"Apa kau sudah siap?"
Naomi mengangguk. "Ya, aku siap."Tepat di hari yang telah ditentukan. Arion menjemput Naomi untuk pergi ke kantor catatan sipil bersama-sama. Selama beberapa saat Arion sempat terhipnotis oleh penampilan Naomi yang tidak biasa.Calon istrinya itu terlihat cantik dalam balutan gaun pengantin yang sederhana. Dia pun mencuri pandang untuk berlama-lama menatap Naomi. Setelah itu dia pun tersadar, langsung membuang pikirannya tentang Naomi, dan fokus pada tujuan mereka hari ini."Kedua mempelai silakan berciuman," ucap hakim yang menikahkan mereka setelah mereka dinyatakan sah sebagai sepasang suami istri.Awalnya Arion terlihat ragu-ragu. Tapi setelah itu dia menghampiri Naomi, lalu mendekatkan wajahnya di depan wajah Naomi. Pelan-pelan dia mulai mencium bibir istrinya. Hanya sebentar. Arion menarik kepalanya menjauh.Diam-diam Naomi menyentuh bibirnya. Ciuman singkat dari Arion masih terasa sangat jelas di bibirnya. Jantungnya pun berpacu dengan kencang sampai sekarang. Tapi dia berusaha menutupinya, dan bersikap seperti tidak terjadi sesuatu di antara mereka."Tidak ada pesta perayaan. Kita langsung pulang setelah dari sini."Naomi memaksakan sebuah senyum manis untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya setelah mendengar kata-kata Arion. Kelopak matanya memanas. Dia menoleh sebentar, mengusap bulir bening di ujung matanya. Sungguh tragis. Seharusnya dia bisa berbahagia di hari pernikahannya, tapi yang terjadi justru sebaliknya.Pengantin baru itu masuk ke dalam mobil Arion. Arion sempat berbicara dengan sopir pribadinya selama beberapa saat sebelum duduk tenang di jok belakang. Tapi mereka saling duduk berjauhan. Bukan seperti sepasang suami istri yang sedang dimabuk asmara."Mulai sekarang kau tidak perlu bekerja denganku." Suara Arion terdengar sangat tegas."Baiklah kalau itu maumu," sahut Naomi sambil meremas gaunnya. Dia berusaha mengatur emosinya yang memenuhi dadanya dan membuat napasnya sedikit sesak.Mereka kembali terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Naomi memilih melihat ke luar jendela. Matahari di awal musim panas bersinar cukup terik dan membuat matanya sedikit silau."Apakah ibumu akan menyambut kedatangan kita?" Naomi mencoba memecahkan keheningan yang membelenggu mereka sejak tadi."Apa kau berharap ibuku datang menyambutmu sebagai menantunya?" balas Arion yang bertanya. Nada suaranya terdengar sangat ketus.Mendengar balasan Arion, hati Naomi seakan diiris-iris semakin dalam. Kata-kata Arion membuat dia bertambah terluka.Naomi menyesal bertanya seperti itu setelah beberapa saat kemudian."Tentu saja aku berharap demikian karena sekarang aku sudah menjadi menantunya," jawab Naomi akhirnya. Dia memberanikan diri menoleh ke samping, dan menatap Arion lekat-lekat."Tapi kau juga harus ingat bahwa dia tidak pernah setuju menjadikanmu sebagai menantunya."Kata-kata Arion tepat menusuk ulu hati Naomi. Sangat menyakitkan. Dia seolah tertampar dan tersadar bahwa sebagai istri pura-pura Arion, dia tidak boleh berharap terlalu banyak.Selama sisa perjalanan mereka tidak mengobrol lagi. Arion terpaku pada iPad yang dia bawa. Sedangkan Naomi, dia kembali menatap ke luar jendela."Ini adalah kamarmu."Arion membuka pintu sebuah kamar, menunjukkannya pada Naomi. Kamar itu tidak terlalu luas, tapi terlihat sangat nyaman. Arion memutuskan mereka harus tidur secara terpisah."Terima kasih. Aku menyukainya," tukas Naomi dengan senyum lebar."Setelah kau selesai menata barangmu, kita akan makan malam," ucap Arion, lalu meninggalkan Naomi sendirian.Tidak banyak barang yang Naomi bawa. Dia hanya membawa sebuah tas berukuran sedang berisi baju-bajunya. Selebihnya dia membawa beberapa buku dari penulis favoritnya. Tidak ada yang istimewa, seperti kepribadiannya yang sederhana.Sebuah gaun linen sederhana polos berwarna hijau daun dengan tali di pundak menjadi pilihan Naomi setelah dia melepas gaun pengantinnya. Gaun itu begitu pas melekat di tubuhnya yang langsing. Dia bergegas ke ruang makan, lalu tubuhnya terpaku selama beberapa detik saat melihat Arion telah menunggunya.Malam ini Arion terlihat sangat tampan. Arion sangat berbeda dari sebelumnya. Melihat itu membuat Naomi bergidik. Dia menelan ludahnya, membasahi tenggorokannya yang kering.Arion menatap Naomi lekat-lekat. Mata hijaunya memindai sosok Naomi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jantungnya berdesir, dan dadanya terasa nyeri. Naomi mampu menghipnotisnya selama beberapa detik."Kau kedinginan?" Suara Arion terdengar berat dan serak.Naomi sama sekali tidak kedinginan. Dia menggeleng, memaksakan diri tertawa. "Tidak. Aku sedikit gelisah karena harus tinggal di tempat yang baru.""Kau harus membiasakan diri karena kau akan tinggal di sini selama enam bulan ke depan." Arion membalas malas-malasan.Naomi menarik kursi di seberang Arion. Kepalanya menunduk, dia tidak berani memandang Arion lagi. Untuk menutupi rasa gugupnya, Naomi mulai menyantap makan malamnya tanpa suara. Lalu dia teringat sesuatu yang membuatnya sedikit terganggu."Kalau aku tidak bekerja lagi sebagai asistenmu, apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Aku tidak mungkin hanya berdiam diri di rumah sepanjang hari tanpa melakukan apa pun."Raut wajah Arion berubah seketika usai mendengar ucapan Naomi. Dia meletakkan sendoknya di atas piring, lalu menatap Naomi. Sebelumnya dia tidak pernah berpikir Naomi akan menanyakan hal itu."Saat kau bosan, kau bisa berbelanja atau jalan-jalan ke mana," timpal Arion ringan. Apa lagi yang disukai seorang wanita bila tidak berbelanja atau jalan-jalan? Tentunya Naomi juga seperti itu."Aku lebih suka bila kau memberiku pekerjaan." Naomi mengaduk-aduk makanannya. Selera makannya langsung menguap begitu dia mendengar kata-kata Arion."Aku akan memikirkannya." Arion mengatakan itu untuk membuat Naomi terdiam.Mereka sama-sama terdiam setelah itu. Arion diam-diam melirik Naomi sebentar. Istrinya tidak melanjutkan menyantap makanannya dan terlihat lesu. Dia menduga Naomi bersikap seperti itu untuk mencari perhatiannya. Tapi dia memilih untuk tidak peduli.Tidak lama kemudian Naomi memberi tahu Arion bahwa dia ingin kembali ke kamarnya. Dia meninggalkan ruang makan dengan langkah terburu-buru. Rasanya dia ingin segera bersembunyi agar tidak berlama-lama berduaan dengan Arion.***Waktu pun berjalan sangat cepat. Pada akhirnya Naomi mampu bertahan hingga sekarang tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Untuk mengusir rasa bosan, dia memilih pergi ke luar rumah. Dia akan mengunjungi perpustakaan selama berjam-jam, dan pulang ke rumah saat menjelang malam.Hari ini Naomi baru saja sampai di rumah saat dia mendengar bel pintunya berbunyi beberapa kali. Dia langsung membuka pintu dan membeku selama beberapa saat setelah melihat ibu mertuanya berdiri di depan pintu, tapi ibu mertuanya tidak sendirian. Naomi melihat seorang wanita cantik mendampingi ibu mertuanya dan memperlihatkan raut wajah tidak suka pada Naomi."Apa Arion ada di rumah?" tanya Ellena, lalu melongok ke dalam, mencari Arion."Sebentar lagi dia pulang," jawab Naomi. Dia pun menyuruh kedua orang tamunya masuk ke dalam rumahnya."Aku tidak ingin menunggu Arion pulang. Kedatanganku ke sini tidak berhubungan dengan dia," ucap Ellena setelah dia duduk di depan Naomi.Naomi menatap penuh waspada pada Ellena. Tingkah Ellena sedikit mencurigakan, terlebih karena dia mengajak wanita lain ke sini. Naomi memilih diam, dan menunggu."Aku akan memperkenalkan kalian berdua." Ellena menatap Naomi sebentar, lalu dia menoleh ke arah wanita di sampingnya. "Naomi, ini adalah Catlya, mantan tunangan Arion. Tapi dia akan segera menggantikan posisimu menjadi istri Arion."Deg. Jantung Naomi berdetak kencang. Kata-kata Ellena benar-benar membuat dia merasa sangat terpukul. Kabar ini begitu tiba-tiba tanpa pemberitahuan dari Arion sebelumnya."Arion tidak berkata apa-apa," sergah Naomi sambil memaksakan senyuman."Arion tidak memberi tahumu karena ini memang keputusan dariku. Tapi itu bukan masalah besar," ucap Ellena sinis. Dia lalu menyodorkan selembar map pada Naomi. "Kau bisa menandatangani surat gugatan perceraian ini. Maka kau bisa pergi dari kehidupan anakku selamanya.""Aku tidak akan menandatangani surat itu bila Arion tidak memintaku melakukannya.""Aku sangat mengenal Arion. Dia pasti akan melupakanmu begitu kau menghilang dari sini," tukas Ellena sinis. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan Arion karena setelah ini ada Catlya yang akan menemaninya."Ellena menoleh ke samping lagi. Lalu dia meraih tangan Catlya, menggenggam tangan wanita itu erat. Ellena menatap Catlya penuh penghargaan.Mata Naomi menangkap momen itu penuh dengan rasa iri. Sepertinya dia tidak memiliki kesempatan yang sama untuk bisa dekat dengan Ellena. Mungkin dia memang harus rela berpisah dengan Arion karena dia tidak memiliki harapan sama sekali.Sekuat tenaga Naomi menahan air matanya agar tidak tumpah. Tangannya bergetar saat membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu. Dia lalu menyerahkannya pada Ellena kembali."Sebaiknya kau segera berkemas karena kau tidak memiliki urusan lagi dengan Arion." Begitu ucap Ellena sebelum meninggalkan rumah Arion.Satu jam berselang. Naomi telah mengemas semua barangnya. Dia mengedarkan pandangannya, memeriksa ke seluruh ruangan kalau-kalau ada sesuatu yang tertinggal. Lalu dia terlonjak kaget saat pintu kamarnya terdorong terbuka dengan kasar.Arion menatap Naomi dengan mata menyala. Raut wajahnya terlihat sangat menyeramkan. Pelan-pelan dia menghampiri Naomi, lalu dia berhenti dengan jarak satu langkah dengan Naomi."Berani-beraninya kau menandatangani surat ini." Arion berkata pelan dengan nada dingin sambil melempar sebuah map ke hadapan Naomi.Tangan Naomi terkepal erat. Matanya melirik map itu yang terjatuh di samping kakinya. Dia menatap pedih. Meskipun dia tidak membukanya, dia mengetahui isi di dalamnya."Itu adalah jalan terbaik untuk kita. Setelah ini kau bebas kembali pada mantan tunanganmu itu. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kalian."Kemudian Naomi meraih tasnya. Dia mendorong tubuh Arion agar tidak menghalangi jalannya. Naomi mengayun langkah panjang meninggalkan penthouse Arion dengan berurai air mata.Naomi memutuskan untuk meninggalkan kota New York lalu pindah ke Seattle untuk menjauh dari Arion. Naomi ingin membuka lembaran baru di sana. Meskipun hatinya sangat terluka, Naomi mencoba tetap tegar menghadapi hidupnya sekarang.***Satu bulan kemudian.Naomi mengerjapkan matanya beberapa kali. Rasanya berat sekali untuknya membuka matanya lebar-lebar. Dia juga mengernyitkan keningnya, mencoba berpikir di mana dia sekarang. Sepertinya dia tidak sendirian, tapi dia tidak tahu tepatnya dia berada .Aroma desinfektan yang tajam menyengat menusuk hidung Naomi. Dia mengerang kesakitan. Lalu dia bisa menyadari tempat di mana kini dia berbaring. Di mana lagi kalau bukan di ranjang rumah sakit."Kau sudah sadar." Terdengar suara seorang wanita dengan nada lembut tepat di samping tubuh Naomi.Akhirnya Naomi berhasil membuka matanya. Dia bersitatap dengan seorang wanita paruh baya berpakaian perawat. Perawat itu tersenyum ramah padanya."Kenapa aku ada di sini?" tanya Naomi kebingungan."Seseorang menemukanmu pingsan di jalan," jawab perawat itu. "Aku akan memanggil dokter yang memeriksamu. Dia yang akan menjelaskan padamu."Tidak lama berselang seorang laki-laki yang rambutnya telah memutih datang menemui Naomi. Dokter itu memeriksa Naomi sebentar. Laki-laki itu menatap Naomi dengan sorot teduh menenangkan."Kau mengalami dehidrasi dan kekurangan gizi. Itu lah yang membuat tubuhmu lemah, lalu jatuh pingsan di jalan," terang dokter itu. "Kondisimu saat ini tidak baik untuk pertumbuhan janin di dalam perutmu."Mata Naomi langsung membelalak lebar. Dia pasti salah mendengar. Dokter itu tidak mungkin mengatakan hal yang tidak masuk akal."Janin, Dok?""Melihat reaksimu seperti itu, aku bisa menyimpulkan kalau kau tidak tahu bahwa saat ini kau tengah mengandung.""Anda pasti salah, Dokter."Naomi menegakkan punggungnya, lalu menatap dokter itu dengan sorot mata yang sayu. Dokter itu pasti telah salah melakukan pemeriksaan padanya. Dia tidak mungkin hamil."Aku tidak mungkin salah," tukas laki-laki itu. "Kita bisa melakukan pemeriksaan ulang untuk meyakinkanmu bahwa saat ini ada makhluk kecil yang tengah bersemayam di dalam perutmu."Kata-kata dokter sudah cukup kuat untuk meyakinkan Naomi bahwa dia memang tengah mengandung. Saat ini ada bayi Arion yang hidup bergantung padanya. Secara otomatis tangan Naomi mengelus perutnya dengan lembut. Tanpa Naomi sadari air matanya jatuh menitik tepat mengenai tangannya. Ada rasa haru, bahagia, dan sedih bercampur jadi satu. Dia tidak bisa menggambarkannya dengan jelas. Lalu, samar-samar tersungging senyum tipis di bibirnya."Aku akan memberimu multivitamin dan obat penambah darah," ucap dokter itu berhasil menarik Naomi dari lamunannya. "Aku harap kau bisa menjaga kesehatanmu dengan baik. Juga, makan-maka
"Jenna Laura James." Naomi mengulang menyebut nama itu sambil mengernyitkan dahinya."Kenapa? Apa ada yang salah dengan namaku?" tanya Jenna heran.Naomi menggeleng pelan seraya mengulas senyum manis. "Tidak ada. Aku seperti mengenali nama itu, tapi tidak tahu siapa pemiliknya.""Mungkin namaku yang pasaran," gumam Jenna kemudian. "Ngomong-ngomong kau sudah lama tinggal di sini?"Naomi menggeleng. "Belum lama. Sekitar satu bulan. Kenapa?""Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu kondisi gedung ini, apakah aman atau tidak. Aku baru pertama kali ini tinggal sendirian di tempat asing," ucap Jenna dengan tatapan menerawang.Seolah mengerti perasaan Jenna, Naomi mengulas senyum menenangkan. "Kau tidak perlu khawatir. Meskipun harga sewa di sini relatif murah, kondisi di sekitar sangat aman," balas Naomi, lalu dia melanjutkan,"Aku tidak ingin mengganggumu lebih lama lagi. Sampai jumpa." Naomi mengangguk sebentar, lalu memutar tubuhnya dan berjalan menuju flatnya sendiri. Naomi menutup pintu di
"Kau hamil?"Mulut Jenna menganga lebar. Kedua matanya mengedip beberapa kali. Lalu dia mengulas senyum kikuk."Ya, aku hamil," jawab Naomi pendek. Raut wajah Jenna berubah seketika. Dia merasa bersalah karena membuat Naomi terganggu oleh kedatangannya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ...."Naomi merentangkan tangannya dan menggoyangkan pergelangan tangannya beberapa kali. "Jangan bilang begitu. Kau tidak mengetahui keadaanku yang sebenarnya."Jenna menarik napas lega. "Berapa bulan usia kandunganmu?" tanya dia penasaran, lalu dia menutup mulutnya karena telah bersikap melampaui batas."Sekitar dua bulan." Naomi berkata pelan. Suaranya hampir tidak terdengar di telinga Jenna. Lalu dia duduk di sofa. Kakinya terasa lemah dan tidak sanggup menopang tubuhnya.Jenna mengedarkan pandangannya. Dia mencoba mencari-cari. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Di seluruh ruangan flat Naomi, kecuali kamar, Jenna tidak menemukan bingkai foto potret seorang laki-l
"Jenna ...."Jenna menoleh perlahan. Ibunya kini berada satu langkah di belakangnya. Dari sorot matanya yang tajam, Jenna menetahui ibunya benar-benar marah kali ini."Ikut aku sekarang."Tangan Jenna ditarik dengan kasar. Dia tidak sempat mengelak. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai bila tangannya yang satu tidak memegang pinggiran meja."Aku tidak akan pergi ke mana-mana," ucap Jenna pelan tapi tegas. Dia lalu menatap ibunya lekak-lekat. Sama sekali tidak tampak rasa takut di wajahnya."Apa kau akan terus menentangku, lalu tetap memilih bersamanya?"Jenna bangkit berdiri. Dia menatap ibunya lekak-lekat. Lalu dia mendekatkan wajahnya dengan gaya menantang."Bukankah aku sudah bilang sebelumnya? Aku akan tetap memilih bersama Carl, apa pun keadaannya."Tanpa menunggu lama Jenna menarik tangan Carl, lalu mengajak kekasihnya pergi dari sana. Lalu dia menggenggam tangan Carl erat, seolah enggan melepaskannya pergi. Mereka terus berjalan dan tidak melihat ke belakang.Mereka kini tengah bera
"Aku ingin kau mengawasi Jenna sementara waktu."Arion melihat ibunya mendorong adik bungsunya ke arahnya. Sudah berbulan-bulan dia tidak bertemu Jenna setelah adiknya itu kabur dari rumah karena ibunya tidak menyetujui Jenna menjalin kasih dengan salah satu anggota band tidak terkenal. Sekarang Jenna terlihat sangat tertekan oleh perlakuan ibunya yang tidak manusiawi."Dia bukan anak kecil lagi. Untuk apa aku mengawasinya." Arion berkata acuh dan dingin. "Arion ...." Ellena berteriak. Suaranya melengking tinggi, dan membuat setiap telinga yang mendengar suaranya berdengung nyeri."Apa kau akan selalu ikut campur dalam hidup anak-anakmu?" Arion membalas dengan sengit. Pekerjaannya masih banyak. Dia juga memiliki masalah sendiri. Tapi ibunya seolah tidak mau mengerti keadaannya."Aku tidak akan ikut campur lagi dalam hidup kalian kalau kalian bisa memilih pasangan yang tepat," sergah Ellena sambil menekan keningnya yang nyeri.Arion memandang Jenna. Sejak tadi adiknya itu hanya diam d
"Catlya...."Arion mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti dengan pertanyaan Jenna. Kenapa tiba-tiba Jenna bertanya tentang Catlya?"Bukankah dia tunanganmu," balas Jenna. "Aku pernah mendengar tentang dia dari Daren," pungkasnya."Kami sudah lama tidak berhubungan," ucap Arion pelan. Jenna langsung menutup mulutnya. Bicaranya sudah melewati batas. Tidak seharusnya dia membahas Catlya lagi. Dia melihat perubahan wajah Arion yang mendadak menjadi kaku. Arion pasti telah melupakan wanita itu. Bodohnya dia, dia justru menyebut nama itu tanpa mengetahui hubungan mereka sebenarnya."Aku minta maaf." "Tidak perlu meminta maaf," timpal Arion. Dia lalu mendorong pintu kamar itu, memberi jalan pada Jenna untuk masuk ke dalam sana.Tiba-tiba kepala Arion terasa pening. Masuk ke kamar ini lagi setelah sekian lama membuat dia terngiang-ngiang akan keberadaan Naomi di sini. Sekarang Naomi entah berada di mana, dia belum bisa menemukan mantan istrinya itu."Kamar ini terlihat sangat nyaman," uca
"Benarkah Arion akan hadir di sana?" Catlya membulatkan matanya lebar-lebar. "Tentu saja. Aku mendapatkan informasi yang valid dari asisten pribadinya," jawab Clara.Catlya memukul roda kemudi dengan raut wajah berseri-seri. Dia mengulas senyum lebar. Kabar yang baru saja disampaikan oleh Clara benar-benar di luar dugaan. Akhirnya kesempatan untuknya datang juga. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan Arion nanti."Terima kasih. Aku akan memanfaatkannya dengan baik."Setelah itu Catlya mematikan ponselnya. Senyum lebar masih tersungging di bibirnya. Hatinya berbunga-bunga. Catlya merasa seperti mendapatkan sebuah undian lotere. "Arion .... Kali ini kau harus takluk di tanganku," ucap Catlya penuh tekad. Dia lalu menginjak pedal gas. Mobilnya langsung melaju kencang membelah jalanan yang sepi.***Pada hari yang ditentukan. Catlya menunggu gilirannya melenggang di catwalk. Malam ini penampilannya sungguh memukau. Dia memakai gaun malam dengan potongan rendah yang ber
"Aku tidak mau." Catlya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tentu saja dia tidak akan menuruti perintah Arion begitu saja. Susah payah dia masuk ke dalam mobil ini. Lalu Arion mengusirnya dengan enteng seolah dia memiliki penyakit yang menular."Keluar sekarang." Arion berkata dingin dengan sorot mata yang tajam. Ucapannya mampu membuat Catlya membeku seketika."Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini?" tanya Catlya dengan tatapan nanar.Arion mengulas senyum sinis. Wanita di sampingnya ini memang pandai berakting. Sejak dulu Catlya selalu bermain sebagai seorang korban yang teraniaya. Tapi dia tidak bodoh seperti sebelumnya. Dia tidak akan mudah terperdaya lalu takluk di tangan Catlya."Kau hanya mendapatkan apa yang kau perbuat." Arion lalu memberi isyarat pada sopir pribadinya melalui kaca spion. "Cepat singkirkan dia dari hadapanku."Sopir itu langsung turun mengikuti perintah Arion. Dia membuka pintu mobil di sisi Catlya duduk. Tangannya memegang tangan Catlya, lalu menariknya kel