Share

8. Anak itu Mirip Bos

Setelah lenganku diperban, Erwin menawarkan diri mengantarku pulang.

"Sebaiknya aku antar kau pulang, tak usah masuk kerja hari ini. Aku sudah memintakan izin di bagian personalia untukmu."

Mungkin Erwin merasa iba melihat saat aku meringis ketika dokter mengobatiku, makanya setelah perban itu selesai dia menawarkan diri mengantarku.

"Maaf pak, rumah kami sangat jauh. Aku biar naik angkot saja," tolakku dengan halus.

Kulihat Erwin tersenyum, bukannya menuruti permintaanku, dia malah menarik tanganku menuju lift. Aku merasa risih karena saat ini aku masih memakai pakaian seragam.

Erwin menyadari kondisiku, akhirnya dia menemaniku ke ruangan ganti di lantai satu. Faijah yang melihatku memicingkan matanya, aku berusaha menyembunyikan perban di lenganku.

Setelah menyapanya dan menceritakan alasanku pulang dia lalu tersenyum.

"Baiklah, titip salam untuk anakmu ya, kemarin kami tak sempat menjenguknya," ucap Faijah sambil menepuk bahuku.

Yah alasan yang paling masuk akal dalam situasi ini adalah anakku. Faijah melambaikan tangannya saat aku berjalan beriringan keluar bersama Erwin. Tatapan keheranan karyawan lain tak kuhiraukan. Aku ingin secepatnya keluar dari tempat ini.

Sesampainya di tempat parkir, aku dipersilahkan Erwin masuk ke mobilnya. Tengah memasang sabuk pengaman tiba-tiba ponsel Erwin berdering. Erwin menaruh ponselnya di dashbord mobil dan menyalakan speakernya.

Aku menyandarkan tubuhku di kursi mobil, kudengar suara Azhar di seberang telepon.

"Kau dimana ?"

"Aku lagi di jalan bos," Jawab Erwin sambil mulai menjalankan mobilnya perlahan.

"Bagaimana dengan karyawan tadi yang lengannya melepuh ?"

Aku tercekat mendengar pertanyaannya. Kulihat Erwin melirikku sesaat.

"Aku sekarang mengantar dia ke rumahnya bos."

Sesaat tak ada suara lalu kemudian terdengar helaan nafasnya yang berat.

"Apakah dia baik-baik saja ?"

"Dia baik-baik saja, apakah kau mau bicara dengannya ?" Tawaran Erwin pada Azhar membuatku panas dingin.

Aku menggelengkan kepalaku dengan kuat sebagai tanda aku menolak untuk bicara.

Erwin tersenyum penuh arti, asistennya ini terlihat konyol juga.

"Dia tertidur bos, kedengarannya kau sangat mengkhawatirkannya bos, apakah kau mengenalnya ?"

"Aa..aku tak sempat melihat wajahnya, apakah dia Mita Ariendy ?" tanya Azhar lagi.

"Mita..siapa dia bos, sepertinya nama itu sangat berarti bagimu."

"Aku tanya itu ya dijawab !" bentaknya. Dia terdengar sangat gusar karena Erwin tak langsung menjawabnya malah memberikan pertanyaan baru.

"Gadis yang sedang berasamaku bukan Mita yang kau maksud bos. Gadis ini pelayan pantri," jawab Erwin lalu melirikku dan tersenyum. Kelihatannya dia ingin mengerjai bosnya. Tapi aku tidak perduli.

"Oh baiklah, cepat balik ke kantor, aku membutuhkanmu disini."

"Siap bos !"

Panggilan telepon itupun berakhir.

"Sepertinya bos mengkhawatirkan dirimu, apakah kalian sebelumnya pernah saling kenal ?" tanya Erwin padaku.

Aku memalingkan wajahku ke arahnya.

"Tidak !" Jawabku singkat.

Kulihat Erwin sepertinya tak percaya dengan jawabanku, dia lalu fokus pada jalanan yang di hadapannya.

"Kita mampir sebentar di restaurant, aku belum sarapan pagi," ucapnya..

Aku yang hanya menumpang tentunya tak menolak. Saat Erwin memarkirkan mobilnya di halaman sebuah rumah makan, aku ikut turun. Tak mungkin aku berdiam diri di dalam mobil orang yang telah membantuku.

Kami mengambil tempat duduk yang paling pojok, rumah makan ini terlihat sepi, maklum masih pagi.

Pelayan menghampiri kami, Erwin memesan dua porsi makanan untuk kami berdua. Rupanya diapun tahu jika aku juga belum sarapan.

Sambil menunggu pesanan kami datang, Erwin membuka tas kecil yang dibawanya dan mengeluarkan selembar kertas.

"Aku sarankan padamu untuk berhenti saja dari pekerjaanmu. Maaf jangan tersinggung, aku tak ingin nyonya Alisha mempersulit dirimu. Aku tak tahu ada cerita apa diantara kau dan bos, tapi aku hanya bisa menyarankanmu begitu."

Aku menatap Erwin, kulihat dia bersungguh-sungguh mengatakan hal itu.

"Baiklah!"

"Ini cek yang diberikan Azhar untukmu saat tahu anakmu di rumah sakit. Aku mencarimu di desa Sukamaju tapi ternyata rumahmu tertutup. Tulislah angka satu milyar di cek ini. Aku harap uang ini bisa membantu meringankan kesulitanmu."

Erwin menyodorkan cek kosong itu padaku, aku sempat ragu untuk menerimanya. Namun bayangan Tisa terlintas dimataku, akhirnya kuraih juga cek itu.

Mataku berkaca-kaca, Erwin melihatnya.

"Apakah aku boleh tau anakmu sakit apa ? Bisakah aku melihatnya ?"

"Dia divonis harus menjalani transfusi darah seumur hidupnya," suaraku tercekat di tenggorokan. Entah mengapa setelah mengatakan itu, beban dipundakku serasa berkurang.

"Apakah penyakit Thalasemia ?" tebak Erwin.

Aku mendongak, bagaimana dia tahu. Seakan memahami arti raut wajahku Erwin lalu bercerita.

"Aku mengenal bos lima tahun yang lalu, saat itu dia terlihat sangat putus asa. Kami bekerja di perusahaan yang sama. Tak banyak yang aku ketahui tentangnya, namun ibunya pernah bercerita padaku jika dia sebenarnya punya seorang kakak perempuan yang sudah meninggal sewaktu kecil karena penyakit Thalasemia."

Aku terkejut mendengarnya, ternyata penyakit genetik yang menimpa Tisa benar adanya. Penyakit itu menurun dari garis keturunan Azhar.

Rupanya Erwin melihat keterkejutanku, dia hendak mengatakan sesuatu tetapi urung karena pesanan kami sudah tiba.

Kami menyantap makanan dalam diam, sesekali Erwin mengamatiku. Tapi aku pura-pura tak melihatnya.

Setelah makan kami melanjutkan perjalanan. Tak ada percakapan berarti selama menuju ke desa Durian.

"Itu rumah nenekku tuan, yang ada pohon mangganya di pertigaan jalan," tunjukku saat kami sudah memasuki desa Durian.

Erwin memarkir mobilnya di halaman, aku menawarinya untuk mampir.

Saat melihat mobil berhenti di halaman rumah, Tisa berlari-lari kecil menyambutku.

"Mama...!"Teriaknya.

"Jangan berlari sayang nanti jatuh," aku segera menggendongnya.

Kulihat Erwin ikut turun dari mobil. Dia mencubit pipi anakku dengan gemas.

"Cantik sekali, siapa namanya ?"

"Tisa," Jawab Tisa dengan suara imutnya.

"Anak ini mirip bos," gumaman Erwin walau pelan namun aku sempat mendengarnya.

Ibu dan nenek mempersilahkan Erwin masuk ke dalam rumah.

Kulihat Erwin menatap Tisa tak berkedip dan mengeluarkan ponselnya, saat aku memangku Tisa di pangkuanku.

"Sini sama om," Erwin menggapai tangan mungil Tisa.

Tisa malah menyembunyikan wajahnya di dadaku. Tak lama kemudian ibu menyuguhkan dua cangkir teh hangat di meja.

"Mari nak, silahkan diminum mumpung masih hangat."

"Terima kasih," jawab Erwin saat ibuku menawarkannya minum.

Kuamati asisten Azhar ini sesaat, tubuhnya tidak terlalu tinggi, kulitnya sawo matang namun cukup tampan. Jika dilihat dari usianya, dia seusia Azhar.

Aku dan Azhar terpaut perbedaan usia satu tahun. Bulan September ini aku genap berusia dua puluh enam tahun, dan Azhar dua puluh tujuh tahun.

Erwin meminum tehnya, dan setelah berbasa basi sesaat, dia lalu pamit pulang. Tetapi sebelumnya dia meminta nomor ponselku.

"Apa aku bisa minta nomor ponselmu ? Siapa tau aku bisa menawarkan pekerjaan untukmu."

Aku lalu memberikan nomor ponselku padanya. Kulambaikan tanganku saat mobil Erwin bergerak meninggalkan halaman rumah nenek.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status