Home / Rumah Tangga / Menjadi Istri yang Dilupakan / Bab 9: Pernikahan Tanpa Cinta

Share

Bab 9: Pernikahan Tanpa Cinta

Author: Le Vant
last update Last Updated: 2024-10-11 18:16:26

Hari pernikahan tiba. Matahari bersinar cerah di langit Jakarta, tetapi hati Nadia terasa mendung. Segala persiapan sudah lengkap, dari dekorasi mewah di rumah keluarga Pratama hingga tamu-tamu penting yang datang dengan mobil-mobil mahal. Bagi banyak orang, ini adalah pernikahan impian, tetapi bagi Nadia, ini lebih seperti mimpi buruk yang harus ia jalani. Tatanan rambutnya rapi, gaun pengantinnya menjuntai dengan indah, tetapi hati Nadia terasa sepi dan kaku.

"Nadia, sudah siap?" tanya Bu Ningsih, yang datang menyusul putrinya di kamar kecil tempat Nadia menunggu sebelum berjalan menuju altar.

Nadia hanya mengangguk pelan. Ia tahu, tidak ada jalan keluar dari pernikahan ini. Segala sesuatu sudah diatur; semuanya telah diputuskan tanpa melibatkan keinginannya. Demi ayahnya, demi keluarganya, dan demi harga diri yang sudah dipertaruhkan, Nadia harus melanjutkan ini.

"Indra pasti menunggu di sana. Kamu harus kuat, Nak. Bapak pasti bangga melihatmu menikah hari ini." Kata-kata Bu Ningsih terasa hampa di telinga Nadia. Ia tahu ibunya ingin menenangkan hatinya, tetapi kenyataannya terlalu berat untuk dihadapi.

Sementara itu, di sisi lain rumah, Indra berdiri di depan cermin dengan sikap santai. Wajahnya tanpa ekspresi, seolah-olah hari ini hanyalah hari biasa. Bahkan saat mengenakan setelan jas hitam yang elegan, ia tidak tampak antusias seperti pengantin pria pada umumnya. Di dalam hatinya, pernikahan ini hanyalah sebuah formalitas—tanggung jawab yang harus ia jalani untuk membersihkan namanya setelah insiden kecelakaan yang melibatkan ayah Nadia.

Indra melirik dirinya di cermin, lalu menghela napas. "Aku benar-benar terjebak dalam permainan ini," gumamnya. Hatinya tak pernah benar-benar terhubung dengan Nadia, seorang gadis muda yang bahkan hampir tidak ia kenal sebelum kecelakaan itu terjadi. Semua yang ia lakukan hanyalah karena tekanan keluarga, hukum, dan kewajiban.

"Sudah siap, Nak?" tanya Bu Yuni, yang tiba-tiba muncul di belakangnya dengan senyum kecil di wajahnya.

Indra menoleh, tersenyum tipis. "Ya, Bu."

Bu Yuni mendekat dan membenarkan dasi Indra dengan lembut. "Kau melakukan hal yang benar. Setelah ini, semua masalah akan selesai, dan kau bisa melanjutkan hidupmu dengan tenang."

Kata-kata ibunya membuat hati Indra semakin dingin. Pernikahan ini bukan tentang cinta atau komitmen, melainkan tentang menyelamatkan muka dan reputasi. Tidak ada cinta, tidak ada kegembiraan—hanya beban yang harus ia pikul demi keluarganya.

Di ruang tamu, tamu-tamu mulai berdatangan, memperhatikan segala dekorasi megah dan atmosfer formal yang menyelimuti acara. Keluarga besar Pratama sibuk menyambut para tamu, sementara Nadia duduk sendiri di ruangan kecil. Jantungnya berdebar kencang, tetapi bukan karena kegembiraan.

"Ini bukan pernikahan yang pernah aku impikan," batinnya. Nadia membayangkan bagaimana pernikahannya seharusnya, penuh dengan kebahagiaan dan cinta. Namun, hari ini terasa seperti peristiwa yang terjadi di luar kendalinya, seolah-olah ia hanya menjadi penonton dalam hidupnya sendiri.

Suara langkah kaki terdengar di luar ruangan, lalu Bu Ningsih masuk dengan wajah cemas. "Sudah saatnya, Nad. Semuanya sudah siap."

Nadia berdiri, merapikan gaunnya dengan tangan gemetar. Langkah-langkah kecilnya terasa berat saat ia berjalan keluar menuju halaman belakang yang telah diubah menjadi tempat pernikahan yang mewah. Setiap langkahnya diiringi tatapan dari para tamu, seolah-olah semua orang mengamati setiap gerakannya. Nadia bisa merasakan tatapan penuh rasa ingin tahu dari para tamu, tetapi tidak ada satu pun yang memahami betapa besar pergulatan batinnya saat ini.

Saat Nadia mendekati altar, Indra sudah berdiri di sana. Wajahnya tampak tenang, tetapi tidak ada senyum yang menghiasi bibirnya. Nadia memandang Indra sekilas—pria yang akan menjadi suaminya—tetapi tidak ada koneksi, tidak ada kehangatan di antara mereka. Indra menatapnya dengan ekspresi datar, seolah-olah ini hanyalah sebuah tugas yang harus ia selesaikan.

Imam pernikahan mulai membaca doa-doa suci, dan Nadia hanya bisa mendengarkan dengan pikiran yang melayang. Ia merasa seperti berada di luar tubuhnya sendiri, seolah-olah semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun kenyataan yang pahit adalah, ini adalah hidupnya sekarang—sebuah pernikahan yang tanpa cinta, tanpa kebahagiaan, hanya kewajiban yang harus ia jalani.

Saat ijab kabul dimulai, suara Indra terdengar jelas dan tegas. "Saya terima nikahnya Nadia Putri binti Agus dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Kata-kata itu meluncur dengan mudah dari bibirnya, tetapi bagi Nadia, kata-kata itu terdengar kosong, tak memiliki makna apa pun.

"Alhamdulillah, sah," suara imam menutup prosesi itu. Tepuk tangan terdengar dari para tamu, tetapi di hati Nadia, hanya ada keheningan. Ia resmi menjadi istri Indra, namun hatinya terasa semakin jauh dari kebahagiaan.

Nadia kini resmi menjadi istri Indra, tetapi saat ia memandang suaminya, ia hanya merasakan kekosongan. Apakah ini hanya permulaan dari penderitaan yang lebih panjang? Dengan hati yang berat, ia menyadari bahwa takdirnya kini terikat pada pria yang bahkan tak mencintainya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 123: Luka yang Makin Terbuka

    Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 122: Ketegangan yang Makin Menjauh

    Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 121: Menjaga Sisa Harapan

    Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 120: Di Persimpangan Hati

    Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 119: Tersesat di Antara Janji dan Kenyataan

    Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 118: Pendar yang Mulai Redup

    Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status