Pagi datang begitu cepat bagi Rania yang baru saja memejamkan mata, kini Ia harus segera bergegas bangun dan memasak.
Saat semua sedang sarapan pagi tiba-tiba Bu Yulia berbicara “Lusa kita akan pergi piknik ke Puncak.” “Wah pasti seru sekali, Bu,” pekik Nadine Riang Dani putra semata wayang Nadine dan Dimas juga ikut berseru ria “Hore kita pergi Piknik.” Dimas pun menyahuti, “Asik, mumpung aku lagi cuti kerja.” Raka mendesah lelah, lalu ia berkata, “Aku mungkin gak bisa ikut Bu, ada lembur.” Bu Yulia menjawab, “Kalau kamu gak ikut, terus siapa yang akan nyetir? Kamu harus ikut! Izin saja ke Bos mu!” Raka hanya mengangguk, Ia tidak pernah berani membantah ucapan Ibu nya. “Rania jangan ikut, dirumah saja jaga rumah dan bayimu!” ucap Bu Yulia “Iya Bu,” jawab Rania pasrah. ***** Keesokan paginya, Tawa bersahutan dari halaman depan. Suara langkah tergesa dan koper diseret-seret mengisi udara pagi yang sejuk. Mobil keluarga sudah siap di carport. Yulia mengenakan dress cerah, dengan kacamata hitam mahal yang baru dibelinya online. Bu Yulia berteriak dari teras, "Raka! Cepat, kamu yang nyetir. Jangan sampai telat sampai puncak." Raka, mengenakan kaos santai dan celana pendek, hanya mengangguk. Ia mengambil kunci mobil tanpa menengok ke dalam rumah, tanpa memikirkan istri dan anaknya yang baru berusia dua minggu. Nadine menatap ke arah jendela kamar Rania, lalu tersenyum tipis. “Kasihan ya... yang di dalam nggak diajak. Tapi ya, siapa suruh jadi beban.” Mobil melaju. Deru mesinnya menjauh bersama tawa dan cerita keluarga. Di sisi lain di sebuah kamar, Rania duduk memandangi atap. Matanya kosong, rambut kusut, dan ia masih memakai daster yang basah di bagian dada karena ASI yang merembes. Bayinya menangis, tapi ia belum bergerak. “Mereka pergi... semuanya… tanpa aku... bahkan Raka...” Suara tangisan bayi terdengar seperti gema tak berujung di kepalanya. Ia menutup telinga, tapi suara itu tetap menembus pikirannya. Tangannya gemetar. Napasnya memburu. “Kenapa kamu terus menangis? Ibu sudah... ibu sudah kelelahan...” Ia berdiri. Mengangkat bayinya. Tapi tangannya tak stabil. Pandangannya buram. Ia menggoyang-goyang si kecil terlalu cepat. “Berhenti… diam… Ibu... ibu juga ingin tidur seperti mereka semua…” Bayinya menangis lebih keras. Tiba-tiba, Rania mengayun tubuh bayi itu sedikit terlalu keras. Langkahnya gontai menuju dapur. Tatapannya jatuh pada panci besar di atas kompor yang belum dibersihkan. “Andai kamu tidur... hanya sebentar... hanya diam…” Ia membuka keran air. Mencoba menyiram kepala sendiri. Tapi air dingin itu tak juga menyadarkannya. Ia justru semakin menggigil, dan suara tangisan itu baginya semakin menusuk. Tiba-tiba suara kecil muncul dari ruang tamu. Bukan dari manusia, tapi dari lonceng angin kecil yang digantung Rania dulu saat masih mengandung. Bunyi itu tak keras, tapi menyentak pikirannya. Seperti bisikan lembut di tengah badai “Ibu… jangan tinggalkan aku…” Tangan Rania melemas. Bayinya nyaris terlepas dari gendongan. Ia langsung menangis histeris. Ia menjatuhkan diri ke lantai, memeluk bayinya erat-erat. “Maaf... maafkan Ibu, Nak... Maaf… Ibu hanya... terlalu hancur…” Tangis Rania Tangisnya membanjiri pipi bayinya yang juga menangis. Dua luka yang belum bisa berkata, tapi saling menyelamatkan. ***** Malam harinya, rombongan keluarga pulang. Penuh tawa, foto, dan kantong belanjaan. Tawa masih terdengar dari ruang tengah. Bu Yulia dan Nadine sibuk memamerkan foto-foto dari restoran mewah di puncak. Meja dipenuhi kotak sisa makanan, beberapa sudah kosong, kecuali satu kulit durian yang ditaruh dalam kantong besar di dapur. Rania berdiri di ambang pintu dapur, menggendong bayinya yang mulai rewel. Aroma durian yang tajam menusuk hidungnya, memicu mual karena kondisi tubuhnya yang masih belum pulih benar. Raka masuk ke dapur, meletakkan jaket dan plastik kecil di meja. Isinya hanya sisa kulit dan biji durian. “Tolong bersihin ini ya, baunya ganggu,” katanya datar, tanpa menoleh. Rania memandangnya tajam. Dadanya berdesir. Matanya mulai panas. “Kalian makan durian… di restoran… dan aku disuruh bersihin kulitnya?” Raka mengerutkan kening. “Kenapa? Cuma bersihin kulit. Gak perlu baper, Ran.” Rania meletakkan bayinya di ranjang kecil di pojok dapur. Tangannya gemetar, tapi bukan karena lelah karena marah. “Kamu tahu aku suka durian. Tapi bukan cuma soal itu. Kamu, ibu kamu, iparmu, kalian semua... pergi piknik, makan enak, tertawa, foto-foto... seolah aku ini cuma pembantu di rumah ini!” Raka mulai kesal. “Rania, jangan mulai lagi. Kamu sendiri yang lebih cocok di rumah. Kamu baru lahiran. Mau ikut naik-naik ke gunung sambil bawa bayi?!” Rania menyeringai pahit. “Jangan putarbalikkan semua! Aku tidak diminta diam karena kondisi. Aku dipaksa diam karena kalian tak pernah anggap aku manusia. Bahkan pembantu pun mungkin dapat oleh-oleh… aku?” Ia menunjuk kantong plastik durian itu. “Yang aku dapat cuma sisa sampah! Sisa tawa kalian! Sampah dari kebahagiaan yang kalian rayakan di atas penderitaanku!” Raka membanting sendok ke meja. “Sudah cukup, Rania! Kamu makin gak tahu diri, Aku capek dengar keluhanmu. Aku juga stres, tahu?! Semua ini gak gampang buat aku juga!” Rania tertawa lirih. Pahit. “Oh, jadi kamu stres karena aku nggak bisa jadi boneka yang diam terus, ya?” Ia mengangkat kantong durian dan melemparkannya ke tempat sampah. Bau tajam langsung memenuhi ruangan Raka tak menjawab. Ia keluar dari dapur dan membiarkan Rania berdiri sendirian. Bayinya mulai menangis. Tapi kali ini, Rania tidak menangis bersamanya. Ia menatap bayi itu, dan berbisik lirih: “Ibu sudah cukup. Ibu sudah tahu sekarang… yang harus Ibu lindungi bukan pernikahan ini… tapi kamu. Dan Ibu sendiri.”Di saat Rania pulang dari konfrontasi itu, markas LUMINA diserang. Ledakan terdengar dari arah timur. Mereka datang dengan sisa kekuatan—pasukan bayangan Valedra terakhir yang loyal. Tapi Dimas dan Sinta sudah bersiap. “Kau pikir mereka akan menangkap kita hidup-hidup?” tanya Sinta. Dimas mengangkat senjatanya. “Tidak malam ini.” Perang kecil pecah. Tapi dengan bantuan publik yang kini sudah terbuka, pasukan pengaman resmi turun tangan. Satu per satu pasukan Valedra ditangkap. Beberapa tewas. Beberapa melarikan diri. Dan Rania berdiri di tengah puing, tubuhnya penuh luka, tapi wajahnya penuh tekad. “Ini bukan soal balas dendam lagi. Ini soal membangun ulang dunia yang mereka hancurkan.” Namun dari balik reruntuhan, seorang pria muncul diam-diam, membawa pesan terakhir dari Nyonya Merah. “Valedra tidak mati. Dia hanya tidur. Dan saat dunia lengah lagi... kami akan bangkit.” *** Langit pagi di kota itu tak pernah terasa sebiru ini. Hembusan angin yang dulu membawa teror
Markas rahasia LUMINA malam itu tak seperti biasanya. Semua anggota sibuk—sebagian menyusun strategi distribusi data, sebagian lagi memperkuat sistem pertahanan digital. Flashdisk di tangan Rania adalah senjata pemusnah massal bagi kekuasaan Valedra. Sekali data itu menyebar, tak akan ada tempat bersembunyi bagi para penguasa dalam bayang-bayang. “Kita sebar melalui beberapa jalur,” ujar Sinta serius. “Dark web, whistleblower platform, akun publik LUMINA, dan ke media luar negeri yang masih independen.” “Jangan lupa backup-nya,” tambah Alvan. “Kalau mereka tahu kita akan menyebarkan ini, mereka akan menyerang balik. Fisik dan digital.” Dimas berdiri di belakang Rania, masih dibayangi konflik batin. “Jika mereka tahu kita punya semua ini… mereka akan habisi kita satu per satu.” Rania menoleh padanya. “Mereka sudah mencoba menghabisi kita sejak dulu, Dim. Bedanya sekarang… bisa melawan.” Hari itu, LUMINA menyebarkan file “EDEN” dengan sistem berlapis, menghindari deteksi
Kompol Bagas mengangguk, lalu menyerahkan sebuah flashdisk. “Isi ini adalah rekaman transaksi dan daftar nama yang pernah ditugaskan oleh Valedra—termasuk pejabat tinggi, menteri, bahkan pemilik jaringan media ternama. Hati-hati. Sekarang, kalian target.” Malamnya, saat Rania membuka isi flashdisk itu bersama Dimas dan Sinta, mereka menemukan sesuatu yang membuat darah mereka membeku—nama Yulia tertera sebagai “Anggota Tidur Valedra”. Ia bukan hanya istri pengusaha dan mertua Rania, tapi juga bagian dari organisasi ini. “Ibu mertua kita bagian dari mereka...” desis Dimas. “Itu sebabnya dia selalu selangkah lebih maju... Dia punya pelindung. Kita pikir dia hanya wanita kejam penuh ambisi, tapi dia lebih dari itu. Dia bagian dari kegelapan yang lebih tua.” Dan di antara daftar itu, nama Nadine juga tertera sebagai “proxy personal” milik Yulia. Dimas terduduk. Tangannya gemetar. “Dia... semua ini hanya sandiwara? Bahkan cinta yang dia berikan padaku?” Sinta menggenggam bahu Dimas.
Gedung Pengadilan Tinggi Jakarta dipenuhi oleh massa, wartawan, dan para pengacara dari berbagai firma ternama. Suasana siang itu panas dan mencekam. Hari itu bukan hanya menjadi saksi kasus kriminal biasa—ini adalah persidangan paling besar dalam sejarah keluarga Wicaksono dan kekuasaan gelap Irwan Santoso. Rania melangkah masuk ke ruang sidang dengan kepala tegak. Di belakangnya, Sinta, Dimas, dan tim pengacara yang telah mereka bentuk dengan susah payah. Di seberang ruangan, Irwan duduk dengan tenang, namun matanya tidak bisa menyembunyikan amarah dan kegelisahan yang ia rasakan. Hakim utama masuk, mengetukkan palu dengan keras. "Sidang dimulai." Pengacara Rania berdiri pertama, membawa setumpuk dokumen, rekaman, dan kesaksian dari saksi-saksi yang mereka lindungi selama ini. "Yang Mulia, kami memiliki bukti tak terbantahkan tentang pencucian uang, penyuapan pejabat negara, serta upaya sabotase media dan sistem hukum yang dilakukan oleh Tuan Irwan Santoso," kata pengacara i
Rania berdiri di depan kaca besar yang memantulkan wajahnya yang penuh dengan kelelahan dan ketegangan. Perjalanan panjang ini semakin menekan setiap detik yang berlalu, dan semakin mendalam ia menyelami permainan kekuasaan yang dimainkan oleh Irwan Santoso, semakin terasa bahwa ia berada di titik yang sangat berbahaya. Waktu terus berjalan, dan Rania tahu bahwa mereka harus segera mengambil tindakan besar, atau semuanya akan hilang. Namun, bahkan saat mereka semakin dekat dengan kebenaran, keraguan dan ketidakpastian tetap menggantung di atas kepala mereka. Apakah mereka sudah siap untuk menghadapi bahaya yang lebih besar? Siapa lagi yang terlibat dalam permainan ini yang mungkin belum terungkap? Malam itu, Rania, Sinta, dan Dimas berkumpul di sebuah ruang pertemuan yang tersembunyi di tempat aman, jauh dari sorotan media dan pengawasan pihak berwenang. Mereka sedang merencanakan langkah mereka selanjutnya—langkah yang akan membawa mereka lebih dalam ke sarang kekuasaan yang dipega
Dengan setiap langkah yang diambil, Rania semakin terperangkap dalam labirin pengkhianatan yang tampaknya tidak ada ujungnya. Pihak yang mengendalikan permainan ini semakin sulit untuk dilacak, dan meskipun ia mulai mengumpulkan lebih banyak informasi, ketidakpastian semakin menyelimuti. Rania tahu bahwa untuk bertahan hidup, ia harus lebih pintar dan lebih berhati-hati, atau ia bisa jatuh menjadi pion dalam permainan yang jauh lebih besar daripada dirinya.Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Felix, Rania dan Sinta memutuskan untuk melangkah lebih hati-hati. Mereka memulai pencarian lebih mendalam tentang pihak yang mengendalikan Darmawan, tetapi setiap kali mereka mendekati titik terang, semakin banyak pintu yang tertutup rapat. Sinta merasa bahwa mereka berada di titik yang sangat berbahaya.“Ran, aku mulai merasa kita tidak hanya melawan Darmawan dan Felix. Ada sesuatu yang lebih dalam dari ini. Jika kita terus melangkah tanpa rencana yang jelas, kita bisa terjebak,”