Share

8. Anak itu Mirip Bos

Author: Twin_Bolo
last update Last Updated: 2022-09-10 11:49:45

Setelah lenganku diperban, Erwin menawarkan diri mengantarku pulang.

"Sebaiknya aku antar kau pulang, tak usah masuk kerja hari ini. Aku sudah memintakan izin di bagian personalia untukmu."

Mungkin Erwin merasa iba melihat saat aku meringis ketika dokter mengobatiku, makanya setelah perban itu selesai dia menawarkan diri mengantarku.

"Maaf pak, rumah kami sangat jauh. Aku biar naik angkot saja," tolakku dengan halus.

Kulihat Erwin tersenyum, bukannya menuruti permintaanku, dia malah menarik tanganku menuju lift. Aku merasa risih karena saat ini aku masih memakai pakaian seragam.

Erwin menyadari kondisiku, akhirnya dia menemaniku ke ruangan ganti di lantai satu. Faijah yang melihatku memicingkan matanya, aku berusaha menyembunyikan perban di lenganku.

Setelah menyapanya dan menceritakan alasanku pulang dia lalu tersenyum.

"Baiklah, titip salam untuk anakmu ya, kemarin kami tak sempat menjenguknya," ucap Faijah sambil menepuk bahuku.

Yah alasan yang paling masuk akal dalam situasi ini adalah anakku. Faijah melambaikan tangannya saat aku berjalan beriringan keluar bersama Erwin. Tatapan keheranan karyawan lain tak kuhiraukan. Aku ingin secepatnya keluar dari tempat ini.

Sesampainya di tempat parkir, aku dipersilahkan Erwin masuk ke mobilnya. Tengah memasang sabuk pengaman tiba-tiba ponsel Erwin berdering. Erwin menaruh ponselnya di dashbord mobil dan menyalakan speakernya.

Aku menyandarkan tubuhku di kursi mobil, kudengar suara Azhar di seberang telepon.

"Kau dimana ?"

"Aku lagi di jalan bos," Jawab Erwin sambil mulai menjalankan mobilnya perlahan.

"Bagaimana dengan karyawan tadi yang lengannya melepuh ?"

Aku tercekat mendengar pertanyaannya. Kulihat Erwin melirikku sesaat.

"Aku sekarang mengantar dia ke rumahnya bos."

Sesaat tak ada suara lalu kemudian terdengar helaan nafasnya yang berat.

"Apakah dia baik-baik saja ?"

"Dia baik-baik saja, apakah kau mau bicara dengannya ?" Tawaran Erwin pada Azhar membuatku panas dingin.

Aku menggelengkan kepalaku dengan kuat sebagai tanda aku menolak untuk bicara.

Erwin tersenyum penuh arti, asistennya ini terlihat konyol juga.

"Dia tertidur bos, kedengarannya kau sangat mengkhawatirkannya bos, apakah kau mengenalnya ?"

"Aa..aku tak sempat melihat wajahnya, apakah dia Mita Ariendy ?" tanya Azhar lagi.

"Mita..siapa dia bos, sepertinya nama itu sangat berarti bagimu."

"Aku tanya itu ya dijawab !" bentaknya. Dia terdengar sangat gusar karena Erwin tak langsung menjawabnya malah memberikan pertanyaan baru.

"Gadis yang sedang berasamaku bukan Mita yang kau maksud bos. Gadis ini pelayan pantri," jawab Erwin lalu melirikku dan tersenyum. Kelihatannya dia ingin mengerjai bosnya. Tapi aku tidak perduli.

"Oh baiklah, cepat balik ke kantor, aku membutuhkanmu disini."

"Siap bos !"

Panggilan telepon itupun berakhir.

"Sepertinya bos mengkhawatirkan dirimu, apakah kalian sebelumnya pernah saling kenal ?" tanya Erwin padaku.

Aku memalingkan wajahku ke arahnya.

"Tidak !" Jawabku singkat.

Kulihat Erwin sepertinya tak percaya dengan jawabanku, dia lalu fokus pada jalanan yang di hadapannya.

"Kita mampir sebentar di restaurant, aku belum sarapan pagi," ucapnya..

Aku yang hanya menumpang tentunya tak menolak. Saat Erwin memarkirkan mobilnya di halaman sebuah rumah makan, aku ikut turun. Tak mungkin aku berdiam diri di dalam mobil orang yang telah membantuku.

Kami mengambil tempat duduk yang paling pojok, rumah makan ini terlihat sepi, maklum masih pagi.

Pelayan menghampiri kami, Erwin memesan dua porsi makanan untuk kami berdua. Rupanya diapun tahu jika aku juga belum sarapan.

Sambil menunggu pesanan kami datang, Erwin membuka tas kecil yang dibawanya dan mengeluarkan selembar kertas.

"Aku sarankan padamu untuk berhenti saja dari pekerjaanmu. Maaf jangan tersinggung, aku tak ingin nyonya Alisha mempersulit dirimu. Aku tak tahu ada cerita apa diantara kau dan bos, tapi aku hanya bisa menyarankanmu begitu."

Aku menatap Erwin, kulihat dia bersungguh-sungguh mengatakan hal itu.

"Baiklah!"

"Ini cek yang diberikan Azhar untukmu saat tahu anakmu di rumah sakit. Aku mencarimu di desa Sukamaju tapi ternyata rumahmu tertutup. Tulislah angka satu milyar di cek ini. Aku harap uang ini bisa membantu meringankan kesulitanmu."

Erwin menyodorkan cek kosong itu padaku, aku sempat ragu untuk menerimanya. Namun bayangan Tisa terlintas dimataku, akhirnya kuraih juga cek itu.

Mataku berkaca-kaca, Erwin melihatnya.

"Apakah aku boleh tau anakmu sakit apa ? Bisakah aku melihatnya ?"

"Dia divonis harus menjalani transfusi darah seumur hidupnya," suaraku tercekat di tenggorokan. Entah mengapa setelah mengatakan itu, beban dipundakku serasa berkurang.

"Apakah penyakit Thalasemia ?" tebak Erwin.

Aku mendongak, bagaimana dia tahu. Seakan memahami arti raut wajahku Erwin lalu bercerita.

"Aku mengenal bos lima tahun yang lalu, saat itu dia terlihat sangat putus asa. Kami bekerja di perusahaan yang sama. Tak banyak yang aku ketahui tentangnya, namun ibunya pernah bercerita padaku jika dia sebenarnya punya seorang kakak perempuan yang sudah meninggal sewaktu kecil karena penyakit Thalasemia."

Aku terkejut mendengarnya, ternyata penyakit genetik yang menimpa Tisa benar adanya. Penyakit itu menurun dari garis keturunan Azhar.

Rupanya Erwin melihat keterkejutanku, dia hendak mengatakan sesuatu tetapi urung karena pesanan kami sudah tiba.

Kami menyantap makanan dalam diam, sesekali Erwin mengamatiku. Tapi aku pura-pura tak melihatnya.

Setelah makan kami melanjutkan perjalanan. Tak ada percakapan berarti selama menuju ke desa Durian.

"Itu rumah nenekku tuan, yang ada pohon mangganya di pertigaan jalan," tunjukku saat kami sudah memasuki desa Durian.

Erwin memarkir mobilnya di halaman, aku menawarinya untuk mampir.

Saat melihat mobil berhenti di halaman rumah, Tisa berlari-lari kecil menyambutku.

"Mama...!"Teriaknya.

"Jangan berlari sayang nanti jatuh," aku segera menggendongnya.

Kulihat Erwin ikut turun dari mobil. Dia mencubit pipi anakku dengan gemas.

"Cantik sekali, siapa namanya ?"

"Tisa," Jawab Tisa dengan suara imutnya.

"Anak ini mirip bos," gumaman Erwin walau pelan namun aku sempat mendengarnya.

Ibu dan nenek mempersilahkan Erwin masuk ke dalam rumah.

Kulihat Erwin menatap Tisa tak berkedip dan mengeluarkan ponselnya, saat aku memangku Tisa di pangkuanku.

"Sini sama om," Erwin menggapai tangan mungil Tisa.

Tisa malah menyembunyikan wajahnya di dadaku. Tak lama kemudian ibu menyuguhkan dua cangkir teh hangat di meja.

"Mari nak, silahkan diminum mumpung masih hangat."

"Terima kasih," jawab Erwin saat ibuku menawarkannya minum.

Kuamati asisten Azhar ini sesaat, tubuhnya tidak terlalu tinggi, kulitnya sawo matang namun cukup tampan. Jika dilihat dari usianya, dia seusia Azhar.

Aku dan Azhar terpaut perbedaan usia satu tahun. Bulan September ini aku genap berusia dua puluh enam tahun, dan Azhar dua puluh tujuh tahun.

Erwin meminum tehnya, dan setelah berbasa basi sesaat, dia lalu pamit pulang. Tetapi sebelumnya dia meminta nomor ponselku.

"Apa aku bisa minta nomor ponselmu ? Siapa tau aku bisa menawarkan pekerjaan untukmu."

Aku lalu memberikan nomor ponselku padanya. Kulambaikan tanganku saat mobil Erwin bergerak meninggalkan halaman rumah nenek.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   57. Bodyguard

    Ternyata tamu yang dimaksud Nabila adalah pemuda yang kulihat saat di sekolah Tisa. Mereka adalah orang suruhan suamiku yang memantau keberadaan kami dari jauh."Maaf atas kedatangan kami ini bu, seharusnya kami memberitahu ibu lebih dulu," seorang pria bertubuh tinggi menjabat tanganku."Tidak apa-apa, mari silakan duduk," ucapku sambil mempersilakan mereka duduk."Kenalkan nama saya Ivan dan ini teman saya namanya Jeck," Ivan yang bertubuh tinggi memperkenalkan diri. Aku mengingatnya karena dia yang terus-terusan memperhatikan aku di depan sekolah Tisa. Kami berbincang panjang lebar, kurasa upaya suamiku untuk melindungi kami terlalu berlebihan, terpikir olehku untuk menyambangi Alisha sekedar bersilaturahmi karena dia dalam keadaan sakit. Aku ingin membawakannya makanan atau bingkisan yang tentunya membuat orang yang di besuk merasa senang."Terima kasih sudah menjaga kami, sepertinya kalian terlalu berlebihan melindungi kami," ucapku."Maaf bu, kami hanya menjalankan perintah, ta

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   56. Gambar Tisa

    Aku memilih untuk memendam sendiri apa yang kualami hari ini, aku tak ingin membuat heboh seisi rumah dengan ceritaku."Tadi ayah Tisa menelpon, katanya nomor ponselmu sejak tadi dihubungi tidak aktif," Salsa menyampaikan pesan ayah Tisa padaku.Aku merogoh tas tanganku, kulihat ponselku ternyata off. Mungkin aku tak sengaja memencet tombolnya."Oh ternyata ponselku mati!" kataku sambil mengajak Tisa masuk ke dalam kamar.Aku mengganti baju sekolah Tisa dengan pakaian rumah. "Tisa mau makan ?""Aku masih kenyang ma ntar lagi, aku mau menggambar lagi," jawab Tisa.Aku hanya mengiyakan saja, menggambar bukanlah pekerjaan yang berat tapi aku harus mendampinginya agar tak kelelahan.Tak berapa lama setelah ponsel ku nyalakan, tiba-tiba berdering, aku tak perlu melihat lagi siapa penelponnya karena aku sudah menaruh nada dering khusus untuk suamiku."Hallo, iya maaf aku baru tiba di rumah, tadi ponselku kehabisan baterai," kilahku saat Azhar menelpon dengan segudang protesnya."Aku baru s

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   55. Nyaris ditabrak mobil

    Mita POVSuasana kompleks perumahan sudah di ramaikan dengan pedagang keliling yang menjalankan dagangannya. Aku berdiri di tepi jalan menanti kedatangan Tisa yang di jemput Salsa. Awalnya aku merasa ragu untuk mengizinkan Tisa menginap di rumah Alisha, namun demi alasan kemanusiaan aku mengizinkannya.Dari kejauhan aku melihat mobil Salsa memasuki area kompleks, akhirnya hati ini tentram. Aku bernafas lega, tak berapa lama mobil itu berhenti tepat di sampingku."Mama....!" Teriak Tisa saat melihatku dari jendela mobil.Aku membukakan pintu untuknya dan segera memeluknya dengan erat. Aku membimbing Tisa masuk ke rumah. Aku telah menyiapkan buku catatan yang akan di bawanya ke sekolah. "Tisa sudah sarapan ?" tanyaku lalu memakaikan tas ransel sekolah di bahunya."Sudah !" Jawab Tisa."Ayo mama antar ke sekolah, ceritanya nanti pulang sekolah saja,," ucapku saat melihat Tisa yang ingin mengatakan sesuatu.Kemudian kami bergegas keluar dan berpamitan pada ibuku dan Salsa. Nabila tak ter

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   54.. Belum Jelas

    Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, senyum sinis Alisha mengganggu pikiranku. Aku segera menekan pedal gas agar langsung tiba secepatnya di kantor.Ketika memasuki area parkiran gedung kantor kulihat mobil Erwin sudah terparkir lebih dulu. Aku bergegas menuju ke lantai tujuh. Sapaan para karyawan kubalas dengan anggukan kepala."Tuan Erwin sudah menunggu di dalam tuan," lapor sekretarisku.Aku hanya mengangguk lalu masuk ke dalam ruangan, kulihat Erwin sedang duduk menyilangkan kedua kakinya di kursi sofa. Aku menaruh tas kantor di meja lalu menghampiri Erwin."Sudah lama ?" tanyaku."Lumayan," jawab Erwin tersenyum."Ah kamu, jangan membohongiku. Bagaimana hasil pertemuanmu dengan dokter spesialis di Rumah Sakit ?" tanyaku dengan tak sabar."Maaf, aku hanya berbincang-bincang dengan adikku. Menurut penuturannya, terkadang pasien yang memiliki sakit seperti itu sulit terdeteksi kecuali pasien yang sakit itu datang berobat. Cobalah untuk mengajak isterimu berobat, penyakit i

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   53. Porsi Cinta

    Aku dan Tisa keluar dari kamar saat Alisha mengetuk pintu kamar, aku mengedipkan sebelah mataku pada Tisa. Rupanya Alisha sudah menyiapkan sarapan pagi. Aku berusaha melirik ke arah dapur, ingin memastikan apakah dia yang masak atau hanya sekedar menyiapkan di meja saja."Ayo sarapan pa," ajak Alisha."Ayo Tisa sarapan yuk," Alisha mengajak Tisa dan menggandengnya menuju meja makan."Maaf bunda, aku mau mandi dulu," tolak Tisa, dia lalu menoleh padaku."Oh ayo bunda mandiin," Alisha tak jadi menuju ruang makan dan berbalik menggandeng tangan Tisa menuju kamar mandi.Kesempatan itu aku gunakan untuk mandi juga, aku bergegas ke dalam kamar, mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi, setelah memastikan tubuhku sudah bersih, aku segera keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang. Aku memakai pakaian kantor, rencanaku setelah sarapan langsung pergi ke kantor. Setelah rapi aku segera keluar kamar, kulihat Alisha dan Tisa juga baru keluar

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   52. Remaja yang Kasmaran

    Malam ini aku tertidur di samping Tisa, aku bahkan tak tahu jika mertuaku sudah pulang dan sempat menyaksikan diriku yang tidur memeluk erat puteri kecilku ini. Aku terbangun ketika merasakan sesorang menyelimuti kami berdua. Karena lampu masih menyala aku masih sempat melihat bayangan Alisha keluar dari kamar dan menutup pintu. Jika melihat gerakan Alisha sepertinya dia dalam keadaan segar bugar, aku ingin menghubungi Erwin dan memintanya untuk menyelidiki penyakit Alisha. Untunglah aku sempat membawa ponselku masuk ke dalam kamar, sehingga aku amsih bisa menghubungi Erwin tanpa sepengetahuan Alisha. Aku bangun perlahan dari tempat tidur dan mengunci pintu kamar. Aku tak ingin Alisha masuk lagi ke kamar ini, lalu kumatikan lampu. Biarlah kamar ini nampak gelap, aku yakin Tisa tak akan bangun.Aku mengecup kening puteriku lalu mengirim pesan pada Erwin. Tingkahku malam ini layaknya seorang kekasih yang sedang mencuri waktu untuk saling berkirim pesan. Pesanku terkirim lalu Erwin mene

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status