Home / Rumah Tangga / Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua / BAB 3 - Tak pernah di Anggap

Share

BAB 3 - Tak pernah di Anggap

Author: Dhalika Noire
last update Last Updated: 2025-05-11 13:36:40

Pagi datang begitu cepat bagi Rania yang baru saja memejamkan mata, kini Ia harus segera bergegas bangun dan memasak.

 

 Saat semua sedang sarapan pagi tiba-tiba Bu Yulia berbicara

   “Lusa kita akan pergi piknik ke Puncak.”

   “Wah pasti seru sekali, Bu,” pekik Nadine Riang

 

  Dani putra semata wayang Nadine dan Dimas juga ikut berseru ria “Hore kita pergi Piknik.”

  Dimas pun menyahuti, “Asik, mumpung aku lagi cuti kerja.”

 

  Raka mendesah lelah, lalu ia berkata, “Aku mungkin gak bisa ikut Bu, ada lembur.”

 

 Bu Yulia menjawab, “Kalau kamu gak ikut, terus siapa yang akan nyetir? Kamu harus ikut! Izin saja ke Bos mu!”

 

 Raka hanya mengangguk, Ia tidak pernah berani membantah ucapan Ibu nya.

 

 “Rania jangan ikut, dirumah saja jaga rumah dan bayimu!” ucap Bu Yulia

 “Iya Bu,” jawab Rania pasrah.

 

*****

 

   Keesokan paginya, Tawa bersahutan dari halaman depan. Suara langkah tergesa dan koper diseret-seret mengisi udara pagi yang sejuk. Mobil keluarga sudah siap di carport. Yulia mengenakan dress cerah, dengan kacamata hitam mahal yang baru dibelinya online.

 

 Bu Yulia berteriak dari teras, "Raka! Cepat, kamu yang nyetir. Jangan sampai telat sampai puncak."

 

 Raka, mengenakan kaos santai dan celana pendek, hanya mengangguk.

 

 Ia mengambil kunci mobil tanpa menengok ke dalam rumah, tanpa memikirkan istri dan anaknya yang baru berusia dua minggu.

 

 Nadine menatap ke arah jendela kamar Rania, lalu tersenyum tipis.

 

  “Kasihan ya... yang di dalam nggak diajak. Tapi ya, siapa suruh jadi beban.”

 

 Mobil melaju. Deru mesinnya menjauh bersama tawa dan cerita keluarga.

 

  Di sisi lain di sebuah kamar, Rania duduk memandangi atap.

 

 Matanya kosong, rambut kusut, dan ia masih memakai daster yang basah di bagian dada karena ASI yang merembes. Bayinya menangis, tapi ia belum bergerak.

 

 “Mereka pergi... semuanya… tanpa aku... bahkan Raka...”

 

 Suara tangisan bayi terdengar seperti gema tak berujung di kepalanya. Ia menutup telinga, tapi suara itu tetap menembus pikirannya.

 

 Tangannya gemetar. Napasnya memburu.

 

  “Kenapa kamu terus menangis? Ibu sudah... ibu sudah kelelahan...”

 

 Ia berdiri. Mengangkat bayinya. Tapi tangannya tak stabil. Pandangannya buram.

 

 Ia menggoyang-goyang si kecil terlalu cepat.

 

  “Berhenti… diam… Ibu... ibu juga ingin tidur seperti mereka semua…”

 

 Bayinya menangis lebih keras.

 

 Tiba-tiba, Rania mengayun tubuh bayi itu sedikit terlalu keras.

 

 Langkahnya gontai menuju dapur. Tatapannya jatuh pada panci besar di atas kompor yang belum dibersihkan.

 

 “Andai kamu tidur... hanya sebentar... hanya diam…”

 

 Ia membuka keran air. Mencoba menyiram kepala sendiri. Tapi air dingin itu tak juga menyadarkannya. Ia justru semakin menggigil, dan suara tangisan itu baginya semakin menusuk.

 

 Tiba-tiba suara kecil muncul dari ruang tamu.

 

 Bukan dari manusia, tapi dari lonceng angin kecil yang digantung Rania dulu saat masih mengandung.

 

 Bunyi itu tak keras, tapi menyentak pikirannya. Seperti bisikan lembut di tengah badai

 

  “Ibu… jangan tinggalkan aku…”

 

 Tangan Rania melemas. Bayinya nyaris terlepas dari gendongan. Ia langsung menangis histeris.

 

 Ia menjatuhkan diri ke lantai, memeluk bayinya erat-erat.

 

  “Maaf... maafkan Ibu, Nak... Maaf… Ibu hanya... terlalu hancur…” Tangis Rania

 

 Tangisnya membanjiri pipi bayinya yang juga menangis. Dua luka yang belum bisa berkata, tapi saling menyelamatkan.

 

*****

 

 

  Malam harinya, rombongan keluarga pulang. Penuh tawa, foto, dan kantong belanjaan.

 

 Tawa masih terdengar dari ruang tengah. Bu Yulia dan Nadine sibuk memamerkan foto-foto dari restoran mewah di puncak. Meja dipenuhi kotak sisa makanan, beberapa sudah kosong, kecuali satu kulit durian yang ditaruh dalam kantong besar di dapur.

 

 

 Rania berdiri di ambang pintu dapur, menggendong bayinya yang mulai rewel. Aroma durian yang tajam menusuk hidungnya, memicu mual karena kondisi tubuhnya yang masih belum pulih benar.

 

 Raka masuk ke dapur, meletakkan jaket dan plastik kecil di meja. Isinya hanya sisa kulit dan biji durian.

 

  “Tolong bersihin ini ya, baunya ganggu,” katanya datar, tanpa menoleh.

 

 

 Rania memandangnya tajam. Dadanya berdesir. Matanya mulai panas.

 

  “Kalian makan durian… di restoran… dan aku disuruh bersihin kulitnya?”

 

 Raka mengerutkan kening.

 

 “Kenapa? Cuma bersihin kulit. Gak perlu baper, Ran.”

 

 

 Rania meletakkan bayinya di ranjang kecil di pojok dapur. Tangannya gemetar, tapi bukan karena lelah karena marah.

 

  “Kamu tahu aku suka durian. Tapi bukan cuma soal itu. Kamu, ibu kamu, iparmu, kalian semua... pergi piknik, makan enak, tertawa, foto-foto... seolah aku ini cuma pembantu di rumah ini!”

 

 Raka mulai kesal.

 

 “Rania, jangan mulai lagi. Kamu sendiri yang lebih cocok di rumah. Kamu baru lahiran. Mau ikut naik-naik ke gunung sambil bawa bayi?!”

 

 Rania menyeringai pahit.

 

  “Jangan putarbalikkan semua! Aku tidak diminta diam karena kondisi. Aku dipaksa diam karena kalian tak pernah anggap aku manusia. Bahkan pembantu pun mungkin dapat oleh-oleh… aku?”

 

 Ia menunjuk kantong plastik durian itu.

 

 “Yang aku dapat cuma sisa sampah! Sisa tawa kalian! Sampah dari kebahagiaan yang kalian rayakan di atas penderitaanku!”

 

 Raka membanting sendok ke meja.

 

 “Sudah cukup, Rania! Kamu makin gak tahu diri, Aku capek dengar keluhanmu. Aku juga stres, tahu?! Semua ini gak gampang buat aku juga!”

 

 

 Rania tertawa lirih. Pahit.

 

  “Oh, jadi kamu stres karena aku nggak bisa jadi boneka yang diam terus, ya?”

 

 Ia mengangkat kantong durian dan melemparkannya ke tempat sampah. Bau tajam langsung memenuhi ruangan

 

 Raka tak menjawab. Ia keluar dari dapur dan membiarkan Rania berdiri sendirian. Bayinya mulai menangis. Tapi kali ini, Rania tidak menangis bersamanya.

 

 Ia menatap bayi itu, dan berbisik lirih:

 

  “Ibu sudah cukup. Ibu sudah tahu sekarang… yang harus Ibu lindungi bukan pernikahan ini… tapi kamu. Dan Ibu sendiri.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 29 - Pengungkapan yang Lebih Dalam

    Setelah pertempuran yang sengit, markas Darmawan kini terasa sepi. Hujan yang semula deras mulai mereda, meninggalkan sisa-sisa air yang menggenang di sekitar bangunan. Para pasukan Darmawan yang baru datang terlihat sedang mengamankan area, memastikan tidak ada ancaman yang tersisa. Namun, di dalam markas, Rania dan keluarganya tidak merasa sepenuhnya aman. Rania berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke luar. Pikirannya jauh, merenung. Darmawan, yang sebelumnya dianggap sebagai korban dalam permainan jahat keluarga Wicaksono, kini terlihat sangat berbeda. Pencapaian dan pengorbanannya ternyata lebih besar dan lebih berbahaya dari yang pernah dibayangkan Rania. “Rania,” suara Sinta memecah lamunannya. “Kita perlu bicara.” Rania menoleh dan melihat Sinta berdiri di dekat meja, menggenggam berkas-berkas lama yang baru saja ditemukan. Di sana, terdapat beberapa dokumen yang menunjukkan hubungan antara Darmawan dan jaringan kekuasaan yang lebih besar daripada yang pernah

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 28 - Pertarungan untuk Takdir

    Darmawan, yang selama ini dianggap sebagai korban dari rencana jahat keluarga Wicaksono, mengangkat tangan dan melangkah maju dengan tenang. “Aku tahu apa yang kalian pikirkan, Ran. Tapi aku bertindak untuk sesuatu yang lebih besar dari kalian bayangkan.” Rania terdiam, hampir tidak percaya. Ia telah mengira ayahnya tewas karena serangan itu, dan kini dia muncul di hadapannya, lebih hidup dan lebih kuat dari sebelumnya. “Aku bersembunyi selama ini karena mereka tidak tahu jika aku masih hidup. Yulia akan mengira aku mati, dan itu memberiku kesempatan untuk mengatur semua ini dari belakang,” lanjut Darmawan. “Namun, aku tidak bisa membiarkan Felix menguasai segalanya.” Sinta, yang sudah tahu tentang banyak hal, menatap Darmawan dengan penuh kecurigaan. “Apa maksudmu dengan mengatakan ‘lebih besar’?” tanya Sinta. “Apa yang kamu rencanakan sebenarnya?” Darmawan menatap mereka semua dengan tatapan tegas. “Aku menyusun rencana untuk menghancurkan semua yang pernah dibangun Yulia

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 27 - Pemburuan Malam

    Malam itu, langit gelap seolah menutupi segala rahasia yang hendak terungkap. Rania berdiri di luar markas sementara mereka, menatap cakrawala yang hanya diterangi kilatan petir yang sesekali mengarah ke tanah. Hujan semakin deras, mengaburkan pandangan, namun di balik kabut itu ada ancaman yang semakin nyata. Raka, yang sedang beristirahat di dalam ruangan, merasa ada yang tak beres. Instingnya, yang selama ini tajam, terasa menggigit. Sesuatu mengintai. “Kita tidak punya banyak waktu,” kata Raka, matanya tajam menatap layar monitor. “Felix pasti datang, dan jika dia membawa pasukan... kita tidak akan cukup kuat.” Reyhan mengangguk dan berdiri. “Kami sudah menyiapkan rencana cadangan, tapi yang lebih penting sekarang adalah memastikan semua bukti tetap aman. Tanpa itu, kita bisa kehilangan semuanya.” Sinta yang berada di sisi meja kerja menekan layar ponselnya. “Aku sudah menghubungi teman-teman di lembaga hak asasi. Mereka akan siap untuk mendengar kebenaran jika kita bisa m

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 26 - Kembali dari Bayangan

    Hujan turun deras malam itu. Rania tengah memandangi berkas-berkas peninggalan Dimas di ruang kerja ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia nyaris tak mengangkat, tapi suara di seberang membuat napasnya tercekat. “Rania…” Suara itu… lemah, serak, tapi sangat familiar. “Raka?” “Aku... butuh bantuanmu. Aku masih hidup.” Ponsel nyaris jatuh dari tangan Rania. “Di mana kamu?!” “Jangan bilang siapa-siapa… mereka masih mengincar aku. Aku di rumah tua Ayah, di lereng Brava…” *** Rania langsung berangkat bersama Reyhan dan Sinta secara diam-diam. Mereka tiba di sebuah rumah terbengkalai, dikelilingi kabut dan hujan. Di dalamnya, Raka terbaring lemah di sofa usang, tubuhnya penuh luka lama, beberapa masih membekas jelas. Matanya sayu, tapi masih menyala. Tangis Rania pecah seketika. Ia meraih tangan Raka dan menggenggamnya erat. “Kau… kau hidup… Tuhan, aku kira kau sudah…” Raka menggeleng pelan. “Dimas… merancang semuanya. Membuat seolah aku tewas di tempat ke

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 25 - Perburuan Terakhir

    Dua minggu sejak pelarian Dimas. Selama itu pula Rania hidup dalam pengawasan ketat. Rumahnya dijaga aparat, Reya dipindahkan ke tempat rahasia. Tapi Rania menolak bersembunyi. Ia tahu, selama Dimas belum tertangkap, tak ada tempat yang benar-benar aman. “Dia akan datang padaku. Bukan Sinta, bukan Felix. Aku. Karena aku yang menjatuhkannya,” ujar Rania tegas saat Sinta menyarankan pelindung tambahan. Reyhan mengatur strategi, tapi Dimas seolah lenyap. Semua jejak menghilang. Sampai akhirnya, surat tanpa pengirim tiba di kantor kejaksaan. Isinya: “Main terakhir kita. Tanpa polisi. Tanpa kamera. Datanglah ke tempat semuanya bermula. Sendirian. Jika kau ingin ini berakhir.” Tertulis di bawahnya: “Villa Gunung Senja.” Itu adalah rumah lama keluarga Wicaksono. Tempat pertama Rania dibawa setelah menikah. Tempat Yulia pertama kali menyiksanya. *** Malam itu. Rania memutuskan untuk datang. Meski ditentang semua pihak, ia tahu—ini bukan lagi sekadar perburuan hukum. Ini te

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 24 - Balas Dendam dari Balik Jeruji

    BAB 36 — Balas Dendam dari Balik Jeruji Malam sunyi. Di dalam penjara kelas satu, Dimas duduk di ranjangnya, ditemani sebatang rokok yang menyala setengah. Meski dinding jeruji mengelilinginya, wajahnya tetap tenang. Di depannya, seorang pengacara bayangan membisikkan kabar. "Kami sudah temukan orangnya. Infiltrasi ke dalam LPSK, akses ke lokasi rumah aman Felix. Kita hanya butuh waktu." Dimas mengangguk pelan. “Aku tak butuh waktu. Aku butuh hasil. Buat mereka menderita, satu per satu. Mulai dari Rania.” *** Keesokan harinya, Rania menerima paket misterius. Sebuah kotak kayu kecil dengan inisial “R”. Di dalamnya, bukan barang, melainkan segel rambut bayi, yang ia kenali sebagai milik anaknya, Reya. Tangannya gemetar. Pesan pendek tertulis di balik tutup kotak: "Kau mencuri milikku. Sekarang, kutarik kembali yang jadi milikmu." Rania langsung menggendong Reya dan menghubungi Sinta. Laporan diajukan ke kepolisian, dan Reyhan mempercepat proses pemindahan saksi dan kelu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status