Share

02. Dalam Pelukannya

Auteur: Marfia Aphro
last update Dernière mise à jour: 2025-12-02 11:03:46

Di kediamannya yang megah, keluarga Maverick tengah asik menikmati makan malam keluarga. Sementara di luar hujan mengiringi kesyahduan mereka, pada awalnya.

“Caspian, sudah saatnya kau menikah dan memberikanku pewaris. Keluarga kita butuh pewaris untuk meneruskan bisnisku yang besar.” ucap Alfian Maverick, ayahnya tiba-tiba.

Caspian menghentikan aktivitas makannya, memandang ayahnya dengan raut yang tak bisa dijelaskan.

“Tidak untuk sekarang,” jawab Caspian dingin.

“Aku menyuruhmu dan tidak mau menerima penolakan!” tegas Alfian.

“Aku tidak ingin menikah hanya karena permainan politik ayah,”

“Kalau kau tak memiliki calon, aku yang akan memilihkan wanitanya.”

Caspian bangkit seketika, tatapannya berubah tajam. “Jangan ikut campur urusan pribadiku ayah, aku akan menikah hanya ketika aku ingin, bukan untuk memenuhi keinginanmu.” ucapnya, penuh nada keseriusan.

Caspian kemudian menjauh dari meja pertemuan, sementara suara ayahnya menggema di belakang.

“Aku tidak mau tahu! Kau harus segera menikah, atau asetmu kucabut dan kau hidup seperti gelandangan!”

Kalimat itu seperti palu yang digetarkan ke tengkoraknya. Kehidupan Caspian selalu berada dalam kendali ayahnya, tapi pernikahan adalah batas yang tidak ia izinkan untuk dilewati. Ia ingin pernikahannya terjadi sesuai keinginannya, ia ingin mengontrol dirinya setidaknya di bagian itu.

Namun Alfian Maverick tak pernah mengenal batas. Jika keinginan tidak ditunaikan, maka keputusannya akan mengubah seluruh kehidupan Caspian.

Ancaman tersirat itu memang terlihat jelas. Kekuasaan keluarga bedara di ambang perebutan oleh rival mereka. Tanpa pewaris, tentunya mereka akan sangat mudah untuk disingkirkan. Dan ayahnya, pria yang menganggap dunia sebagai medan perang, tak akan ragu menghancurkan apa pun dan siapa pun yang menghalanginya.

Termasuk Caspian, anaknya sendiri.

Setelah menyambar kunci, Caspian langsung melajukan mobilnya di tengah hujan tanpa arah tujuan. Apa pun lebih baik daripada memikirkan hidup yang seperti sangkar emas, indah dan berkilau dari luar, tetapi berisi jerat tak terlihat.

Ia mematikan lampu mobil saat melewati pinggir kota, berhenti sejenak di dekat jembatan tua yang jarang dilewati siapapun. Tempat itu sunyi, hanya diterangi sepasang lampu jalan kuning yang berkelip samar.

Namun dari kejauhan, Caspian melihat sesuatu.

Siluet seseorang, berdiri terlalu dekat dengan tepian jembatan. Seperti seorang wanita. Di bawahnya, laut hitam bergejolak seperti rahang monster yang menanti mangsa.

Caspian memicingkan mata, hatinya yang dingin, yang selalu ia jaga agar tetap membeku, merasa terganggu.

Wanita itu diam mematung, ia tidak sedang melihat panorama, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu seperti, akhir. Sial! Caspian keluar dari mobil tanpa payung, membiarkan hujan menghantam wajahnya. Semakin dekat langkahnya, semakin jelas sosok itu.

Gaun hitam, rambut basah yang kusut, bahu yang terlihat gemetar. Wanita itu mengambil satu langkah maju, bersiap untuk menerjang ganasnya ombak di bawah sana. Caspian tergerak sebelum sempat berpikir, setengah berlari.

Dalam dua detik ia sampai di belakangnya, dan ketika tubuh wanita itu mulai condong ke depan,

Bruk!

Caspian meraih pergelangan tangannya lalu menariknya hingga tubuh wanita itu jatuh di dadanya. Akhirnya ia bisa melihat wajahnya, wajah yang basah oleh hujan dan air mata yang hancur.

“Apa kau sudah gila? Apa yang akan kau lakukan?” cercanya.

Wanita itu tersentak keras, kakinya hampir terpeleset. Caspian menarik pinggang wanita itu, hingga tubuh mereka menjadi terlalu dekat. Napas keduanya tercampur dengan dingin malam.

“Lepaskan…” bisiknya lemah, nyaris tak terpakai.

“Tidak!” jawab Caspian tajam.

“Kalau aku lepaskan, kau akan mati.”

Wanita itu, Alexa, menunduk. Bahunya bergetar. “Apa pedulimu? Bukankah mati lebih baik daripada hidup yang penuh penolakan?”

Caspian menangkup kedua pipi Alexa, memaksa untuk menatapnya. “Tak lebih baik, mati hanya akan menambah masalahmu.”

Hujan membuat wajah Alexa sulit dibedakan antara hujan dan tangis. “Sudah tidak ada artinya untuk hidup.”

Entah kenapa, kata-kata itu terasa menusuk dada Caspian. Bukan karena ia peduli, tapi ekspresi wajah Alexa, membuatnya merasa seperti melihat dirinya di masa lalu. Saat ia juga pernah berdiri di tepi kehancuran, ia hanya dibangkitkan oleh sisi gelap dirinya.

Alexa tak seperti kebanyakan wanita yang ditemuinya. Ada kepolosan dari raut wajahnya, ada luka yang menghancurkan tanpa dibuat-buat. Dan itu membuat Caspian merasakan sesuatu yang begitu asing.

Alexa memejamkan mata, tubuhnya melemah.

“Aku tidak pantas hidup, tidak ada yang menginginkanku. Biarkan aku mati bersama penyesalan hidup terbesar ini.”

Caspian menahan napas, ia bisa merasakan tubuh Alexa bergetar karena dingin. Bahkan bisa merasakan putus asanya yang menular.

“Lihat aku!” katanya pelan tapi tegas.

Alexa mengangkat wajahnya, matanya sembab, merah dan kosong. Dan disaat itu juga, Caspian merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan. Keinginan untuk melindungi.

Ini tidak masuk akal. Ia bahkan tidak mengenal wanita itu, tapi kepasrahan itu membuat sesuatu dalam dirinya merasa terganggu.

“Kau ingin mati?” Caspian mendekat, hidungnya hampir menyentuh kening Alexa. “Kau boleh mati, tapi tidak untuk sekarang.”

Alexa mengerutkan keningnya, bingung. “Kenapa?”

Caspian diam sejenak, menghela napasnya. “Karena aku menginginkanmu untuk hidup.” ia mengusap pipi Alexa yang basah. Tiba-tiba hujan berhenti begitu saja, menyisakan dingin yang merayap.

Alexa mundur setengah langkah, namun Caspian menahan tangannya agar tidak jatuh. “Kenapa kau terlihat peduli? Kau bahkan tak mengenalku.”

“Karena aku tahu bagaimana rasanya berada di posisimu.”

Alexa terpaku, suara Caspian rendah seperti berbahaya, tapi juga terdengar jujur.

“Hear me out,” ucapnya pelan.

Alexa menatapnya lama, seolah mencoba memahami siapa pria asing yang muncul seperti bayangan malam ini.

“Hidup itu tidak adil, dunia memang didesain untuk tidak memihak orang seperti kita. Tapi, mati bukan solusinya.” lanjut Caspian.

Alexa tersenyum pahit, getir. “Bagimu mungkin mudah untuk berbicara seperti itu, kau terlihat memiliki segalanya.”

Caspian tertawa pendek namun dingin. “Aku tidak memiliki apapun, percayalah!”

Mata Alexa sedikit goyah. Caspian mendekat, membuat jarak diantara mereka hanya sebatas helaan napas saja. Suaranya berubah rendah, tapi menggema.

“Kalau kau tetap ingin mati…” matanya menatap jauh ke dalam netra kecoklatan Alexa. “... matilah setelah kau menjadi istriku.” ya, pada akhirnya.

Caspian merasa wanita ini lebih baik daripada siapapun yang dipilihkan ayahnya. Setidaknya, ia memilih seseorang yang ia inginkan, terlepas dari baik buruknya Alexa.

Alexa masih membeku, “A–apa maksudmu?”

Ucapan Caspian seperti guntur yang memecah keheningan. Sementara pria itu menatapnya tanpa berkedip. “Kau mendengarnya, ‘kan?”

Alexa menggeleng, hampir tersandung oleh kejutannya sendiri. “Itu–itu gila.”

“Ya!”

“Aku memang sudah gila, tapi aku tidak sedang bercanda.” Caspian tidak menyangkal. Alexa menatapnya, bingung dan ketakutan sekaligus.

“Kenapa… aku?”

Caspian mengangkat dagunya, “Sebenernya akh butuh seseorang untuk dijadikan istri, sebelum ayahku memilihkan wanita yang sama sekali bukan seleraku. Dan kau muncul disaat keadaan genting seperti ini.”

Alexa terdiam, berusaha mencerna penuturan Caspian barusan.

“Aku tidak bisa kembali, tidak ada tempat untukku,” lirihnya, Caspian tersenyum.

“Kalau begitu, aku akan menjadi tempatmu untuk kembali.”

Alexa memejamkan mata sekali lagi, tubuhnya sudah semakin menggigil. Bibirnya kebiruan karena dingin, sementara Caspian masih menunggu jawaban darinya.

Caspian hanyalah pria asing yang baru saja ia temui, tapi ucapannya terasa paling lembut dari yang pernah ia dengar dalam hidupnya. Ia bahkan belum sempat bertanya namanya, tapi rasa hangat seakan menjalar begitu tubuhnya menyentuh dada bidang pria itu.

Alexa akhirnya mengangguk, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia menangis bukan karena hancur. Caspian menariknya ke dalam pelukan, terasa hangat meski tubuhnya basah.

“Mulai sekarang, kau tak lagi sendirian.”

Bersambung...

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Menjadi Istri Mafia Berbahaya   05. Istana

    Alexa tidak pernah membayangkan bahwa bangungan di depannya benar-benar nyata. Rumah itu, atau lebih tepatnya, istana modern. Menjulang tinggi dibalik gerbang besi hitam yang dijaga oleh enam pria bersetelan hitam. Lampu-lampu yang tersusun rapi menyinari area pekarangan seluas lapangan sepak bola. Pagar tinggi, kamera tersembunyi, sensor gerakan di setiap sudut. Rumah itu tak sekedar mewah, tapi terlihat seperti benteng. Entah untuk siapa, atau melindungi siapa, Alexa tidak yakin. Mobil berhenti. Caspian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Alexa. Ia mengulurkan tangannya, mengundang. “Selamat datang di rumahmu.” Suara caspian begitu tenang, namun menyimpan sesuatu yang membuat Alexa merinding mendengarnya. Ini aneh, ia seharusnya merasa takut. Tapi suara itu, entah bagaimana membuat kakinya mau melangkah. Begitu Alexa keluar, semua penjaga menunduk hormat. “Selamat datang, madam.” Alexa membeku. Madam? Sejak kapan?Caspian menoleh seolah bisa membaca pikirannya. “Mere

  • Menjadi Istri Mafia Berbahaya   04. Malam Baru Alexa

    Alexa bersiap untuk mandi, setelah urusan kontrak dengan Caspian selesai. Saat ini pria itu tengah sibuk dengan ponselnya, entah sedang apa Alexa tak ingin memikirkannya. Tapi tanpa sadar, ia justru memerhatikan Caspian yang terlihat tampan. Wajahnya tegas, sorot matanya tajam. Hidung yang sempurna dan bibir yang menggoda Alexa untuk menyentuhnya. Gadis itu menggelengkan kepalanya, apa yang baru saja ia pikirkan?“Apa kau memikirkan sesuatu yang liar, hmm?” Alexa terkesiap, ia merasa salah tingkah sendiri. Caspian bangkit dari duduknya, melangkah perlahan dengan tatapan aneh. Langkahnya semakin dekat, membuat Alexa refleks untuk mundur. “K-kau mau apa? Berhenti disana, Caspian!” Tak ada gunanya, Caspian tak menghiraukan ucapan Alexa. Ia tetap berjalan, memaksa Alexa untuk terus mundur hingga akhirnya punggung gadis itu menyentuh dinding. “Bukan aku, tapi kau yang mau.” bisiknya tepat di telinga Alexa, membuat tubuhnya seketika merinding. “A-aku, akh-”Caspian menempelkan bibirny

  • Menjadi Istri Mafia Berbahaya   03. Kontrak Berbahaya

    “Ini… ini rumahmu?” Alexa menatap takjub gedung tinggi di depannya, gaya elegan dan klasik yang bercampur, membuat gedung ini terlihat mahal. Dinding kaca menjulang, lampu emas menerangi pintu masuk dan dua penjaga berdiri tegap seperi patung. Caspian menoleh sebentar pada Alexa, senyumnya terlihat samar. “Tempat tinggalku, yang juga akan menjadi tempat tinggalmu untuk sementara waktu.” ucapnya, ia meraih pinggang Alexa dan menyeretnya lebih dekat. Alexa gemetar, takut. “Aku–aku tidak, aku–” “Ayo, tidak ada yang akan menyakitimu disini.” Caspian menariknya untuk ikut berjalan, kedatangan mereka disambut dengan begitu hormat di penthouse megah milik keluarga Maverick. Saat menasuki lobi, semuanya terasa seperti dunia lain. Lantai marmer hitam berkilau, lampu-lampu kristal jatuh dari langit-langit tinggi, resepsionis membungkuk dalam-dalam begitu melihat Caspian. “Selamat malam, tuan muda Maverick!” Alexa membulatkan matanya, entah kenapa ia merasa tegang. Nama itu, Maverick. Da

  • Menjadi Istri Mafia Berbahaya   02. Dalam Pelukannya

    Di kediamannya yang megah, keluarga Maverick tengah asik menikmati makan malam keluarga. Sementara di luar hujan mengiringi kesyahduan mereka, pada awalnya. “Caspian, sudah saatnya kau menikah dan memberikanku pewaris. Keluarga kita butuh pewaris untuk meneruskan bisnisku yang besar.” ucap Alfian Maverick, ayahnya tiba-tiba. Caspian menghentikan aktivitas makannya, memandang ayahnya dengan raut yang tak bisa dijelaskan. “Tidak untuk sekarang,” jawab Caspian dingin. “Aku menyuruhmu dan tidak mau menerima penolakan!” tegas Alfian. “Aku tidak ingin menikah hanya karena permainan politik ayah,” “Kalau kau tak memiliki calon, aku yang akan memilihkan wanitanya.” Caspian bangkit seketika, tatapannya berubah tajam. “Jangan ikut campur urusan pribadiku ayah, aku akan menikah hanya ketika aku ingin, bukan untuk memenuhi keinginanmu.” ucapnya, penuh nada keseriusan.Caspian kemudian menjauh dari meja pertemuan, sementara suara ayahnya menggema di belakang. “Aku tidak mau tahu! Kau harus

  • Menjadi Istri Mafia Berbahaya   01. Malam Yang Hancur

    Rumah keluarga Draxen selalu tampak megah dari luar. Tetapi malam itu, bagi Alexa, rumah itu lebih terasa seperti pengadilan. Lampu-lampu besar di bagian teras sangat menyilaukan, dingin dan angkuh. Alexa memasuki halaman, keadaannya tampak menyedihkan. Rambutnya kusut, riasannya luntur karena hujan dan gaunnya basah yang dinginnya menusuk sampai ke tulang. Tangannya yang gemetar berusaha menekan bel, hingga pintu yang terbuka menampakkan sosok ibu tirinya yang bermulut pedas. Meriam Barvish, hanya butuh satu detik untuk menilai penampilan Alexa sebelum bibir merahnya melengkung sinis. “Ya ampun, Alexa! Kau terlihat seperti gelandangan.” Alexa menelan ludah, perkataan seperti itu sudah biasa di telinganya. “Aku… aku harus bicara dengan ayah. Dimana ayah?” ucapnya, gemetar karena dingin. “Ayahmu?” Meriam mendengkus. “Ayahmu sedang makan malam dengan orang penting. Lagi pula dia tak akan mau melihatmu dengan keadaan seperti ini.” lanjutnya, ia melipat tangan di depan dada. “Aku

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status