Aku mengernyitkan keningku, ini bukan bagian dari tugasku, lalu mengapa nyonya memintaku membawakannya teh panas ? Aku mulai was-was, perasaanku tidak enak. Nyonya pasti hendak membuat perhitungan denganku. Tapi kenapa ? Apa karena kecemburuannya ?
Aku mengambil alih nampan yang berisi teh panas itu, lalu keluar bersama Zaki menuju lantai tujuh.Aku masuk ke dalam ruangan dengan mengetuk pintu terlebih dahulu. Di ruangan itu terlihat bos dan asistennya sedang membicarakan masalah perusahaan sehingga tidak menyadari jika aku masuk ke ruangannya.Aku menghampiri nyonya Alisha dan menyuguhkan teh yang dimintanya. Aku berdiri membelakangi Azhar sehingga dia tidak akan bisa mengenaliku.Nyonya menyuruhku untuk terus berdiri di hadapannya."Jangan pergi dulu, kau harus menunggu sampai teh ini kuhabiskan."Aku berdiri mematung, kulihat nyonya Alisha tersenyum licik. Tuhan, apa yang sedang dia rencanakan ? Belum habis rasa penasaranku tiba-tiba nyonya berdiri."Dasar pelayan tak tahu diri, apa kau sengaja ingin mencelakaiku ?" bentak nyonya Alisha lalu menyiramkan teh panas itu ke tubuhku.Aku yang tidak siap tentu saja tak bisa mengelak, dan meringis kesakitan. Teh panas itu mengenai kulitku dan terasa perih."Auuu...aa..ampun nyonya..i..ini""Ada apa ini ?" kudengar suara Azhar bertanya dengan gusar. Mungkin dia merasa terganggu karena obrolannya terhenti karena insiden kecil ini.Untunglah teh panas itu hanya mengenai tanganku, aku mengangkat lengan kananku yang memerah dan melepuh. Sambil meringis, aku berusaha meniup lenganku."Pecat pelayan yang tak tahu diri ini," nyonya Alisha berkacak pinggang sambil tangan kanannya diangkat dan menunjuk tepat di depan wajahku.Kudengar kursi berbunyi, aku menahan nafas. Seseorang menghampiriku, semoga bukan Azhar. Aku tak mau dipermalukan seperti ini, tapi apa boleh buat aku hanyalah bawahan rendahan."Apa yang terjadi nyonya ?"Itu suara Erwin yang tepat berdiri di belakangku."Aku tak ingin melihat pelayan ini di kantor ini, aku meminta teh hangat dan dia membawakan teh panas mendidih untuk kuminum"Aku kini mengerti, nyonya sengaja melakukan ini agar aku dipecat.Erwin langsung berdiri di sampingku, dan dia hendak memarahiku. Namun saat dia hendak mengatakan sesuatu, matanya seketika terbelalak dan mulutnya menganga."Ka...kau..."Kulihat Erwin melirik ke belakang. Mungkin dia terkejut melihatku. Karena dia sudah mengenal wajahku ketika apel sore berlangsung."Ini mungkin salah paham nyonya," suara Erwin terdengar sangat pelan."Salah paham apa maksudmu, sejak kapan kau membela pelayan di depan bosmu sendiri ?""Pagi-pagi kau sudah membuat keributan diruanganku Alisha, keluar sekarang dari sini !" Seru Azhar dengan marah. Mungkin dia merasa terganggu dengan ulah isterinya."Aku hanya meminta pelayan ini dipecat, mengapa kau malah mengusirku ?"Melihat situasi yang tidak baik ini, aku segera membungkuk dan memohon diri."Hei kau mau kemana ?" nyonya Alisha mencekal lengan kananku yang tadi melepuh sehingga membuatku mengaduh."Auww, wishhh," aku meringis kesakitan.Erwin melihat hal itu segera mencegah isteri bos untuk tidak melakukan tindakan yang berlebihan.Kudengar kursi berbunyi, artinya Azhar sudah berdiri menghampiri kami. Aku semakin menunduk.Aku tak bisa melihat bagaimana wajah ketiganya karena aku berusaha melepaskan cekalan tangan nyonya Alisha."Kau ! mulai detik ini keluar dari sini, dan ingat, jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di kantor ini apa kau paham ?""Ba..baik nyonya, ta..tapi tolong lepaskan dulu tanganku nyonya," pintaku dengan pilu. Air mata ini rasanya akan tumpah, bukan karena pemecatan tapi karena luka lecet di lenganku akibat teh panas yang disiramkan nyonya."Lepaskan tangannya !" Azhar sudah berdiri disampingku. Entah dia mengenali suaraku, atau karena dia kasihan melihat tanganku yang melepuh.Aku tak berani mengangkat wajahku."Bawa dia ke klinik," titah Azhar pada Asistennya."Aku ingin dia dipecat."Masih kudengar teriakan nyonya Alisha ketika Erwin membimbingku keluar.Kami masuk ke ruangan yang masih berada di lantai tujuh. Rupanya ini klinik yang dikatakan Azhar."Dokter tolong diobati lengan kanannya, sepertinya teh panas mengenai kulitnya sehingga melepuh."Dokter dengan cekatan memeriksa lengan dan tangan kananku."Jika kena air panas, kenapa bisa sampai lecet seperti ini ?"Sambil mengobati lengan dan tangan kananku, dokter bergumam yang tentunya tetap di dengar Erwin."Tuan bisa meninggalkan aku disini, aku bisa sendiri," ucapku sambil tersenyum pilu.Erwin menatapku dengan lekat."Aku akan mengantarmu pulang," ucapnya.***Azhar POVAku dan Erwin masuk ke ruangan, kulihat Alisha sudah duduk dengan menyilangkan kakinya di kursi sofa. Aku tidak menggubrisnya. Bisnisku lebih penting ketimbang menanyakan apa maksudnya datang sepagi ini di kantorku."Pembangunan hotel berbintang di kawasan Indonesia Timur jangan sampai gagal. Kosongkan jadwalku minggu depan. Kita akan mengunjungi pulau yang indah itu."Aku membicarakan dengan serius tentang rencanaku pada Erwin, sehingga pelayan yang datang membawakan teh untuk isteriku tak kuhiraukan. Sampai insiden kecil itu membuatku terganggu dan setelah meminta asistenku membawa pelayan itu ke klinik, aku memarahi Alisha."Jangan terlalu berlebihan Alisha, bagaimana mungkin persoalan sekecil itu sampai membuatmu ingin memecat karyawanku ?"Aku menarik kursi dan duduk menegur isteriku."Kenapa ? apakah pelayan itu sangat penting bagimu ?" Alisha tak mau kalah. Dia masih tetap bersikukuh ingin memecat pelayan itu."Apa-apaan kau Alisha, sudah cukup kau mencampuri urusanku sampai sejauh ini. Tapi mulai detik ini jangan pernah sekalipun mencampuri urusanku, apa kau paham ?" aku semakin gusar melihat tingkah isteriku yang keras kepala."Sebenarnya ada apa antara kau dengan pelayan itu hah ?"Lagi-lagi aku harus dengan sabar menahan emosiku."Apa maksudmu, aku bahkan tak mengenal pelayan itu !" jawabku sambil menahan diri."Benarkah ? bukankah kau sengaja memindahkan gadis itu khusus membersihkan ruanganmu ?" Alisha terlihat semakin berapi api."Apa ?" Aku terkejut setengah mati. Jadi pelayan yang tangannya melepuh itu Mita ? Oh Tuhan bagaimana aku sampai tidak mengenalinya ?Aku mengatupkan rahangku dengan keras, isteriku sudah sangat keterlaluan. Mita pasti tak akan pernah memaafkan aku."Siapapun dia, kau tak boleh menghakimi sesuka hatimu. Sekarang keluar dari ruanganku !" Ucapku lalu berdiri membuka pintu.Alisha menatapku dengan garang. "Jadi benar rupanya, aku akan membuat perhitungan dengan gadis itu !" teriak Alisha histeris."Aku tekankan sekali lagi, jangan pernah mencampuri urusanku. Dan aku ingatkan padamu, jangan pernah menyentuh karyawanku sedikitpun. Ini bukan perusahaan ayahmu, apa kau tau itu ? keluar sekarang !"Alisha membanting kursi dan segera berlalu dari ruanganku dengan kemarahan yang dalam. Aku tak memperdulikannya, selama ini aku terus mengalah karena keluarga maupun dirinya terus mengintimidasiku. Tapi itu dulu, tidak sekarang. Jika bukan karena ibu, aku sudah lama menceraikan dirinya. Lagi-lagi ibuku yang menjadi penghalang akan kebahagiaan ini.Ternyata tamu yang dimaksud Nabila adalah pemuda yang kulihat saat di sekolah Tisa. Mereka adalah orang suruhan suamiku yang memantau keberadaan kami dari jauh."Maaf atas kedatangan kami ini bu, seharusnya kami memberitahu ibu lebih dulu," seorang pria bertubuh tinggi menjabat tanganku."Tidak apa-apa, mari silakan duduk," ucapku sambil mempersilakan mereka duduk."Kenalkan nama saya Ivan dan ini teman saya namanya Jeck," Ivan yang bertubuh tinggi memperkenalkan diri. Aku mengingatnya karena dia yang terus-terusan memperhatikan aku di depan sekolah Tisa. Kami berbincang panjang lebar, kurasa upaya suamiku untuk melindungi kami terlalu berlebihan, terpikir olehku untuk menyambangi Alisha sekedar bersilaturahmi karena dia dalam keadaan sakit. Aku ingin membawakannya makanan atau bingkisan yang tentunya membuat orang yang di besuk merasa senang."Terima kasih sudah menjaga kami, sepertinya kalian terlalu berlebihan melindungi kami," ucapku."Maaf bu, kami hanya menjalankan perintah, ta
Aku memilih untuk memendam sendiri apa yang kualami hari ini, aku tak ingin membuat heboh seisi rumah dengan ceritaku."Tadi ayah Tisa menelpon, katanya nomor ponselmu sejak tadi dihubungi tidak aktif," Salsa menyampaikan pesan ayah Tisa padaku.Aku merogoh tas tanganku, kulihat ponselku ternyata off. Mungkin aku tak sengaja memencet tombolnya."Oh ternyata ponselku mati!" kataku sambil mengajak Tisa masuk ke dalam kamar.Aku mengganti baju sekolah Tisa dengan pakaian rumah. "Tisa mau makan ?""Aku masih kenyang ma ntar lagi, aku mau menggambar lagi," jawab Tisa.Aku hanya mengiyakan saja, menggambar bukanlah pekerjaan yang berat tapi aku harus mendampinginya agar tak kelelahan.Tak berapa lama setelah ponsel ku nyalakan, tiba-tiba berdering, aku tak perlu melihat lagi siapa penelponnya karena aku sudah menaruh nada dering khusus untuk suamiku."Hallo, iya maaf aku baru tiba di rumah, tadi ponselku kehabisan baterai," kilahku saat Azhar menelpon dengan segudang protesnya."Aku baru s
Mita POVSuasana kompleks perumahan sudah di ramaikan dengan pedagang keliling yang menjalankan dagangannya. Aku berdiri di tepi jalan menanti kedatangan Tisa yang di jemput Salsa. Awalnya aku merasa ragu untuk mengizinkan Tisa menginap di rumah Alisha, namun demi alasan kemanusiaan aku mengizinkannya.Dari kejauhan aku melihat mobil Salsa memasuki area kompleks, akhirnya hati ini tentram. Aku bernafas lega, tak berapa lama mobil itu berhenti tepat di sampingku."Mama....!" Teriak Tisa saat melihatku dari jendela mobil.Aku membukakan pintu untuknya dan segera memeluknya dengan erat. Aku membimbing Tisa masuk ke rumah. Aku telah menyiapkan buku catatan yang akan di bawanya ke sekolah. "Tisa sudah sarapan ?" tanyaku lalu memakaikan tas ransel sekolah di bahunya."Sudah !" Jawab Tisa."Ayo mama antar ke sekolah, ceritanya nanti pulang sekolah saja,," ucapku saat melihat Tisa yang ingin mengatakan sesuatu.Kemudian kami bergegas keluar dan berpamitan pada ibuku dan Salsa. Nabila tak ter
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, senyum sinis Alisha mengganggu pikiranku. Aku segera menekan pedal gas agar langsung tiba secepatnya di kantor.Ketika memasuki area parkiran gedung kantor kulihat mobil Erwin sudah terparkir lebih dulu. Aku bergegas menuju ke lantai tujuh. Sapaan para karyawan kubalas dengan anggukan kepala."Tuan Erwin sudah menunggu di dalam tuan," lapor sekretarisku.Aku hanya mengangguk lalu masuk ke dalam ruangan, kulihat Erwin sedang duduk menyilangkan kedua kakinya di kursi sofa. Aku menaruh tas kantor di meja lalu menghampiri Erwin."Sudah lama ?" tanyaku."Lumayan," jawab Erwin tersenyum."Ah kamu, jangan membohongiku. Bagaimana hasil pertemuanmu dengan dokter spesialis di Rumah Sakit ?" tanyaku dengan tak sabar."Maaf, aku hanya berbincang-bincang dengan adikku. Menurut penuturannya, terkadang pasien yang memiliki sakit seperti itu sulit terdeteksi kecuali pasien yang sakit itu datang berobat. Cobalah untuk mengajak isterimu berobat, penyakit i
Aku dan Tisa keluar dari kamar saat Alisha mengetuk pintu kamar, aku mengedipkan sebelah mataku pada Tisa. Rupanya Alisha sudah menyiapkan sarapan pagi. Aku berusaha melirik ke arah dapur, ingin memastikan apakah dia yang masak atau hanya sekedar menyiapkan di meja saja."Ayo sarapan pa," ajak Alisha."Ayo Tisa sarapan yuk," Alisha mengajak Tisa dan menggandengnya menuju meja makan."Maaf bunda, aku mau mandi dulu," tolak Tisa, dia lalu menoleh padaku."Oh ayo bunda mandiin," Alisha tak jadi menuju ruang makan dan berbalik menggandeng tangan Tisa menuju kamar mandi.Kesempatan itu aku gunakan untuk mandi juga, aku bergegas ke dalam kamar, mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi, setelah memastikan tubuhku sudah bersih, aku segera keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang. Aku memakai pakaian kantor, rencanaku setelah sarapan langsung pergi ke kantor. Setelah rapi aku segera keluar kamar, kulihat Alisha dan Tisa juga baru keluar
Malam ini aku tertidur di samping Tisa, aku bahkan tak tahu jika mertuaku sudah pulang dan sempat menyaksikan diriku yang tidur memeluk erat puteri kecilku ini. Aku terbangun ketika merasakan sesorang menyelimuti kami berdua. Karena lampu masih menyala aku masih sempat melihat bayangan Alisha keluar dari kamar dan menutup pintu. Jika melihat gerakan Alisha sepertinya dia dalam keadaan segar bugar, aku ingin menghubungi Erwin dan memintanya untuk menyelidiki penyakit Alisha. Untunglah aku sempat membawa ponselku masuk ke dalam kamar, sehingga aku amsih bisa menghubungi Erwin tanpa sepengetahuan Alisha. Aku bangun perlahan dari tempat tidur dan mengunci pintu kamar. Aku tak ingin Alisha masuk lagi ke kamar ini, lalu kumatikan lampu. Biarlah kamar ini nampak gelap, aku yakin Tisa tak akan bangun.Aku mengecup kening puteriku lalu mengirim pesan pada Erwin. Tingkahku malam ini layaknya seorang kekasih yang sedang mencuri waktu untuk saling berkirim pesan. Pesanku terkirim lalu Erwin mene