"Memangnya selama ini kamu dan Mama Melani tinggal di mana, Nafisa?" tanya Johan penasaran.Karena Nafisa belum juga menjawab, Johan tertawa kecut. "Apa Mama Melani menyuruh kamu berbohong? Kalian tidak mungkin tinggal di rumah yang lebih besar dan lebih bagus dari rumah yang selama ini kita temp ati." "Nafisa tidak berbohong, Papa. Apa Papa pernah melihat Nafisa berbohong?" bantah Nafisa.Johan hanya tertawa, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah memastikan bahwa tidak ada orang yang datang, dia menarik lembut lengan Nafisa. "Ayo ikut Papa," ucapnya singkat sembari menyeret Nafisa ke luar kamar."Kita mau ke mana, Pa?" Nafisa bertanya tidak mengerti. Dia berjalan tergesa-gesa mengimbangi langkah Johan."Ke mana lagi, Nafisa? Kita harus pulang. Apa kamu betah berlama-lama di rumah sakit ini?" jawab Johan, masih menggandeng tangan mungil Nafisa. "Tidak!" teriak Nafisa seraya menepis tangan Johan. "Nafisa mau pulang sama mama," lanjutnya berkata dengan lantang. "Memangnya di mana
Mobil Ferrari LaFerrari warna hitam berhenti di depan rumah kecil yang terletak di pinggiran kota. Melani turun dari mobil, disusul oleh Namira yang menggendong Nafisa. Mereka masuk ke dalam rumah diikuti oleh Deon yang baru saja turun dari mobil. Di depan rumah, Bonita sudah menyambut dengan berkacak pinggang. Dia melipat keningnya sambil berkata, "Apa ini? Kenapa Ibu membawa Kak Melani dan selingkuhannya ke rumah ini?" "Jaga ucapanmu, Bonita. Kakakmu, Melani tidak pernah berselingkuh," ujar Namira membela Melani. Dia terus melangkah masuk ke dalam rumah sambil menggendong Nafisa. "Ayo masuk!" ucapnya seraya menatap Melani dan Deon yang berdiri di teras rumah. "Kenapa Ibu selalu membela dia? Aku juga anak Ibu. Kenapa Ibu tidak pernah percaya kepadaku?" protes Bonita. Dia berjalan mengikuti langkah Namira di dalam rumah. "Ibu tidak membela siapa-siapa, Bonita. Ibu hanya membela kebenaran." Namira menurunkan Nafisa dari gendongan sambil berucap, "Nafisa masuk ke kamar dulu ya, Nak.
"Ibu sudah mengurung Bonita di kamar semalaman. Apa tidak sebaiknya Ibu membebaskannya? Ini sudah waktunya sarapan pagi. Bonita pasti kelaparan, Bu," bujuk Melani pada Namira saat sedang menikmati makanan di meja makan. Melani sendiri hanya menatap berbagai makanan yang tersaji tanpa menyentuhnya. "Ibu akan mengirimkan makanan untuk Bonita nanti, tapi tidak dengan membebaskannya. Biarkan anak itu menyadari kesalahannya." Namira meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Dia menatap lembut Melani, lalu berkata, "Kenapa kamu tidak makan, Melani? Apa kamu sudah tidak menyukai masakan Ibu?" "Bukan begitu, Ibu. Tentu saja aku sangat menyukai masakan Ibu. Semua ini adalah makanan kesukaanku." Melani menatap ayam goreng dan sambal tomat yang tersaji di meja makan. Aroma sedap yang menyeruak dari piring saji membuat dia menelan air liurnya. "Lalu kenapa kamu tidak makan? Kamu baru saja keluar dari rumah sakit. Makanlah yang banyak agar kondisimu semakin pulih," bujuk Namira. Dia menyentong
Namira membuka pintu kamar Bonita. Dia memindai tubuh Bonita dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapan matanya berhenti di perut rata Bonita. Dia menatap tajam Bonita sambil berkata, "Kamu hamil? Apa benar kamu hamil?" Bonita menganggukkan kepala seraya mengusap-usap perutnya. "Ibu boleh menghukum aku, tapi jangan hukum anakku," gumam Bonita lirih. Namira menarik lengan Bonita dan menyeretnya sampai ke ruang makan. Dia mendudukkan Bonita di kursi seraya berkata, "Duduk dan makanlah. Setelah ini, Ibu ingin kamu menjelaskan semuanya pada Ibu." "Apa yang perlu dijelaskan, Bu? Aku sedang mengandung anak Kak Johan, dan aku tidak ingin Ibu melarangku mendekati Kak Johan. Aku harus menemui Kak Johan untuk meminta pertanggungjawaban." Bonita mengangkat tubuhnya. Dia berdiri dan hendak melangkahkan kaki pergi, tetapi Namira menghalanginya. "Ibu bilang duduk dan makanlah!" titah Namira seraya menarik lengan Bonita. Tidak disangka-sangka, tiba-tiba Johan telah masuk ke dalam rumah dan be
Melani memutuskan untuk turun dari mobil dan menemui Desy. "Jangan bicara seperti itu, Desy. Tuan Deon orang baik. Dia sudah dua kali menyelamatkan aku. Dia juga yang sudah memberiku pekerjaan. Aku bekerja dengannya sekarang," bisik Melani. Dia membujuk agar Desy menjadi tenang dan kembali ke mobilnya. "Kamu salah, Melani! Dia lelaki yang kejam! Jika dia baik, dia tidak akan menyekap Kak Evan," teriak Desy penuh emosi. Sengaja dia kencangkan volume suara agar Deon bisa mendengarnya. "Kak Evan? Di mana?" Melani bertanya tidak mengerti. "Apa kamu tahu? Kak Evan hampir saja mati karena ulah lelaki kejam itu. Sekarang jangan halangi aku untuk meminta pertanggungjawaban." Desy kembali mendekati mobil Deon dan menatap tajam laki-laki yang masih duduk diam di dalam mobil. "Kamu salah, Nona! Lelaki kejam itu bukanlah aku. Dia adalah kakakmu. Jika memang dia hampir meregang nyawa, itu adalah hukuman karena dia hampir mencelakai calon istriku." Deon berkata dengan nada dingin. "Apa? Calon
Desy melajukan mobil kencang hingga berhenti di rumah sakit. Dia berlari menuju kamar yang semula ditempati oleh Evan. Namun, saat dia sampai, kamar itu telah kosong. "Di mana Kak Evan?" gumamnya lirih seraya menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Desy mengambil ponsel dari dalam tas slempang yang dia kenakan. Mencari sebuah kontak dengan nama "Otak mesum". Berkali-kali dia memanggil nomor yang sama, tetapi tetap tidak ada jawaban dari seberang. Di dalam sebuah mobil, Aldo sedang memegangi tangan Evan yang sedang berusaha melarikan diri. "Lepaskan aku. Aku bisa pulang sendiri," racau Evan seraya menggerak-gerakkan tangannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman Aldo. Seorang wanita berpakaian serba hitam membantu menahan tubuh Evan agar tidak lepas. Sedangkan, seorang wanita yang lain bertugas menyetir mobil. "Tolong tambah kecepatan mobilnya, Lea," ucap Aldo seraya memegangi tangan Evan. Karena gerak tubuh Evan semakin tidak terkendali, terpaksa Hera memukul leher Evan. D
Melani baru saja sampai depan rumah Namira. Sebuah tangan melayang dan mendarat di pipi Melani. Terkejut dengan sambutan yang diberikan Bonita kepadanya saat baru saja sampai rumah, Melani berteriak seraya melebarkan mata dan mengusap pipinya yang memerah. “Apa yang kamu lakukan, Bonita?” Bonita mengangkat tangannya kembali. Namun, Hera yang sejak tadi berdiri di belakang Melani bergegas menangkap tangan Bonita. Dia memelintir tangan itu hingga pemiliknya meringis kesakitan. “Sekali lagi kamu berani menyentuh dan menyakiti Nona Melani, akan kupatakan tangan ini,” ancamnya. “Hentikan, Hera!” Melani memberikan kode agar Hera melepaskan tangan Bonita. “Tinggalkan aku berdua dengan adikku,” ujarnya tegas. Hera menatap Melani tidak terima. Namun, dia teringat perintah Deon agar selalu menuruti apapun perkataan Melani. Dia melepas tangan Bonita dengan kasar, dan bergegas menjauhi dua kakak beradik itu. “Sekarang, katakan padaku, Bonita! Ada apa denganmu? Kenapa kamu terus-terusan menunju
“Melani! Aku ingin kita bertemu.” Johan berkata sembari tertawa-tawa tidak jelas. “Kamu harus menemuiku sekarang juga, Istriku. Aku sangat membutuhkanmu,” lanjutnya meracau.“Apa maksudmu, Mas? Ini sudah larut malam, dan aku bukan istrimu lagi,” tolak Melani tegas. Dia melebarkan mata tidak percaya. Sepertinya laki-laki yang sedang meneleponnya sedang dalam keadaan tidak waras. Melani hendak menutup telepon, tetapi suara teriakan orang di seberang mengurungkan niatnya.“Berikan aku satu botol lagi! Minumanku sudah habis,” ucap Johan mengangkat gelas. Seorang bartender memberikan botol dan menuangkan isinya di gelas Johan.“Mas? Kamu di mana?” Melani bertanya khawatir. “Apa kamu sedang mabuk? Cepatlah pulang! Kamu harus ingat, sebentar lagi kamu akan menjadi ayah.” Melani memberi peringatan. Dia berjalan mondar-mandir di dalam kamar.Johan berdiri dari kursi di ruangan dengan lampu yang gemerlap. Musik jedag-jedug memekikkan telinga. Dia berbicara dengan suara keras, menandingi suara m