dia tiba-tiba memberitahuku akan menikah lagi atas permintaan ayahnya, dan mengatakan pernikahannya itu hanya untuk dua tahun saja. Sampai bayi wanita kampung itu bisa mengenalinya. Tapi ternyata, secara mengejutkan dia malah ingin bercerai dariku. Tidak mungkin itu dia lakukan cuma gara-gara aku menghabiskan banyak uangnya untuk membeli tas serta beberapa pakaian.” Marissa menggebu saat menceritakan kecemasannya. Lantaran paham betul Ghavin sangat royal padanya. Berapapun uang yang dia habiskan dalam sehari, Ghavin tidak pernah mempermasalahkan Romi diam berpikir. Memang benar janggal, Ghavin yang selama ini terlihat sangat mencintai istrinya bisa dengan mudah memberi status istri pada wanita lain hanya karena permintaan sang ayah. Jika hanya menjadi ayah pengganti, sebenarnya tanpa menikah pun bisa, apalagi Ghavin paman kandung bayi yang Dyra lahirkan. “Sebaiknya untuk sementara kita jangan bertemu dulu. Hari ini pertemuan kita yang terakhir.” Ckii Ttttt!! Romi langsung menghentikan mobilnya saat itu juga sampai membuat tubuh Marisa terhuyung ke depan. “Apa kau sudah gila!” Marissa mengumpat kesal. “Itu salahmu mengatakan ini menjadi pertemuan terakhir kita ketika aku sedang mengemudi. Sedangkan aku tidak bisa jauh darimu.” “Aku hanya tidak mau Ghavin sampai tahu hubungan kita. Setidaknya kita harus menyembunyikan hubungan ini sampai aku berhasil mengalihkan semua hartanya atas namaku.” “Aku tidak tahu bagaimana bisa melewati waktu tanpamu.” Ketegangan yang sebelumnya seketika sirna berganti rona bahagia. Romi memang lebih paham cara membahagiakan dirinya. “Kita masih bisa bertukar pesan, ataupun melakukan panggilan.” Mereka hanya tidak akan bertemu untuk sementara waktu, bukan menghilang tanpa kabar. “Tetap saja itu berbeda ketika aku bisa menyentuhmu.” Detik itu juga, Romi langsung menarik tengkuk Marissa untuk ia lahap bibir merah merona wanitanya. Keduanya saling menggigit dan menghisap tidak sabaran. Tidak pernah sadar jika dari depan dengan jarak yang lumayan jauh, ada mobil lain ikut berhenti. Seorang pria dari dalam mobil tersebut segera mengarahkan kamera ke depan. Menggunakan jenis kamera yang canggih, pria itu bisa menembus kaca mobilnya beserta mobil Romi, sehingga hasil jepretannya sangat memuaskan.Hari-hari sudah berganti meski masih di bulan yang sama. Tapi tidak ada yang berbeda dari Romi setelah dibebaskan bersyarat. Tentunya setelah Galih memilih jalur damai, dan Ghavin masih memberinya satu kesempatan lagi. Kali ini bukan sebagai mantan teman, melainkan seorang ayah yang ingin berubah demi anaknya. Semua itu Ghavin lakukan lantaran ia sadar, sedekat apapun ia memiliki hubungan baik dengan Arjuna, tetaplah Romi yang dibutuhkan. Meski sudah lebih dua bulan bebas, Romi masih betah mengurung diri di dalam apartemen. Menikmati hari-harinya hanya bersama sang putra. Beruntungnya Fira selalu menyempatkan diri datang setiap pagi untuk memastikan kondisi Arjuna.Romi sekarang hanya ingin menikmati perannya—menjadi ayah yang baik untuk putranya. Ia bahkan tidak ragu menyiapkan semua kebutuhan Arjuna mulai dari membuatkan makanan, memandikan dan membersihkan setelah Arjuna buang hajat. Semua dijalani dengan telaten, dan tentunya penuh kesabaran. Siapa sangka sosok yang dulu penggil
Kenapa bocah itu memanggilku papa?” kata Romi dengan gigi bergemeratak saat beringsut duduk dengan susah payah. Ia tidak mau di lain waktu terjadi masalah, hanya karena bocah itu memanggilnya dengan sebutan ‘papa’.Namun, alih-alih segera menjelaskan, Fira malah fokus melihat cara duduk Romi yang sudah payah. Seandainya Romi bisa mendengarkan dirinya, mungkin hal tersebut tidak akan terjadi. “Arjun memang putramu.”Duar! Punggung Romi yang baru bersandar ke dinding tersentak seketika. Matanya mendelik tajam—menatap tidak percaya Fira. Walaupun ia bajingan, gemar bermain wanita. Tapi demi apapun ia yakin tidak pernah melakukannya dengan Fira, wanita berkelas yang bahkan menatapnya saja seringkali merasa tidak percaya diri.“Mustahil! Kita bahkan tidak pernah melakukannya.” Kalimat itu meluncur begitu saja ditengah ketidakpercayaan. Tapi sialnya, begitu melihat perubahan wajah Fira, muncul kecemasan di hati. Romi khawatir akan kecurigaan yang tiba-tiba menggerayangi benaknya. “Kataka
“Rantai dia! Pastikan malam ini di tidak mendapat jatah makan!” Seorang pria berseragam sipil memberi perintah saat akan meninggalkan ruangan sel. Dua pria lain bergegas menuruti perintahnya, bahkan tidak peduli sekalipun Romi sudah setengah sadar. Perintah atasan tetap harus dilaksanakan.“Setidaknya dia ingin menjaga tubuhnya tetap sehat.” Sepenggal kata itu terus terngiang di benak Romi. Tubuhnya tertelungkup di lantai dingin tanpa alas, wajahnya sudah babak belur. Darah mengalir dari sudut bibir. Ia hanya bisa pasrah ketika dua penjaga mengikat tangannya dengan rantai. Matanya terbuka sayu, sebenarnya ia masih cukup bertenaga sekedar melempar kedua pria itu menghantam dinding jeruji, tapi tidak dengan hatinya. Rasanya sangat sakit, senyum itu, sudah sangat lama ia lihat, tapi masih tergambar jelas di ingatan.“Apa perlu kita dudukan dia?” Sepertinya tidak perlu. Biarkan saja.”Romi hanya menatap tajam mereka yang menjulang di depannya—tanpa pergerakan, tapi benaknya cukup mengi
Di basement, mereka sempat bertemu Ghava yang ternyata akan pergi bersama Bella. Ghava hanya melambaikan tangan sebelum memasuki mobilnya, sedangkan Bella melempar senyum kecil pada Ghavin. “Kita tidak menggunakan supir, Pak?” Dyra sedikit terkejut saat tahu Ghavin membuka pintu samping kemudi. “Tidak. Kita akan pulang terlambat.” Dyra akhirnya hanya mengangguk patuh. Tidak merasa curiga sedikitpun dengan pertemuan yang sudah Romi rencanakan. Tapi hatinya tetap merasakan ketidaknyamanan, hanya saja ia berusaha mengabaikan itu. Kurang lebih satu jam melajukan banteng besinya di jalan raya yang ramai lancar, mereka telah tiba di restoran hotel xxx. Benar saja, Romi sudah menunggu di sana, dan langsung berdiri menyambut begitu melihat kedatangan Ghavin bersama Dyra. “Duduklah dulu. Mungkin dia sedang dalam perjalanan.” Dyra merasa janggal dengan kata ‘mungkin’ yang Romi ucapan. Tapi mengingat pria itu memiliki hubungan baik dengan atasannya, ia pilih tidak berkomentar, dan segera ik
Ghavin membuka pintu kamarnya perlahan, tetapi begitu mendapati ranjang kosong ia berubah panik, dan buru-buru mencari Dyra ke kamar mandi.“Ada apa?” Dyra terkejut bercampur heran, Ghavin tiba-tiba menerobos pintu toilet. Bahkan tidak langsung pergi saat tahu ia sedang duduk di atas kloset. “Maaf. Teruskan saja.” Ghavin langsung menutup pintu.Dyra yang memang sudah selesai dengan urusannya segera menyusul keluar, ternyata Ghavin menunggu dengan duduk di tepi ranjang.“Apa kau sudah merasa lebih baik?” “Aku hanya butuh istirahat.”“Hmm. Tidurlah.” Ghavin akan bangkit, tapi Dyra menahannya.“Kalian gagal menangkapnya?” Tidak menemukan kepuasan di wajah Ghavin seperti telah berhasil melakukan sesuatu yang paling diinginkan, Dyra menebak cemas.“Romi sudah diamankan. Kita berharap saja dia tidak berniat melarikan diri sebelum Surya kembali.” Mendengar itu Dyra menghela nafas lega, tapi detik berikutnya berubah tegang.“Bagaimana dengan Bella dan putranya?” Ghavin bangkit, lalu maju s
“Jangan bergerak! Anda kami tangkap!” Tiga pria berseragam sipil sigap masuk dan langsung menyergap Romi. “Kalian pikir bisa menghentikanku dengan cara seperti ini?” Romi tersenyum tipis saat tangannya dibelenggu ke belakang. “Setidaknya aku masih punya nurani dengan membiarkanmu tetap hidup.” Roni terhenyak dengan suara itu. Ghavin muncul. “Aku sempat ingin melakukannya dengan tanganku sendiri, tapi perselingkuhanmu dengan Marissa membuatku tahu segalanya tentang dia. Aku berterima kasih untuk itu.” “Cih! Setelah mendapatkan Jalang itu kau bisa mengatakan ini padaku,” cibir Romi sinis tapi tiba-tiba meringai licik. “Seharusnya kau tahu, dia lebih licik dari Marissa. Bagaimana dia telah merebut Ghava dari Bella, dan merebutmu dari Marissa!” Tidak ada yang ikut bicara, karena tahu permasalah itu hanya Ghavin dan Romi. “Tidak ada yang istriku rebut. Bahkan sekalipun aku dari Bella.” Ghavin sempat melirik Bella singkat sebelum akhirnya lanjut bicara. “Selama ini aku menyayangi Be