Share

Bab 6. Gadis berkerudung merah

Rendra menatap para pekerja yang sedang memetik kopi, sesekali tangannya menyingkirkan ranting yang menghalangi langkah kaki. Ia menghirup udara segar yang berbaur dengan wangi bunga kopi yang sedang mekar. Hatinya begitu hangat dan tenang.

"Pakai caping ini," ucap Dito asisten Rendra sembari memberikan caping pada Rendra.

Rendra menerima caping pemberian Dito tanpa mengalihkan pandangannya. Dari ketinggian ini, ia bisa melihat bangunan perkotaan yang sebesar kotak sabun.

"Lo mau ngapain?" tanya Rendra sembari mengamati tangan Dito yang cekatan memetik kopi.

"Mau metik kopi," jawab Dito tanpa mengalihkan pandangan. Tangannya cekatan memetik buah kopi berwarna merah dan memasukkan ke dalam ember

"Napa lo ikutan metik kopi?"

"Kenapa emang? Salah kalo gue ikutan metik?" tanya balik Dito sambil memasukkan kopi yang telah ia petik ke dalam ember penampungan.

"Ya, enggak. Tapi kenapa?" tanya Rendra penasaran.

"Kopi di sekitar sini buahnya sangat lebat. Mereka enggan memetik kopi ini," tunjuk Dito pada tangkai kopi yang menjutai hampir menyentuh tanah.

Rendra mengerutkan kening, masih tak mengerti dengan ucapan asistennya.

"Para pekerja enggan ke arah sini karena ada lo! Kalau mau cepat kopi ini dipetik dan di ekspor. Buruan lo juga ikut metik!" titah Dito.

Siapa sebenarnya yang menjadi atasan kenapa Dito seenaknya ngomong. Tak urung Rendra mengejawantahkan perintah Dito. Ia juga ingin tahu bagaimana rasanya memetik kopi.

Beberapa jam lalu ia secara resmi memperkenalkan diri sebagai anak pemilik perkebunan pada pekerja. Ia juga berkata akan tinggal sementara waktu di perkebunan ini dan juga agar tidak sungkan padanya. Namun, sepertinya para pekerja tidak mengindahkan ucapannya mereka masih terlihat sungkan. Mungkin bukan sungkan, tapi menghormati bos mereka.

"Lo tahu cara metiknya?"

Rendra menggeleng, ini pertama kali baginya. Meski ia anak pemilik perkebunan, ia hanya mengurusi ekspor impor tanpa tahu tahapan cara panen di lapangan.

"Cabut buah secara vertikal agar tidak merusak tangkai buah. Jangan merampasnya nanti merusak tangkai kopi, jika kau merampasnya kopi tidak akan berbuah lagi."

Dito mengajari Rendra bagaimana cara memetik kopi yang benar dan sambil mempraktikkanya langsung dihadapan Rendra. Ia pun mengikuti arahan Rendra dengan hati-hati dan pelan. Tangannya seperti seorang gadis gemulai saat memetik kopi yang tak ingin tangan mulusnya tergores bagian tangkai kopi.

"Jangan asal ambil kopinya, cukup ambil kopi yang berwarna merah. Yang berwarna merah kekuningan biarkan saja, agar besok ada yang dipanen pekerja lagi," ucap Dito menyeringai licik. Kapan lagi ia bisa memerintah seorang bos.

Sedikit kesal Rendra melakukan ucapan Dito. Biasanya ia yang memerintah dan kali ia yang diperintah. Rasa penasaran mengalahkan segalanya, ia pun mengikuti arahan dari Dito~sang asisten.

Cukup terampil bagi pemula seperti dirinya. Meski tak secepat tangan Dito saat memetik kopi. Dito cekatan menggunakan kedua tangan memetik kopi. Sementara Rendra hanya menggunankan satu tangan, karena tangan yang lain sibuk menyingkirkan daun yang menutupi sebagian kopi yang berwarna merah.

Peluh mulai bercucuran di dahi Rendra. Mengalir dari dahi ke wajah sebesar biji jagung. Baju yang ia pakai kini telah melekat dengan kulit menampilkan otot-ototnya yang kekar dan kokoh. Sayangnya para pekerja di kebun ini adalah laki-laki, jika ada perempuan mungkin mereka tidak fokus karena memandangi tubuh Rendra yang kekar dan berotot.

"Kalau lo udah gak kuat, pulang aja sana!" titah Dito. Sepertinya sang asisten mempunyai hobby baru yaitu suka memerintah.

"Siapa bilang, gue gak ... ."

"Hai, gadis berkerudung merah. Lagi metik kopi juga?"

Dito memotong ucapan Rendra dan menyapa gadis berkerudung merah yang juga memakai caping di kepala.

"Ehh, Pak Dito. Iya, Pak," ucap Ayu sembari tersenyum ke arah Dito dan menundukkan kepala pada Rendra dengan sopan.

Gadis yang disapa Dito adalah Ayu. Selain membuka warung ia juga memiliki kebun kopi, yang tak begitu luas hanya sekitar 1 rantai. Tanah warisan milik ibu angkatnya. Dulu hanya tanah kosong dan Ayu menanaminya dengan kopi. Sekarang kopi itu sedang berbuah lebat dan tahun ini adalah kali kedua ia memanennya.

Ia tak memperkejakan orang lain untuk ikut panen seperti di warung. Ia melakukannya sendiri karena kopi yang ia tanam hanya sekitar 100 batang.

Rendra mengamati Ayu yang dengan cekatan memetik kopi. Setiap gerakannya tak luput dari pengamatan netranya. Ayu hanya menatap Rendra sekilas tanpa peduli dengan netra yang selalu mengikuti gerakan tangannya.

Jika gadis-gadis lain akan menatap Rendra dengan tatapan memuja dan ingin memiliki. Berbeda dengan Ayu yang menatapnya dengan acuh. Apa gadis ini masih menyimpan dendam? Padahal sudah lima tahun berlalu.

"Buah kopinya sangat lebat ya, Mbak."

"Iya, Pak Dito. Berkat pupuk yang pak Dito sarankan," jawab Ayu tanpa memperhatikan lawan bicara. Masih fokus dengan kopi yang memang sangat berbuah lebat yang tangkainya hampir menyentuh tanah.

Ia berbalik dan mengamati sekitar karena indra penciumannya menghirup wangi maskulin seorang pria.

"Eh, Pak Ren... ."

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status