Seorang pasien di rumah sakit pernah berbisik kepadanya, mengatakan bahwa cucunya bukan sekadar sakit—tetapi kerasukan roh jahat.Dokter tidak mampu menyembuhkan hal semacam ini. Membiarkan cucunya terus dirawat di rumah sakit justru akan menunda kondisinya. Pasien tersebut lalu merekomendasikan mereka kepada seorang dukun. Katanya dukun itu mampu mengusir roh jahat dengan segelas air jimat.Dengan harapan tipis, mereka akhirnya membawa Aksa keluar dari rumah sakit. Mereka mendatangi dukun itu dan memohon pertolongannya.Saat melihat keadaan Aksa, wajah sang dukun langsung berubah serius. Ia menggeleng perlahan. “Jiwanya sudah pergi. Tubuh ini hanya cangkang kosong yang kini dihuni roh lain.”Ritual pun dilakukan. Sang Dukun menyalakan dupa, membacakan mantra dengan penuh konsentrasi. Keringat bercucuran membasahi wajahnya. Bahkan ia sendiri ikut meneguk air jimat demi memperkuat energi. Namun semua itu tetap tidak berhasil.Roh jahat di tubuh kecil Aksa menolak pergi.Melalui serangk
Yaya menatap neneknya dengan wajah kecil yang penuh keraguan. “Katakan saja apa yang ingin kau katakan. Aku tidak mau bersamamu. Aku ingin masuk kerumah.”Ibu Aidan tersenyum samar, berusaha menutupi kegugupan yang merayapi wajahnya. Tangannya terulur, mengelus lembut rambut hitam cucunya. “Kuncir rambut Yaya memang cantik. Tapi… Nenek bisa membuat gaya rambut yang lebih cantik lagi. Boleh Nenek buatkan untukmu?”Yaya sebenarnya suka dengan gaya rambut yang indah. Matanya sempat berbinar, lalu tersenyum kecil. “Boleh.”Ibu Aidan segera menggendongnya dan duduk di tangga rumah. Rambut Yaya dibiarkan terurai, lalu perlahan dikepang. Dari jendela, Yolan dan Fahira bisa melihat jelas pemandangan itu. Kakek-nenek dan cucu duduk bersama di tangga, tampak seolah-olah hanya sedang menikmati momen kebersamaan biasa.Ayah Aidan berdiri di belakang istrinya, kedua tangannya bersedekap, seakan hanya mengawasi. Dari luar, tak ada yang terlihat aneh.Yolan dan Fahira pun tanpa sadar melonggarkan ke
Perilaku mereka benar-benar sulit dipercaya. Berlutut kepada Fahira saja sudah keterlaluan — namun kini ibu Aidan benar-benar berlutut di hadapan Yolan. Semua orang terkejut; bahkan Agatha dan Fahira tak menyangka tindakan sedemikian rendah hati itu akan terjadi.Fahira segera menarik ibu Aidan dengan marah. “Apa yang kau lakukan? Kau sudah tua — tak pantas berlutut pada seorang anak! Kau ingin memperpendek hidupmu sendiri? Cukup, ini sudah keterlaluan!” suaranya tajam.Namun ibu Aidan tetap menggenggam kaki Yolan, suaranya tersekat oleh isak. “Yolan… aku tak bermaksud mempermalukanmu. Aku hanya ingin melihat cucuku. Tolong… biarkan aku melihatnya sekali—mungkin aku tak punya kesempatan lagi.”Kata-kata itu memukul dada Agatha seperti sesuatu yang aneh dan menyayat. Ada aura mendesak — seakan perpisahan antara hidup dan mati sedang berlangsung. Fahira menarik kuat, namun ibu Aidan tak juga bangkit. Matanya tertutup separuh, napasnya terdengar berat.Yolan tak mau dianggap lemah. Ia me
Wajah Fahira seketika muram. Tatapannya tajam mengarah pada dua orang yang berdiri di depan pintu.Orang tua Aidan tampak lusuh dan letih. Terakhir kali mereka bertemu adalah di ruang persidangan. Hanya setahun berlalu, tetapi wajah mereka kini penuh keriput, seolah belasan tahun bertambah dalam semalam.Pemenjaraan Aiden jelas menjadi pukulan berat bagi mereka.Namun, bagi Fahira, semua itu hanyalah balasan yang pantas mereka terima.“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya dingin.Ibu Aiden berusaha tersenyum, meski getir. “Kami… kami datang untuk menjenguk Cucu perempuanku.”Fahira hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia mendengus, suaranya penuh sindiran. “Apa aku salah dengar? Kau menyebut Yaya cucumu? Ha… sungguh berani. Sejak kecil, pernahkah kau mengurusnya satu hari saja? Kalau pun kau melihatnya sekarang, Yaya bahkan tak akan mengenalimu.”Ia melanjutkan dengan suara semakin tajam, “Kalian berdua hanya tahu mengurus putramu sendiri dan anak hasil perselingkuhanny
Laras berguling-guling sepanjang malam. Mulut, pipi, hingga seluruh tubuhnya terasa nyeri, membuatnya tak berani bergerak sedikit pun. Pria dengan gangguan jiwa itu benar-benar mesum. Begitu gairahnya bangkit, ia akan menyeringai, memamerkan gigi dan cakarnya, lalu menggigit atau mencubit sekuat tenaga, bahkan menampar wajahnya tanpa ampun. Suaranya tertawa terbahak-bahak masih terngiang di telinga. Yang paling menakutkan adalah dia seakan tidak pernah merasa lelah. Tenaganya seperti tak ada habisnya. Laras merasa dirinya hampir mati di tangan pria itu. Barulah ia mengerti mengapa perempuan sebelumnya memilih melarikan diri meskipun sudah melahirkan anak, bahkan dengan kondisi kaki patah. Ia benar-benar jatuh ke tangan iblis kejam. Sekalipun aku tidak melarikan diri, aku akan tetap disiksa sampai mati oleh laki-laki mesum seperti ini... Saat ini, penyesalan menyesakkan dadanya hingga rasanya ususnya membiru. Sonny—orang yang paling ia percayai—adalah orang yang menghancurkan kel
Mobil itu melaju makin jauh meninggalkan gemerlap kota.Di dalamnya, Sonny sibuk mengupas kuaci, satu per satu diberikan pada Laras agar wanita itu tidak bosan di perjalanan. Ia tetap sama seperti dulu — perhatian kecilnya selalu berhasil membuat hati Laras meleleh.Laras duduk di sampingnya, memandangi sosok yang dulu ia cintai. Hatinya terasa ringan, seperti gadis yang kembali jatuh cinta; setiap perhatian kecil Sonny membuat dunia di sekelilingnya menjadi hangat. Namun, kantuk pelan-pelan merayapi dirinya. Kepala terasa berat, pandangan berputar, kepalanya ingin terpejam.Rasa itu pernah datang sebelumnya — waktu ia ditipu oleh polisi palsu. Perlahan-lahan matanya menutup, dan dunianya menjadi gelap. Ia sempat berusaha menahan, mengangkat kepalanya untuk melihat Sonny, tetapi beratnya tak tertahankan. Otaknya kosong, lalu ia tak tahu apa-apa lagi.Sonny menatapnya sebentar dengan wajah sendu. “Maafkan aku, Laras… seharusnya kau tak perlu menempuh semua ini untuk mencariku,” bisikny