“Kenapa mereka lama sekali?” pikir Carlen. Dia sudah menghabiskan sebatang rokok, sambil menunggu adik dan istri kontraknya yang sedang pergi ke toilet. “Coba kamu periksa,” suruhnya kepada Pandu.
“Maaf, Tuan? Saya memeriksa ke toilet wanita?” Pandu terlihat ragu. Namun, dia tahu bahwa Carlen tidak menyukai bantahan. Terpaksa, sang asisten beranjak dari duduknya. Sambil melangkah menuju toilet, Pandu terus berpikir. Dia tertegun beberapa saat di depan pintu toilet wanita, hingga ada seorang perempuan keluar dari sana sambil uring-uringan.
“Mau jadi apa negara ini jika anak mudanya tidak tahu tata krama,” gerutu wanita itu.
“Apa ada masalah, Bu?” tanya Pandu. Dia mengira bahwa ibu itu marah terhadap dirinya, yang berdiri di depan pintu toilet wanita.
“Bagaimana tidak jadi masalah besar? Saya baru duduk di closet dan sudah siap melakukan pelepasan. Namun, peluncuran roket terpaksa harus dihentikan, karena mendengar kegaduhan di bilik sebelah. Akhirnya, saya tidak jadi BAB!” Si wanita terus menggerutu sambil memegangi perut. Dia berlalu meninggalkan Pandu yang keheranan.
“Aneh,” gumam Pandu seraya mengalihkan pandangan kembali ke toilet. Seketika, dia terkejut dengan hadirnya dua wanita muda dalam keadaan basah kuyup. “Ini jauh lebih aneh,” gumamnya lagi.
Dia tak bisa berkata-kata, selain menggiring kedua wanita yang tak lain adalah Anike dan Lula ke hadapan Carlen.
“Astaga, apa kalian bermain air bersama?” sindir Carlen, “pantas saja aku harus menunggu lama.”
“Adik Anda yang mulai, Tuan,” tunjuk Anike kepada Lula.
“Aku melakukannya karena memang kau harus diberi pelajaran!” Lula mendelik tajam kepada Anike.
Melihat perselisihan dua wanita muda itu, Carlen dan sang asisten hanya bisa saling pandang.
Pandu kemudian berbisik kepada sang majikan.
“Ah, tidak!” tolak Carlen. Dia mengalihkan perhatian kepada Anike dan Lula. “Jangan pikir, aku akan membiarkan kalian masuk ke mobilku dalam kondisi basah kuyup begini!”
“Lalu, Anda akan meninggalkan kami berdua di sini?” tanya Anike resah.
Dia dan Lula saling pandang.
Tak lama kemudian, keduanya disuruh berdiri di tempat yang cukup terik oleh Carlen. Sedangkan, dia sendiri duduk nyaman di area khusus yang sengaja disediakan untuk tempat beristirahat, sambil menunggu Pandu kembali.
“Keterlaluan,” gerutu Lula.
“Ini semua gara-gara kamu,” bisik Anike. “Kakakmu memang error, kan? Dia duduk nyaman di sana. Sedangkan, kita dijemur seperti ikan asin di sini. Dia mirip penjajah sebelum masa kemerdekaan," celetuk Anike.
Lula tidak menanggapi.
Gadis berdarah Jerman tadi tak ingin berbicara apapun, hingga Pandu muncul membawa sebuah kantong kresek berwarna hitam.
Asisten Carlen tersebut menghampiri Anike dan Lula, lalu menyodorkan kresek tadi. “Ganti pakaian kalian,” suruhnya, “aku sengaja menulis nama masing-masing di plastik pembungkusnya, agar kalian tidak berebut.”
Anike dan Lula pun berlalu menuju toilet untuk berganti baju.
Beberapa saat kemudian, keduanya kembali dari toilet.
Namun, wajah mereka tak berseri sama sekali karena ternyata Pandu membelikan mereka daster batik, yang biasa dipakai oleh para asisten rumah tangga untuk mereka kenakan.
“Selera yang bagus, Pandu,” ujar Carlen seraya berdiri.
"Seratus ribu dapat dua, Tuan. Saya menawarnya, agar sesuai dengan budget yang Anda berikan," sahut Pandu.
“Kerja bagus," sanjung Carlen seraya menepuk lengan sang asisten. Dia lalu beralih pada Anike dan Lula. "Kalian sudah membuang waktuku yang berharga. Apa kalian tidak tahu, bahwa aku masih memiliki setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan?”
Tak lama, ia pun berlalu menuju mobil.
“Cepatlah, Nona-nona." Pandu menimpali ucapan Carlen. Dia bergegas mengikuti sang majikan.
Sementara itu, Anike dan Lula malah terpaku di tempat mereka berdiri.
“Seperti itulah kakakku. Dia seakan diperbudak oleh pekerjaan. Karena itu juga, dia betah melajang dalam waktu lama,” terang Lula dengan tatapan lurus tertuju pada mobil mewah milik Carlen.
“Apakah Tuan Carlen memang tidak pernah dekat wanita manapun?” tanya Anike penasaran.
Dia berjalan di samping Lula saat menuju mobil yang sudah siap berangkat.
“Kakakku pernah dekat dengan seorang wanita asli Indonesia bernama Diana. Namun, hubungan mereka kandas di tengah jalan. Diana bahkan ….”
“Kalian ini seperti dua ekor bekicot yang dipakaikan baju!” ledek Carlen yang sudah hilang kesabaran, akibat menunggu kedua wanita muda tadi.
Seruan Carlen membuat Lula tak melanjutkan penuturannya. Gadis itu mempercepat langkah menuju mobil. Dia tak ingin menerima kemarahan sang kakak, yang akan berubah menjadi monster mengerikan jika sudah tak bisa menguasai akal sehatnya.
Begitu juga dengan Anike. Padahal, dia begitu penasaran mendengar kelanjutan cerita dari Lula.
Kurang lebih dua jam perjalanan kembali mereka tempuh. Untungnya, lalu lintas di jalur tol terbilang lancar, sehingga Pandu bisa melajukan kendaraan sesuai batas kecepatan yang ditentukan. Tak berselang lama, mobil mewah milik Carlen telah memasuki halaman kediaman megah sang pengusaha asal Jerman tersebut.
Setelah mobil berhenti, Lula bergegas keluar. Dia berlari masuk ke rumah. Gadis itu sudah tak tahan untuk berganti pakaian.
Tak jauh berbeda dengan Anike.
Dia juga ingin segera melepas kostum kebesaran, bagi sebagian besar wanita Indonesia yang tengah dipakainya. Namun, Carlen mencegah wanita muda itu.
“Kenapa?” tanya Anike heran.
“Kita sudah menikah sekarang. Ingat selalu perjanjian yang sudah kau tanda tangani. Tugasmu akan dimulai besok pagi. Kau tahu apa yang harus dirimu lakukan.”
Nada bicara Carlen terdengar tenang, tapi penuh penekanan.
“Anda tidak perlu khawatir. Pak Pandu bahkan sudah membelikanku baju ini, Cocok bukan?” sindir Anike diiringi senyum kecut.
Setelah berkata demikian, Anike bergegas masuk. Dia langsung menuju kamarnya, yang hanya berjarak beberapa langkah dari kamar Lula.
Tepat saat Anike akan membuka pintu kamar, Lula tiba-tiba muncul dengan pakaian baru.
“Hey, Lula!” panggil Anike. Dia mengurungkan niatnya yang hendak masuk kamar. Anike lebih memilih menghampiri adik perempuan Carlen tersebut. “Kuharap, kamu mau melanjutkan perbincangan kita yang terjeda,” ujar Anike sambil berdiri di dekat Lula.
“Memangnya apa yang ingin kau ketahui?” Lula melipat tangan di dada sambil menatap aneh kepada Anike.
“Bukannya tadi kamu bercerita tentang kekasih Tuan Carlen yang bernama Diana?” sahut Anike mengingatkan.
Lula tak segera menanggapi. Gadis itu berpikir beberapa saat, sebelum kembali bicara. “Ya, kakakku pernah menjalin hubungan serius dengan seseorang bernama Diana. Namun, kisah cinta mereka kandas di tengah jalan,” tutur Lula sambil berbisik.
“Memangnya kenapa?”
Lula melihat sekeliling sebelum menjawab pertanyaan Anike. Gadis itu semakin mendekat, karena takut ada seseorang yang mendengar ucapannya. “Kakakku merasa jengkel dengan sikap Diana. Wanita itu selalu protes, karena merasa diduakan. Kakakku seorang workaholic. Kau dengar sendiri kata-katanya tadi," tutur Lula dengan gaya bicaranya yang khas.
"Kau tahu, Anike?" bisik Lula lagi.
"Apa?"
"Aku mendengar sendiri pertengkaran kakakku dengan Diana di ruang kerjanya. Diana menyumpahi kakakku. Dia berkata, 'Kau Carlen Meier! Pria tak punya hati! Selamanya kau akan berada dalam kesendirian!' Apa menurutmu itu merupakan kutukan?"
Anike terbelalak. Wanita berambut pendek tersebut berpikir sejenak. "Apakah zaman sekarang masih berlaku kutukan-kutukan seperti itu?" gumamnya seperti pada diri sendiri.
"Itulah yang aku tak tahu. Namun, semenjak kakakku berpisah dengan Diana, dia tak terlihat lagi dekat dengan seorang wanita. Terkadang, aku merasa cemas. Apalagi, dia selalu bersama Pandu."
Lula memutar bola matanya kesal.
"Astaga. Itu tidak baik," gumam Anike lagi seraya menggeleng pelan. "Artinya, kita harus segera mencarikan pasangan yang cocok untuk Tuan Carlen," cetusnya.
Mendengar itu, Lula sontak heran. Ia pun memicingkan mata tajam. "Apa maksudmu dengan mencarikannya pasangan yang cocok? Bukankah kau adalah istrinya?"
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men