Agatha memberi tahu anak-anak bahwa pengumuman tentang pencarian keluarga telah disiarkan di televisi dan surat kabar. Responsnya luar biasa. Banyak orang tua yang kehilangan anak mereka segera menghubungi kantor berita untuk mendaftarkan identitas dan informasi lengkap.“Kalian akan segera bertemu keluarga kalian,” ucap Agatha, lembut dan penuh harapan.Anak-anak yang mendengarnya langsung bersorak. Mata mereka berbinar—mereka percaya, hari itu akan tiba. Hari saat mereka dipeluk kembali oleh orang tua mereka.Sementara itu, Erin yang membawa banyak camilan dari rumah, tak pelit membaginya dengan anak-anak. Mereka makan dengan ceria, tawa kecil memenuhi ruangan, seperti secercah cahaya dalam masa kelam yang baru saja mereka lewati.---Dua hari kemudian, kapten Raka kembali dari lokasi identifikasi dengan para tersangka di bawah penjagaan ketat.Di Shancheng dan Fengcheng, polisi menemukan jasad beberapa anak korban—yang telah menjadi tulang belulang. Bau kematian menyengat, meningga
Erin mengangguk pelan dan menjawab, “Ya.”Ia tahu bahwa sebenarnya Agatha yang ingin mengajak mereka berjalan-jalan. Namun, karena takut membuatnya sungkan, Agatha menyampaikan seolah-olah dirinya sendiri yang ingin keluar. Kebaikan seperti ini, Erin hanya bisa simpan dalam hati. Jika suatu hari ia bisa membalasnya—bahkan dengan nyawa sekalipun—ia tidak akan ragu sedikit pun.Setelah keluar dari kamar, mereka menuju ruang makan dan bergabung untuk makan bersama.Hidangan hari ini sangat berlimpah, sebagai perayaan kecil atas reuni keluarga Erin.Kakek Abian bahkan mengeluarkan sebotol Wuliangye yang selama ini ia simpan dan jarang sekali ia buka. Arhan, yang biasanya tak pernah menyentuh minuman keras, juga ikut minum seteguk kecil.Erin dan suaminya sementara tinggal di rumah keluarga Zhou.Selama beberapa hari, Adnan mengajak mereka berkeliling mengunjungi tempat-tempat wisata paling terkenal di Kota Jing. Agatha juga ikut bersama mereka sepanjang waktu.Setelah tiga hari berjalan-j
Meskipun Reno belum bisa berbicara, Erin tidak terlalu kecewa.Agatha sudah menjelaskan bahwa tenggorokan Reno saat ini sedang dalam pengobatan tradisional Tiongkok. Luka bakarnya cukup parah, sehingga pemulihannya memerlukan waktu dan kesabaran.Ia juga menyarankan agar mereka tinggal beberapa hari di sini.Selama menunggu pemulihan Reno, mereka bisa beristirahat, lalu pulang saat kondisinya sudah membaik.Erin pun merasa harapannya tumbuh kembali setelah mendengar bahwa suara putranya masih mungkin kembali. "Baiklah. Asalkan tenggorokan Reno bisa sembuh dan ia bisa bicara seperti anak-anak lain, aku rela menunggu. Di tempat pembelian ada orang yang membantu, jadi aku bisa tinggal beberapa hari tanpa terlalu mengganggu pekerjaan. Tapi, kurasa tidak bisa terlalu lama.""Jangan khawatir," ujar Agatha. "Tinggallah di sini dengan tenang. Kami sudah menyiapkan kamar untuk kalian. Tunggu saja sampai Reno pulih, baru kalian pulang.""Ini sungguh terlalu merepotkan kalian," kata Erin penuh s
Di dalam rumah, Agatha dan Reno tengah menunggu kedatangan Erin dan Ezra.Reno duduk tenang di sofa, memakan pisang yang baru saja dikupaskan oleh Agatha.Sementara itu, Arham dan Kakek Abian duduk tak jauh darinya, masing-masing larut dalam bacaan koran.Satu kamar tamu telah disiapkan khusus untuk Ezra dan Erin menginap. Rumah ini cukup luas, jadi tidak kekurangan tempat.Hari ini adalah akhir pekan. Baik Fahira maupun Arham libur dari pekerjaan, sehingga seluruh keluarga berkumpul di rumah.Gerbang halaman biasanya dibiarkan terbuka pada siang hari. Karena rumah berada di dalam kompleks, mereka tidak terlalu khawatir soal tamu tak dikenal.Fahira sudah menyiapkan makan siang sejak pagi.Kereta yang ditumpangi Ezra dan istrinya dijadwalkan tiba pukul sepuluh. Jika semuanya lancar, mereka diperkirakan tiba di rumah sekitar pukul sepuluh lewat empat puluh.Perjalanan naik kereta cukup melelahkan. Selain makanan yang seadanya, tubuh pun terasa penat setelah duduk berjam-jam.Agatha sem
"Ini bukan soal iblis. Dia hanya roh. Setelah menjadi roh, Coco memiliki ruangnya sendiri. Ia menyebutnya ‘ilusi’. Dunia itu seperti alam lain—dengan pegunungan hijau, air jernih, langit biru, dan awan putih. Tanahnya dipenuhi bunga dan pepohonan buah-buahan. Seperti negeri dongeng," kata Agatha pelan."Aku punya kontrak dengannya. Karena itulah aku bisa masuk ke dalam dunia ilusinya.""Jadi, alasan Reno bisa pulih begitu cepat... karena kamu memberinya buah dari dunia itu?" tanya Adnan, masih tertegun.Agatha mengangguk. "Benar."Adnan semakin penasaran. "Kalau kamu bisa masuk, apa aku juga bisa ikut?"Agatha menggeleng pelan. "Tidak bisa. Hanya aku yang bisa masuk karena kontrak itu. Tanpa ikatan kontrak, orang lain tak akan bisa masuk."Adnan terlihat kecewa, tetapi rasa ingin tahunya masih besar. "Kalau begitu, bisakah kamu tunjukkan bagaimana caramu masuk ke dunia itu? Aku ingin lihat."Agatha tersenyum. "Sangat mudah. Selama aku fokus dan berniat masuk, aku bisa langsung berada
"Bu, Ibu baru pulang dan membeli sayur?" tanya Agatha sambil menghampiri Fahira dengan senyum ramah.Fahira memarkir sepedanya, lalu mengambil kantong sayur dari kursi belakang sepeda—sayur-sayuran segar yang ia beli dari pasar."Pagi ini Ibu lihat stok sayur di kulkas hampir habis, jadi Ibu pergi ke pasar. Pulangnya agak terlambat. Ibu yakin kamu lapar. Ibu akan segera masak," katanya sambil tersenyum."Aku sudah siapkan makanannya, Bu. Ibu bisa langsung makan setelah masuk."Fahira menatap perut Agatha yang sudah membesar dan berkata dengan nada serius,"Perutmu sudah sangat besar sekarang, tidak aman kalau kamu banyak bergerak. Kalau sampai menabrak sesuatu, bisa berbahaya. Jangan lakukan ini lagi ya."Agatha tersenyum dan merangkul lengan ibunya, "Aku tahu, Bu. Yuk, kita masuk."Wajah Fahira pun kembali tersenyum, hatinya hangat melihat perhatian menantunya.Adnan, yang melihat istri dan ibunya akrab seperti ibu-anak kandung, merasa hatinya damai. Senyum di wajah orang-orang terde