Share

Bab 7

"Kok bisa sih lo nikah sama kakak ipar lo sendiri?" Zahra berkata dengan mata yang masih membulat kaget. "Lo sama Calista kan adek kakak?"

"Bukan kandung," jawab Jihan dengan wajah sendunya.

"Oke ... oke, gue tau. Tapi kenapa bisa dia minta lo nikahin suaminya? Gila sih menurut gue, macam novel yang gue baca aja." Zahra mengusap wajahnya dengan kasar.

Kemudian Jihan pun menjelaskan kepada Zahra kenapa sampai Calista memintanya untuk menikah dengan Fadli, sebab wanita itu kecelakaan, sementara mertuanya tidak mengetahui tentang kecelakaan tersebut, dan rahim Calista harus diangkat dan dia sudah tidak bisa mengandung lagi.

Dia hanya bisa pasrah, terlebih saat ini yang membiayai kuliahnya dan juga pengobatan ibunya adalah Calista dan Fadli, sementara biaya itu sangat mahal.

"Tunggu deh! Jadi lo melakukan ini demi Ibu loh, begitu?"

"Iya, mau bagaimana lagi? gue nggak punya pilihan lain," jawab Jihan sambil menundukkan kepalanya.

Zahra langsung memeluk tubuh sahabatnya, dia tidak bisa membayangkan bagaimana berada di posisi Jihan yang tertindas dan terjepit dalam sebuah masalah, sehingga tidak ada jalan keluar selain menikah dengan kakak iparnya sendiri.

"Terus nanti kalau semisalnya Ibu lo udah sadar, apa lo juga akan memberitahunya?" Zahra menatap lekat ke arah Jihan, dan wanita itu menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Mana mungkin aku bercerita kepada Ibu bisa-bisa dia sangat terkejut dan mungkin akan marah kepadaku dan juga Kak Calista. Baginya pernikahan itu sakral, bukan sebuah main-main," jelas Jihan.

Kemudian mereka pun turun untuk menuju ruangan rawat inap di mana Ibu Kulsum dirawat, dan Jihan langsung melakukan tugasnya yaitu mengelap tubuh sang ibu sementara Zahra memesankan makanan untuk mereka.

Setelah dari rumah sakit, Jihan diantar oleh Zahra untuk pulang ke rumah. "Jadi ini tempat tinggal lo sekarang?" tanya Zahra.

"Iya, ini tempat tinggal aku bersama dengan mas Fadli. Ayo masuk!" ajak Jihan, kemudian mereka turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah.

Akan tetapi saat Jihan masuk dia mendapati Fadli yang baru saja mengambil air dingin di dapur, Zahra yang melihat itu pun merasa tak enak. "Han, kayaknya gue pulang aja. Besok gue jemput lo buat ke kampus ya."

"Ya udah, makasih ya kamu udah nganterin aku." Kemudian Zahra pun berpamitan.

Dia menatap tak suka ke arah Fadli, karena pria itu sangat dingin dan terkesan arogan. Namun Zahra juga tidak ingin ikut campur dengan urusan rumah tangga Jihan, selagi wanita itu tidak meminta bantuan kepadanya.

"Dari mana kamu? Dudah malam kamu baru pulang? Apakah wanita berhijab sepertimu itu, memang suka keluyuran." sindir Fadli sambil duduk di kursi yang ada di ruang tamu.

"Aku baru dari rumah sakit menengok keadaan ibu," jawab Jihan.

Dia tidak menyangka jika Fadli akan berada di sana, tadinya Jihan pikir pria itu akan tinggal di rumah kedua orang tuanya dan malam ini tidak ke rumah.

"Aku ke sini untuk meminta jatahku, karena setiap hari aku harus menanam benih. Jika tidak, bagaimana akan cepat jadi," ujar Fadli dengan nada yang dingin. "Sebaiknya kau bersihkan dirimu dulu! Baru kau persiapkan untuk memuaskanku." Pria itu berkata tanpa menoleh ke arah Jihan sedikit.

"Iya Mas," jawab Jihan sambil beranjak dan masuk ke dalam kamar. Dia meremas dadanya yang terasa begitu sakit saat mendapatkan perlakuan yang menurutnya seperti wanita rendah.

Setelah selesai membersihkan diri, Jihan keluar dari kamar mandi dan ternyata Fadli sudah berada di kamar. Wanita itu pun mendekat dan dia masih menggunakan handuk sebatas dada, membuat Fadli menekuk ludahnya dengan kasar.

'Dia memang lebih cantik, bahkan tubuhnya lebih berisi. Apalagi di bagian tertentu.' batin Fadli yang sudah tergiur, kemudian dia menarik tangan Jihan dan mulai merebahkannya di atas ranjang.

Satu tangannya membuka handuk, lalu dia mulai menyatukan bibir mereka. Jihan hanya bisa menikmati dan memejamkan matanya, sementara Fadli seperti sudah dikuasai setan, dia melakukan aksinya sebagai seorang suami.

Tidak Fadli pungkiri jika tubuh Jihan memang sangat nikmat. 'Aku bahkan ingin lagi dan lagi melakukannya, tapi harus terbatas dengan waktu, karena kalau pulang kemaleman bisa-bisa Papa curiga sama aku.' batin Fadli.

Setelah selesai dia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu keluar dengan pakaian yang sudah rapi.

Tanpa memperdulikan Jihan, Fadli pergi begitu saja. Sementara Jihan meneteskan air mata, dia seperti wanita yang tak pernah dianggap dan tak pernah dihargai sedikitpun oleh Fadli.

"Aku memang seorang alat untuk mencetak anak, tapi aku juga ingin dihargai." batin Jihan.

Saat dia akan beranjak dari ranjang untuk membersihkan sisa-sisa pertempuran mereka, tiba-tiba ponselnya berdenting, dan ternyata sebuah pesan masuk ke dalamnya. Setelah membaca pesan itu, hati Jihan semakin teriris sakit.

BERSAMBUNG.....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nagisa Gisa
ceritanya bagus aku suka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status