Keesokan harinya
Ketika jam istirahat, Pak Cahyo sedang duduk di kursinya yang ada di ruang guru. Ia mengeluarkan bekal camilan yang dibawakan istrinya. Tidak mewah, hanya pisang dan singkong goreng untuk mengganjal perut sebelum jam makan siang.
Tidak berselang lama kemudian, Pak Cahyo mendengar suara Pak Budi tengah berbicara sambil berjalan masuk ke dalam ruang guru. Ketika ia menoleh, tampaklah Pak Budi tengah berbicara dengan ponsel menempel pada telinganya.
“Ada apa, Pak?” tanya Pak Cahyo ketika Pak Budi usai menyudahi perbincangan di ponselnya. Kebetulan meja Pak Budi berada tepat di samping kanan meja Pak Cahyo.
“Itu anak saya, Pak. Dia kan sudah umur tiga puluh tahun. Sudah jadi dosen juga. Tapi, nggak nikah-nikah juga. Nunggu apa? Saya kan sudah tua. Saya ingin dia segera menikah agar saya bisa melihat dan menimang cucu saya. Mumpung saya masih kuat dan belum sakit-sakitan. Bener toh?” papar Pak Budi menjelaskan dengan sedikit emosional.
Pak Cahyo mendengarkan sambil manggut-manggut tanda mengerti. Kemudian ia menyodorkan bekalnya pada Pak Budi dan Pak Budi pun mengambil satu potong singkong goreng lalu segera melahap singkong goreng itu karena sudah sangat emosi dan merasa lapar usai berbicara melalui telepon dengan anaknya.
“Kalau boleh tahu, anaknya jadi dosen di mana, Pak?” tanya Pak Cahyo. Tiba-tiba ia penasaran dengan anak Pak Budi.
“Di Malang, Pak. Meskipun agak dekat, tapi ia juga jarang pulang. Saya dan istri agak khawatir karena dia tinggal sendiri. Kalau dia menikah kan ada istri yang menemaninya. Ada yang merawat kalau sakit, ada yang masakin, ada yang peduli gitu lah maksudnya. Bener toh?” cerocos Pak Budi lalu mengambil pisang goreng yang ada di kotak bekal Pak Cahyo tanpa permisi.
“Iya, Pak. Betul itu,” balas Pak Cahyo setuju.
“Nah makanya itu. Andai ada wanita yang mau dijodohkan sama anak saya. Pasti sudah saya nikahkan mereka,” ujar Pak Budi lagi.
*
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Pak Cahyo terus memikirkan kata-kata Pak Budi. Tiba-tiba tercetus sebuah ide yang sangat cemerlang di pikirannya. Ia pun tidak sabar ingin segera sampai di rumah untuk bertemu Ayana.
Sesampainya di rumah, Pak Cahyo melihat Ayana tengah memompa ban sepedanya di halaman rumah.
“Assalamu’alaikum ...,” ucap Pak Cahyo.
“Wa’alaikum salam,” balas Ayana.
“Kebetulan kamu sudah pulang. Habis ini temui Ayah di ruang tengah!” ucap Pak Cahyo lalu masuk ke dalam rumah usai memarkirkan motornya.
Ayana tampak berpikir. Kemudian sebuah senyum tipis terbit di bibirnya. Ia mengira ayahnya akan mengizinkannya kuliah di Yogyakarta dan akan memberikan uang pendaftaran saat ini juga. Dengan segera ia bergegas masuk ke dalam rumah menyusul ayahnya.
“Ada apa, Yah?” tanya Ayana lembut berpura-pura tidak tahu. Padahal ia sudah tidak sabar mendengar kabar baik dari mulut ayahnya.
“Apa kamu bersungguh-sungguh ingin kuliah, Ay?” tanya Pak Cahyo dengan menatap lekat Ayana.
“Tentu saja, Yah. Biar aku bisa jadi guru kayak Ayah. Pahlawan tanpa tanda jasa!” balas Ayana dengan antusias dan tersenyum bangga.
“Kamu boleh kuliah, tapi tidak di Jogja. Apa kamu mau?” ucap Pak Cahyo sambil menatap wajah Ayana. Terlihat ada kesedihan di wajah itu. Namun, Pak Cahyo tetap menanti jawaban dari mulut Ayana.
“Mau, Yah …. Yang penting aku bisa kuliah,” ucap Ayana pasrah. Ia tidak punya pilihan lain. Bagaimana pun ia harus patuh pada ayahnya. Apalagi untuk kuliah ia masih membutuhkan biaya dari ayahnya.
BAB 13Setelah itu pak penghulu pun memanjatkan doa berkah dan selamat. Semua orang yang hadir mengangkat tangan menengadah ke atas di depan dada untuk mengaminkan.Usai acara ijab kabul, semua tamu undangan pun dipersilakan menikmati hidangan yang ada. Sedangkan Kenzo dan Ayana duduk di pelaminan untuk foto bersama.“Mbak, tolong lihat ke kamera! Senyum dikit juga ya!” ujar sang fotografer yang hendak mengambil foto mereka. Sedari tadi Ayana menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap siapa pun, apalagi Kenzo.Dengan terpaksa Ayana pun mengangkat kepalanya menatap sang fotografer. Namun, tetap saja bibirnya sulit untuk tersenyum.Berbeda dengan Kenzo yang sangat kooperatif. Sedari tadi ia bersikap tenang dan tersenyum. Ia tersenyum bukan karena bahagia dengan pernikahan ini. Ia hanya tidak mau orang lain melihatnya bersedih. Ia menghargai orang-orang yang membuat acara ini. Ia tahu pernikahan sederhana ini mengeluarkan dana yang tidak sedikit.Ketika Ayana mengangkat pandangannya,
Kenzo hanya bisa tersenyum dan menunduk di pelukan Pak Cahyo. Saat ini ia memakai pakaian pengantin berwarna putih yang senada dengan Ayana. Kalung dari bunga sedap malam melingkar di lehernya dan menjuntai di dadanya.Pak penghulu sudah menunggu sejak sepuluh menit yang lalu. Kenzo pun segera dipersilakan duduk di depan pak penghulu untuk segera memulai acara akad nikah.“Ayo, Ay, keluar!” seru Bu Retno seraya membuka pintu kamar Ayana.Ayana menatap ibunya yang berdiri di ambang pintu kamarnya dengan enggan. Andai ia punya keberanian untuk kabur, mungkin sudah sejak tadi malam ia pergi dari rumah. Namun, ia terlalu takut untuk hidup sendirian di luar sana tanpa punya pengalaman hidup mandiri sebelumnya. Ia juga tidak punya pekerjaan untuk menopang biaya hidupnya sehari-hari.Dengan dada berdebar-debar, Ayana pun bangkit dari duduknya. Ia menatap ketiga sahabatnya yang juga menatapnya saat ini.“Genks ...,” rengek Ayana enggan untuk keluar kamar.“Semangat, Ay!” ujar Rara, Wulan, dan
“Jangan nangis lagi ya, Mbak. Sayang ini make up-nya sudah bagus loh. Kalau luntur nanti jadi jelak gimana? Suaminya kaget nanti. Hihi,” ucap sang MUA dengan lembut agar Ayana tidak menangis lagi dan make up-nya tidak sia-sia.Ayana pun menelan salivanya dengan sedikit kesusahan. Dadanya terasa sangat sesak. Kemudian ia menengadah ke atas agar air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya tidak jatuh. Usai itu ia mengambil tisu lalu menempelkannya di sudut matanya.Setelah merias Ayana, sang MUA pun keluar kamar untuk memberikan Ayana waktu sendiri. Ia tahu sepertinya Ayana melakukan pernikahan ini dengan terpaksa, alias dijodohkan. Ia sudah sering menemui pengantin yang seperti ini saat bekerja. Hanya memberikan waktu sendiri untuk sang pengantin sebelum akad nikah yang bisa ia lakukan agar sang pengantin merasa lebih tenang.Tidak lama kemudian Mala, Rara, dan Wulan datang. Mereka bertiga diizinkan Bu Retno masuk ke dalam kamar Ayana agar bisa menemani dan menenangkan Ayana terl
Kenzo tidak kuat menahan tawa ketika melihat bapaknya yang tiba-tiba murka. Muka Pak Budi kelihatan merah kehitaman karena amarah yang membuncah.Pak Budi menatap Kenzo dengan mata melotot. Hampir saja ia mengalami serangan jantung.“Canda, Pak. Ya ampun ... sampai segitunya pengen punya mantu. Iya … iya …, besok aku nikahi anaknya Pak Cahyo,” ucap Kenzo dengan tersenyum tulus seraya menatap Pak Budi.Pak Budi pun merasa lega sembari memegang dadanya. Ia sempat merasa khawatir kalau seandainya Kenzo tidak mau menikah besok. Mau ditaruh di mana mukanya ini. Tenda sudah berdiri di depan rumah, tiba-tiba pernikahan dibatalkan. Apa tidak jadi gunjingan orang-orang? Bahkan di sekolah tempatnya bekerja pun juga sudah pada tahu kalau besok akan ada acara pernikahan anaknya dengan anak Pak Cahyo.Kenzo terpaksa patuh, meskipun ada rasa enggan di hatinya. Bagaimana pun ia tidak mau menjadi anak durhaka. Kesuksesannya saat ini adalah berkat doa dan dukungan kedua orang tuanya. Sampai kapan pun,
“Ada apa ini? Nggak ada yang meninggal ‘kan?” gumam Kenzo pelan. Ia pun buru-buru turun dari mobilnya dan melihat Pak Budi tengah mengatur letak-letak kursi untuk walimah nanti malam.“Assalamu ’alaikum. Ada apa ini, Pak?” tanya Kenzo. Kemudian ia meraih tangan Pak Budi dan mencium punggung tangan itu.“Wa ’alaikum salam. Akhirnya kamu pulang juga, Ken!” sambut Pak Budi senang. Ia sangat khawatir kalau Kenzo tidak jadi pulang hari ini.“Ayo masuk dulu. Kita ngobrol di dalam!” ajak Pak Budi.Kenzo pun patuh dan mengekor di belakang Pak Budi. Ketika memasuki ruang tamu, bau bunga sedap malam, pandan, dan bunga melati masuk ke indra penciumannya.“Ada apa ini, Pak? Kok kayak ada orang yang mau nikah?” tanya Kenzo ketika melihat berbagai macam seserahan dan mahar berada di dalam kamarnya.Pak Budi sengaja mengajak Kenzo masuk ke dalam kamar Kenzo untuk bicara empat mata.“Iya. Besok kamu nikah, Ken,” jawab Pak Budi pelan.“Apa?! Gimana ceritanya, Pak? Kok bisa tiba-tiba besok nikah? Aku ‘
Sementara itu di sebuah rumah mungil berukuran tipe 50/84, seorang laki-laki tengah berkutat dengan laptopnya. Dia adalah Kenzo Naufal Maulana. Hari-harinya disibukkan dengan membuat materi kuliah dan menilai tugas mahasiswanya.Saat tangannya sedang sibuk mengetik-ngetik pada keyboard laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering pertanda ada telepon masuk. Kenzo pun segera melihat nama penelepon yang ada di layar ponselnya.“Bapak? Tumben telepon,” gumam Kenzo seraya mengerutkan keningnya.Dengan segera ia meraih ponsel itu lalu menempelkan pada telinganya usai menggeser icon hijau.“Assalamu ’alaikum, Pak …,” ucap Kenzo lembut.“Wa’alaikum salam, Ken,” sahut Pak Budi di seberang telepon.“Ada apa, Pak? Tumben telepon? Biasanya ‘kan aku yang telepon Bapak,” tanya Kenzo. Ia khawatir terjadi apa-apa pada salah satu anggota keluarganya.“Besok kamu harus pulang, Ken!” ujar Pak Budi, tepatnya perintah. Untuk satu ini ia tidak mau Kenzo menolak dan harus memastikan betul-betul Kenzo pulang be