Jemari Alisha Fairuzah mengetuk-ngetuk meja toko pakaiannya yang beberapa Minggu yang lalu ramai, matanya mengamati rak-rak berdebu yang dulunya dipenuhi kain-kain berwarna cerah dan desain-desain elegan.
Keheningan di toko itu memekakkan telinga, hanya dipecahkan oleh derit pintu sesekali saat seorang pejalan kaki mengintip masuk dan segera pergi. “Alisha Fairuzah, latih hatimu buat sabar dan ikhlas dalam menghadapi setiap cobaan,” bisik Alisha Fairuzah pada dirinya sendiri. Tumpukan tagihan di mejanya seperti batu bata yang membebaninya, mengancam akan menghancurkannya sepenuhnya. Toko itu adalah pekerjaan utamanya, harga dirinya, kemandiriannya. Alisha telah mencurahkan segalanya untuk itu—tabungannya, energinya, mimpinya. Namun sekarang, dia menghadapi kenyataan pahit kebangkrutan. Dia tidak bisa membeli stok lagi dan karyawan terakhirnya telah berhenti dua minggu lalu. “Alisha Fairuzah, kamu tidak bisa terus hidup seperti ini,” suara ibunya, Inayah, memotong pikiran Alisha. Alisha Fairuzah mendongak dan melihat ibunya berdiri di ambang pintu toko, ekspresinya campur aduk antara khawatir dan jengkel. Inayah sebenarnya adalah seorang ibu yang baik hati dan lembut tetapi seiring berjalannya waktu usia putri pertamanya bertambah, dia menjadi sedikit berubah. “Tahukah kamu apa yang orang-orang katakan tentangmu? Seorang wanita berusia 33 tahun, belum menikah, dan sekarang bisnismu bangkrut? Berapa lama kamu berencana untuk menderita seperti ini nak?” “Ibuku sayang, aku nggak pernah memilih begini. Semua ini cobaan dan aku yakin akan berlalu. Tenang saja, aku hanya butuh lebih banyak waktu.” “Waktu nggak akan menyelesaikan ini,” ibunya berkata sedikit penuh penekanan, melangkah mendekat. “Kamu butuh seorang suami, Alisha Fairuzah. Seseorang yang dapat mendukungmu, menafkahimu.” Rahang Alisha mengencang. Dia telah mendengar argumen ini ribuan kali sebelumnya. “Ibu, aku nggak butuh seorang laki-laki untuk menyelamatkanku. Aku bisa menyelesaikan ini sendiri.” Mata ibunya melembut, tetapi suaranya tetap tegas. “Kamu kuat, aku tahu itu. Tetapi kekuatan tidak akan membayar tagihan. Dan itu tidak akan mengubah kenyataan kamu lajang. Ayahmu dan aku telah menemukan seseorang. Dia kaya, berasal dari keluarga yang baik, sukses, dan dia tertarik padamu. Namanya Shaka.” Hati Alisha mencelos. “Terima kasih bu tapi jawabanku tetap sama, tidak.” Inayah tidak menoleransi argumen. “Dia muda—27 tahun—tetapi dia dewasa, dan dia memiliki reputasi yang baik. Keluarganya sangat dihormati. Ini adalah kesempatan terbaik yang pernah kamu miliki.” “Bu, bahkan kalau aku menikah dengan pria yang lebih baik dari Shaka, belum tentu hidupku jadi lebih baik,” kata Alisha berharap penolakannya masih berlaku. “Cukup, Alisha. Ayahmu dan aku sudah berbicara dengan keluarganya. Pernikahannya sebulan lagi. Dan…Yumna harus jadi dokter.” Yumna adalah adiknya Alisha yang tengah mengenyam pendidikan kedokteran. Karena Alisha sudah menjadi tulang punggung keluarga, jadi biaya kuliah Yumna dia yang menanggungnya. "Aku mengerti, bu. Aku tetap memperjuangkan buat biaya kuliah Yumna." "Sekali lagi melawan ibu, kamu bisa jadi putri yang durhaka dan rezekimu bisa lambat nanti." Alisha kehilangan kata-kata. Bagaimana bisa ibunya sampai berkata begitu demi dirinya menuruti keinginannya untuk menikah dengan pria yang dipilih olehnya? Alhasil Alisha diam. Kedua matanya berkaca-kaca dan dadaknya terasa sesak. "Tidak usah menangis karena kamu tidak dipaksa untuk mengeluarkan uang buat pernikahanmu." "Aku tidak menangis karena itu, hatiku sedih ibu memaksaku sampai sejauh ini." "Sudahlah Alisha. Ibu tidak mau berdebat denganmu lagi. Anggap saja ini permintaan terakhir kedua orang tuamu." Inayah meninggalkan toko Alisha. Tangis Alisha akhirnya pecah. Bukan berarti Alisha tidak ingin menikah seumur hidup, tetapi dia merasa masih belum siap meski usianya sudah kepala tiga dan sudah memutuskan untuk fokus karir sampai Yumna lulus kuliah. Alisha menangis sampai ketiduran. Begitu bangun langsung pulang. "Kamu duduk-duduk di tokomu yang sudah tutup berjam-jam apa berkeliaran?" tanya Inayah. "Maaf bu aku ketiduran," jawab Alisha. "Sudah ditunggu lama!" "Maaf." "Ibu, Kak Alisha kan lagi pusing jadi ibu jangan menekannya terus-menerus!" ucap Yumna lembut. "Alisha, duduk sini!" Ayah Alisha menepuk kursi disebelahnya. Alisha langsung menurut kemudian ayahnya memberikan dia sebuah foto dan selembar surat yang berisi profil seseorang. "Ini Shaka Yar Nigar. Calon suamimu." Nafas Alisha tercekat. Alisha sama sekali tidak menyentuh foto dan kertas itu dengan tangannya. Itu tergeletak di pangkuannya. Yumna langsung melesat ke sisi Alisha dengan penuh penasaran. "Ganteng sekali," ucap Yumna. Di foto itu, Shaka Yar Nigar sama sekali tidak tersenyum. Bahkan matanya menatap tajam. Alisnya tebal, hidungnya sedikit mancung, bentuk matanya sayu, rahangnya tegas, dan warna matanya berwarna hitam. "Seperti bukan berusia 28 tahun ya?" tanya Inayah dengan nada bangga. "Benar. Seperti berusia 20 an benar kan Kak Alisha?" tanya Yumna. Alisha tidak menjawab dan malah menyingkirkan foto Shaka bersama profilnya ke pangkuan ayahnya lagi kemudian beranjak dari kursi menuju kamarnya dengan langkah cepat. "Aku mau sholat," ucap Alisha. Alih-alih bersyukur mendapatkan calon suami yang tampan, lebih muda darinya, sukses, dari keluarga terkemuka yang kaya, dan anak tunggal, Alisha malah memiliki firasat buruk. Meskipun berpegang teguh pada prinsipnya tidak akan pernah menjalin hubungan romantis sebelum menikah, Alisha juga berharap bisa menikah dengan orang yang ia suka diam-diam. Namun saat foto Shaka berada di hadapannya, hati Alisha sama sekali tidak berdebar malah terasa sesak. Malam semakin larut dan Alisha bertanya-tanya haruskah dia memikirkan rencana kabur dari perjodohan. Pukul dua pagi, Alisha tetap tidak bisa tidur dan memutuskan mengaji. Keesokan harinya, seperti biasa, setelah sholat subuh, Alisha menyapu, mencuci pakaian, mencuci piring, dan membantu ibunya memasak. "Ibu Shaka bilang mereka tidak mau melakukan acara pertunangan katanya langsung menikah saja di gedung yang telah dipersiapkan, bagaimana denganmu, Alisha?" tanya Inayah. Meskipun pusing dan mengantuk, Alisha mencoba menahan diri untuk tidak tidur agar bisa tetap membantu ibunya mengurus rumah seperti biasa tetapi pertanyaan ibunya yang dilontarkan di pagi hari ini malah membuatnya semakin sakit kepala. Tetapi Alisha tak lagi ingin berdebat dengan orang tuanya. Setelah berpikir panjang, dia memutuskan untuk menerima perjodohan itu. "Ibu, ayah, aku yakin kalian punya tabungan. Jangan pernah gunakan tabungan itu. Aku akan merelakan seluruh tabunganku untuk acara pernikahan ini," kata Alisha. "Tidak Alisha. Meskipun mereka bilang akan menanggung seluruh biaya acara pernikahan tetapi tidak mungkin kita tidak mengeluarkan uang sama sekali. Bagaiamanapun, kita perlu membawa seluruh keluarga dari pihak orang tuamu," kata Inayah. Alisha masih tidak percaya bahwa dia akan menikah beberapa hari lagi. Meskipun dia menerimanya, hatinya tetap gelisah.Alisha dibawa ke rumah sakit. Ketika dia ditangani dokter, Shaka menunggu dari ruang tunggu bersama kedua orang tuanya Alisha dan kedua orang tuanya.Sudah hampir satu jam Alisha berada di ruang perawatan setelah kecelakaan kecil di tangannya—robek karena pecahan kaca. Tapi bagi Shaka, waktu itu terasa seperti seabad.Shaka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Bahkan ke Mutiara.Shaka menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa gelisah.Entah kenapa, sejak Alisha dibawa masuk ke ruang dokter, dadanya seperti terhimpit sesuatu. Ia tak menyangka akan merasa seburuk ini hanya karena luka kecil di lengan wanita itu.Di sisi lain, ayah dan ibu Alisha duduk bersebelahan, menatap Shaka dengan pandangan tajam.Pak Hasan akhirnya membuka suara, nada bicaranya dalam dan berat."Saya rasa kita perlu bicara.”Shaka menoleh pelan, mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang.“Ya, tentu, Pak,” jawabnya sopan.“Saya dan istri saya mendengar kabar… tentang hubungan Anda dengan wanita bernama Mutiar
Sebelum Alisha menjawab, sebuah mobil berhenti di depan toko. Mobil mewah itu terasa familiar tetapi Alisha harus mengingatnya lebih dulu. Nafas Alisha tercekat dan dia langsung panik ketika melihat suaminya turun dari mobil tersebut. Dia mendekat ke toko pakaian Alisha. Alisha tak ingin lagi melihat Shaka. Hatinya sudah sangat kecewa. Alisha tidak bermaksud untuk menghina peninggalan neneknya Shaka. Dia bersedia ganti rugi dengan uang tetapi dia juga tidak dihargai sama sekali sebagai istrinya. "Jadi kau disini," ucap Shaka. "Ada apa mas? Kau seharusnya tidak datang kesini bukan? Orang tuaku sedang menuju ke kediaman keluarga besarmu," ucap Alisha tanpa menatap Shaka. "Dan kau...bermesraan dengan pria lain. Kau selingkuh." Aido mengernyitkan keningnya kesal. Jadi dia adalah suaminya Alisha. Ketara sekali suaminya arogan. Aido benar-benar sangat marah. "Jika kau tidak bisa mengubah dirimu menjadi lebih baik untuk istrimu, sebaiknya ceraikan saja dia!" tukas Aido
Alisha mencoba menghentikan ayahnya. Namun Inayah dan Yumna malah setuju. "Alisha, kamu tidak perlu takut. Kami akan selalu disini untukmu," ucap Inayah, ibunya. Akhirnya Alisha tak menghentikan ayahnya. Inayah memutuskan untuk ikut suaminya pergi ke kediaman keluargq Rainhold. Langit siang itu tampak teduh, seolah menenangkan hati yang bergolak di dada Alisha. Mobil hitam yang ditumpanginya melaju pelan menyusuri jalan menuju pusat kota. Ayah dan ibunya sudah lebih dulu pergi ke sana—menemui keluarga Shaka. Alisha tahu ayahnya tidak akan diam, dan justru itu yang membuatnya gelisah. Ia tidak ingin semua berakhir dengan pertikaian. Namun di sisi lain, Alisha juga tahu, berdiam diri hanya akan membuatnya semakin sesak. Maka ia memilih untuk datang ke tempat yang paling menenangkannya—toko pakaian kecil yang dulu ia bangun dengan tangannya sendiri. Tempat yang kini menjadi simbol siapa dirinya sebelum terikat dalam dunia Shaka yang penuh gengsi dan tekanan. Begitu mob
Di hotel, Alisha langsung menemukan Shaka tengah membereskan pakaiannya ke dalam koper. "Mas Shaka, tolong jangan seperti ini," kata Alisha seraya meneteskan air matanya. Namun Shaka mengabaikan Alisha. Dia tetap memasukkan pakaiannya ke dama koper. "Aku hanya ingin mengganti rugi mas. Mungkin dengan motif yang sama, itu bisa membuat hatimu menjadi lebih tenang," kata Alisha lirih. "Kau itu benar-benar bodoh ya! Mana mungkin benda yang sama dapat menggantikan kenangan seseorang. Bneda dari nenekku itu, tidak ada yang bisa menggantikannya meskipun ada lagi yang membuatnya dan jauh lebih baik, itu peninggalan berharga dari nenekku, dasar bodoh," ketus Shhaka. "Maafkan aku mas," bisik ALisha. "Aku menyesal. Tolong maafkan aku," bisik Alisha. Shaka tak bergeming dan tetap melanjutkan beres-beres. Setelah membereskan semuanya, Shaka pun menarik kopernya keluar. Alisha mengikuti Shaka hingga mereka masuk ke dalam taksi. Taksir itu membawa mereka ke bandara.
Di rumah yang tidak cukup besar itu, Mutiara mengamuk. Dia melemparkan barang-barang seperti vas bunga, pajangan dinding, dan masih banyak lagi. Semua itu Mutiara lakukan karena dia begitu marah dipindahkan secara paksa oleh ayahnya agar dia tidak lagi mengganggu kehidupan Shaka. Masalahnya, Shaka dihubungi berkali-kali tidak mengangkat. Bagaimana Mutiata tidak panik kalau begitu? Mutiara penasaran apakah ponsel Shaka masih di Alisha. Dia menunggu kabar Shaka dan Alisha pulang segera. Tentu saja dia menarub mata-mata di kediaman keluarga besar Rainhold. Salah satu pelayan disana dibayar oleh Muitiara untuk memberikan informasi tentang berita terbaru di keluarga tersebut dan jika Shaka dan Alisha pulang kesana, pelayan itu harus memberitahu Mutiara. "Sialan!" teriak Mutiara. Di sisi lain, Alisha mengunjungi sebuah toko peralatan rumah tangga yang dibuat menggunakan tangan. Alisha pun bertemu dengan pemilik toko tersebut yang tengah membuat cangkir-cangkir teh. Be
Shaka melihat-lihat barang. Sementara Alisha melihat-lihat skincare. Dia tidak membeli jadikan untuk Yumna sebelumnya dan sekarang Shaka membawanya ke mall. “Mahal-mahal juga ya?” bisik Alisha. Setelah mengambil beberapa, Alisha pergi ke tempat Shaka. "Mas kamu membeli semua itu buat apa?" tanya Alisha. Banyak barang-barang rumah tangga yang dibeli Shaka. "Untuk keluargamu bukan? Untuk ibuku juga dan untuk persediaan di rumah," jawab Shaka. "Tetapi apa tidak sebaiknya beli di tempat kita saja mas?" tanya Alisha. "Kalau beli disini, lebih murah," jawab Shaka. "Jadi. Lebih murah tapi kualitasnya lebih bagus ya mas?" tanya Alisha. Shaka hanya menganggukkan kepalanya. Setelah membeli barang-barang, mereka pergi ke tempat pakaian. Shaka membelikan Alisha sebuah kaos. Alisha disuruh mengambil beberapa pakaian yang dia suka tetapi Alisha menolak karena setelah dia menikah dengan Shaka, lemari di kamarnya sudah penuh dengan pakaian baru. Setelah selesai, mereka pun pulang. Shaka