Share

Rahasia

"Kapok?" bingung Anike.

Diperhatikannya Lula yang menatapnya sinis. Dia curiga pada gadis yang sempat mengerjainya dengan menyuruh Anike untuk menambahkan gula pada kopi Carlen itu.

Di sisi lain, Lula menatap Anike semakin tajam. Anehnya, sesaat kemudian pandangan itu berubah lembut–membuat Anike merinding dengan perubahan mendadak itu.

"Hai, calon kakak ipar. Semoga kita bisa akrab," ujar Lula sambil mengulurkan tangannya pada Anike.

"Apa maksudnya dengan kapok terhadap perempuan Indonesia?" tanya Anike penasaran.

"Sudah, jangan hiraukan dia. Lula hanya menggodaku saja," sela Carlen sambil menggerakkan tangan sebagai isyarat untuk mengusir adiknya itu.

"Hubungi ayahmu sekarang. Suruh dia datang ke sini untuk menjadi wali seperti yang kau katakan tadi," titah Carlen setelah Lula keluar dari kamar.

"Maaf, tapi tidak bisa," tolak Anike, "ayah saya mabuk kendaraan. Dia susah sekali bepergian."

"Mungkin lebih baik kau kupenjara saja, biar tidak merepotkan." Carlen menghela napas panjang. Seumur hidup, dia baru menemukan wanita seperti Anike yang sangat menyusahkan.

"Terserah kau saja," ucapnya, "yang jelas, bersiaplah. Besok pagi-pagi kita berangkat ke rumahmu."

*****

Ternyata, ucapan Carlen bukanlah sekadar omong kosong belaka.

Keesokan paginya, mereka berangkat menuju kediaman Anike di Bandung, ditemani oleh asisten dan adik perempuan pria itu yang memaksa ikut.

Dua jam perjalanan mereka lalui tanpa terasa hingga mobil mewah Carlen yang berhenti di depan sebuah gang kecil. "Parkir di sini saja, Tuan," suruh Anike.

Dia lalu mengarahkan ketiga orang tadi berjalan menyusuri gang kecil sampai tiba di sebuah rumah sederhana yang berada tepat di samping sebuah kolam ikan yang berukuran cukup luas. "Mari masuk," ajak Anike seraya membuka pintu rumah lebar-lebar dan mempersilakan mereka untuk duduk.

"Aku tidak bisa berlama-lama di sini." Wajah tampan Carlen tampak bersungut-sungut.

"Baiklah, Anda tenang saja," sahut Anike dengan entengnya sebelum berlari keluar rumah, diiringi tatap mata Carlen, Lula dan asisten pria itu.

Anike sudah hafal rutinitas sang ayah setiap pagi, yaitu pergi ke sawah.

Dugaannya benar, ayah Anike tengah sibuk menyiangi rumput yang tumbuh di antara padi.

Tak ingin membuang waktu, dia segera menyeret sang ayah yang begitu terkejut melihat kedatangan putri bungsunya tersebut. "Kapan datang, Nak?" tanyanya sumringah.

"Nanti saja aku jawab. Sekarang, Abah harus ikut aku pulang!" paksa Anike seraya menyeret sang ayah yang masih memegang sabit.

"Eh, eh, ada apa ini?"

Pria paruh baya itu semakin kebingungan melihat tingkah Anike.

Terpaksa, dia mengikuti langkah putrinya. Sesampainya di rumah, pria itu tertegun melihat dua manusia bule duduk di kursi ruang tamu.

"Abah, kenalkan Tuan Carlen Meier dan adiknya, Lula. Di sebelah Tuan Carlen ada Pandu, asisten pribadi Tuan Carlen Meier.” Anike menarik tangan ayahnya sampai mendekat pada Carlen dan memaksa mereka berdua untuk bersalaman. “Tuan, kenalkan ayahku, Abdul Manaf."

"Nah, sekarang aku sudah siap dinikahkan," ujar Anike enteng, yang sontak membuat Abdul Manaf melotot.

"Apa-apaan ini?" sentak sang ayah.

"Abah, kalau tidak mau menikahkanku dengan dia, Abah wajib membayar denda lima ratus juta," bisik Anike.

"Lima ratus juta?" seru pria yang bernama Abdul Manaf itu nyaring, "emakmu mana?"

"Sudah, jangan pikirkan emak. Beliau pasti masih berjualan di pasar. Kebetulan sekali. Yang jelas, tidak ada yang boleh mengetahui pernikahan ini selain abah," cerocos Anike. "Kalau sampai Abah membocorkan rahasia ini ke emak atau siapapun, maka sama saja dengan abah menjebloskan Keke ke penjara."

Meski Anike dengan raut serius, Abdul Manaf menggeleng. Ia tampak tak percaya. "Apa ini setting-an? Pasti ini acara bagi-bagi uang itu, ya?"

"Ini adalah mahar untuk putri anda," sela Carlen seraya mengeluarkan sebuah buku cek dari tas tangan miliknya yang dibawakan oleh Pandu. Dia menyobek selembar dan menuliskan angka tiga miliar.

"Apa kau gila, Kak?" bisik Lula. Dia memprotes keras tindakan kakaknya itu.

"Tenang saja. Ini adalah cek kosong." Carlen balas berbisik.

Dia lalu memberikan kertas itu pada Abdul Manaf. "Semakin cepat Anda menikahkan kami, semakin cepat pula putri Anda dapat menguangkan cek tersebut. Saya kira uang tiga miliar cukup untuk mengadakan resepsi mewah enam bulan lagi," ujarnya kalem.

Abdul Manaf menjatuhkan sabitnya begitu saja ke lantai. Dia memegangi kertas itu sambil komat-kamit tak jelas. "Mimpi apa aku semalam? Anakku pulang membawa calon suami yang memberi mahar tiga miliar," gumamnya lirih.

"Kalian tidak sedang bercanda, 'kan?"

"Apa Anda melihat saya tertawa?" sahut Carlen datar.

"Sudah, turuti saja, Bah. Aku sudah kebelet nikah, nih," bujuk Anike lirih.

Bagaikan terhipnotis, Abdul Manaf pun mengangguk. Dia berpamitan untuk berganti pakaian sebentar, sementara Anike langsung menyiapkan tempat untuk melaksanakan ijab kabul. Setengah jam kemudian, semua sudah siap. Abdul Manaf sudah duduk berhadapan dengan Carlen serta menjabat tangannya erat-erat.

Sang asisten yang bernama Pandu tersebut sudah mengajari tata cara akad nikah yang mudah dimengerti pada Carlen. Cukup satu tarikan napas dan Pandu langsung menyerukan kata 'sah'.

"Ingat ya, Bah. Tidak boleh ada yang tahu pernikahan ini, termasuk emak," ujar Anike mengingatkan.

Lagi-lagi Abdul Manaf hanya mengangguk bagai kerbau yang dicocok hidungnya.

"Nanti saya akan mengabarkan pada semuanya setelah kami mengadakan resepsi," sambung Carlen berbohong sambil tersenyum licik.

Tak ingin membuang waktu, dia berpamitan pada Abdul Manaf yang masih terbengong-bengong.

Pria paruh baya itu bahkan tak berpikiran untuk menanyakan alasan apa yang mendasari semua ini.

Dalam perjalanan pulang, tak ada percakapan apapun sampai Pandu yang memegang kemudi harus membelokkan mobilnya ke pom bensin.

"Aku ingin ke toilet," ucap Anike. Dia langsung turun dari kendaraan tanpa menunggu jawaban Carlen.

Anike tak menyadari bahwa Lula juga ikut turun dan mengikutinya ke toilet.

Akan tetapi, gadis itu menunggu di luar bilik tempat Anike membuang hajatnya.

Tepat pada saat sang kakak ipar keluar dari dalam bilik, Lula mendorongnya masuk kembali.

Adik Carlen itu bahkan meraih selang kloset dan menyemprotkannya ke wajah Anike. "Baru juga sehari memasuki rumah kakakku dan kau bisa memaksanya untuk menikahimu!" cercanya.

Sekujur tubuh Anike pun basah kuyub.

Tak ingin pasrah, Anike berusaha mempertahankan diri dengan merebut selang itu dan ganti menyemprotkannya ke Lula.

Kini, gadis asli Jerman itu sama basah kuyubnya dengan Anike.

"Anggap saja kami berjodoh!" jawab Anike asal.

"Omong kosong! Kau pasti mengincar hartanya dan pada akhirnya kau pasti akan mencampakkan kakakku begitu saja!" ucap Lula tak mau kalah.

 Dia hendak merebut kembali selang itu, tapi gagal. Kepala selang tersebut malah terlepas. Allhasil, airnya muncrat ke setiap sudut bilik, termasuk mengenai Lula dan Anike yang tengah bergulat.

"Kasihan sekali kakakku mendapatkan wanita sepertimu!" pekik Lula.

"Justru akulah yang seharusnya kamu kasihani karena menikahi pria error seperti kakakmu!" timpal Anike nyaring.

"Kurang ajar kau!" umpat Lula. Dia hendak menjambak rambut Anike.

Akan tetapi, istri Carlen itu lebih dulu mengelak dan berhasil memiting tangan Lula hingga gadis itu memekik kesakitan.

"Kamu yang kurang ajar!" sentak Anike, lalu melepaskan tangan Lula.

"Cuih! Di manapun perempuan seperti kalian sama saja! Dasar, mata duitan!"

"Uang memang kebutuhan, tapi aku tak pernah berpikiran menggadaikan cinta demi uang," jawab Anike. Wajahnya mendadak berubah sendu. Tiba-tiba dia teringat pada Indra yang sudah menipunya.

"Kau ...." Lula seketika terdiam. Apalagi, dia menangkap ekspresi sedih dari wajah cantik Anike.

"Dengar, Lula! Aku tak tahu masalahmu di masa lalu dengan perempuan di negaraku. Yang jelas, tidak semua sejahat yang kamu pikirkan," tegas Anike dengan mata berkaca-kaca, “akan kubuktikan itu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status