Bab 12 MJDMP"Saya ingin, kamu ... fokus mengurus putri saya, An, menjadi baby sitter untuk putri saya–Zahira. Saya lihat Zahira nyaman bersama kamu, bagaimana? Apa kamu bersedia, An?" tanya dr. Ahmad, menahan diri untuk bertanya lebih, sebab merasa belum saatnya."Baby sitter, Bib?" tanya Anjani memastikan."Iya, jadi pekerjaan kamu hanya mendampingi Zahira, membersamainya di setiap aktivitasnya. Untuk pekerjaan rumah seperti bersih-bersih dan mencuci, saya akan datangkan ART baru. Tapi untuk memasak ... sebenarnya saya cocok dengan rasa masakan kamu, An. Ya walaupun saya baru mencicipinya sekali, tapi kamu berhasil menyajikan rasa yang pas untuk menu favorit saya. Dan saya suka itu.Jadi untuk masak, mungkin saya minta tetap kamu saja, ya? Tapi sesempat kamu saja, tetap fokus utama kamu Zahira. Saya tahu akan sulit membagi waktu untuk mengurus Zahira sekaligus mengurus dapur, karena itu, saat kamu tidak sempat, kamu bisa meminta tolong Art yang akan menjadi partner kamu. Jadi fleks
"Sangat, An. Sangat istimewa," jawab dr. Ahmad begitu yakin.Sejenak suasana di antara mereka menjadi hening. Sebelum akhirnya suara dr. Ahmad memecah keheningan. "Oh iya, An. Untuk standar gaji Baby Sitter memang berbeda, jadi saya akan menaikkan gaji kamu sesuai dengan posisi kamu saat ini. 3.500.000 adalah gaji kotor dari saya, belum termasuk bonus jika memang ada hal yang membuat saya perlu memberikan kamu bonus." dr. Ahmad melanjutkan pembicaraannya mengenai pengangkatan Anjani menjadi Baby sitter Zahira."Alhamdulillah, terima kasih, Bib.""Sama-sama. Dan sesuai apa yang tadi saya katakan, saya akan berikan gaji pertama kamu sebagai ART juga pesangonnya sekaligus." dr. Ahmad melanjutkan ucapannya."Untuk itu tidak usah, Bib. Saya hanya bekerja sebagai ART selama dua hari, lagi pula, pekerjaan saya yang sekarang juga dari Habib, kan?" Anjani menolak halus. Merasa tahu diri sebab keluarga ini sudah begitu baik terhadapnya."Itu hak kamu, An. Setiap pekerja yang saya berhentikan,
Bab 13 MJDMPBeberapa detik kemudian, dr. Ahmad masih terdiam, mencerna pertanyaan Anjani."Kenapa kamu bertanya seperti itu, An?" tanya dr. Ahmad heran. Pasalnya, hal yang ditanyakan Anjani itu merupakan suatu hal yang tabu."Maaf, Bib, kalau pertanyaan saya terlalu sensitive. Saya hanya ingin tahu saja, apakah benar adanya kasus seorang wanita lahir tanpa lubang mahkota. Sebab hal seperti ini terjadi di kampung saya, akan tetapi saya tidak tahu persis kebenarannya seperti apa," jawab Anjani tak sepenuhnya berbohong.Habib Ahmad mengangguk-angguk paham."Memangnya di daerah mana kampung kamu, An?" tanya dr. Ahmad penasaran, sebab hak seperti yang diceritakan Anjani sangatlah langka, sehingga jika memang hal itu terjadi di sekitarnya, ia merasa perlu melakukan study dan penyuluhan."Saya berasal dari desa Sumber Asri, Bib.""Sumber Asri? Kayak nggak asing di telinga zaya, masih di daerah Bangil ya, An?" tanya Bib Ahmad memastikan."Iya, Bib.""Owalah, kamu orang sini sendiri toh tern
"Kalau itu tergantung, jika dia memiliki ovarium yang sehat, maka dia bisa reproduksi, tetapi jika ovarium terganggu atau tidak sehat, bahkan wanita yang memiliki bentuk V sempurna pun tak akan bisa memiliki keturunan.Sebab persoalan itu berkaitan dengan kesehatan rahim. Di samping itu juga tergantung takdir Allah.Pada intinya, tetap semua itu tergantung pada takdir-Nya, An. Seberapapun masalah yang Allah berikan, Allah juga sudah menyiapkan jalan keluarnya. Asalkan sebagai hamba, kita terus berikhtiyar, meminta, sabar dan tawakkal," terang dr. Ahmad membuat hati Anjani lebih tenang. Dalam hati ia bertekad, setela urusan dengan Supeno kelar, ia akan mulai menabung untuk melakukan pengobatan."Terima kasih banyak atas penjelasannya, Dok. Maaf sudah membuat Dokter harus melayani konsultasi di luar jam kerja," ucap Anjani dengan senyuman manisnya."Khuhus untuk kamu saya akan buka jam kerja selama 24 jam, An," jawab dr. Ahmad tulus."Haha, Habib bisa aja. Bisa-bisa Habib rugi ntar, seb
Bab 14 MJDMP"Sama saya, Bib?" tanya Anjani reflek."Iya, An. Saya pikir, saat saya datang bersama kamu akan lebih memudahkan akses saya untuk bertemu dengan penderita agnesis vagina itu. Kamu mau, kan? Sekalian kamu bisa menjenguk orang tua kamu di rumah. Saya juga ingin mengenal keluarga kamu," jelas dr. Ahmad megutarakan maksudnya.Sedangkan Anjani semakin merasa bingung dengan situasi yang sedang terjadi, "Ya Allah ... Bagaimana ini? Kenapa malah jadi seperti ini situasinya? Padahal niatku hanya ingin mendapatkan kejelasan akan kondisiku, tapi kenapa justru hal ini menjadi bomerang bagiku?" batin Anjani sambil meremas tangannya, cemas."An, kamu dengar saya, kan?""Ehm, iya, Bib." Anjani menjawab dengan sedikit kikuk."Jadi bagaimana? Kamu bersedia, kan? Apa ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanya dr. Ahmad merasakan kejanggalan pada perubahan ekspresi Anjani."Ehm, iya, Bib. Soal penderita agneses vagina di kampung saya itu, dia sudah pergi dari sana untuk merantau ke kota,
Keduanya lalu berjalan bersama menuju pintu belakang untuk kembali ke tempat masing-masing, saat berada di depan pintu belah kupu-kupu yang hanya terbuka separuh, keduanya sama-sama menghentikan langkah."Silakan, Bib," ucap Anjani mempersilakan majikannya untuk masuk terlebih dahulu."Silakan kamu duluan, ladies frist!" jawab dr. Ahmad yang justru meminta Anjani untuk masuk terlebih dahulu.Merasa tak enak hati, Anjani berniat menolak, "Tapi, Bib! Seharusnya seorang tuan yang memasuki pintu terlebih dahulu, baru pelayan." Anjani memberikan argumentnya dengan merendahkan diri."Kamu menganggap saya tuanmu?"Anjani mengangguk."Kalau begitu, kamu harus mentaati perintah saya. Masuklah terlebih dahulu," lanjut dr. Ahmad memberi perintah.Walau merasa sungkan, Anjani akhirnya menurut dan masuk mendahului dr. Ahmad, ia melintas di hadapan dr. Ahmad seraya menundukkan tubuhnya, sopan.dr. Ahmad tersenyum menyaksikan Anjani yang melintas di depannya. Setelah itu segera menyusul masuk dan mem
Bab 15 MJDMP"Lho, Bib? Kok shubuh-shubuh sudah di dapur? Habib perlu apa?" tanya Anjani seraya memandang sepanci air di atas kompor yang menyala dan sebuah ember yang berada di sisi kaki dr. Ahmad dengan bertanya-tanya.dr. Ahmad terlonjak kaget mendengar pertanyaan Anjani. Ia sampai memegang dada demi menetralkan deguban jantung yang tiba-tiba terasa dua kali lebih cepat dari biasanya."Ya Allah, An, kaget saya!" ucapnya reflek."Maaf, Bib, bukan bermaksud mengageti. Saya pun kaget melihat Habib sudah berada di dapur pagi-pagi buta seperti ini. Habib ada perlu apa? Biar saya bantu," tawar Anjani ramah.dr. Ahmad menggaruk tengkuknya yang tak gatal, merasa bingung harus menjawab Anjani dengan jawaban seperti apa."Itu masak air untuk apa, Bib? Biar saya bantu, ya? " tawar Anjani tanpa basa-basi."Oh, tidak perlu, saya bisa sendiri," jawab dr. Ahmad cepat dan sedikit salah tingkah."Maaf, Bib, tapi untuk apa ya masak air banyak banget?" tanya Anjani sekali lagi."Ehm ... Itu—." dr. Ahm
Anjani lalu membalikkan badannya untuk kembali ke dapur, namun Zahira yang tiba-tiba terlihat berlari ke arahnya membuatnya mengurungkan niat."Hai, Mbak," sapa gadis lucu itu pada Anjani."Hai, Sayang, sudah bangun nih?""Sudah dong, Mbak. Mbak Anjani masak apa nih? Zahira bantuin yuk!" celoteh Zahira."Wah, sayang sekali, Mbak sudah selesai masaknya, tadi hanya bikin roti maryam untuk sarapan," jawab Anjani dengan nada sesal sebab tidak mengajak Zahira ikut serta dalam aktifitas masaknya pagi ini."Yah, tumben cepat, Mbak, masaknya?" jawab Zahira dengan raut sedihnya."Iya, Sayang, sebab Mbak Anjani harus siap-siap untuk mengantar Zahira ke sekolah." kali ini dr. Ahmad yang menjawab."Hai, Dad," sapa Zahira pada Daddynya yang sedang mencomot croissant buatan Anjani."Hai, Sayang," jawab dr. Ahmad."Emang bener Zahira sekolah diantar Mbak Anjani? Bukan sama Daddy seperti biasanya?" tanya Zahira kritis."Tetap sama Daddy, tapi juga sama Mbak Anjani," jawab dr. Ahmad seraya membawa Zah