Share

Bab 2

"Kau pasti tidak serius."

Ellena James menggelengkan kepalanya sambil menatap tidak percaya pada Arion. Dia lalu ganti menatap gadis yang berdiri di depannya dengan tatapan tajam, menilai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Arion memiliki selera yang tinggi. Anaknya itu tidak mungkin ingin menikah dengan wanita yang terlihat biasa saja dan tidak menarik sama sekali.

"Tentu saja aku benar-benar ingin menikahi Naomi." Arion berjalan menghampiri Naomi, lalu merangkul pundaknya. "Tersenyum lah sedikit," bisik Arion di telinga Naomi.

Mengikuti perintah atasannya, Naomi mengulas senyum semanis mungkin pada ibu Arion. Meskipun saat ini dadanya tengah bergemuruh karena pengumuman mendadak yang disampaikan oleh Arion, dia memutuskan untuk mengikuti sandiwara ini sementara waktu. Nanti, saat mereka tinggal berdua, dia akan meminta penjelasan pada Arion.

"Kenapa kau tidak bilang sebelumnya? Kalau begitu aku tidak akan repot-repot mengatur pertemuan dengan teman ibu," protes Ellena.

Arion menggosok hidungnya yang mendadak gatal. Lalu dia mengecup puncak kepala Naomi ringan. Dia ingin menunjukkan pada ibunya bahwa dia sungguh ingin menikahi Naomi.

"Aku menunggu waktu yang tepat." Arion melingkarkan tangannya di pinggang Naomi. "Kami tidak ingin memberi kesan yang buruk padamu," lanjutnya sambil menatap wajah Naomi yang masih terlihat tegang.

Ellena memicingkan matanya, memindai sepasang kekasih yang tengah berdiri di depannya itu. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan yang harus dia waspadai. Kelihatannya Arion benar-benar menyukai wanita itu. Tapi masalahnya adalah justru dirinya yang tidak terlalu menyukai calon menantunya itu. Rasanya tidak tepat dan ada sesuatu yang mengganjal hatinya.

"Apa kau sudah sarapan? Bagaimana kalau kita menyantap sarapan bersama?"

"Tidak perlu. Sebaiknya aku pergi saja dari sini," timpal Ellena ketus. "Nanti malam datanglah ke rumah. Aku ingin berbicara secara pribadi denganmu." Ellena menambahkan dengan menekan kalimat terakhirnya.

Tidak lama berselang Ellena bergegas meninggalkan mereka. Dia tidak sudi bersalaman atau mencium pipi Naomi. Sementara dia memilih menyingkir dulu. Bukan berarti dia akan menyetujui rencana pernikahan mereka berdua.

"Apa kau sudah gila?" desis Naomi lalu mendorong tubuh Arion menjauh. Dia terlihat sangat gusar dan gelisah.

"Aku tidak punya pilihan lain selain itu." Arion menghempaskan tubuhnya di atas sofa. "Kau harus bersedia menjadi istriku ...."

Mulut Naomi menganga lebar. Tenggorokannya tercekat. Dia hampir kesulitan untuk berbicara karena otaknya tiba-tiba beku.

"Tidak ...."

"Meskipun itu hanya pura-pura," tegas Arion.

Naomi ikut duduk di sofa. Kakinya terasa lemah untuk berdiri lebih lama lagi. Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya yang terlihat pucat.

"Aku akan membayarmu dengan bayaran yang fantastis," pancing Arion. Pikirnya, siapa yang akan menolak pemberiannya. Tanpa terkecuali Naomi. "Kau pasti tidak keberatan."

"Apa aku terlihat seperti wanita mata duitan? Selain itu tidakkah kau melihat ekspresi wajah ibumu yang tidak menyukaiku?" Naomi bergidik ngeri membayangkan ekspresi ibu Arion beberapa saat yang lalu.

"Aku senang melihat reaksi ibuku yang seperti itu." Arion tersenyum lebar, lalu senyum itu langsung menghilang seiring dengan perubahan raut wajah Arion yang kaku. "Setidaknya aku bisa mengetahui kelemahannya."

Dahi Naomi mengkerut dalam. Dia melirik Arion sambil berpikir keras. Sepertinya tidak mungkin baginya untuk terlibat dalam perseteruan antara ibu dan anak itu.

“Jangan libatkan aku dalam masalah kalian berdua.” Naomi menatap Arion dengan sorot mata sendu.

Arion menggeleng perlahan. “Sudah terlambat,” timpal Arion tegas. Dia tidak mungkin mengabulkan permintaan Naomi.

“Tapi aku tidak mungkin melakukannya.”

“Aku berencana menghubungi pengacaraku untuk membahas kontrak pernikahan kita. Aku akan mengantarmu pulang sekarang.” Arion seolah tidak mendengar ucapan Naomi. Dia beranjak dari sofa, lalu mengambil kunci mobilnya.

Selama perjalanan menuju flat Naomi, mereka lebih banyak diam. Naomi enggan memulai pembicaraan karena sudah mengenal karakter Arion. Laki-laki itu pasti sibuk mengatur rencana untuk masa depan mereka. Salah. Lebih tepatnya masa depan Arion sendiri.

"Hari ini kau bebas tugas."

Arion langsung memacu mobilnya kembali usai menurunkan Naomi di pinggir jalan. Waktu yang dia miliki tidak banyak. Dia harus segera bergegas menemui pengacaranya. Kalau bukan karena kedatangan ibunya yang mendadak, tidak pernah terpikirkan di benaknya bahwa dia akan menikahi Naomi.

Tanpa sepengetahuan mereka berdua ternyata Ellena mengikuti mereka sampai di depan flat Naomi. Dia menunggu sampai Arion pergi. Setelah itu dia bergegas turun dari mobil, dan masuk ke gedung flat Naomi. Lega karena Naomi belum sempat naik ke dalam lift, dia semakin mempercepat langkahnya.

"Naomi ...."

Ellena menarik tangan Naomi, lalu memutar Naomi hingga menghadap ke arahnya. Dia tersenyum sinis saat melihat raut terkejut di wajah Naomi. Kedua matanya memindai tubuh Naomi dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Apa yang kau lakukan hingga anakku tergila-gila padamu?"

"Aku tidak mengerti maksudmu." Naomi menatap bingung.

"Wanita sepertimu pasti sanggup melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya," sergah Ellena kasar. Dia semakin mempererat pegangannya di pergelangan tangan Naomi hingga membuat Naomi meringis kesakitan.

"Aku tidak seperti itu. Arion sendiri yang ...."

Plak.

Ellena menampar pipi Naomi keras hingga meninggalkan warna merah yang tercetak jelas di sana. "Ini peringatan terakhir. Jangan sampai kau melewati batas. Aku tidak akan tinggal diam."

Setelah memberi peringatan seperti itu Ellena meninggalkan Naomi dengan dagu terangkat. Dalam hati dia membatin. Dia tidak akan pernah datang ke tempat seperti ini lagi.

***

Malam harinya. Arion menemui ibunya di rumah. Ibunya terlihat mondar-mandir saat dia sampai di sana.

"Selamat malam," sapa Arion, lalu dia menghampiri ibunya.

"Aku harap kau datang ke sini sendirian." Ellena menatap ke belakang pundak Arion. Tidak ada siapa-siapa di sana selain bayangan kosong.

"Melihat reaksimu tadi pagi, tentu saja aku tidak berniat mengajak Naomi ke sini," timpal Arion, lalu di menoleh sebentar ke arah pandang ibunya.

Ellena menghela napas lega usai mendengar jawaban Arion. "Kalau begitu kita ke ruang kerjaku sekarang."

Kemudian mereka berdua masuk ke ruang kerja Ellena. Arion mengedarkan tatapannya sekilas. Matanya sempat menangkap beberapa lembar sketsa gaun rancangan ibunya yang tercecer di atas meja.

"Terus terang aku tidak menyetujui rencana pernikahanmu dengan wanita itu," ucap Ellena blak-blakan.

"Calon istriku memiliki nama. Seharusnya kau memanggil namanya dengan benar," sergah Arion.

Ellena mengibaskan tangannya di depan wajahnya. "Siapa pun namanya, itu tidak penting. Yang jelas aku tidak terlalu menyukainya."

"Kalau kau sudah mengenal Naomi dengan baik, kau tidak akan membenci Naomi seperti itu."

"Omong kosong. Aku sangat mengenal baik dirimu. Dia bukan seleramu." Ellena terlihat tidak mau mengalah dari putra sulungnya.

"Terserah padamu." Arion tidak ingin berdebat lebih lama lagi dengan ibunya. Percuma saja karena ibunya tidak pernah mau mengalah.

"Aku bisa mencarikanmu calon istri yang lebih pantas dari dia."

"Bagiku Naomi adalah calon istri terbaik yang aku miliki. Tidak ada yang lain," jelas Arion tampak jengkel.

Arion memutar tubuhnya, bergegas meninggalkan ibunya. Dia bergeming saat ibunya berteriak memanggil namanya. Langkahnya semakin panjang agar segera pergi dari sana. Sebelum malam semakin larut, dia harus bertemu Naomi secepatnya.

Arion menghentikan mobilnya di depan gedung flat Naomi. Matanya menatap sinis pada anak tangga yang mengarah ke flat Naomi yang besinya sudah berkarat dan menimbulkan bunyi derit yang mengganggu telinganya. Tangannya terkepal lalu mengetuk pintu flat itu pelan.

Pintu itu terbuka sedikit. Naomi mengintip dari celah pintu yang terbuka. Setelah yakin identitas tamunya, dia langsung membuka pintunya lebar.

"Masuklah," ajak Naomi, lalu menggeser tubuhnya sedikit menjauh untuk memberi jalan pada Arion.

Dengan mata memicing, Arion memindai seluruh isi ruangan itu. Flat ini berukuran sangat kecil. Tidak lebih besar dari ukuran kamar mandi di penthousenya. Saat dia duduk di sofa, dia tidak bisa menjulurkan kakinya dengan leluasa.

"Aku tahu kau tidak merasa nyaman berada di sini. Jadi, cepat katakan apa maumu." Naomi terlihat sangat gusar. Dia merapatkan tali piyamanya sambil menatap Arion lurus.

Tidak ingin tinggal lebih lama lagi di tempat sempit ini, Arion segera menarik sebuah map dari dalam jaket. Dia mengulurkan map itu pada Naomi. Naomi menerima map itu dengan ekspresi bingung.

"Apa ini?"

"Bukalah ...." Arion menyandarkan punggungnya, lalu menyilangkan kaki.

Tangan Naomi gemetaran setelah membuka map itu. Matanya menatap sederetan kalimat demi kalimat. Dia segera menutupnya kembali, lalu melihat Arion dengan sorot tidak percaya.

"Bisakah kau menjelaskan maksud dari surat kontrak ini?" Naomi menuntut penjelasan dari Arion. Meskipun dia sudah mengerti seluruh isinya, dia masih butuh penjelasan secara langsung dari bibir laki-laki itu.

"Kita akan menikah selama enam bulan. Setelah itu kau bisa bebas dariku," terang Arion sesantai mungkin.

"Maafkan aku. Aku tidak bisa melakukannya." Naomi menghampiri Arion, lalu mengembalikan map itu pada Arion.

"Aku akan memberimu dua puluh juta dollar kalau kau bersedia menandatangani kontrak itu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status