Ghavin mendadak urung membuka pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Ia pilih mengintip Dyra yang masih menggantikan pakaian Megan setelah selesai dimandikan. Mendengar samar-samar suara Dyra menyanyikan lagu anak-anak, tanpa sadar Ghavin menyunggingkan senyum tipis.
Kendati tidak jelas lagu apa yang sedang Dyra senandungkan, tapi rasanya Ghavin masih ingin lebih lama lagi mencuri dengar. Ghavin hanya masih tidak menyangka, Dyra—-wanita cerdas yang dulu pernah menjadi sekretaris pribadinya itu, sekarang memilih mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga. Benar-benar wanita rumahan yang mengurus putrinya seorang sendiri, tanpa bantuan pengasuh. Ketika dulu mendengar Ghava sering memuji Dyra, Ghavin menganggap adik yang hanya berbeda lima menit darinya itu terlalu bucin. Sehingga dengan mudah terperdaya oleh wanitanya. Tapi ternyata baru saja sehari tinggal bersama, Ghavin membuktikan sendiri perlakuan Dyra saat melayani bukan hanya dirinya, tapi juga sang ayah beserta putri kecil mereka yang penuh ketulusan membuatnya sadar, semua pujian Ghava memang benar. Dyra memiliki hati yang bersih. “Kau pasti menyesal, dia tidak serendah yang kau pikirkan.” Tiba-tiba Ghavin merasa ada benda keras yang menghantam dada kala mengingat perkataan Ghava hari itu. “Kau akan menyesal, Kak. Aku pastikan itu.” Semakin terngiang jelas kalimat itu di telinga, Ghavin menutup mata guna menetralkan kemarahan atas apa yang sudah ia lakukan dulu. Masih dibutakan cinta pada Marissa, Ghavin sampai tega menuduh seorang wanita telah menggodanya. Wanita itu tak lain Dyra, sekretarisnya sendiri. Padahal seharusnya ia sadar tidak mungkin Dyra bisa bersamanya jika ia tidak meminta ditemani. Sampai akhirnya tepat sebulan sebelum kematian Ghava, sebuah fakta mengejutkan membuatnya merasa benar-benar buruk sebagai laki-laki. “Maafkan mama harus meninggalkanmu sendiri. Mama janji tidak akan lama. Ini sudah sangat mendesak, Sayang.” Melihat Dyra buru-buru meninggalkan ranjang Megan, Ghavin mengerutkan alis. “Mau kemana dia?” Sebenarnya Ghavin hanya ingin mengambil ponselnya yang tertinggal dan segera berangkat ke kantor. Tapi melihat Dyra meninggalkan putrinya sendiri yang juga sedang merengek, ia jadi tidak tega. Tanpa berpikir panjang Ghavin bergegas mendorong pintu, dan masuk. Begitu mendekati ranjang Megan, ia lantas melempar asal jas kerjanya ke punggung sofa. Siapa sangka, begitu melihat kedatangannya rengekan Megan langsung sirna. Wajah imut menggemaskan itu seketika berubah sumringah. Bayi itu juga menggerakkan tangan serta kakinya aktif, minta segera diangkat. “Sebentar Sayang! Mama tidak akan lama.” Ghavin menoleh mendengar seruan Dyra dari dalam kamar mandi. “Ternyata mamamu sedang berjuang di dalam sana.” Ghavin bicara dengan bayi Megan yang terus bergerak aktif. “Mau papa gendong?” Meski bayi cantik itu belum bisa menjawab, tapi dari ocehan manjanya, Ghavin tahu Megan berharap segera diangkat. “Sambil menunggu mamamu selesai, sebaiknya kita keluar,” ujarnya setelah mengangkat Megan dan menelungkupkan di lengan yang besar. Megan terlihat nyaman menempelkan pipi di lengan atas Ghavin yang sama sekali tidak peduli, jika lengan kemejanya bisa saja basah oleh air liur bayi tersebut. Pria yang selalu irit bicara dan terlihat dingin pada siapa saja kini bersikap selayaknya ayah yang siaga. Sambil berjalan keluar, Ghavin mengusap lembut punggung Megan agar semakin nyaman bersamanya. Perlakuan manis yang siapapun pasti akan menganggap Ghavin bukanlah ayah sambung, melainkan ayah kandung bayi Megan. Hendak pergi ke beranda samping, Martin tiba-tiba berhenti ketika tidak sengaja melihat putra sulungnya keluar kamar membawa serta sang cucu. Hatinya seketika diselimuti rasa haru. Ghavin mulai mendekatkan diri dengan Megan. Pemandangan manis yang sebenarnya sudah sangat lama dinantikan. Mengingat usia pernikahan Ghavin sudah satu dekade bersama Marissa, tapi tak juga mendapatkan keturunan. Martin juga tahu, Ghavin sebetulnya tidak jauh berbeda dengan Ghava, memiliki hati yang hangat dan penyayang. Hanya saja, dari sikap Ghavin yang irit bicara, terkesan tak acuh, sehingga kerap dianggap berbanding terbalik dengan kembarannya Ghava. “Hanya karena ingin melihat ini, aku sampai mengorbankan hati yang lain.” Martin berbicara pelan. Sebagai orang tua, ia sadar sudah sangat egois dengan meminta Dyra menjadi istri kedua Ghavin. Lebih egoisnya lagi, keinginan itu ia tegaskan bahkan ketika sang menantu baru dalam hitungan bulan kehilangan suami. “Papa?” Ghavin terkejut melihat Martin tercenung di dekat pintu samping. “Pa.. .” Terhenyak dengan suara Ghavin yang ternyata sedang berjalan ke arahnya, Martin buru-buru mengusap sudut matanya sebelum bulir bening terjun bebas. “Papa pikir kamu sudah berangkat, Vin.” Martin menanti kedatangan putra bersama cucu tersayangnya. "Setelah ini, Pa. Dyra masih di kamar mandi.” Jawaban singkat Ghavin tak urung semakin menambah keharuan di hati Martin. “Malam ini mungkin aku akan pulang terlambat.” Ghavin memberitahu agar sang ayah bisa tidur lebih awal. Sebenarnya Ghavin tahu, sejak menikah dengan Dyra, Martin sering menunggu kepulangannya. Hanya saja, ia yang masih menata hati pilih menghilang sementara waktu. “Kau akan menemui Marissa?” Martin mengira Ghavin berniat lebih dulu pulang ke rumah istri pertamanya. “Tidak. Hari ini aku akan sangat sibuk. Ada beberapa pertemuan penting yang tidak bisa aku tinggalkan.” “Ingat. Kamu harus bisa membagi waktu, Nak.” Martin kembali mengingatkan tidak hanya perusahaan dan Marissa, Ghavin juga memiliki tanggung jawab yang sama pada Dyra beserta Megan. “Aku sudah membuat keputusan, Pa.” Tidak ingin dianggap plin-plan, Ghavin bicara pelan tapi penuh penegasan. “Papa tahu, kamu tidak akan mengecewakan papa lagi. Sekarang papa serahkan semuanya padamu karena papa yakin kamu bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan.” Mendapat kembali kepercayaan sang ayah yang dulu pernah dikecewakan, Ghavin hanya mengangguk pelan. ****** “Apa! Kenapa tidak ada yang memberitahuku?!” Marissa marah sesaat mendengar apa yang dijelaskan pelayan padanya. “Apa dia mencariku?” Seketika wajahnya berubah pucat mencemaskan apa yang ada di dalam benaknya.“Dia?” Dyra sampai terkejut, tidak menyangka. Terlebih sosok itu tidak datang sendiri, melainkan bersama pria yang juga masih berstatus suaminya. “Mbak Marissa,” bisiknya. Ia lantas beralih menatap Ghavin. Ia hanya khawatir suaminya yang masih sangat membenci Marissa jadi lepas kendali.“Aku tidak seburuk itu, Sayang. Dengan menganggapnya tidak ada, itu jauh lebih baik.” Ghavin seolah paham apa yang Dyra pikirkan. Mendengar itu keluar dari mulut suaminya, Dyra kembali tersenyum, dan kali ini benar-benar ringan dari hati. Namun, tanpa Dyra maupun Ghavin ketahui, Bella langsung menghadang. “Kenapa kau datang?”“Ini bukan acaramu,” balas Marissa sinis. Gayanya masih saja angkuh, dan penuh percaya diri. “Aku hanya ingin memberi selamat pada putri mantan suamiku, apa itu salah?” Enggan menanggapi ucapan Marissa, Bella beralih pada pria yang bersamanya—Tuan Prabu. “Bawa wanita ini pergi, Tuan. Sebelum dia membuat kekacauan disini.”Tuan Prabu terkekeh pelan. Tangannya melingkar di pingga
Hari ulang tahun Megan akhirnya tiba bersama cahaya yang berbeda. Dalam dua hari dua malam, halaman belakang rumah mereka telah berubah menjadi negeri dongeng. Bukan karena permintaan Megan—si kecil yang bahkan belum pandai merangkai kata, melainkan karena mimpi lama Dyra. Mimpi sederhana seorang gadis kecil yang dulu pernah berharap menikah seperti tuan putri bersama kakak penyelamatnya. Kini, takdir seakan mendukung hari bahagia Megan bertepatan dengan satu tahun usia pernikahan Dyra bersama Ghavin. Semesta sengaja memberi hadiah paling indah.Ghavin tidak ragu. Setelah semua luka yang pernah ditanggung Dyra, ia berjanji tak akan membiarkan istrinya hanya mengenang perih. Hari ini adalah pengingat, bahwa kebahagiaan akhirnya berpihak pada mereka. Bahwa cinta yang berliku tetap tahu jalannya untuk pulang ke pemilik yang sejati.“Sayang…” suara Ghavin memecah keheningan kamar, lembut namun penuh arti. Duduk di tepi ranjang dengan tuksedo putih yang terpasang rapi, ia menatap istrinya
Selesai bicara, Ghavin hanya menatap datar Romi yang berdiri dengan nafas berat, wajahnya tegang. Tapi ada yang berbeda dari pria itu, sorot matanya yang dulu penuh ambisi kini redup, seperti menyimpan luka yang belum kering sepenuhnya. “Cukup sampai di sini omong kosong itu!” Suara Romi pelan tapi penuh ketegasan. “Setelah semua yang terjadi, kau datang dan bicara soal pernikahan seperti sedang menawarkan solusi untuk masalah keuangan.” Ghavin melihat itu, sebelum berpaling setetes bulir bening meluncur. Ia hanya terus menatap Romi dengan tetap duduk tenang, tidak terpancing emosi. “Bukan penawaran. Bukan perintah juga. Ini permintaan.” “Permintaan dari siapa? Dari dirimu yang dulu hampir membunuhku? Dari kakak yang sudah kehilangan adiknya karena rencana bodohku? Atau dari suami Dyra yang terlalu takut Fira akan berpaling padaku?” Nafas Ghavin tertahan sejenak. Suara Romi semakin meninggi, tetapi jelas ada getar samar di dalamnya. Bukan marah sepenuhnya, lebih seperti seseor
Hari-hari sudah berganti meski masih di tahun yang sama. Tapi tidak ada yang berbeda dari Romi setelah dibebaskan bersyarat. Tentunya setelah Galih memilih jalur damai, dan Ghavin masih memberinya satu kesempatan lagi. Kali ini bukan sebagai mantan teman, melainkan seorang ayah yang ingin berubah demi anaknya. Semua itu Ghavin lakukan lantaran ia sadar, sedekat apapun ia memiliki hubungan baik dengan Arjuna, tetaplah Romi yang dibutuhkan. Meski sudah lebih dua bulan bebas, Romi masih betah mengurung diri di dalam apartemen. Menikmati hari-harinya hanya bersama sang putra. Beruntungnya Fira selalu menyempatkan diri datang setiap pagi untuk memastikan kondisi Arjuna. Romi sekarang hanya ingin menikmati perannya—menjadi ayah yang baik untuk putranya. Ia bahkan tidak ragu menyiapkan semua kebutuhan Arjuna mulai dari membuatkan makanan, memandikan dan membersihkan setelah Arjuna buang hajat. Semua dijalani dengan telaten, dan tentunya penuh kesabaran. Siapa sangka sosok yang dulu pe
Kenapa bocah itu memanggilku papa?” kata Romi dengan gigi bergemeratak saat beringsut duduk dengan susah payah. Ia tidak mau di lain waktu terjadi masalah, hanya karena bocah itu memanggilnya dengan sebutan ‘papa’. Namun, alih-alih segera menjelaskan, Fira malah fokus melihat cara duduk Romi yang sudah payah. Seandainya Romi bisa mendengarkan dirinya, mungkin hal tersebut tidak akan terjadi. “Arjuna memang putramu.” Duar! Punggung Romi yang baru bersandar ke dinding tersentak seketika. Matanya mendelik tajam—menatap tidak percaya Fira. Walaupun ia bajingan, gemar bermain wanita. Tapi demi apapun ia yakin tidak pernah melakukannya dengan Fira, wanita berkelas yang bahkan menatapnya saja seringkali merasa tidak percaya diri. “Mustahil! Kita bahkan tidak pernah melakukannya.” Kalimat itu meluncur begitu saja ditengah ketidakpercayaan. Tapi sialnya, begitu melihat perubahan wajah Fira, muncul kecemasan di hati. Romi khawatir akan kecurigaan yang tiba-tiba menggerayangi benak
“Rantai dia! Pastikan malam ini dia tidak mendapat jatah makan!” Seorang pria berseragam sipil memberi perintah saat akan meninggalkan ruangan sel. Dua pria lain bergegas menuruti perintahnya, bahkan tidak peduli sekalipun Romi sudah setengah sadar. Perintah atasan tetap harus dilaksanakan. “Setidaknya dia ingin menjaga tubuhnya tetap sehat.” Sepenggal kata itu terus terngiang di benak Romi. Tubuhnya tertelungkup di lantai dingin tanpa alas, wajahnya sudah babak belur. Darah mengalir dari sudut bibir. Ia hanya bisa pasrah ketika dua penjaga mengikat tangannya dengan rantai. Matanya terbuka sayu, sebenarnya ia masih cukup bertenaga sekedar melempar kedua pria itu menghantam dinding jeruji, tapi tidak dengan hatinya. Rasanya sangat sakit, senyum itu, sudah sangat lama ia lihat, tapi masih tergambar jelas di ingatan. “Apa perlu kita dudukan dia?” Sepertinya tidak perlu. Biarkan saja.” Romi hanya menatap tajam mereka yang menjulang di depannya—tanpa pergerakan, tapi benaknya