Share

Bab 3

"Dua puluh juta dollar," guman Naomi pelan.

Kemudian Naomi berjalan mundur. Mendadak tubuhnya menggigil kedinginan. Kedua tangannya secara otomatis bersedekap di depan dadanya.

"Bukan jumlah yang kecil," sahut Arion.

"Aku tidak mungkin menerimanya." Naomi menggelengkan kepalanya cepat.

"Itu sepadan dengan kontrak yang kau tanda tangani." Arion menatap wajah Naomi lurus. Semburat warna pucat tercetak jelas di wajah Naomi. "Duduk lah. Kau akan jatuh pingsan bila berdiri terus."

Naomi menuruti perintah Arion. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa tidak jauh dari Arion. Kedua tangannya saling bertautan dan berada di pangkuan.

"Kau bisa mencari wanita lain yang mau menikah denganmu," ucap Naomi setelah berhasil menguasai dirinya.

"Aku hanya menginginkanmu. Tidak ada yang lain," tegas Arion dengan suara berat. Sorot matanya yang tajam langsung mengarah pada Naomi dan tepat mengenai jantung wanita itu.

Bukannya merasa tersanjung karena Arion memilihnya sebagai istri, Naomi justru merasa bersedih. Dia tidak mungkin bahagia menerima pinangan Arion bila ternyata dia hanya menjadi istri boneka. Sejujurnya, Naomi berharap Arion menikahinya dengan niat yang tulus dan sungguh-sungguh mencintainya. Tapi itu hanya ada di dalam angan-angannya. Sampai kapan pun cintanya akan selalu bertepuk sebelah tangan.

"Apa kau mendengarku?"

Pertanyaan Arion berhasil membawa Naomi kembali ke dunia nyata. Tenggorokannya tercekat. Dia tergagap sebentar, lalu menatap Arion lurus. Dia melihat laki-laki itu telah menyiapkan sebuah bolpoin untuknya.

"Maafkan aku. Bisa kau ulangi lagi ucapanmu tadi?" pinta Naomi.

"Kita akan menikah selama enam bulan. Bila salah satu diantara kita melanggar perjanjian ini, maka dia harus membayar uang ganti rugi sebesar dua kali lipat," jelas Arion sambil menekan kata-kata terakhirnya.

"Hanya enam bulan. Tidak lebih dari itu," tegas Naomi.

"Ya .... Satu lagi. Kau akan mendapatkan semua fasilitas mewah selama menjadi istriku." Arion menambahkan. Dengan begitu Naomi tidak akan menolak tawarannya.

Tanpa berpikir lebih lama lagi Naomi langsung mengambil bolpoin di atas meja. Dalam gerakan cepat, Naomi menandatangani surat kontrak itu. Dia menatap lembaran kertas itu cukup lama sebelum mendorongnya ke arah Arion.

"Siapkan dirimu. Kita akan menikah minggu depan."

Arion beranjak dari sofa, lalu meninggalkan flat Naomi dengan senyum lebar. Satu masalahnya kini telah selesai. Mulai sekarang ibunya tidak akan mengganggu dia lagi.

***

Beberapa hari kemudian.

"Kau yakin ingin membeli gaun itu?"

Arion menyipitkan matanya saat melihat Naomi mengambil sebuah gaun pengantin berwarna putih dan berpotongan sederhana di salah satu butik tidak terkenal yang Naomi pernah kunjungi. Semula dia mengira Naomi akan memilih gaun pengantin yang mewah hasil rancangan desainer. Ternyata dia salah.

Sebenarnya Arion bisa saja memanggil perwakilan dari butik langganannya untuk datang ke penthousenya secara pribadi. Tapi Naomi langsung menolak usulnya itu. Naomi merasa tidak terbiasa diperlakukan seperti itu.

"Apa ada yang salah dengan gaun ini?" Balas Naomi yang bertanya sambil memeriksa gaun pengantin itu. "Kita hanya menikah di kantor catatan sipil," gerutu Naomi. Menurutnya tidak masalah bila dia memakai gaun itu.

"Tidak ada. Kau bisa memakai apa pun yang kau suka," timpal Arion, lalu dia buru-buru berjalan menuju meja kasir.

Tidak lama berselang mereka keluar dari butik itu. Arion melirik sebentar pada Naomi. Wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan raut bahagia di wajahnya. Mendapati kenyataan itu membuat dia merasa heran.

Mereka langsung masuk ke dalam mobil. Naomi memilih untuk diam saat dalam perjalanan pulang. Tidak ada yang berhasil menarik minatnya.

"Kita akan mengunjungi ibuku. Aku harap kau bisa bersikap dengan baik saat bertemu dengan dia," ujar Arion tiba-tiba setelah mereka terdiam cukup lama.

"Baiklah kalau itu maumu. Apa ada lagi?" Naomi menoleh pada Arion, lalu dia menghadap ke arah jalan kembali.

"Sebisa mungkin, berusaha lah tetap diam bila ibu tidak bertanya."

Naomi mengangguk cepat. "Aku akan mengunci mulutku rapat." Dia membuat gerakan menutup mulutnya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

Kemudian salah satu tangan Arion merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dan mengulurkannya pada Naomi. "Pakai lah cincin itu."

Naomi membuka tutup kotak itu, lalu kedua matanya membelalak lebar. Sebuah cincin bertahtakan berlian yang berkilau sempurna membuat dia tidak mampu berkata selama beberapa saat. Naomi menggeleng perlahan.

"Aku tidak terlalu menyukainya. Aku tidak mau memakainya," ucap Naomi. Dia langsung menutup kembali kotak itu.

Arion membanting setir mobilnya ke pinggir jalan. Dia meraih kotak itu dengan kasar. Tangannya meraih cincin itu, lalu menjejalkannya di jari manis Naomi. Setelah itu dia kembali melanjutkan perjalanan.

Suasana kembali hening. Arion memusatkan perhatiannya pada jalan. Sedangkan Naomi, dia memilih melihat ke luar jendela.

Mobil Arion berhenti di halaman depan rumah bergaya Mediterania itu. Arion turun lebih dahulu, lalu menunggu Naomi di samping mobilnya. Dia sempat melihat wajah tegang Naomi saat wanita itu menghampiri dirinya, tapi dia pura-pura tidak melihatnya.

"Kami datang untuk memberi tahumu bahwa kami akan menikah besok lusa," ucap Arion setelah Ellena menyuruh mereka masuk ke dalam rumah.

Tubuh Ellena langsung mematung. Dia tidak pernah menyangka Arion bersungguh-sungguh dengan ucapannya beberapa hari yang lalu. Padahal sebelumnya dia berharap Arion tidak jadi menikahi wanita itu. Entah kenapa dia tidak menyukai Naomi sejak awal mereka bertemu. Seolah dia mendapatkan petunjuk bahwa Naomi bukan pilihan terbaik untuk Arion.

"Apa kalian sudah makan malam? Kalau belum aku akan meminta koki membuatkan makanan untuk kita," balas Ellena sengaja mengalihkan pembicaraan.

Tanpa menunggu jawaban dari tamunya, Ellena bergegas meninggalkan mereka untuk pergi menemui koki rumahnya. Dia memberi perintah pada laki-laki berusia empat puluh tahun itu untuk membuatkan makanan sederhana yang bisa siap dalam waktu singkat. Menurutnya, dia tidak perlu menjamu Naomi dengan makanan mewahnya yang terlalu berharga.

"Bagaimana dengan orang tuamu Naomi? Apakah mereka masih ada?" selidik Ellena setelah mereka selesai makan malam, dan tengah menikmati puding coklat.

Naomi tidak langsung menjawab. Raut wajahnya menegang dan pundaknya kaku. Samar-samar dia terlihat seperti sedang mengatur kata-kata yang ingin dia ucapkan. Lalu dia menatap Arion, dan berdeham sebentar.

"Mereka sudah tiada," jawab Naomi dengan nada diseret-seret. "Ibuku meninggal ketika usiaku baru dua tahun. Aku berusia sepuluh tahun saat ayah masuk penjara setelah membunuh rekan kerjanya. Lima tahun kemudian dia meninggal di sana."

Ellena tersedak minuman yang baru saja dia teguk usai mendengar penuturan Naomi. Matanya melotot menatap Naomi. Lalu dia ganti memandang Arion dengan sorot mata yang merah menyala.

Kemudian Ellena tertawa terbahak-bahak. Dengan lirikan matanya dia memberi isyarat pada Arion agar mengikutinya masuk ke ruang kerjanya. Tanpa kata, Ellena sengaja membiarkan Naomi menunggu mereka di ruang makan sendirian.

"Aku minta kau membatalkan rencana pernikahanmu. Wanita seperti itu tidak pantas untukmu, untuk keluarga kita." Ellena mondar-mandir di depan Arion sambil memegang keningnya.

"Tidak bisa." Arion menjawab dengan nada dingin. "Aku hanya menginginkan dia sebagai istriku."

"Arion ...."

"Jangan berteriak padaku," tukas Arion sengit. "Aku rasa tidak ada lagi yang perlu aku dengar darimu."

Arion memutar tubuhnya. Dia mengayun langkah panjang meninggalkan ibunya. Saat sampai di ruang tamu, dia langsung menarik tangan Naomi dan mengajak Naomi meninggalkan rumah ibunya.

"Kenapa kau tidak pernah bercerita padaku tentang kondisi orang tuamu?" cerca Arion setelah mereka dalam perjalanan pulang tidak lama berselang.

"Kau tidak pernah bertanya. Jadi tidak ada perlunya aku membicarakan tentang itu. Aku yakin kau tidak akan tertarik dengan ceritaku." Naomi membalas dengan sedikit kasar.

Naomi lalu terdiam dan merenung.Setelah mereka sampai sejauh ini, kenapa Arion mempermasalahkan tentang keluarganya? Naomi benar-benar tidak habis pikir.

"Benarkah ibumu sudah lama meninggal? Juga ayahmu adalah seorang pembunuh?"

"Ibuku meninggalkanku ketika aku berusia dua tahun, dan pergi dengan selingkuhannya. Sedangkan ayahku, dia membunuh rekan kerjanya karena terbelit hutang yang banyak." Suara Naomi terdengar pahir. Naomi lalu menyunggingkan senyum terpaksa.

"Sial." Arion memukul roda kemudi mobilnya berkali-kali. Dia tidak pernah menyangka Naomi menyembunyikan semua fakta itu darinya.

"Aku rasa sebaiknya kau membatalkan rencana pernikahan kita."

"Aku tidak akan melakukannya." Arion menatap Naomi tajam, lalu melanjutkan ucapannya. "Kita tetap menikah bagaimana pun latar belakang keluargamu."

"Meskipun pernikahan kita hanya sementara, aku yakin fakta tentang keluargaku akan memberikan citra buruk bagimu, perusahaanmu, juga bisnismu," ucap Naomi dengan suara berat. "Apa itu tidak menjadi masalah untukmu?" Naomi menoleh ke samping, lalu menatap Arion lekat-lekat.

"Biarkan aku yang mengurusnya." Arion membalas ucapan Naomi dengan nada dingin.

Bibir Naomi langsung mengatup seketika. Dia tidak berani mengajukan protes pada Arion. Mereka sudah menandatangani kontrak perjanjian pernikahan. Jadi mereka harus tetap meneruskan rencana mereka, atau membatalkannya sesuai kesepakatan. Tapi kelihatannya Arion tidak berani mundur, dan memilih untuk terus maju.

"Tapi aku ...." Kata-kata Naomi menggantung di udara.

Arion mendekati Naomi, lalu mencekal tangan wanita itu kuat. "Apa kau meremehkan aku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status