"Pak Adam," lirih Senja. Ia membetulkan pasmina yang melorot ke lehernya."Apa? Pakainya yang bener biar nggak lepas. Bisa pakai bros untuk mengaitkan," seloroh Adam. Ia sendiri tidak menyangka sampai mengomeli Senja masalah penampilan pasminanya. Senja hanya bersungut mendengarnya."Itu," tunjuk Senja ke arah eskalator. Adam mengikuti arah yang ditunjuk Senja."Itu Mbak Reva, kan? Perempuan gaun merah yang jalan sama laki-laki." Tubuh Adam menegang, mata tak berkedip memastikan objek yang dilihatnya."Reva.""Pak Adam nggak apa-apa?" tanya Senja ragu. Namun, begitu melihat wajah Adam santai, Senja malah heran."Benar itu Mbak Reva kan, Pak?""Iya, Reva sama atasannya."Senja hanya ber oh ria. Ia melihat Adam menjauh dari kedai es krim lalu menempelkan benda persegi ke telinganya. Senja masih mengamati dari jauh sambil menikmati es krim yang tersisa."Halo Rev, kamu lagi off?""Ah iya, Dam. Bos ada urusan jadi aku dikasih off untuk menemani bertemu koleganya.""Oh. Kenapa nggak ngabari
"Reva?!""Hmm, Adam! Kenapa ke sini nggak bilang-bilang dulu?" Dengan mengucap terbata, Reva tetap berusaha tenang."Kamu berharap bukan aku yang datang, Rev?""Oh ini tadi kunci mobil.""Rev, kunci mobil saya ketinggalan." Suara lelaki dari arah samping Adam berdiri membuatnya menoleh."Oh ada tamu, ya?" ungkap bos Reva lalu menyapa Adam.Sementara itu, Adam tersenyum simpul emmbalas sapaan lelaki yang ditaksirnya lebih tua sedikit darinya. Melihat dari jari tangannya terdapat cincin, pastilah lelaki itu bukan single."Iya, Ma...hmm Pak. Kuncinya ketinggalan di meja.""Makasih, Rev. Jangan lupa besok filght siang on time, ya.""Siap, Pak.""Senang bertemu dengan....""Adam.""Ya, Pak Adam. Temannya Reva, kan?""Ya, lebih tepatnya calonnya Reva."Bos Reva beroh ria lalu melambaikan tangan berpamitan."Adam, kenapa kamu bilang begitu sama bosku?""Bilang apa?" tanya Adam balik ke Reva. Ia bersikap santai lalu masuk dan duduk di sofa."Ini buat sarapan kamu, Rev.""Iya makasih banyak.""
"S*alan, Seno mau menjebakku.""Bos, Senja mau bayar utang," seru Seno sembari menunjuk ke Senja. Bos Seno pun tertawa kencang membuat Senja siaga. Ia bisa melihat raut wajah lelaki botak itu menatapnya penuh hasr*t. Senja mau tak mau memutar otaknya. Dia jelas bisa melawan jika orangnya sedikit. Namun saat ini ada empat orang laki-laki di sana. Ia tidak bisa menaksir seberapa kuat lawannya."Tunggu! Saya transfer dulu utang saya biar semua clear," ucap Senja mantap."Oh dengan senang hati Nona cantik. Tapi jangan lupa bunganya.""Seno nggak bilang kalau ada bunganya. Iya, kan?" Senja kesal sambil menatap tajam ke arah Seno."Dia memang nggak bilang. Tapi aku yang minta bunganya. Tidak usah di transfer, bunganya langsung saja di sini," ucap lelaki itu dengan seringai licik."Katakan berapa nomernya, saya transfer sekarang juga."Seno memberikan nomer rekening bosnya. Dengan lincah jemari Senja segera melakukan
"Udah dulu ya, Ma. Nanti malam Senja telpon lagi.""Telpon dari siapa, Ja?" Suara Adam yang berdiri di ambang pintu mengagetkan Senja. Dipikirnya tidak ada siapa-siapa tadi di kamar itu. Ternyata tanpa Senja sadari Adam sudah berdiri di luar pintu kamar."Eh Pak Adam. Tadi ibu saya telpon dari kampung, Pak." Adam menautkan alisnya lalu Senja mengalihkan topik."Saya mau pulang sekarang, Pak.""Saya antar.""Nggak usah, Pak. Saya bisa naik ojek atau taksi.""Siapa yang suruh menolak? Lagian Umi udah kasih izin. Bahaya kalau kamu naik ojek atau taksi kondisi begini.""Ckk, lebih bahaya kalau diantar Bapak.""Yang antar bukan saya tapi sopir. Saya cuma nemenin aja. Nggak usah geer."Senja membelalakan mata. Sudah kepalang malu karena kepedean mau diantaf Adam. Ia merutuk dalam hati."Sudah tahu sakit gini malah dibully, hufh nyebelin, kan. Tadi aja bersikap manis.""Senja!" "Eh iya, Pak. Siap." Senja berjalan hati-hati seraya mengambil tas dan ponsel yang ada di nakas. Kepalanya masih s
Waktu berlalu tak terasa hari tergerus oleh minggu. Senja melewati hari-hari terakhir bimbingan dengan Adam."Lusa siapkan draft skripsinya. Saya cek sekali lagi. Setelah itu bisa daftar sidang!""Beneran, Pak?""Nggak percaya? Ya sudah, saya tarik kembali ucapan saya barusan.""Eh nggak boleh begitu, Pak. Iya-iya saya siapkan draftnya."Senyum terukir di bibir Senja. Ia tidak sabar mengabari orang tuanya bahwa sidang sudah dekat. Mempersembahkan kelulusan kepada orang tuanya menjadi kebahagiaan tersendiri baginya."Oya, Ja. Nanti siang ikut saya ke butik." Adam seperti bukan sekedar memberi info tetapi lebih ke memberi titah."Buat apa, Pak?""Buat fitting seragam acara lamaran.""Hah? Lamaran apa, Pak? Kita kan hanya pura-pura.""Ya, siapa tahu beneran. Saya bisa saja serius kalau kamu mau."Reflek Senja tersedak ludahnya. Entah kenapa jantungnya memompa darah dengan cepat.
"Cantik." "Pak Adam," ucap Senja terbata. Keduanya larut dalam keheningan dengan menyelami pikiran masing-masing. Sampai-sampai ada pengunjung yang datang menyapa membuat keduanya tergagap. "Kalian berdua pasangan serasi.""Pak Adam. Maaf." Senja berusaha menjauh sambil mengucap terbata. Kegugupan pun melanda. Saat suasana canggung hadir saat itu juga ada Reva yang mendadak di depan mata."Reva?! Katamu belum off kenapa datang?" Terlihat Adam berujar santai. Senja heran apa ini bukan sebuah kebetulan. Bisa jadi Adam sudah membuat janji dengan Reva. "Mengenaskan sekali nasibku," batin Senja merutuki diri sendiri."Aku kan mau bikin kejutan, Dam." Reva tersenyum sambil melirik sinis Senja yang tiba-tiba salah tingkah."Mbak, tolong bantu ambil ukuran badannya," titah Adam pada pelayan yang dipanggilnya."Perlu diukur lagi, Dam? Katanya udah cukup dia aja," ujar Reva sambil mengucap dengan nada dibuat-buat. "Ya, siapa tahu beda ukurannya, Rev.""Oh ada lagi yang perlu diukur, Mas?" t
Seminggu berlalu, hari yang dinantikan Senja pun tiba. Ia telah bersiap dengan pakaian bawahan rok hitam, atasan kemeja lengan panjang warna putih. Dandanannya natural dibantu Fifi.Ya, sejak terakhir bertemu Reva di mall, ia memutuskan berbaikan dengan Fifi. Sahabatnya pasti butuh dukungannya menyelesaikan masalah. Seperti dirinya yang sejatinya juga sedang ada masalah yang ingin diungkapkan. Namun, Senja tahu bukan saat yang tepat curhat dengan Fifi. Ia justru ingin mengurangi beban sahabatnya."Sini, aku bantu make up.""Ishh, udah gini aja kenapa?"."Kurang menarik. Nanti pengujinya nggak betah lihatin kamu, Ja."Senja berdecak. Ia berpikir mau sidang skripsi bukannya seleksi model."Jangan menor-menor, Fi!" teriak Senja. Fifi pun terkikik geli.Sepanjang sidang, Senja melewatinya dengan sukses dan terhitung lancar. Ia perlu berterima kasih pada dosen pembimbingnya. Siapa lagi kalau bukan Adam Syailendra. Andai saja dia kekeh tidak mau revisi, sudah dipastikan dosen penguji membant
Seolah tidak mendengar ucapan Adam, Senja hanya melirik paper bag berisi dasi untuk Adam. Ia menyodorkan tangan yang memakai gelang supaya Adam melepaskannya sendiri. Bibirnya sudah terkunci seolah hatinya pun ikut mati untuk mengenal kata cinta. Satu tangan lainnya meraih paper bag di meja lalu disembunyikan di kursinya."Terima kasih, Ja."Hanya sebuah anggukan, Senja sudah merasakan matanya mulai berembun. Ia harus segera pergi dari ruangan yang menyesakkan dadanya. Seumur-umur, ini sebuah kejutan yang menyedihkan baginya."Senja! Paper bag nya?""Oh, itu buat teman saya, Pak. Maaf saya permisi mau mengurus yudisium." Lega rasanya, Senja bisa mengucap kalimat itu meski dengan tenggorokan tercekat.Senja buru-buru pamit keluar dari ruangan dosennya. Matanya sudah berkaca-kaca dan napas terasa sesak. Ia berlari masuk ke kamar mandi di sudut koridor kampus."Eh, maaf, Mbak.""Hati-hati kalau jalan.""Iya." Senja hampir menabrak petugas kebersihan karena tangannya sempat mengucek matan