"Itu dia. Ibu dan ayah tidak boleh menggunakan tabungan kalian sama sekali. Harus uangku!" tegas Alisha.
"Uangmu kan untuk biaya kuliah Yumna. Lagi pula kami tidak akan menghabiskan seluruh tabungan." Alisha menghela nafas. Ingin sekali membicarakan soal keadaan keuangan mereka tetapi apabila setelah itu malah menyebabkan perdebatan dia tidak ingin memperpanjang masalah jadi dia tidak mengatakan apapun. Selesai memasak, baru Alisha mengajak ibunya mengobrol lagi ketika sedang membawakan makanan ke meja makan. "Bu, bukankah setelah menikah, prioritasku bukan kedua orang tua lagi melainkan suami? Tentu saja bukan berarti aku mengabaikan orang tuaku sendiri," kata Alisha. "Menikah maupun belum, kamu bisa tetap berbakti pada orang tua kandungmu dengan baik dan memang prioritas kamu nanti setelah menikah adalah suami," kata Inayah. "Aku akan mencoba memeriksa profil Mas Shaka," kata Alisha ragu-ragu. "Cie Kak Alisha, sudah memanggil Mas Shaka dengan sebutan mas," ledek Yumna keluar dari kamarnya. Alisha mengernyitkan keningnya. "Apa-apaan itu? Tentu saja tidak peduli perbedaan umur kami, kalau dia akan menjadi suamiku, aku tidak punya pilihan selain menghormatinya." "Kakak terkesan tidak sabar ingin menikah dengannya?" "Yumna, tolong jaga bicaramu! Kalau dirasa yang keluar dari mulutmu itu tidak berfaedah, sebaiknya jangan mengatakannya!" titah Alisha lembut. "Seperti biasa kakak terlalu kaku," ketus Yumna. "Sudah-sudah! Yumna, cepat sarapan! Dan kamu Alisha panggil ayahmu ke dalam suruh sarapan juga," kata Inayah. Alisha mengangguk dan pergi ke halaman depan untuk memanggil ayahnya yang sedang olahraga seperti naik turun tangga atau biasanya jalan-jalan tanpa alas kaki disekitar desa. "Ayah, sarapan dulu! Makanannya sudah matang!" "Nanti." "Ayah kan tidak boleh telat sarapan." "Oh iya, karena sebentar lagi kamu akan menikah, kita mungkin tidak akan bisa makan bersama lagi." "Apa yang ayah katakan? Tentu saja kita malah bertambah satu orang bukan? Aku juga ingin tanya dimana profil Mas Shaka kemarin." "Di atas meja dekat televisi." "Aku ambil. Ayah sarapanlah!" Alisha pikir bakal menemukan keterangan tentang kepribadian Shaka Yar Nigar atau catatan langsung yang ditulis oleh Shaka seperti pernikahan seperti apa yang dia inginkan, istri seperti apa, atau ke depannya ingin seperti apa. Tetapi malah menemukan latar belakang Shaka dimulai dari pekerjaannya, posisinya di keluarga, riwayat pendidikannya, dan lain-lain. Kening Alisha semakin mengernyit. Kedua matanya bergerak perlahan ke foto Shaka. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Alisha menaruh kertas tersebut ke meja lagi. "Aku tidak boleh memandangnya lama-lama, kita belum sah," batin Alisha. "Bagaimana Alisha? Sudah melihat profil Shaka? Itu diberikan langsung oleh Shaka ke orang tuanya kemudian disampaikan kepada kita," kata si ayahnya Alisha. Alisha duduk di meja makan dan memandangi ibu dan adiknya yang sibuk makan sementara ayahnya sednag mengambil nasi ke piring. "Ya, sudah..." "Bagaimana menurutmu?" tanya Inayah penasaran. Alisha diam sejenak ingin protes mengenai profil Shaka tetapi setelah mendengar ucapan ayahnya bahwa Shaka memberikan itu langsung, dia tidak mengatakan apapun. Artinya Shaka lebih ingin menonjolkan apa yang dia miliki bukan bagaimana kepribadian dia. "Menurutku pria seperti dia pasti banyak yang menginginkan tetapi kenapa dia memilihku? Mungkin itu keputusan orang tuanya. Apakah kalian mengajukanku kepada mereka atau bagaimana ayah ibu? Apakah kalian begitu dekat dengan keluarganya?" tanya Alisha lemah lembut. "Kami berteman dekat dengan orang tuanya," ucap Inayah. Alisha cuma mengangguk-anggukkan kepalanya. "Yumna harus fokus menjadi dokter dan jelas memikirkan dirimu yang belum menikah, kami langsung mengajukanmu. Lagi pula, Shaka ingin menikah denganmu," kata Inayah. Alisha cuma mengangguk kemudian memasukkan makanan ke mulutnya. Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Alisha Fairuzah duduk di depan cermin, bayangannya hampir tidak dapat dikenali. Penata rias telah merias wajahnya dengan lapisan alas bedak dan perona pipi, gaun pengantinnya yang sederhana dihiasi dengan manik-manik. “Putriku, akhirnya…akhirnya ibu bisa melihatmu menikah. Kamu sangat cantik,” kata Inayah berdiri di belakang putrinya dengan air mata di matanya. “Shaka Yar Nigar akan sangat bangga memiliki kamu sebagai istrinya.” Alisha memaksakan senyum, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Setiap kali merasa berada di titik rendah, dia berusaha untuk sabar dan ikhlas meskipun rasanya sulit. Namun tak dapat dipungkiri sebenarnya saat ini dia ingin berteriak, berlari, memberitahu semua orang bahwa ini bukanlah yang diinginkannya. Namun, dia tidak bisa lari lagi. Ia merasa seperti tenggelam. Pernikahan diadakan di aula perjamuan mewah yang dipenuhi banyak tamu. Alisha turun ke lantai pertama. Disinilah momen pertama kali melihat Shaka, dia berhenti berjalan. Ekspresi Shaka tak terbaca. Ia tampan, dengan raut wajah tegas dan tatapan tajam, tidak menatapnya sama sekali dan justru terlihat tidak tertarik. Alisha berpikir Shaka malu. Orang tuanya bilang Shaka nyaris tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena menjaga diri sama sepertinya jadi pastinya canggung pertama kali berdekatan dengan seorang perempuan. "Ibu, aku gugup," bisik Alisha ke Inayah yang menuntunnya. Alisha memperhatikan para tamu. Banyak yang tidak ia kenal. Tetapi pandangannya segera berhenti ke teman-temannya. Dia pun tersenyum. Alisha dituntun duduk didekat Shaka. Pertama-tama sang penghulu melakukan pembukaan lalu diikuti ijab qabul oleh ayahnya Alisha. "Ananda Shaka Yar Nigar bin Emir Nigar, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri kandung saya yang bernama Alisha Fairuzah dengan mas kawin satu set perhiasan berlian murni seberat 20 gram, dan uang tunai sebesar sepuluh juta, dibayar tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya Alisha Fairuzah binti Hasan Karim dengan mas kawin tersebut, tunai." Hati Alisha mencelos. Shaka begitu lancar mengucapkan itu. Akhirnya mereka sah menjadi suami istri. Meski begitu, Alisha tidak bisa menatap ke arah Shaka meskipun merasakan Shaka tidak menatap ke arahnya. "Salaman dulu!" titah Inayah lembut. Alisha terpaku. Meskipun Shaka lebih muda darinya, tetapi pria itu lebih tinggi darinya. Alisha mengulurkan tangan pada Shaka dengan ragu-ragu. Shaka tidak langsung menerimanya. Alisha berharap orang-orang tidak tahu debaran jantungnya yang lebih cepat. Shaka tiba-tiba menerima tangan Alisha dengan cepat dan mendorong tangannya ke bibir Alisha setelah itu langsung melepaskan salaman mereka. Alisha terperanjat. Saat dia mencoba bertatapan dengan Shaka, Shaka sudah menjaga jarak dan membelakanginya karena sibuk berbicara dengan orang tuanya. "Wangi sekali," batin Alisha memperhatikan punggung Shaka. Alisha masih berpikir Shaka terlalu malu. Alisha menoleh ke ibunya. Inayah menciumnya dan menangis. Begitu juga dengan Yumna. Yumna malah memeluk Alisha erat. Tetangga-tetangga mereka yang mengenal Alisha dekat juga ikut menangis dan memeluk Alisha. "Alisha, Shaka, tanda tangan disini!" Saat itulah, Alisha dan Shaka tidak sengaja bertemu muka.Mobil siapa itu? Aido Eishiro bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mungkin mobil milik pelanggan. Tidak jarang ada mobil disana. "Pujaan hatimu tadi datang bersama pria lain," celetuk salah satu anggota keluarganya. "Huh?" Aido Eishiro menjadi gelisah. Dia berusaha mengenyahkan pikiran Alisha Fairuzah bersama pria lain. Tak lama kemudin, dia mendapatkan pesan dari Alisha Fairuzah yang menyuruh dia datang ke toko pakaian. Aido Eishiro ingin bertanya alasannya tetapi dia khawatir membuat Alisha Fairuzah merasa tidak nyaman karena terkesan memaksa dia untuk datang ke toko pakaiannya. Alhasil dia mengurungkan niatnya. Dia pun berpamitan pada keluarganya karena ingin mengunjungi toko pakaian Alisha Fairuzah lebih dulu. "Kamu yakin?" "Aido, sebaiknya jangan kesana karena dia tampaknya sedang bersama prianya." "Justru dia sendiri yang memintaku kesana." "Apa?" "Apa alasan dia ya?" "Aku juga nggak tahu. Aku ingin kesana dulu." Aido Eishiro pun mengunjungi tok
"Mas Shaka," panggil Alisha Fairuzah lirih dan pelan. "Hm?" Meskipun singkat, padat, dan jelas, tetapi nada bicaranya pelan dan lembut. Alisha Fairuzah merasa nyaman. Mengingat bagaimana suaminya pada Mutiara, dia merasa tidak nyaman, sekarang dia menyadari kalau mungkin saja perasaan itu adalah perasaan cemburu. "Bagaimana hubunganmu dengan Mutiara?" Alisha Fairuzah memberanikan diri bertanya. Dia menatap ke jalanan depan. Shaka Yar Nigar tidak langsung menjawab. Dia diam dulu sejenak. "Semalam setelah kita melakukannya, aku menghubunginya untuk memutuskan hubungan kami. Kamu mengerti bukan? Bagaimanapun dia adalah saudara sepupuku jadi aku nggak bisa bersikap kurang ajar padanya," kata Shaka Yar Nigar. "AKu juga nggak memintamu untuk bersikap kurang ajar padanya mas. Cukup akhiri hubungan kalian," kata Alisha Fairuzah. "Ya. Kamu tenang saja, nggak usah mengkhawatirkan hal itu," kata Shaka Yar Nigar. Kelembutan Shaka Yar Nigar tampak sedikit kaku. Atau mungki
Ini pertama kalinya mereka seranjang. Alisha Fairuzah tidak menyuruh Shaka Yar Nigar untuk tidur di luar karena kalau ketahuan ibunya, bia membuat masalah. Dan dia ingin menghindari masalah yang berkaitan dengan Shaka Yar Nigar. Shaka yar Nigar juga tidak semena-mena, seperti menyuruhnya untuk tidur di luar, di karpet, ataupun di kursi. Pria itu tidur di ranjangnya setelah melepas kemejanya. Tersisa kaos dalamnya. Alisha Fairuzah pikir, Shaka Yar Nigar suka tidur dengan tidak mengenakan pakaian luarnya. Tidak seperti dirinya yang meskipun tidur, masih mengenakan gamis dan kerudungnya meski terkadang dia melepaskan kerudungnya kalau itu membuatnya lebih nyaman. Namun karena sekarang dia tidur bersama Shaka yar Nigar, dia tetap mengenakan kerudungnya. Meskipun Shaka yar Nigar adalah suaminya, tetap saja dia merasa enggan lantaran perselisihan mereka. Saat mereka mulai terlelap, Alisha Fairuzah tiba-tiba merasakan tangan hangat melingkari perutnya. Dia masih belum begitu ny
Alisha pergi ke toko pakaiannya bersama Yumna. Sesampainya di depan toko pakaiannya, Alisha bertemu dengan Aido. Aido langsung mengjampiri Alisha. “Bagaimana Aido?” tanya Alisha dengan kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya. “Mereka sudah pergi. Aku memantau dari depan sana!” ucap Aido seraya menunjuk ke toko keluarganya. Aido kemudian beralih menatap Yumna tetapi hanya sesaat karena perhatiannya kembali fokus ke Alisha. “Syukurlah. Terima kasih banyak sudah memantau tokoku,” lirih Alisha dengan tatapan putus asa menatap tokoknya. Aido mengernyitkan keningnya memperhatikan wajah Alisha yang terkenca sinar lampu jalanan yang tampak pucat dan sangat kelelahan. Aido menjadi merasa bersalah. Dia tahu bagaimana Alisha. Rasanya sebesar apapun masalahnya, Alisha tetap tidak akan membicarakannya dengan siapapun termasuk keluarganya sendiri. Aido ingin sekali membantu meskipun rasanya ada benteng yang begitu tinggi dan sangat sulit ditembus yang dibuat Alisha. Sebenarnya kenapa to
"Shaka tidak ada dimanapun, nyonya," ucap salah satu bodyguard Nida. Nida menahan nafas frustasi. Alisha juga tidak siap kalau bertemu Shaka lagi. Sementara anggota keluarga lain, terutama Kakek Adam, bertanya-tanya dimana Shaka sekarang. "Shaka masih mabuk. Jika dia pergi, aku yakin dia tidak akan melakukannya. Mana mungkin dia berani membahayakan dirinya sendiri. Seseorang pasti membawanya," ucap Edgar. Alisha mulai berpikir macam-macam tentang suaminya. Kemana suaminya pergi? Suaminya tengah mabuk. Benar seperti yang Edgar katakan, sulit dipercaya kalau suaminya pergi sendirian. "Supirnya pasti membawanya. Mungkin dia pulang," ucap Iris. Nida menyuruh supirnya untuk pergi ke kediaman Shaka tetapi tiba-tiba Alisha menarik gamis Nida. "Bu, bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya Alisha ragu-ragu. "Kenapa Alisha?" tanya Nida ramah. "Tolong antarkan aku ke rumah orang tuaku. Maafkan aku bu tetapi aku benar-benar ingin menenangkan diri disana," bisik Alisha. Nida m
Alisha terkesiap, ketakutan mencengkeramnya. Shaka mencengkram kerah Alisha. "Dasar wanita jalang! Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku?" Cengkeraman Shaka mengerat. Rasa sakit itu tak tertahankan, namun lebih menyakitkan lagi adalah tatapan kebencian yang terpancar dari mata Shaka. Ia mengangkat tangan satunya, sebuah kilatan berbahaya di matanya. "Kau pikir kau bisa mendekatiku? Kau pikir kau siapa, hah?" Alisha merasakan amarah pria itu begitu pekat hingga terasa seperti asap beracun yang menyesakkan paru-parunya. "Mas Shaka, hentikan… kumohon…" lirih Alisha, suaranya bergetar hebat. Ia memundurkan tubuhnya hingga punggungnya membentur tembok. Shaka tertawa, sebuah tawa pahit yang tidak mencapai matanya yang berkilat liar. “Dibalik wajah aroganmu itu, kau ingin memanfaatkanku!” Ia menyambar vas bunga dari atas nakas. "Shaka, jangan!" pekik Alisha. Terlambat. Vas itu dilemparkan ke lantai dengan kekuatan penuh. Kaca pecah berkeping-keping, memantulkan cahaya redu