Share

10. Rumah Baru

Aku menatap cek kosong di tanganku, menurut Erwin, aku bisa menuliskan angka nominal satu milyar. Aku berpikir untuk membeli hunian di kota yang dekat dengan sekolah, aku ingin menjadi guru honorer, walau tak di gaji tapi setidaknya aku bisa memasukkan Tisa di sekolah itu.

Pagi ini aku ke bank hendak mencairkan cek yang diberikan Erwin. Tak mungkin bagiku untuk membawa uang tunai yang cukup banyak, sehingga aku membuka tabungan dan mentransfer uangnya ke buku tabungan milikku. Aku hanya mengambil uang tunai lima puluh juta untuk keperluanku.

Terpikir olehku untuk membeli ponsel baru untukku dan ibuku. Aku membeli ponsel android agar bisa menyimpan fotoku dan Tisa di dalam ponsel.

Saat aku keluar dari mall, seseorang menyodorkan selebaran.

"Dilihat-lihat dulu mbak, perumahan yang cukup indah dan nyaman untuk di tinggali."

Akhirnya aku berhenti dan menerima selebaran itu, aku lalu di tuntun ke konter tempat menawarkan hunian minimalis.

Aku mengamati market hunian di dalam sebuah kaca, lalu membuka sebuah buku tentang gambar-gambar hunian yang cukup indah. Aku mulai tertarik, ada mesjid dan sekolah. Kuamati peta yang menunjukan lokasi hunian itu. Ternyata tidak terlalu jauh dari rumah sakit.

"Murah mbak, type 36 dengan dua buah kamar tidur hanya tiga ratus juta, sudah bisa langsung di tempati" Seorang wanita menghampiriku.

Aku mengangguk, saat ini aku benar-benar berminat. Apa salahnya jika aku menggunakan uang pemberian Azhar untuk membeli rumah. Jika sudah punya rumah di kota, maka aku akan membeli sebuah motor untuk digunakan mengantar jemput anakku ke sekolah paud.

Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya aku membeli hunian minimalis yang ditawarkan.

"Mari mbak, saya antar melihat huniannya," seorang staf agen property menawarkan jasanya untuk melihat langsung rumah yang kupilih.

Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit kami tiba di lokasi perumahan Griya Permai. Kupandangi kiri kanan jalan, masih terdapat beberapa pembangunan hunian lain. Dari pintu gerbang menuju hunian yang kupilih tidak terlalu jauh, memasuki belokan pertama sebelah kanan. Rumah itu berada paling ujung. Sudah nampak beberapa penghuni di perumahan yang ada. Disebelah rumah yang kubeli juga sudah di tempati.

"Penghuni baru ya ?" seorang wanita paruh baya menyapaku.

"Iya bu," Jawabku sambil membungkukkan badanku untuk menghormatinya.

Rumah dengan bentuk minimalis, dua kamar tidur dan sebuah dapur dan kamar mandi, di samping rumah ada tempat jemuran. Ternyata rumah ini seperti yang berada di gambar.

Jadilah aku membeli hunian itu. Setelah menyelesaikan seluruh administrasi kepemilikan dan pembayaran transfer aku menerima kunci rumah lalu langsung pulang.

Aku mampir di sebuah dealer untuk membeli sebuah motor. Setelah melihat lihat sebentar aku membeli motornya. Aku meminta motor itu diantar langsung ke rumah nenek. Setelah menuliskan alamatnya aku langsung pulang.

Kulihat Tisa sedang bermain dengan neneknya di halaman. Aku menghampirinya.

"Sedang main apa ?" tanyaku ketika sudah berdiri di dekat mereka.

"Mama," Tisa segera menghambut ke pelukanku.

"Eit..tunggu, lihat bunda bawa apa nih, ayo masuk ke dalam."

Aku sengaja membelikan beberapa oleh-oleh dan beberapa kebutuhan di rumah. Ibuku membantu mengangkat semua belanjaanku.

"Banyak sekali belanjaannya, kau dapat uang dari mana ?" tanya ibuku penuh selidik.

Aku lupa menceritakan pada ibu perihal cek yang diberikan Erwin. Lalu aku menceritakannya sekalian dengan hunian dan motor yang kubeli.

Ibuku terdiam, mungkin dia memaklumi keputusan yang kuambil demi masa depan Tisa.

"Apakah kau sudah bertemu Azhar?"

"Belum bu, aku tak ingin bertemu dengannya, besok kita sudah boleh pindah ke rumah baru. Sewaktu-waktu kita bisa kembali ke desa diwaktu libur."

Kulihat ibu hanya mengangguk. Tak ada pilihan, yang dimiliki ibu sekarang hanya aku dan Tisa. Kakek dan nenek adalah orang tua dari ayahku.

Malam ini saat makan malam berakhir kami duduk berbincang di ruang tamu.

"Nek, aku dan ibu sudah membeli rumah di kota. Mungkin besok kami akan pindah ke sana. Kakek dan nenek juga bisa ikut."

"Kakek dan nenek biar tinggal di desa saja nak, jika itu pilihanmu maka jalanilah," ujar kakekku.

Aku memeluk erat mereka. Aku sebenarnya sudah terbiasa dengan suasana desa yang jauh dari kebisingan, tak ada polusi, udaranya maaih sangat segar. Biasanya jika tak ada kerjaan kami sekeluarga duduk di teras rumah menatap sawah yang terhampar indah sejauh mata memandang.

Malam sudah mulai berangkat keperaduannya, kamipun ikut masuk ke dalam kamar bersiap-siap untuk tidur. Kutengok Tisa yang sudah lebih dulu terlelap. Aku membelainya dengan penuh haru.

"Besok pagi aku masih akan berbelanja perabotan rumah bu, jika motorku tiba tolong ibu tanda tangani tanda terimanya," kataku lalu membaringkan tubuhku di samping Tisa.

"Apakah kau bisa berbelanja sendiri ? Biar ibu dan Tisa menemanimu," pinta ibuku.

"Jangan bu, Tisa dan ibu tak boleh lelah. Biar aku saja, aku nanti akan meminta kang ujang di sebelah rumah untuk menemaniku," tolakku dengan halus.

"Baiklah, jika itu maumu," akhirnya ibukupun membaringkan tubuhnya di sampingku. Untunglah kasurnya cukup besar bisa digunakan bertiga.

Pagi harinya motor yang kupesan diantar langsung ke rumah nenek sesuai alamat yang kuberikan. Bahagia rasanya kini sudah memiliki kendaraan walau itu hanya roda dua.

"Itu motor bunda ya ?" tanya Tisa lalu berlari dan mengelus elus motor matic itu dengan tangan mungilnya.

"Hati-hati nak !" Teriakku.

Setelah aku menandatangani semua dokumen serah terima dari dealer, aku mencoba motor baruku dan membonceng Tisa keliling kampung. Kulihat Tisa sangat senang, maklum dia jarang naik motor.

Setelah puas mengajak Tisa keliling kampung, aku pamitan pada ibu dan nenek untuk ke kota membeli semua peralatan rumah tangga.

Aku belum menggunakan motor baru karena belum punya Surat Izin Mengemudi, sehingga aku minta diantar mang Ujang tetangga sebelah rumah.

Aku menuju kawasan ruko yang menjual peralatan furniture dan alat-alat dapur. Setelah menawar barang-barang yang diperlukan akhirnya aku menuju ke perumahan. Aku menunggu semua perabot yang katanya akan diantar hari ini juga.

Aku sengaja menahan mang Ujang untuk jangan pulang dulu, aku akan membayar lebih padanya untuk bisa membantuku menata rumah.

Tak berapa lama dua mobil open cup berhenti di depan rumah baruku.

Semua perabot diturunkan, dari kursi sofa, lemari dan ranjang. Kemudian di mobil yang satunya menurunkan semua peralatan dapur.

Walau terasa lelah tetapi aku sangat bersemangat menata rumah baruku, bukan hanya mang Ujang yang membantuku, tetangga baru di kiri kanan maupun yang di depan rumah ikut membantuku membenahi semua peralatan yang diturunkan.

"Terima kasih" ucapku dengan tulus pada semua tetangga yamg membantuku.

Kiranya ini adalah awal yang baik untuk saling membantu sesama penghuni komplek.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status