Rendra menatap para pekerja yang sedang memetik kopi, sesekali tangannya menyingkirkan ranting yang menghalangi langkah kaki. Ia menghirup udara segar yang berbaur dengan wangi bunga kopi yang sedang mekar. Hatinya begitu hangat dan tenang.
"Pakai caping ini," ucap Dito asisten Rendra sembari memberikan caping pada Rendra.
Rendra menerima caping pemberian Dito tanpa mengalihkan pandangannya. Dari ketinggian ini, ia bisa melihat bangunan perkotaan yang sebesar kotak sabun.
"Lo mau ngapain?" tanya Rendra sembari mengamati tangan Dito yang cekatan memetik kopi.
"Mau metik kopi," jawab Dito tanpa mengalihkan pandangan. Tangannya cekatan memetik buah kopi berwarna merah dan memasukkan ke dalam ember
"Napa lo ikutan metik kopi?"
"Kenapa emang? Salah kalo gue ikutan metik?" tanya balik Dito sambil memasukkan kopi yang telah ia petik ke dalam ember penampungan.
"Ya, enggak. Tapi kenapa?" tanya Rendra penasaran.
"Kopi di sekitar sini buahnya sangat lebat. Mereka enggan memetik kopi ini," tunjuk Dito pada tangkai kopi yang menjutai hampir menyentuh tanah.
Rendra mengerutkan kening, masih tak mengerti dengan ucapan asistennya.
"Para pekerja enggan ke arah sini karena ada lo! Kalau mau cepat kopi ini dipetik dan di ekspor. Buruan lo juga ikut metik!" titah Dito.
Siapa sebenarnya yang menjadi atasan kenapa Dito seenaknya ngomong. Tak urung Rendra mengejawantahkan perintah Dito. Ia juga ingin tahu bagaimana rasanya memetik kopi.
Beberapa jam lalu ia secara resmi memperkenalkan diri sebagai anak pemilik perkebunan pada pekerja. Ia juga berkata akan tinggal sementara waktu di perkebunan ini dan juga agar tidak sungkan padanya. Namun, sepertinya para pekerja tidak mengindahkan ucapannya mereka masih terlihat sungkan. Mungkin bukan sungkan, tapi menghormati bos mereka.
"Lo tahu cara metiknya?"
Rendra menggeleng, ini pertama kali baginya. Meski ia anak pemilik perkebunan, ia hanya mengurusi ekspor impor tanpa tahu tahapan cara panen di lapangan.
"Cabut buah secara vertikal agar tidak merusak tangkai buah. Jangan merampasnya nanti merusak tangkai kopi, jika kau merampasnya kopi tidak akan berbuah lagi."
Dito mengajari Rendra bagaimana cara memetik kopi yang benar dan sambil mempraktikkanya langsung dihadapan Rendra. Ia pun mengikuti arahan Rendra dengan hati-hati dan pelan. Tangannya seperti seorang gadis gemulai saat memetik kopi yang tak ingin tangan mulusnya tergores bagian tangkai kopi.
"Jangan asal ambil kopinya, cukup ambil kopi yang berwarna merah. Yang berwarna merah kekuningan biarkan saja, agar besok ada yang dipanen pekerja lagi," ucap Dito menyeringai licik. Kapan lagi ia bisa memerintah seorang bos.
Sedikit kesal Rendra melakukan ucapan Dito. Biasanya ia yang memerintah dan kali ia yang diperintah. Rasa penasaran mengalahkan segalanya, ia pun mengikuti arahan dari Dito~sang asisten.
Cukup terampil bagi pemula seperti dirinya. Meski tak secepat tangan Dito saat memetik kopi. Dito cekatan menggunakan kedua tangan memetik kopi. Sementara Rendra hanya menggunankan satu tangan, karena tangan yang lain sibuk menyingkirkan daun yang menutupi sebagian kopi yang berwarna merah.
Peluh mulai bercucuran di dahi Rendra. Mengalir dari dahi ke wajah sebesar biji jagung. Baju yang ia pakai kini telah melekat dengan kulit menampilkan otot-ototnya yang kekar dan kokoh. Sayangnya para pekerja di kebun ini adalah laki-laki, jika ada perempuan mungkin mereka tidak fokus karena memandangi tubuh Rendra yang kekar dan berotot.
"Kalau lo udah gak kuat, pulang aja sana!" titah Dito. Sepertinya sang asisten mempunyai hobby baru yaitu suka memerintah.
"Siapa bilang, gue gak ... ."
"Hai, gadis berkerudung merah. Lagi metik kopi juga?"
Dito memotong ucapan Rendra dan menyapa gadis berkerudung merah yang juga memakai caping di kepala.
"Ehh, Pak Dito. Iya, Pak," ucap Ayu sembari tersenyum ke arah Dito dan menundukkan kepala pada Rendra dengan sopan.
Gadis yang disapa Dito adalah Ayu. Selain membuka warung ia juga memiliki kebun kopi, yang tak begitu luas hanya sekitar 1 rantai. Tanah warisan milik ibu angkatnya. Dulu hanya tanah kosong dan Ayu menanaminya dengan kopi. Sekarang kopi itu sedang berbuah lebat dan tahun ini adalah kali kedua ia memanennya.
Ia tak memperkejakan orang lain untuk ikut panen seperti di warung. Ia melakukannya sendiri karena kopi yang ia tanam hanya sekitar 100 batang.
Rendra mengamati Ayu yang dengan cekatan memetik kopi. Setiap gerakannya tak luput dari pengamatan netranya. Ayu hanya menatap Rendra sekilas tanpa peduli dengan netra yang selalu mengikuti gerakan tangannya.
Jika gadis-gadis lain akan menatap Rendra dengan tatapan memuja dan ingin memiliki. Berbeda dengan Ayu yang menatapnya dengan acuh. Apa gadis ini masih menyimpan dendam? Padahal sudah lima tahun berlalu.
"Buah kopinya sangat lebat ya, Mbak."
"Iya, Pak Dito. Berkat pupuk yang pak Dito sarankan," jawab Ayu tanpa memperhatikan lawan bicara. Masih fokus dengan kopi yang memang sangat berbuah lebat yang tangkainya hampir menyentuh tanah.
Ia berbalik dan mengamati sekitar karena indra penciumannya menghirup wangi maskulin seorang pria.
"Eh, Pak Ren... ."
Bersambung
"Ayo, masuk!" ajak Ayu begitu mereka sudah keluar dari mobil.Namun, langkah Rendra terhenti kala melihat sesuatu yang panjang tepat berada dekat pintu masuk rumah. Pria itu ragu melangkah dengan kaki gemetar dan telapak tangannya mulai berkeringat dingin."Kenapa?" Ayu membalik badan dan melihat Rendra yang mematung dan mengikuti tatapan mata pria itu yang tertuju pada sebuah benda di dekat pintu. Kemudian Ayu mendekat dan mengambil benda itu."ini hanya tali," ucap Ayu sambil menunjukkan tali tepat di wajah Rendra. "Kenapa kamu melihatnya seperti ular?" lanjutnya lagi.Sontak pria itu mundur dan memegangi dada. Napasnya memburu, keringat sebesar jagung sudah membasahi wajah tampannya. Ingatan tentang 21 tahun silam berkelabat di benaknya dan pria itu jatuh tersungkur dengan wajah menghadap tanah. Masih memegangi dadanya. Melihat hal itu dengan langkah terburu Ayu mendekati Rendra."Jauhkan tali itu," ucap Rendra dengan napas tersenggal.Tanpa pikir panjang Ayu langsung membuang tali
"Kamu pesan makanan dulu! Aku mau ke toilet," ucap Rendra begitu mereka sampai di sebuah Resort.Resort yang mereka kunjungi memiliki sebuah restoran yang dibuka untuk umum. Resort ini juga sangat unik karena ada area makan di tengah kolam.Sebelumnya Rendra sudah memesan tempat untuk mereka. Melalui koneksi yang ia punya, akhirnya ia bisa memesan tempat di area kolam. Karena tempat itu biasanya sangat diminati, jadi sebelum berkunjung harus memesan terlebih dahulu sehari sebelumnya. Atau bisa juga menunggu giliran. Namun, sangat kecil kemungkinan mengingat banyaknya pengunjung ke tempat itu."Sudah pesan?" tanya Rendra begitu tiba dan mendudukkan bokong di kursi sebelah Ayu."Sudah," jawab Ayu dengan lirih hampir tak terdengar. Namun, dari tempat Rendra duduk, pria itu masih bisa mendengar suara Ayu walau samar."Apa yang kamu pesan?" Kenapa banyak tanya sekali? Apa gak sabar menunggu pramusaji saja yang menyajikan. Saat di mobil saja diam, tak ada percakapan diantara mereka. Kenapa
"Sambalnya enak, mah.""Uhuk."Sontak semua mata tertuju pada Ayu yang tiba-tiba saja terbatuk."Kamu tidak apa-apa?" tanya Rendra menyodorkan segelas air putih pada Ayu. Dengan sigap Ayu meraih gelas pemberian Rendra dan menegak habis cairan berwarna bening itu.Setelah meletakkan gelas Ayu pun berucap, "tidak apa-apa."Namun, wajahnya sudah memanas bak kepiting rebus. Ia tidak bisa menyembunyikan wajahnya, satu-satunya cara adalah dengan menundukkan kepala dan berpura-pura memotong daging, padahal potongan sudah pas untuk masuk ke mulut."Ayu yang membuat sambalnya, Pak," ucap Roma seakan tak peduli dengan keadaan sahabatnya."Enak sekali," puji Bayu dan Nia hampir bersamaan.Tidak dapat diragukan sambal racikan Ayu memang pas di lidah. Rasa pedas yang membuat lidah seakan terbakar dan menggoyangkan lidah tergantikan dengan adanya rasa manis dari sambal.Rendra yang memperhatikan Ayu yang semakin menunduk malu akhirnya menyodorkan ikan bakar, yang tentunya telah ia sisihkan tulangny
"Kenapa lo bisa kesini?"Roma bergeming tak menjawab pertanyaan Ayu. "Kau lihat Pak Rendra itu dari tadi asik kau saja yang dilihat.""Jangan lo alihkan pertanyaan gue!" ketus Ayu sambil menepuk kepala Roma dengan serai."Sakit!" Roma meringis kala menerima pukulan di kepala dan membuat ia harus memijitnya."Lo pacaran ama Pak Dito?"Pertanyaan telak membuat Roma membelalakan mata. Sepandai pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Sepandai pandainya menyimpan hubungan pasti akan ketahuan."Sejak kapan? Kenapa gak cerita?" cecar Ayu sembari mengangkat dagu.Dengan malu-malu Roma akhirnya menjawab,"sudah lama." Roma pun melirik pria yang sedang mereka bicarakan."Trus?""Terus apa?""Kenapa lo gak cerita?""Kau gak ada nanya," elak Roma.Hubungan Roma dan Dito sudah berlangsung lama, terbilang sejak Ayu masih bekerja di kantor yang sama dengan Ayu. Mereka merahasiakan hubungan itu karena tidak ingin diketahui oleh teman sekantor. Lagi, di perusahaan mereka bekerja tidak boleh ber
Ayu berlari begitu melihat Roma turun dari mobil. Tak menyangka sahabatnya yang berasal dari Tapanuli itu datang ke desa X. Mereka berpelukan sebagai tanda melepas rindu setelah Ayu mencium pipi kiri dan kanan Roma secara bergantian."Ayo kita ke sana."Ayu mengajak Roma ke arah meja yang berada di halaman villa. Mobil yang ditumpangi Roma, terparkir di halaman belakang hanya untuk menurunkan barang-barang yang dibawa dari kota. Bahan makanan yang khusus dibeli oleh keluarga Narendra. Sebagian bahan makanan akan mereka pakai untuk acara outdoor party malam ini.Seperti yang telah dijanjikan oleh Deasy, ibu dua anak itu mengajak Ayu untuk datang ke villa mereka. Sebelumnya, Deasy juga sudah ke warung Ayu. Meski warung Ayu tampak kumuh dari luar, Deasy tetap melangkah masuk ke warung tanpa merasa jijik sedikit pun. Karena di dalam warung tampak bersih, rapi dan kinclong berbeda dengan penampakan dari luar. Deasy memesan nasi uduk buatan Ayu, satu suapan masuk ke mulut dan berlanjut ke s
"Apa Kakak perlu bantuan?""Tidak," jawab Rendra dengan cepat.Bantuan yang dimaksud Nia adalah untuk mendekati Ayu. Ia tahu sang kakak sangat kaku dan tak tahu bagaimana cara untuk bersikap romantis. Entah bagaimana Rendra bisa berpacaran dengan Calantha dan menikah meski gagal."Kakak yakin tidak perlu bantuanku?" tanya Nia sekali lagi.Rendra mendengus kasar, memandang keponakan dan adik iparnya yang sedang bermain di halaman belakang villa. Sedangkan mereka duduk bersebelahan di sebuah ayunan sembari minum teh hangat.Rendra mengambil pisang goreng buatan bik Minah, pengurus villa yang sudah bekerja sejak Rendra masih kecil. Memasukkan ke mulut dan menggigit sedikit, rasa manis terasa di lidah dari pisang yang telah digoreng bercampur dengan tepung.Bik Minah memilih bekerja di villa karena umurnya sudah tidak muda lagi, tenaganya juga sudah mulai berkurang. Jika di villa tidak terlalu banyak yang dikerjakan karena villa jarang ditempati. Karena keluarga Narendra semua sedang ada
"Kau sudah bangun, Nak?"Rendra menghampiri Deasy yang sedang menata makanan di atas meja dibantu oleh asisten rumah tangga yang dikhususkan untuk menjaga dan mengurus villa mereka."Ya, Ma," jawab Rendra sembari menarik kursi dan mendaratkan bokongnya.Niat hati ingin sarapan di warung Ayu ia batalkan, lebih memilih sarapan di rumah. Karena tak ingin membuat sang mama sakit hati yang telah susah payah membuat sarapan untuk mereka. Rendra menerima piring berisi nasi goreng yang di atasnya ada telur mata sapi dari Deasy. Kemudian mencicipi nasi goreng buatan ibunya. "Enak," gumannya dan menyisihkan telur mata sapi tanpa berniat menyentuhnya.Masakan sang ibunda selalu menjadi nomor satu buat Rendra maupun adiknya. Meski memiliki asisten rumah tangga, Deasy selalu menyempatkan diri untuk memasak bagi keluarganya. Sebagai tanda bakti seorang istri untuk suami dan anak-anaknya."Sorry, boy. Ibu lupa kamu tak suka telur mata sapi. Mari untuk Ibu saja."Deasy langsung menyambar telur yang
Bab 18 Sejauh mata memandang hanya rumput ilalang yang terlihat dengan bantuan pencahayaan sinar rembulan di langit malam. Hembusan angin malam membuat rumput ilalang bergoyang seolah ada sesuatu diantara rumput yang bergerak seirama. Ayu menggosok kedua telapak tangan berharap hawa panas menjalar ke seluruh tubuh. Kemudian ia menyilangkan tangan di depan dada menghalau hawa dingin yang menusuk tulang. Hembusan angin malam langsung menerpa kulitnya, gaun yang ia kenakan tidak bisa menghalau dinginnya malam. Tanpa ia sadari sepasang tangan mendekap tubuhnya untuk menyampirkan jas mahal di pundak. Tanpa menoleh ia tahu siapa yang telah menyampirkan jas padanya. Aroma parfum mahal menyeruak ke indra penciuman begitu khas dan membuat dirinya sesaat terlena. Tubuhnya yang dingin seketika menghangat. "Kau sering kesini?" tanyanya pada pria yang telah berdiri di sampingnya, kedua tangan masuk ke saku celana bahan yang dikenakan. Ayu dan sepupunya sering ke sini, tapi di siang hari, bukan
Ayu disambut hangat oleh keluarga Narendra, ternyata mereka sekeluarga sedang berada di desa X. Ini bukan akhir pekan, tapi kenapa mereka ada di sini? Kok nanya seperti itu? Tanah di desa ini hampir ½ adalah milik PT. Mandiri Sejahtera, jadi wajar mereka bisa ada di sini.Ayu duduk bersebelahan dengan Rendra di hadapan mereka pasangan suami istri Oceania dan Otto. Sedangkan di ujung meja ada Bayu, sebelah kanan istrinya - Deasy, di kiri anak Oceania - Ober. Anak Oceania yang paling kecil sedang di kamarnya, mungkin sudah terlelap.Sepanjang makan malam, Ober banyak berceloteh meski bahasa yang digunakan bercampur. Keluarga ini ternyata berbeda dengan keluarga lainnya. Ayu pernah menonton serial drama korea, dimana pada saat makan bersama, tidak ada yang boleh berbicara selama makan. Hanya dentingan garpu dan sendok beradu yang terdengar."Kamu sudah selesai?"Deasy melihat Ayu sudah membalik sendok dan membuat posisi sendok dan garpu menyilang. Pertanda Ayu telah selesai makan."Apa k