LOGIN
Ayana mengayuh sepeda dengan riang hati gembira menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan senyum terus tersungging di bibir mungilnya. Kecantikannya pun semakin bertambah ketika angin sepoi-sepoi berembus ke arahnya dan menerbangkan rambutnya.
Ayana baru saja pulang dari warnet bersama teman-temannya untuk mendaftar kuliah secara daring. Ia sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Ia hendak meminta uang pada ayahnya untuk membayar uang pendaftaran kuliah yang akan ia transferkan besok melalui bank.
“Assalamu’alaikum, Ayah ...!” sapa Ayana senang saat melihat Pak Cahyo duduk di teras rumah sambil mengudut rokoknya.
“Wa’alaikum salam. Dari mana kamu? Jam segini baru pulang!” tegur Pak Cahyo saat melihat putrinya baru pulang lantaran sudah pukul empat sore.
Ayana sempat tersentak kaget mendengar teguran ayahnya. Namun, sesaat kemudian ia tersenyum sambil memarkirkan sepedanya di halaman rumahnya. Setelah itu ia mendekat ke arah Pak Cahyo dan mencium punggung tangan sang ayah dengan takzim.
“Dari warnet, Yah .... Aku dan teman-teman baru saja mendaftar kuliah di Jogja,” jawab Ayana sambil duduk di samping ayahnya.
“Apa? Jogja? Kenapa kamu nggak minta izin Ayah dulu, Ayana?” balas Pak Cahyo marah. Ia pun segera membuang puntung rokoknya lalu menarik tangan Ayana dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
“Kenapa, Yah? Bukannya Ayah senang kalau aku kuliah biar bisa jadi guru kayak Ayah?” protes Ayana seraya menatap ayahnya.
“Bukan masalah kuliahnya, Ayana. Jogja itu jauh. Ayah nggak bisa ngawasi kamu!” balas Pak Cahyo lalu duduk di kursi ruang tamu. Ia sengaja mengajak Ayana masuk ke dalam rumah agar perdebatan mereka tidak didengar tetangga sekitar rumah.
Ayana mendengkus pelan mendengar penuturan ayahnya.
“Yah ..., aku sudah besar, Yah. Nggak perlu diawasi lagi. Toh aku nggak sendirian di sana. Banyak kok teman-temanku yang juga kuliah di sana,” tutur Ayana meyakinkan ayahnya. Ia masih sangat berharap agar sang ayah memberinya izin kuliah di Yogyakarta.
“Nggak boleh pokoknya! Kalau kamu mau kuliah, lebih baik yang dekat rumah saja. Biar Ayah bisa menjenguk kamu setiap saat di kost-an!” pungkas Pak Cahyo lalu pergi masuk meninggalkan Ayana.
Ayana mendesah pelan usai mendengar pintu kamar Pak Cahyo ditutup. Ia kesal karena ayahnya tidak memberi izin dirinya untuk kuliah di Yogyakarta. Padahal ia dan teman-temannya sudah berencana sejak lama untuk kuliah di Yogyakarta. Dengan begitu ia dan teman-temannya bisa jalan-jalan di jalan Malioboro setiap hari sepuasnya.
Tidak lama kemudian pintu ruang tamu dibuka seseorang dari luar. Ayana pun menoleh dan melihat sosok ibunya yang baru saja pulang dari arisan di rumah Bu RT.
“Assalamu’alaikum ...,” ucap Bu Retno.
“Wa’alaikum salam,” balas Ayana dengan wajah yang ditekuk.
“Kenapa kamu cemberut gitu?” tanya Bu Retno saat melihat ekspresi wajah Ayana. Kemudian ia menutup pintu ruang tamu kembali.
“Ayah nggak ngizinin aku kuliah di Jogja,” jawab Ayana lalu menghempaskan bokongnya di atas kursi empuk yang ada di belakangnya dengan kasar.
Bu Retno pun turut duduk di samping Ayana sambil mengusap punggung Ayana dan tersenyum.
“Jogja itu jauh, Ay. Ibu juga nggak bakal kasih izin kok kalau kamu mau kuliah di sana,” ucap Bu Retno dengan lembut.
Ayana semakin memajukan bibirnya karena tidak ada dukungan dari kedua orang tuanya.
“Ayah sama Ibu sama saja! Nggak bisa ngertiin perasaanku!” Ayana marah lalu bangkit dari duduknya dan pergi masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Bu Retno yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap anak gadisnya.
BAB 141Ayana yang mendengar suara Kenzo pun bergegas memegang ujung jaketnya lalu merapatkan di depan dada dengan mata terpejam.Setelah angin mereda, semua mata orang yang ada di meja itu menatap ke arah Kenzo, kecuali Ayana. Ayana sudah terbiasa menatap Kenzo setiap hari, bahkan hampir lima belas jam. Jadi, ia tidak merasa ada yang aneh dan perlu diperhatikan pada diri dan ucapan Kenzo.“Pak Kenzo, perhatian banget sama Ayana?” celetuk Arif.Di meja itu ada beberapa mahasiswi, tapi kenapa yang diperhatikan hanya Ayana? Bahkan Kenzo memanggil Ayana seperti sudah akrab, tidak ada kecanggungan sedikit pun.Kenzo bingung harus menjawab apa. Tadi ia reflek karena khawatir leher Ayana terekspose. Bagaimana pun angin tadi cukup kencang. Ia juga harus menjaga istrinya agar tidak kenapa-kenapa.“Perasaan kamu aja mungkin,” balas Kenzo enteng sambil menyembunyikan kegugupannya.Ayana yang dibicarakan tentu saja pura-pura tidak sedekat itu dengan Kenzo. Bergegas ia bangkit seraya berkata, “Ak
Ayana dan ketiga temannya duduk di seberang Arif dan kawan-kawannya.“Halo, Pacarku …,” sapa Arif menggoda Ayana dengan suara rendah. Ia menatap Ayana yang tampak malu-malu.Seketika wajah Ayana memerah saat mendengar Arif mengakuinya sebagai pacar. Padahal ia ingat betul kalau mereka tidak pernah jadian.“Dia pacar kamu?” tanya Yoga tidak percaya. Matanya sempat membelalak saat mendengar Arif mengatakan Ayana adalah pacarnya.“Waktu ospek dia nembak aku. Iya kan, Ay?” balas Arif seraya menatap Ayana. Sudut bibirnya tampak sedikit terangkat tersenyum samar.Ayana hanya bisa membelalakkan matanya dan bibirnya sedikit mengangah mendengar ucapan Arif. Jantungnya berdegup kencang.‘Apa Kak Arif menyukaiku?’ gumam Ayana dalam hati. Mana berani dia menanyakannya langsung di depan orangnya. Mario mendengarkan perbincangan mereka sambil menatap Ayana dengan serius. Ia diam-diam membaca ekspresi wajah Ayana dalam diam.Mona, Yesi, dan Mery juga tampak terkejut mendengar ucapan Arif. Mereka ju
“Enggak. Aku beneran sibuk. Hari Minggu aja gimana? Aku usahakan deh. Aku lihat jadwalku dulu,” balas Kenzo dengan santai.Biasanya Kenzo dan Ayana hanya bersantai di rumah saat hari Minggu. Mereka lebih memilih beres-beres rumah atau mengerjakan tugas daripada jalan-jalan di luar. Sudah bisa dipastikan semua tempat baik mal maupun tempat wisata penuh di hari Minggu. Karena itu ia akan pergi ke tempat gym bersama Adnan di hari itu. Meninggalkan Ayana dua atau tiga jam ia rasa tidak masalah.“Oke kalau gitu. Aku tunggu kabar secepatnya,” balas Adnan seraya beranjak bangkit lalu keluar dari ruangan Kenzo.Setelah Adnan keluar, Kenzo melirik jam di pergelangan tangannya. Karena sudah waktunya makan siang, ia pun bergegas pergi ke Universitas Gardenia. Ia lebih suka makan siang di sana karena menunya lebih beragam dan bisa melihat Ayana juga.*Sabrina masuk ke kantin dengan napas terengah-engah. Di sebuah meja, Lely sudah menunggunya sambil menyeruput es teh yang sangat menyegarkan tengg
BAB 137Setelah menurunkan Ayana di Universitas Gardenia Malang, Kenzo melajukan mobilnya menuju Universitas Magnolia Malang. Ia ada jam mengajar jam pertama hingga jam ke empat di sana.Setelah turun dari mobil, Kenzo bergegas masuk ke dalam kelas karena ia sudah hampir terlambat. Ia sempat terkena macet dan beberapa lampu merah di tengah jalan.“Selamat pagi semua …,” sapa Kenzo seraya berjalan dengan sedikit cepat menuju meja yang ada di depan kelas. Tubuhnya berjalan dengan tegap sambil menggendong tas ransel di punggungnya. Kemeja berwarna hijau sage membungkus tubuhnya. Lengannya dilipat di bawah siku. Celana hitam membungkus kaki panjangnya.“Selamat pagi, Pak …,” sahut para mahasiswa yang ada di ruangan itu hampir serentak.Kenzo menurunkan tas ranselnya lalu mengeluarkan laptopnya. Semua mahasiswa menunggunya dengan sabar.“Ada yang beda nggak sih dengan Pak Kenzo?” celetuk Sabrina dengan berbisik pada Lely yang ada di sampingnya. Ia berbicara sambil menutupi mulutnya agar ti
Kenzo tampak termenung sejenak. Kemudian ia berkata, “Coba aku lihat?” sambil menyingkap selimut.Ayana membelalakkan matanya. Kenzo benar-benar tidak tahu malu.“Mas Kenzo mau ngapain?” Seketika Ayana panik. Tangan Kenzo sudah memegang ujung daster midinya dan hendak menyingkapnya. Buru-buru Ayana duduk dan menahan tangan Kenzo. Rasa tertusuk jarum kembali menjalar di area pangkal pahanya.“Mau lihat. Apa terluka lagi? Padahal aku melakukannya lebih pelan dari waktu itu. Apa kamu mau cek ke dokter?” ujar Kenzo menawari. Ia juga kasihan pada Ayana kalau terus kesakitan. Apalagi Ayana masih muda. Usianya belum genap 19 tahun.Membayangkan dokter memeriksa bagian intim tubuhnya, seketika wajah Ayana memerah. Ia akan lebih malu kalau orang lain melihat barang miliknya, apalagi kalau dokternya laki-laki.“Nggak usah. Aku akan kuliah hari ini,” ujar Ayana akhirnya terpaksa masuk kuliah daripada harus diperiksakan ke dokter.Kenzo tersenyum dan membelai rambut Ayana. Kemudian ia beranjak ba
Ayana bergegas mandi dengan benar agar cepat selesai. Ia ingin lanjut tidur lagi usai salat subuh nanti.Kenzo keluar rumah untuk berbelanja. Biasanya ia akan jalan kaki langsung menuju tukang sayur keliling yang biasanya berjualan di komplek perumahannya. Namun, kali ini ia tidak melakukan itu. Ia akan lari keliling komplek dua putaran terlebih dahulu baru berbelanja.Kenzo berlari ke arah tukang sayur lalu mengurangi kecepatan larinya ketika sudah dekat dengan tukang sayur. Orang-orang yang melihat, mengira Kenzo akan berbelanja seperti biasanya. Namun, saat sudah dekat, Kenzo hanya menyapa dengan tersenyum cerah.“Selamat pagi, Ibu … Ibu …,” sapa Kenzo.“Pagi …, Mas Kenzo …,” balas beberapa ibu-ibu yang sering berbelanja bareng bersama Kenzo.“Nggak belanja, Mas Kenzo?” celetuk Bu Heni.“Nanti saja, Bu. Saya mau lari dulu,” sahut Kenzo lalu melanjutkan larinya.Setelah lari komplek dua putaran, Kenzo kembali ke tukang sayur untuk berbelanja. Napasnya tampak ngos-ngosan usai berlari







