Lula tak beranjak dari tempatnya, meskipun Anike telah selesai mengungkapkan seluruh perasaan. Gadis itu masih termangu di sisi Anike sambil memikirkan sesuatu. "Hei, Anike," panggil Lula tiba-tiba. "Kau benar-benar belum pernah melakukan itu, ya?" "Belum," jawab Anike singkat. "Memangnya kau tidak pernah pacaran?" "Pernah, tapi tidak sampai sejauh itu," sahut Anike. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?" "Tidak apa-apa. Hanya saja aku tiba-tiba berpikir, mungkin kamu menolak kakakku karena takut. Pendekatan Carlen terlalu kasar, sehingga kau terkejut," cetus Lula. "Bukan hanya itu. Aku memang tidak cocok dengan kakakmu," sanggah Anike. "Tunggu sampai kau benar-benar merasakan bercinta dengannya. Kujamin kau akan menarik kata-katamu," sahut Lula penuh keyakinan. "Ih, kamu juga mesum rupanya," gerutu Anike. "Aku bicara apa adanya, Anike. Jangan terlalu naif. Bercinta itu kebutuhan," timpal Lula. "Coba kau lihat ini!" Lula menggeser layar ponsel mahalnya, lalu menunjukkan sesuatu
"Hm." Tajam sorot mata Carlen memindai Anike dari ujung kepala hingga kaki. "Dapat darimana uang sebanyak itu?" tanyanya sinis."Tidak peduli aku dapat darimana, yang jelas aku sudah memenuhi kontrakku," tegas Anike.Carlen tak menanggapi. Dia hanya memperhatikan Anike yang juga tengah menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan."Jadi ... kau benar-benar ingin lepas dariku?" tanya Carlen tiba-tiba."Aku ...." Tenggorokan Anike serasa tercekat. Ada banyak hal yang ingin dia ungkapkan pada Carlen. Namun tak sepatah katapun yang sanggup keluar dari mulutnya."Bukankah selama ini aku hanya menyusahkan anda?" ujar Anike.Lagi-lagi Carlen terdiam. Sejak bertemu dengan Anike, gadis itu memang selalu menyusahkannya. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa hari-hari Carlen menjadi lebih berwarna."Bagus kalau kau sadar," sahut Carlen."Ya, sudah. Terimalah ini." Anike menyodorkan koper kecil tersebut pada Carlen.
"Ini tidak mungkin," desis Marten tak percaya."Apanya yang tidak mungkin?" Anike menautkan alis."Apakah Carlen sengaja mengulur-ulur waktu?" Marten mengusap dagunya sembari menerka-nerka."Untuk apa?" Anike semakin tak mengerti.Marten menoleh pada Anike. Ditatapnya paras cantik itu untuk beberapa lama. "Carlen sengaja mengulur waktu untuk berpisah denganmu, Nona Anike. Seharusnya, setelah menerima uang itu, dia langsung membatalkan perjanjian kontraknya denganmu. Namun, lihatlah yang terjadi sekarang!" ujar Marten."Dia mencegahmu pergi dengan cara yang tidak masuk akal," imbuhnya."Ah, kurasa memang sifat Tuan Carlen seperti itu. Dia senang mengerjaiku. Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya dia memberikan tugas yang tak masuk akal sebagai kenang-kenangan, karena sebentar lagi kami akan berpisah," ucap Anike sambil menunduk dalam-dalam."Apa kau mulai jatuh cinta padanya?" tanya Marten tiba-tiba."Apa?" Anike langsung mendongak sambil menatap Marten sewot. "Mana mungkin aku jatuh
Mobil mewah yang dipinjam Marten, sudah terparkir rapi di garasi. Dua orang yang tadi memakai mobil tersebut, kini saling berbisik di depan ruang kerja Carlen."Sudahlah, Anike. Kau tenang saja. Biar aku yang menangani semuanya," tutur Marten seraya menepuk bahu Anike lembut."Tolong buka sedikit pintunya, Tuan. Supaya aku bisa mendengar percakapan kalian dengan jelas," pinta Anike."Oh, tentu." Marten kembali mengedipkan sebelah matanya. Dia menempelkan jari telunjuk di bibir, lalu mendorong Anike menjauh dari pintu.Marten mengembuskan napas sekali, sebelum melangkahkan kaki memasuki ruang kerja Carlen. Tak lupa, dia memasang senyum ceria."Sedang apa kau Carlen? Ini hari Minggu. Bersantailah sedikit," sapa Marten.Carlen yang sibuk memeriksa beberapa dokumen, sambil sesekali melirik ke layar laptop, segera menghentikan aktivitasnya. Dia menatap Marten tajam. "Apa yang kau inginkan?" "Ya, ampun. Basa-basilah sedikit." Marten tertawa melihat sang kakak yang masih menunjukkan sikap pe
"Diangkat nggak, nih?" Anike galau, antara mematikan ataukah menerima telepon Carlen."Angkat saja! Jangan sampai membuat dia curiga," saran Marten.Setelah menarik napas panjang berkali-kali, barulah Anike mengangkat teleponnya sambil mengaktifkan mode pengeras suara. "Halo," sapanya ragu-ragu."Kau di mana?" tanya Carlen."Anda di mana?" Anike balik bertanya."Aku yang lebih dulu bertanya. Jawab dulu," desak Carlen."A-aku, um, aku ...." Anike yang panik, langsung menoleh pada Marten. "Bi-lang sa-ja di ka-mar," Marten menggerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara.Anike mengangguk cepat. "Aku ada di kamar, Tuan," ujarnya."Baiklah, jangan tidur dulu," ucap Carlen."Kenapa?" "Nanti aku akan mengajakmu jalan-jalan," jawab Carlen.Marten dan Anike saling pandang mendengar kalimat Carlen barusan."Jalan-jalan?" ulang Anike. "Kenapa?"
“Tu-tuan? Anda sudah pulang?” tanya Anike terbata. Dia gemetar, menatap sosok tinggi tegap yang memandangnya dengan sorot berbeda.“Aku baru kembali dari mengantarkan Diana ke rumahnya,” sahut Carlen tanpa melepaskan pandangan.“Bagaimana? Apakah kencan butanya lancar?” tanya Anike lagi. Tak lupa dia memasang tampang ceria, meskipun hatinya tak karuan.“Apa kau yang mengatur semua rencana tadi?” Carlen malah balik bertanya.“Rencana apa?”“Jangan pura-pura.” Carlen mendekatkan wajah sembari menyentuh pipi mulus Anike. “Apa kau sudah tidak sabar untuk segera keluar dari rumahku?”Anike tak menjawab. Dia terlalu sibuk mengatur napas yang tak beraturan. Jantungnya seolah tak berfungsi normal, sehingga Anike harus meremas dada untuk menahan rasa yang hampir meledak.“Kenapa diam saja?” tanya Carlen lagi. Suaranya terdengar begitu dalam dan lemb
“Apa?” Anike segera mendongakkan wajah dan menatap tak percaya ke arah Carlen. “Seperti yang kau inginkan tadi. Aku memberimu kebebasan. Jalanilah hidupmu dengan sebaik-baiknya.” Carlen tersenyum kalem. Tak terlihat penyesalan atau sedikitpun kesedihan di wajah tampannya. Kalimat Carlen bagaikan pisau tajam yang menghujam jantung Anike. Terlebih raut suami kontraknya itu seakan tanpa beban, membuat batin Anike semakin tersiksa. Dia membalikkan badan dan tidur membelakangi Carlen. “Selamat tidur, Tuan,” ucapnya lirih. Sebisa mungkin dia memejamkan mata. Barangkali tidur dapat menyembuhkan luka hatinya. Carlen tak membalas ucapan itu. Namun, dia beringsut mendekat dan memeluk Anike dari belakang. Tak membutuhkan waktu lama bagi Carlen untuk terlelap. Dengkuran halus terdengar, menggelitik telinga Anike yang nyatanya tak bisa tidur sama sekali. Air mata menetes, membasahi pipi mulusnya. “Tak ada lagi yang tersisa,” gumam Anike pelan. Malam itu, dia kehilangan harga diri dan kehormatan
Carlen terbangun saat seseorang memercikkan air ke wajahnya. Sambil memicingkan mata, samar-samar dia melihat sosok seorang gadis sedang membawa segelas air. “Anike? Kau sudah bangun?” tanyanya dengan suara parau.“Aku Lula,” jawab sosok itu.“Lula?” Carlen bangkit, lau mengucek-ucek matanya. “Di mana Anike?”“Justru itu yang ingin kutanyakan padamu. Aku kemari hendak mencarinya, tapi malah kamu yang tidur di kamar Anike,” ujar Lula. Dia memperhatikan setiap sudut ruangan, lalu kembali fokus pada Carlen. “Bajumu berserakan di mana-mana. Apa tadi malam kalian berdua ….”“Begitulah,” balas Carlen malas.“Ya, ampun! Senangnya aku!” Lula bersorak sorai, sampai lupa kalau dirinya sedang membawa gelas. “Lantas, di mana Anike sekarang?”“Ck, kau lihat kan, kalau aku baru bangun tidur,” gerutu Carlen. “Berbaliklah dulu