Selama seharian, Ajeng tidak melihat Evan di mana pun. Mungkin pria itu langsung pergi ke rumah yang ditinggalinya bersama Ella.
"Hah, syukurlah. Lebih bagus lagi kalau nggak usah kembali lagi ke sini. Besok, aku masuk kerja seperti biasa. Menjenguk Ella, pulang, istirahat sendirian di rumah ini. Ah, nikmatnya hidup," ucapnya menghibur diri. Setelah ini dia harus lebih sering mengunjungi Ella. Jangan sampai sahabatnya itu berpikir macam-macam. "Sudah lapar, Nyonya? Saya baru saja selesai masak." Seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan tersenyum. "Perkenalkan, saya Bi Marni. Saya ke sini di jam-jam tertentu saja Nyonya. Pagi dan sore. Nyonya mau makan sekarang? Dari tadi siang belum makan apa-apa, pasti lapar lho." Ajeng mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain dirinya dan Bi Marni. "Boleh deh, Bi. Kebetulan saya lapar banget. Panggil saya Ajeng aja, Bi. Saya masih muda kok dipanggil Nyonya." Ajeng duduk di meja makan dan mengambil berbagai macam menu yang terlihat menggugah selera. "Nyonya kan nyonya rumah di sini. Ya saya harus manggil nyonya. Setelah ini saya pulang. Kalau ada apa-apa, panggil saya ya. Nomor telepon saya ada di dekat kulkas," kata Bi Marni. Ajeng mengangguk. Dia memberikan dua jempol pada wanita itu. "Masakannya enak banget, Bi. Nanti ajarin Ajeng ya." "Siap, Nyonya. Saya permisi dulu." Ajeng tersenyum melihat wanita itu. Sepertinya asyik diajak ngobrol. Setelah selesai menyantap makan sore, Ajeng memasukkan sisa lauknya ke dalam kulkas untuk dihangatkan besok. Lumayan untuk sarapan. Sisa harinya dihabiskan dengan menelpon ibunya, Ella, dan menerima telepon dari Sander, kakaknya. Sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tidak ada tanda-tanda dari Evan. Senyum Ajeng langsung mengembang. "Kalau menikah modelnya begini sih, enak," gumamnya. Ajeng memutuskan untuk mencuci muka dan menggosok gigi sebelum tidur. Hari ini dia benar-benar menikmati waktunya sendirian. Tanpa bekerja, tanpa mendengar omelan Bu Martha, tanpa cibiran sinis dari karyawan lain karena statusnya sebagai janda tanpa anak. "Kalau tahu begitu, aku lebih memilih untuk tidak pernah menikah," gumamnya sebelum terlelap. Entah sudah berapa lama Ajeng mengarungi alam mimpi, tiba-tiba ada yang menyibak selimutnya. Keningnya mengernyit. Dia masih berada di alam mimpi, kan? Sentuhan di pahanya membuatnya terlonjak kaget. Ia langsung membuka mata dan bertatapan dengan mata hazel milik Evan. Ajeng menelan ludah. Ia tahu arti dari tatapan itu. Dulu, Dimas selalu memberinya tatapan seperti itu setiap kali meminta jatah. "Kenapa kamu memakai gaun pendek ketika tidur?" tanya Evan dengan suara serak. Ajeng hampir saja menendang laki-laki itu dan menjerit minta tolong ketika bibirnya dibungkam dengan rakus, sampai ia baru sadar bahwa mereka baru saja menikah tadi siang. Dan tujuannya dipaksa menikah dengan Evan adalah untuk melayani pria itu. "Evan..." "Panggil aku Mas seperti kamu memanggil Dimas dulu," perintah Evan dengan sedikit marah. Meskipun tidak mengerti kenapa Evan mendadak marah, Ajeng menurut saja. Apalagi ketika sentuhan Evan membuat otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih. "Mas Evan!" Ajeng tersentak ketika merasakan sensasi yang belum pernah dirasakannya bersama Dimas. Mereka saling pandang dengan nafas terengah-engah. Sepertinya laki-laki di atasnya itu juga merasakan hal yang sama. Wajahnya terlihat terkejut. "Kamu..." Evan menggertakkan rahangnya dan alisnya mengernyit. Seperti menahan sesuatu. Tapi lama-lama pria itu lepas kendali. Membawa Ajeng ke dunia lain yang baru kali ini dirasakannya. Ternyata dia berubah menjadi Ajeng yang lain. Entah apa yang dilakukan Evan padanya, yang jelas Ajeng menjadi sedikit liar dan ikut lepas kendali. Entah sudah berapa lama mereka saling melepas rindu yang entah datangnya dari mana, yang jelas Ajeng kelelahan sekarang. Mungkin karena dia sudah lama tidak disentuh. Mungkin sisi lain dirinya yang sebenarnya begitu, Ajeng tidak tahu. Euforia menyenangkan itu lama-lama menghilang, digantikan dengan rasa bersalah pada Ella. Bagaimana jika wanita itu tahu bahwa suaminya menyentuh Ajeng malam ini? Melampiaskan hasrat yang terpendam selama berbulan-bulan lamanya. Tidak. Ella tidak perlu tahu mengenai hal ini. Evan memang pintar karena memberikannya rumah lain dan tidak mengajaknya tinggal serumah dengan Ella. Wanita mana yang tidak sakit hati melihat suaminya menyentuh wanita lain? Meskipun Ella terlihat bahagia, hati wanita itu pasti berdarah-darah. Tidak ada perempuan yang mau dimadu. "Terima kasih," bisik Evan sebelum mencium pundaknya. Ajeng hanya diam saja. Pria itu memeluknya dari belakang, seolah-olah mereka adalah pasangan suami istri yang saling mencintai. Setetes air mata mengalir menuruni wajahnya hingga membasahi bantal. Beginikah rasanya menjadi wanita simpanan? Menjadi wanita pemuas nafsu? Pria hanya akan bersikap baik jika ada maunya saja. Jika nafsunya sudah dipuaskan, mereka akan kembali seperti semula. Tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan, Ajeng menutup mata. Menahan rasa aneh ketika dipeluk oleh Evan. Pria yang tidak berani ia ajak bicara jika tidak ada Ella. *** "Hari ini Ella meminta kamu untuk ke rumah." Gerakan Ajeng menyisir rambutnya terhenti. Evan bahkan tidak bertanya kenapa dia berpakaian rapi pagi ini dengan pakaian kerja. Padahal seharusnya hari ini mereka masih dalam masa bulan madu. Hah? Lagi-lagi Ajeng tidak sadar diri. Dia hanyalah istri kedua yang menikah karena paksaan dari sahabatnya yang gila. "Buat apa? Aku mau langsung ke kantor," tolak Ajeng. "Kamu berani menolak orang yang sudah menolong ayah kamu?" kata Evan dengan tatapan tajam. Ajeng langsung melengos. Sudah dia duga sikap pria itu akan kembali seperti semula setelah hasratnya terpuaskan. Rasanya ia seperti perempuan bayaran. Ini bahkan lebih buruk daripada dihina mandul oleh mantan ibu mertuanya dulu. "Jangan sampai Ella menolak untuk melakukan pengobatan lagi gara-gara kamu," kata Evan dingin. "Seharusnya kamu nggak perlu kembali lagi ke rumah ini tadi malam. Fokus merawat Ella. Bukan malah bermalam di rumah wanita lain," sahutnya tak kalah dingin. "Ingat, kamu aku nikahi karena apa. Atau kamu mau melunasi hutang kamu ke Ella?" Ajeng menggertakkan rahangnya. Ada rasa benci yang sedikit demi sedikit muncul karena ulah Ella. Seandainya sahabatnya itu tidak egois dengan memaksanya menikah dengan Evan, ia tidak akan berada di posisi ini. "Tidak perlu kamu ulangi pun aku tahu kamu menikahi aku karena apa. Toh kemarin malam kamu menggunakan waktu tidurku untuk kesenangan kamu," tukas Ajeng dengan tangan terkepal. Evan langsung mengerjap, seperti baru sadar akan sesuatu. Bibir pria itu menipis sebelum berucap, "Aku tadi malam hanya sedang khilaf."H-1 sebelum pesta dilaksanakan di sebuah kapal pesiar mewah, Siska mengetuk pintu kamar Ajeng untuk menanyakan tentang kepastian acara besok. Dia lupa pesta diadakan jam berapa, karena betapa banyaknya pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan sebelum akhirnya naik ke kapal pesiar demi menghadiri pesta pernikahan sang sahabat."Jeng, kamu lagi sibuk nggak?" teriaknya setelah mengetuk pintu beberapa kali.Dia tadi melihat Evan bersama Dana sedang bercengkerama dengan bos besar dan nyonya besar Braun, jadi dia pikir Ajeng mungkin sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu."Jeng?"Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci."Aku buka ya. Maaf kalau aku mengganggu," ucapnya sambil tersenyum. Tidak sabar untuk bergosip ria dengan Ajeng. "Besok pestanya jam bera...pa..."Siska langsung menganga dengan mata membelalak ketika melihat tubuh yang hanya dibalut dengan handuk di bagian bawah pinggul. Dia terengah kaget dan hal itu membuat sang pemilik
Siska menatap mantan calon mertuanya tak percaya sekaligus geram. Padahal selama dia menjalin hubungan dengan Bayu, wanita itu begitu baik padanya. "Apa selama ini Tante hanya berpura-pura baik di depan saya? Kalau memang Bayu sudah bertunangan sejak kuliah, kenapa Tante menerima saya sebagai calon menantu?" tuntutnya.Ibu Bayu langsung gelagapan ketika Meliana mengerutkan kening, lalu menatap wanita itu curiga."Eh, ng-nggak kok Mel. Nggak usah percaya sama dia. Mama nggak kenal siapa dia. Bayu selalu setia sama kamu kok," kata ibu Bayu cepat-cepat.Hati Siska sakit sekali mendengarnya. Seandainya saja pernikahan itu sudah terlanjur terjadi, apakah dia akan ditindas oleh wanita itu? Dia jadi teringat dengan nasib Ajeng ketika menikah dengan Dimas. "Ck, ternyata memang bener ya. Orang jahat itu manipulatif dan pinter berpura-pura. Untung saya nggak jadi menikah sama Bayu. Nggak kebayang saya menjadi perempuan yang dibodohi oleh suami dan keluarganya."Siska beralih menatap Meliana.
Siska terus menangis entah sudah berapa lama. Dadanya sesak sekali dan rasanya dia ingin menghilang dari dunia ini. Cintanya pada Bayu begitu besar. Dia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada pria itu karena berpikir bahwa Bayu adalah belahan jiwanya."Kenapa pria yang terlihat baik dan setia seperti Bayu ternyata bajingan?" tanyanya setelah tangisnya reda, namun masih sesenggukan."Biasanya kan memang begitu," jawab Raka dengan santai.Siska langsung melotot pada pria yang telah bertahun-tahun menjadi rekan kerjanya menjadi orang kepercayaan Evan. Raka langsung mengangkat kedua tangannya."Biasanya memang begitu. Pria yang terlihat kalem dan nggak neko-neko tuh justru menyimpan banyak rahasia. Coba lihat Mr. Evan. Dia itu dingin, kelihatan nggak peduli sama perempuan. Eh tahu-tahu istrinya dua kan? Tapi kasusnya kan beda. Diam-diam dia bucin akut sama Ajeng."Siska menyeka air mata di wajahnya, tak peduli dengan make-up yang ikut luntur."Rasanya sakit banget, Ka. Kenapa aku nggak ja
"Semua dokumen sudah lengkap?""Sudah, Mr.," jawab Siska dengan antusias. Jantungnya berdegup kencang karena sebentar lagi akan bertemu dengan tunangannya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di perusahaan multinasional membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam, sehingga waktu untuk bertemu dengan tunangannya sangat sedikit."Semangat banget yang mau ketemu tunangan," goda Raka ketika mereka sampai di lobi perusahaan.Siska hanya tersenyum, namun debar dalam dadanya semakin kencang. Padahal mereka sebentar lagi menikah, tapi Siska merasa seperti baru saja jadian dengan sang tunangan.Mereka masuk ke dalam mobil dinas khusus CEO yang disediakan oleh perusahaan. Mobil mewah keluaran terbaru yang anti peluru, karena keselamatan Evan Braun sangatlah penting."Gimana liburannya di Malang, Pak?" tanya Raka membuka percakapan sambil fokus melihat jalanan di depannya."Menyenangkan. Istri saya pintar memilih tempat liburan yang bagus," jawab Evan sambil tersenyum.Siska yang duduk di s
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya, kenapa justru wanita itu yang datang menjenguknya? Bahkan orangtuanya sudah tidak peduli lagi, apalagi kekasihnya."Maaf ya baru bisa menjenguk kamu. Nih, aku bawain makanan kesukaan kamu," kata Ajeng sambil tersenyum."Kenapa?"Wanita itu mendongak. Gerakan tangannya meletakkan dua kotak makanan dan satu gelas minuman terhenti."Aku pengen bawain kamu makanan yang enak. Nggak aku kasih racun kok, udah diperiksa juga sama petugas," jawab Ajeng."Kenapa kamu mau repot-repot datang?" jelasnya.Ajeng menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat lebih bercahaya dan tetap awet muda, persis seperti ketika dia pertama kali dikenalkan pada wanita itu oleh Ella dulu.Hanya Ajeng yang tidak pernah mengusiknya, meskipun tahu bahwa dia membawa pengaruh buruk pada sahabat wanita itu. Jadi ketika Ella ikut terjerumus ke dalam sekte sesat demi bisa menghancurkan Ajeng, Johan tidak mendukung Ella sama sekali.Baginya, Ajeng itu seperti kertas putih yang sayan
"Kamu juga harus mati, Johan. Enak saja kamu masih hidup dengan tenang, sedangkan aku harus menjadi bulan-bulanan mereka."Johan membelalak ketika melihat Nadia mendekatinya dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali dia melihat wanita itu. Rambut panjang Nadia acak-acakan. Perut wanita itu berlubang dan mengeluarkan banyak darah. Lalu di tangan kanan wanita itu....Janin merah yang tiba-tiba saja melihat ke arahnya dengan mata melotot. Bibir janin itu tertarik membentuk senyuman dengan gigi-gigi runcing yang terlihat tajam."Ayah."Johan menjerit ketakutan. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga. Nadia sudah mati, dia yakin itu. Dia sendiri yang mengatakan pada Ansel di mana keberadaan Nadia sebelum kabur ke Australia. Belum jauh dia berlari, kakinya tersandung. Membuatnya jatuh dengan keras. Dua orang berjubah hitam dan bertudung menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri. "Nggak! Nggak lepasin aku! Aku udah bukan bagian dari kalian lagi!""Siapapun yang menjadi pengkhi