Begitu tiba di rumah sakit, Agatha langsung menuju loket untuk membayar biaya administrasi.Mereka kemudian masuk menemui dokter. Setelah pemeriksaan singkat, gips di kaki Ardan dilepas.Saat itu juga, tubuh Ardan seakan kehilangan beban berat yang selama ini menindihnya. Rasa ringan menjalar dari telapak kaki hingga ke seluruh tubuh. Ia hampir tak percaya—setelah sekian lama hanya bisa berjalan pincang, kini ia kembali bisa melangkah normal.Sebelumnya, setiap kali ia mencoba berjalan, lututnya selalu menekuk kaku, membuat rasa sakit menjalar ke paha. Ia hanya bisa menyeret satu kaki dengan yang lain. Usianya yang kian menua membuat rasa sakit itu semakin nyata, semakin menyiksa.Namun sekarang… berbeda.Setiap langkah yang ia ambil seakan menandai awal kehidupan baru.Hidungnya terasa panas, matanya memerah. Rasa syukur yang menyesak di dadanya hampir membuatnya menangis. Ia tahu, semua ini karena Agatha. Putrinya telah memberinya kesempatan kedua dalam hidup.Melihat Ardan berdiri
Laras turun dari becak di depan gerbang kompleks keluarga Zhou. Ia menyerahkan dua yuan pada pengemudi, lalu melangkah masuk melewati halaman.Setelah sampai di depan pintu, ia mengetuk beberapa kali.Di dalam rumah, Agatha dan yang lain baru saja selesai makan siang. Mereka sedang duduk santai di ruang tamu, berbincang ringan, sambil menunggu waktu untuk pergi ke rumah sakit—hari ini Ardan akan melepas gips di kakinya.Fahira masih sibuk di dapur, mencuci piring.Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari arah pintu.“Sepertinya Laras,” ujar Arham sambil bangkit dari sofa. Ia berjalan ke pintu, lalu membukanya.Benar saja, di luar berdiri Laras dengan senyum ramah yang dibuat-buat. “Kak Arham, kalian ada di rumah?” sapanya, manis sekali.Arham mengangguk, memberi jalan masuk. Matanya melirik ke belakang Laras, mencari keberadaan Julian. Namun, tak terlihat batang hidungnya.“Lara, masuklah. Julian tidak ikut denganmu?” tanyanya.“Ah, anak itu terlalu malas. Dia memilih tidur di wisma, t
Saat mengetahui hasil pemeriksaan fisik Julia dinyatakan sehat, Ardan benar-benar gembira.Seluruh harapan hidupnya seakan ditaruh pada Julian. Baginya, menjadi tentara adalah jalan yang harus ditempuh anak itu, satu-satunya kesempatan untuk mengubah nasib.Melihat ayahnya tersenyum lega, Agatha pun ikut merasa bahagia.Namun, jauh di dalam hati, ia tidak menaruh terlalu banyak harapan pada Julian. Kebiasaan buruk seseorang… sering kali sudah mengakar sejak lahir, dan sulit untuk diubah hanya karena masuk barisan tentara.Agatha menunduk, meneliti laporan pemeriksaan di tangannya. Semua indikator kesehatan tampak bagus. Tetapi ketika matanya berhenti pada kolom tes darah, jantungnya berdetak keras.—Golongan darah: AIa membeku sejenak.Bukankah Ardan pernah mengatakan bahwa dirinya bergolongan darah B? Bahkan baru kemarin, saat mereka melewati ruang donor darah, ayahnya dengan bangga bercerita bahwa ia rutin menyumbangkan darah dua kali setahun.Kalau benar begitu, ada sesuatu yang t
Kemarin, Fahira sempat bercerita tentang perselisihannya dengan Bibi Mayang. Laras tahu, wanita tua ini datang mendekat bukan karena peduli, melainkan untuk menebar benih perpecahan.Namun, Laras tidak merasa terganggu. Hatinya sudah hancur. Keluarganya sendiri telah membuatnya kecewa.Dengan nada tenang, ia menjelaskan, “Bukan Kakek Abian. Yang terluka adalah suamiku, Ardan. Dia jatuh dan kakinya cedera.”Ekspresi Bibi Mayang langsung berubah, jelas terlihat kekecewaannya. “Oh… kukira Kakek Abian. Lalu bagaimana kondisi suami-mu?”“Tidak parah. Itu hanya luka lama di kakinya yang terbuka lagi. Hanya kulit yang robek sedikit, tidak serius.”Bibi Mayang mendengus lega. “Kalau begitu baguslah. Tapi… kalau dia baik-baik saja, kenapa kau tampak begitu murung?”Laras menarik napas panjang, suaranya bergetar menahan sakit hati. “Apa boleh buat? Anak perempuanku tidak berbakti. Ia tidak mengizinkan aku dan adiknya tinggal di rumah sebesar ini, malah menyuruh kami pindah ke wisma. Menurutmu,
Laras menatap suaminya dengan wajah dingin. “Lihat sendiri, kan? Baru semalam kita bicara, hari ini langsung dilaksanakan. Dengan kecepatan begini, jelas mereka memang ingin kita pergi.”“Itu juga maksudku,” sahut Ardan datar.Laras melirik tajam. “Ardan, apa kita ini masih keluarga? Kenapa kau tidak bisa berdiri di sisiku? Sehebat apa pun putrimu itu, dia tidak mungkin menemanimu seumur hidup. Pada akhirnya, yang ada di sampingmu tetap aku. Aku yang melahirkan anak untukmu. Inikah caramu memperlakukan aku? Apa kau membenciku sampai segitunya?”Ardan menahan napas, lalu berkata tegas, “Jangan tanya kenapa aku begini. Tanyakan pada dirimu sendiri. Selama ini aku menutup mata pada semua tingkahmu. Selama tak berlebihan, aku biarkan. Tapi justru karena itu kau jadi begini.Coba pikir lagi, sejak kau datang ke rumah ini apa yang sudah kau lakukan? Katanya menjenguk Agatha, katanya mau membantu saat dia melahirkan. Padahal tujuanmu jelas—mencari orang untuk mencarikan pekerjaan bagi Julian
Saat melihat Agatha sibuk di dapur, Fahira meletakkan barang-barang belanjaannya, lalu ikut masuk. Ia mengambil sayuran yang sedang dipetik Agatha.“Bu, sudah ketemu wismanya?” tanya Agatha sambil terus memotong bumbu.“Ibu sudah menemukannya” jawab Fahira . “Letaknya tidak terlalu jauh dari sini, wisma di bawah Biro Konservasi Air. Lingkungannya bagus, nyaman untuk ditinggali. Mereka pasti suka. Dari sekolah kita jaraknya cuma empat atau lima mil. Ibu sudah pesan untuk seminggu ke depan.”“Pas sekali. Dalam seminggu, kaki Ayahku pasti sudah sembuh. Hasil pemeriksaan Julian juga akan keluar tiga hari lagi. Kalau dia lulus, dia bisa langsung ikut wajib militer. Saat kaki Ayah sudah pulih, dia yang akan membawanya pulang,” kata Agatha.Fahira menghela napas. “Agatha… dia mungkin memang sulit diandalkan, sikapnya pun kadang bikin pusing. Tapi bagaimanapun, dia tetap ibumu. Jangan sampai suasana jadi kaku. Dia jauh dari Beijing, setahun saja paling cuma bisa ke sini dua kali. Abaikan saja