"Apa ini?"
Caitlin bertanya sekali lagi karena Keelan tidak segera memberinya jawaban. "Kau bisa melihatnya sendiri," jawab Keelan ringan. Penasaran dengan isinya, Caitlin langsung membuka amplop itu. Selama beberapa detik otaknya membeku saat dia menemukan dua lembar kertas dari dalam amplop. Pelan-pelan dia membaca deretan kalimat yang tertera di sana. "Bisakah kau menjelaskan maksud dari surat ini?" Caitlin menuntut seraya mengernyitkan keningnya. "Itu adalah surat kontrak pernikahan kita yang telah aku siapkan sedari awal," terang Keelan. "Seperti yang kau baca, kita akan terikat dalam pernikahan selama enam bulan," lanjutnya. "Aku tidak membutuhkan kontrak ini. Kita bisa bercerai kapan saja kau mau." Lebih cepat lebih baik, batin Caitlin. Dengan begitu dia bisa bebas, dan segera menjauh dari kehidupan Keelan. "Aku tidak mungkin melakukannya. Hidup adikku dipertaruhkan di sini." "Katakan yang sejujurnya. Sejak tadi kau berbicara berputar-butar," tukas Caitlin sengit. "Pernikahan kita berakhir setelah acara pernikahan adikku digelar. Begitu acara itu berlangsung sesuai rencana, kau bisa melenggang pergi," balas Keelan. "Jadi aku memberikan solusi terbaik padamu. Di antara kita tidak ada yang dirugikan." Keelan menambahkan dengan sangat meyakinkan. Setidaknya dia bukan laki-laki kejam yang tidak memikirkan nasib Caitlin selanjutnya. Bagaimanapun buruknya sifat yang Keelan miliki, dia masih memiliki hati nurani. "Setelah pernikahan ini berakhir, selanjutnya apa yang akan aku dapatkan?" Kalau boleh jujur, pertanyaan itu tidak benar-benar berasal dari lubuk hati Caitlin yang paling dalam. Dia tidak pernah menginginkan apa-apa dari Keelan. Selain kebebasannya. Itu saja. Caitlin mencoba tetap tenang. Di tengah situasi seperti sekarang, dia dituntut untuk tidak terpancing oleh umpan yang dilemparkan Keelan. Memang darahnya sedang mendidih, tapi dia tidak ingin membuat Keelan merasa senang. Sementara itu, mata Keelan memandang Caitlin lurus. Dia menilai Caitlin dengan seksama. Sepertinya Caitlin mulai menampakkan wajah aslinya. Wajah seorang yang tamak dan rela melakukan apa saja demi meraih tujuannya. "Kau akan mendapatkan banyak," ucap Keelan lalu menyandarkan punggungnya di dinding. "Tunjangan pernikahan, perhiasan, gaun dan sepatu, serta sebuah apartemen di Bristol. Meskipun apartemen itu jauh dari kota London, setidaknya kau memiliki tempat tinggal yang layak sebagai mantan istriku." Caitlin menatap Keelan dan surat itu secara bergantian. Dia terlihat tengah berpikir sebentar. Lalu tangannya meraih sebuah bolpoin yang kebetulan tergeletak di atas meja rias. Dalam gerakan cepat dia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu, dan mengembalikannya pada Keelan. "Apa masih ada lagi yang kau inginkan dariku?" Keelan memasukkan surat itu ke dalam amplop, lalu menatap Caitlin lurus. "Sudah cukup. Sebaiknya kita bergegas pergi. Aku tidak ingin terlambat karena pesta itu sangat penting bagiku." Caitlin mengayun langkah melewati Keelan. Lengannya tanpa sengaja menyentuh dada Keelan, hanya sekilas, dan sempat membuat jantungnya berdetak cepat. Tapi dia segera meredam debaran jantungnya, berpura-pura seolah tidak peduli dengan kejadian itu. Mereka sampai di tempat pesta lima belas menit berselang. Caitlin menarik napas panjang sebelum kakinya melangkah keluar dari mobil. Malam ini adalah pengalaman pertama baginya menghadiri pesta yang sangat mewah. Jujur, dia merasa sangat gugup dan takut salah dalam melangkah. Terlebih gaun yang dia kenakan terlalu sempit di badannya yang sedikit berisi. "Tersenyumlah yang lebar," bisik kelan di telinga Caitlin. "Aku tidak ingin membuat para tamu berspekulasi buruk tentang kita." Caitlin menarik tangan Keelan, memintanya untuk menghentikan langkahnya sejenak. Dalam hitungan detik raut wajahnya berubah cerah dengan senyum manis tersimpul di bibir. Lalu dia merangkul lengan Keelan erat, dan mereka mulai melangkah kembali masuk ke dalam ballroom tempat acara. "Keelan Bennet. Aku tidak pernah menyangka kau mau datang ke sini." Seorang laki-laki paruh baya dengan setelan rapi menghampiri mereka. Dia menjabat tangan Keelan sekilas. Pandangan matanya beralih pada Caitlin. "Chaterine ... lama tidak berjumpa denganmu. Bagaimana kabarmu?" Caitlin menatap bingung lawan bicaranya dengan dahi mengernyit. Lalu dia ganti menatap Keelan, memohon sebuah pertolongan. Dia tidak tahu harus berkata apa karena baru pertama kali bertemu dengan orang asing itu. "Maafkan istriku," ujar Keelan mengambil alih situasi canggung di antara mereka bertiga. "Ingatan istriku sedikit terganggu setelah mengalami kecelakaan beberapa saat yang lalu. Dia tidak ingat siapa dirimu." Laki-laki itu tersenyum kecut. "Sayang sekali. Padahal dulu kita sangat dekat," ucapnya pada Caitlin tanpa berniat menyembunyikan rasa kecewanya. "Memang patut disayangkan," timpal Keelan dengan nada malas-malasan. Dia menggandeng tangan Caitlin dan mengajak istrinya untuk segera beranjak dari hadapan laki-laki itu. "Siapa dia?" bisik Caitlin penasaran setelah berada cukup jauh dari jangkauan laki-laki sebelumnya. "Salah satu selingkuhan Chaterine," jawab Keelan ringan seolah tanpa beban. Caitlin menghentikan langkahnya. Berita yang baru saja disampaikan Keelan benar-benar mengejutkannya, membuat lidahnya kelu seketika. Dia tidak ingin mempercayai kata-kata Keelan. Tapi hati kecilnya berkata sepertinya suaminya itu tidak sedang berbohong padanya. "Bisakah kita meninggalkan area pesta ini?" pinta Caitlin. Suaranya sangat lemah, dan hampir tidak terdengar di telinga Keelan. Kedua matanya terasa memanas. "Pesta ini sangat penting bagi perusahaanku. Aku tidak mungkin melakukannya." Keelan menepuk tangan Caitlin, lalu dia mengajak istrinya itu melangkah semakin masuk ke dalam ruangan. Langkah kaki Caitlin terasa sangat berat. Lantai yang dia pijak seakan berputar-putar, dan menariknya jatuh ke bawah. Tangannya menyengkeram erat-erat lengan Keelan. Diam-diam Caitlin melirik Keelan. Sepertinya suaminya memang sengaja menyiksanya dengan mengajaknya kemari. Tidak ayal lagi. Seorang pelayan yang membawa nampan berisi gelas-gelas minuman menghampiri mereka. Dalam gerakan cepat Keelan meraih dua gelas itu, lalu mengulurkan salah satunya pada Caitlin. Dia menghabiskan isi gelas itu dalam sekali tegukan. "Minuman itu akan membantumu merasa sedikit santai," ujar Keelan karena melihat Caitlin tidak kunjung meneguk minumannya. Caitlin menuruti perkataan Keelan. Cairan berwarna keemasan itu mulai mengalir di tenggorokannya, memberikan sensasi terbakar tapi memabukkan. Setelah itu dia meletakkan gelasnya yang kosong di atas meja di sampingnya. Seperti kata Keelan, suasana hatinya sekarang langsung berubah, tidak terlalu terbebani dengan keberadaan orang-orang sekitar. Malam semakin menua. Sayup-sayup terdengar suara pembawa acara yang memulai acara pesta amal malam ini. Seluruh mata tertuju ke arah depan nun jauh di sana. Terdengar tepuk tangan yang meriah membahana di sekeliling ruangan. Caitlin tidak terlalu memperhatikan. Konsentrasinya berada di tempat lain. Saat tersadar, Caitlin mendapati Keelan tidak ada di sampingnya. Suaminya entah pergi ke mana. Kepalanya berputar, matanya menatap tajam mencari keberadaan Keelan yang seolah hilang tertutup oleh kerumunan banyak orang. Mata Caitlin sibuk mencari sosok Keelan yang lenyap dari pandangan. Tanpa Keelan di sisinya, dia merasa tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi dalam situasi sekarang. Dia tidak memiliki pengalaman dalam memainkan peran sebagai istri seorang milliarder yang memiliki kerjaan bisnis yang tersebar di mana-mana. Dia menyibak kerumunan, lalu matanya seketika membeku. Dari jarak dua meter dia melihat seorang wanita tengah bergelayut di lengan Keelan. Wanita itu menempel erat seolah tidak peduli dengan status Keelan yang telah memiliki istri. Sementara itu dia melihat Keelan seolah tidak keberatan dengan sikap kurang ajar wanita itu. "Chaterine ...." panggil Keelan saat menyadari keberadaan Caitlin. Dalam gerakan kasar Keelan menepis tangan wanita itu, yang dia tidak tahu namanya, dan bergegas menghampiri Caitlin. “Sayang …. Apakah kau lama menungguku?” Tubuh Caitlin menegang selama berberapa detik saat Keelan berdiri di depannya. Tangan Keelan langsung melingkari pinggang Caitlin. Tindakan Keelan ini membuat dirinya mematung dan berubah menjadi orang dungu yang tidak tahu apa-apa. Lututnya melemah seolah tidak mampu menopang berat tubuhnya. Melihat Caitlin hanya diam, membuat Keelan memperat pelukannya. Lalu dia mengecup pipi Caitlin mesra. Dia tersenyum lebar saat mendapati wajah Caitlin yang memucat akibat ciumannya. Caitlin pasti tidak pernah menyangka dia bisa melakukan itu padanya. "Aku mencarimu," ucap Caitlin lirih. Sorot matanya sayu saat menatap Keelan. "Tentunya kau tidak berharap aku akan berada di sampingmu sepanjang malam ini?" Dahi Keelan mengernyit saat menatap Caitlin. "Aku merasa berada di tempat yang salah. Kau bisa memahaminya, 'kan?" Sudut bibir Keelan naik ke atas. Lalu jari-jarinya memijat tangan Caitlin lembut. "Kau belum terbiasa. Ke depannya aku akan sering mengajakmu menghadiri pesta-pesta penting untuk kalangan atas. Siapkan dirimu." Caitlin menarik napas panjang. Sepertinya percuma dia berdebat dengan Keelan. Dia tetap kalah, dan harus menuruti perintah Keelan. "Aku butuh udara segar. Kalau kau mengijinkan, aku ingin keluar sebentar." Caitlin menatap Keelan sebentar. Lalu dia memutar tubuhnya. Dalam gerakan cepat, dia melangkahkan kakinya menjauh dari suaminya. Udara malam yang dingin langsung menerpa Caitlin. Dia menggigil kedinginan karena bahan gaunnya sangat tipis. Dia mencoba menahannya, dan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya untuk mencari kehangatan. "Chaterine .... Akhirnya aku menemukanmu di sini." Sebuah suara asing di belakangnya langsung membuat Caitlin mematung. Siapa lagi ini, keluhnya dalam hati. Pelan-pelan dia membalikkan badannya. Tidak jauh darinya dia melihat seorang laki-laki tampan sedang menyeringai padanya.“Coba jelaskan tentang lelucon ini.” Keelan melangkah maju mendekati Caitlin dengan kedua mata merah menyala. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. Bila tidak ingat Caitlin adalah seorang Wanita, dia pasti telah melayangkan pukulan tepat ke wajah istrinya. Sekuat tenaga di mencoba menahan amarahnya yang telah meletup=letup di puncak kepala. “Menjelaskan tentang apa?” tanya Caitlin dengan wajah polos tidak berdosa. Sorot matanya bingung saat menatap Keelan. “Dokter bilang kau mengalami luka serius. Tapi sekarang, kau ….” Kata-kata Keelan menggantung karena suaranya tercekat di tenggorokannya. “Aku barus aja terbangun setelah dari meja operasi. Bisa-bisanya kau menuduhku yang bukan-bukan.” Caitlin mendengus kesal, lalu menundukkan kepalanya. Nyeri di kepala Caitlin muncul lagi, dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit itu. Caitlin mengerang sambil memegang kepalanya. Air matanya pun ikut berjatuhan. “Aku tidak akan terkecoh dengan sandiwaramu ini,” ucap Keelan ketus
Keelan tiba di rumah sakit tidak lama kemudian. Wajahnya pucat pasi. Saat berjalan melewati lorong dengan langkah tergesa-gesa, sorot matanya kosong."Keelan ...." Rossie menubruk Keelan, lalu melingkari tubuh cucunya sambil menangis tersedu-sedu. "Apa yang terjadi sebenarnya?" tuntut Keelan, matanya sibuk mencari keberadaan istrinya."Istrimu benar-benar gila," geram Rossie. Dia melepaskan pelukannya, dan menatap Keelan dengan mata bercucuran. "Dia sengaja mendorongku ke jalan saat ada mobil yang lewat.""Sekarang Chaterine ada di mana?" tuntut Keelan tidak sabaran."Dia sedang berada di ruang operasi sekarang. Dokter berusaha menyelamatkannya karena dia kehilangan banyak darah," jawab Rossie menjelaskan.Keelan mengernyit. Ada kejanggalan dari cerita Rossie. Bila benar Caitlin mendorong Rossie ke jalan seperti cerita sebelumnya, bukankah seharusnya neneknya yang berada di ruang operasi sana?"Aku ingin melihatnya sekarang." Keelan mendorong Rossie menjauh. "Istrimu berada di tanga
"Apakah aku harus takut mendengar ancamanmu?"Caitlin menatap Rossie tajam, sambil menggesekkan pisaunya di atas piring hingga menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga. Dengan berani dia menunjukkan seringainya, seolah menjawab tantangan Rossie. Seharusnya Rossie sadar bahwa lawannya kali bukan orang yang sangat lemah dan bersedia menuruti perkataannya begitu saja.Tangan Rossie terangkat. Dalam gerakan cepat dia meraih tangan Caitlin, dan mencengkeramnya dengan erat hingga pisau itu terjatuh di atas piring. Tidak berhenti di sana. Dia sengaja menancapkan kuku panjangnya dia kulit Caitlin.Raut wajah Caitlin terlihat sangat tenang. Dia tidak menunjukkan rasa sakit sedikit pun. Baginya tusukan kuku Rossie tidak ubahnya seperti gigitan seekor semut di tangannya. "Aku tidak pernah nyangka wanita bermartabat sepertimu bisa melakukan tindakan kekanakan seperti ini," ucap Caitlin sambil melirik sinis pada Rossie yang masih melingkari pergelangan tangannya.Rossie langsung menarik
"Nenek .... Bercandamu sangat tidak lucu."Caitlin melirik tangannya yang berada dalam cengkeraman Rossie seraya menyunggingkan senyum sinis. Kakinya maju selangkah hingga jarak mereka sangat dekat. Caitlin menatap Rossie dengan sorot mata jahil. Dirinya terlihat tegar, dan tidak gentar sedikit pun."Jauhkan tubuh kotormu dariku," tukas Rossie sengit.Caitlin membuka mulutnya lebar, dan pura-pura terkejut. Lalu dia menepis tangan Rossie. "Haruskah aku takut padamu? Tentu saja tidak. Ini adalah rumah suamiku. Itu berarti juga rumahku. Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai Keelan menyuruhku pergi dari sini."Kemudian Caitlin melenggang masuk ke dalam rumah dengan langkah kaki tegap dan kepala tengadah ke atas. Di belakangnya Rossie berteriak memanggil namanya. Sayangnya dia sama sekali tidak menggubrisnya.Caitlin masuk ke kamarnya, dan menjatuhkan dirinya di atas kasur. Tangannya menyentuh dadanya yang masih berdebar-debar. Baru kali ini dia memiliki keberanian bersikap kurang
"Baguslah kalau begitu." Caitlin menyeringai lebar. Tatapan matanya berbinar-binar. Dia terlihat sangat bahagia. "Apa maksud ucapanmu?" Keelan menarik siku Caitlin hingga istrinya menubruk dadanya. Melihat reaksi istrinya yang berlebihan, membuat emosinya tersulut. Dia menduga Caitlin telah merencanakan sesuatu di belakangnya. Caitlin menepis tangan Keelan kasar. Setelah berhasil terlepas dari cengkeraman suaminya, dia mengangkat dagunya dan menatap Keelan dengan sorot menantang. Sekarang Keelan harus tahu bahwa dia tidak akan pernah merasa takut lagi. "Bila nenekmu benar-benar ingin mengusirku, tentu saja aku menyambut hal itu dengan gembira. Dengan begitu aku bisa terlepas dari belenggumu tanpa harus berjuang keras untuk melawanmu," terang Caitlin berapi-api. "Jangan macam-macam denganku," desis Keelan sambil menggeretakkan giginya. "Kita lihat saja nanti," balas Caitlin dengan senyum cerah. Setelah itu Caitlin mengabaikan Keelan. Dalam gerakan cepat dia melangkah men
"Aku bisa memesan makanan kalau kau lapar." Caitlin langsung mematung saat mendengar suara Kelan di belakanganya. Dia tidak menyadari kehadiran Keelan di dekatnya karena terlalu fokus mencari makanan di dalam kulkas. Dapur itu gelap, dan hanya diterangi cahaya dari lampu kulkas yang terbuka. Caitlin menutup pintu kulkas, lalu memutar tubuhnya. Kedua tangannya bersedekap di depan dada, sebagai bentuk pertahanan diri dari keberadaan Keelan di sekitarnya. Dia tidak berani menatap Keelan langsung, pandangan matanya tertuju ke arah di belakang suaminya. Tidak ada apa-apa selain bayangan kosong dalam kegelapan. "Kau ingin makan apa?" tanya Keelan karena Caitlin tidak kunjung bersuara. Dia menyalakan saklar lampu di samping pintu. Keadaan sekarang menjadi terang. Setelah itu dia mengetik di ponselnya, memesan makanan dari restoran terdekat yang membuka layanan pesan antar. "Terserah kau," jawab Caitlin pendek. Tanpa melihat Keelan, Caitlin melangkah ke meja di tengah dapur, menarik