"Ini pesanannya, Nona. Silakan diminum!"
"Terima kasih," ucap perempuan itu dengan senyum masam setelah mendapat penolakan dari si lelaki.Senja hendak pergi. Namun begitu lelaki itu menoleh, ia terperanjat setelah melihat wajahnya. Ia masih memegang nampan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan membetulkan rok selututnya."Hah, kenapa lelaki itu ada di sini."Ya, lelaki itu adalah Adam--dosen pembimbingnya yang baru menggantikan Pak Pram. Tatapan keduanya saling mengunci. Senja hanya tertegun dan menelan salivanya. Ia segera memutus kontak, karena teringat topeng yang menyembunyikan identitasnya."Ayo, Sayang. Minum dulu!" Suara manja Reva--kekasih Adam masih terdengar oleh Senja."Moga aja Pak Adam nggak ngenalin aku, hufh. Jadi, perempuan seksi itu pacarnya? Ternyata beliau suka datang ke tempat beginian," gumam Senja sambil berjalan menuju meja bar."Ada masalah?""Eh enggak, Ndre. Tadi barusan anter ke pengunjung di pojok itu." Andre menangkap wajah Senja berubah tidak seceria sebelumnya."Agak risih lihat si perempuan cantik itu maksa kekasihnya. Sampai ngrayu segala dengan ciuman, tapi ditolak." Andre melongok mencari keberadaan meja pengunjung yang ditempati Adam."Oh kamu nggak usah heran, dia memang suka begitu."Senja menatap Andre dengan kening berkerut."Kamu kenal mereka?""Nggak kenal sih. Cuma si perempuan tuh aneh.""Aneh gimana?""Dia pelanggan di sini. Setidaknya sebulan sekali kesini ditemani cowoknya yang sopan itu."Senja berdecih. Kelihatan dosennya sopan tapi kok ya hobi ke tempat hiburan malam itu. Apa iya mereka suka bergoyang mengikuti iringan musik seperti yang dilakukan para pengunjung lain. Ia mengedikkan bahu tidak heran karena diluar kelihatan baik, dalamnya belum tentu."Trus anehnya dimana, Ndre?""Kamu perhatiin aja. Mereka berdua nggak akan lama di sini. Setelah minum paling si cowok ngajak pergi. Nah, kira-kira sejam kemudian si ceweknya datang ditemani cowok lain. Mulailah mereka beradegan lebih berani."Senja membelalakkan mata. Ia ingin berpikiran jauh tapi takut keliru."Adegan berani gimana maksudmu?""Ishh, anak kecil nggak perlu tahu," ledek Andre sambil mengetuk dahi Senja."Ayolah Ndre, aku sahabat kekasihmu. Nanti aku bilangin Fifi supaya nggak mau diajak kencan lho.""Ckkk, sukanya ngadu," dengkus Andre membuat Senja tergelak."Adegan dewasa! Dah sana kerja lagi."Mulut Senja menganga tak percaya."Jadi, Pak Adam yang ganteng aja diselingkuhin. Kasian amat beliau. Hmm, aku ada ide bagus. Buat jaga-jaga kalau beliau nggak memperlancar aku bimbingan."Seperti ada lampu yang menyala di atas kepala Senja. Otak cerdasnya segera mencetuskan ide. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya.Ckrek, ckrek.Beberapa kali Senja mengambil gambar Adam dan Reva dengan berbagai posisi. Ia tersenyum usil karena otaknya sudah dipenuhi ide gil* untuk senjata mengerjai dosennya. Ia berasumsi kalau sampai bimbingannya tidak lancar maka gambar yang diambilnya bisa suatu saat dipakai sebagai pelic*n."Tunggu di sini, Rev!" Adam tidak sengaja menangkap basah kelakuan Senja. Meski banyak kerumunan pasangan berjoget, ia tidak luput dari pandangannya saat Senja mengarahkan ponsel ke dirinya."Mau kemana, Sayang?" Adam memberi kode pada Reva supaya tetap duduk ditempatnya. Ia berdiri lalu melangkah mendekati meja bar. Senja yang melihat Adam berjalan ke arahnya mencoba menghindar."Sial! Apa Pak Adam tahu aku memotretnya.""Mbak, aku ke belakang dulu," pamit Senja untuk menghindari Adam. Ia melangkah cepat melewati beberapa kerumunan pengunjung yang berjoget."Hey, tunggu!" seru Adam. Suaranya beradu dengan dentuman musik yang menggema. Senja pun berpura-pura tidak mendengarnya."Tunggu Nona!" Dua kali Adam memanggil Senja. Akhirnya ia menghentikan langkah. Jelas, Senja harus bekerja profesional saat pelanggan memanggilnya. Sebab posisinya sebagai pelayan di sana."Hmm, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" ujarnya sopan."Maaf, saya lihat tadi Nona mengambil gambar dengan ponsel tanpa izin." Adam masih mencoba sabar bertanya tanpa menghakimi."Apa Tuan punya bukti saya mengambil gambar Tuan?""Saya lihat Nona mengarahkan ponsel ke tempat saya dan teman saya duduk.""Oh, memegang ponsel seperti ini bukan berarti mengambil gambar Tuan, kan?" Senja berusaha mengelak. "Lagian apa untungnya bagi saya?" Senja masih berkelit."Saya tidak tahu. Nona sendiri yang bisa menjawabnya.""Maaf, saya masih ada kerjaan." Senja membalikkan badan hendak menghindar. Beberapa pengunjung melihat perdebatannya hingga membuat Adam menarik lengan Senja untuk menyingkir."Lepas!""Nggak! Kemarikan ponselnya. Kalau Nona nggak mengambil gambar saya, pastinya Nona bisa memberi buktinya."Mendengar perkataan Adam, Senja menyembunyikan ponsel yang masih dipegangnya di belakang tubuh. Adam berusaha merebutnya. Ia memang tidak mengenali Senja karena memakai topeng."Kemarikan!""Nggak!" tegas Senja. Alhasil terjadi perebutan ponsel antara dua insan itu.Reva yang merasa Adam lama tidak balik ke tempatnya segera beranjak mencari."Tunjukkan kalau Nona benar!""Saya tidak mengambil gambar Tuan."Reva berjalan diantar kerumunan lalu menyusuri lorong kecil melewati toilet. Namun, tidak terlihat keberadaan Adam. Ia melanjutkan langkah hingga ke sebuah belokan.Sementara itu, Adam masih berusaha merebut ponsel Senja. Melihat ke arah belokan ada Reva. Ia mendorong Senja hingga membentur tembok."Jangan bergerak!" Suara maskulin itu membuat tubuh Senja meremang. Wajah Adam mendekat ke arahnya hingga menyisakan sesinti aja. Sontak saja Senja terbelalak, wajahnya tiba-tiba memanas. Jantungnya pun turut berdebar kencang.Lain lagi dengan Adam. Aroma parfum Senja yang segar sengaja ia hirup dalam-dalam. Cahaya remang-remang dari sudut lorong tidak mampu membuat Reva mengenalinya. Yang tampak olehnya adalah sepasang insan sedang melakukan adegan dewasa."Stt, kemana sih dia?" Reva berbalik membuat Adam lega. Namun tidak dengan lawannya. Posisi wajah Adam masih terasa dekat sekali dengan wajah Senja. Sebab hembusan napas lelaki itu terasa menerpa pipi kanannya. Andai ia menoleh ke kanan mungkin akan terjadi kontak fisik."Ough." Senja sudah memberi pukulan ke perut Adam hingga mengaduh."Syukurin! Jangan sembarangan menyentuh saya, Tuan! Atau wajah Tuan babak belur!""Tunggu!" Senja berhenti dengan posisi memunggungi Adam. Lelaki itu mencoba menghirup kembali aroma parfum yang menguar di hidungnya. Lalu syarafnya mengirimkan ke otak dan merespon seperti pernah mengenali parfum itu."Sepertinya kita pernah bertemu Nona."Semua yang hadir di ruang keluarga menepuk dahi kecuali Adam dan Senja yang masih tak percaya."Kalian berdua memang sudah bikin heboh. Tunggu sanksi dari Abi dan Umi," ungkap Aryo."Hah?!" Senja tersipu malu. Ia tak enak hati pada keluarga Adam dan juga keluarganya."Pokoknya kita adakan resepsi secepatnya. Siap ya, Al, Syad," usul Opa Zein."Siap, Pa, Ma," balas Alea dan Irsyad bersamaan."Kan ada Rendra sama Galang yang jadi PJnya," sahut Alea yang disambut tawa kedua keluarga."Walah, kalau tahu begini, Umi sama Abi nggak susah-susah nyariin jodoh kamu biar nggak nyari-nyari Senja. Kamu nggak ingat dulu waktu kecil, kamu suka main sama Senja?" Nayla mencoba menceritakan masa kecil putranya saat diajak Aryo membahas bisnis kerja sama dengan perusahaan Zein."Yang mana ya, Ma?" tanya Adam mencoba mengingat-ingat."Itu lho yang dulu gadis berkuncir dua."Seolah ingatannya terbang ke masa lalu, Adam malah senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba sebuah ide melintas dibenaknya."Senja." Adam me
"Aku menyayangimu, Ja. Percayalah, aku mulai menyukaimu sejak lama. Sejak kita bertemu pertama kali di kampus. Sejak kamu menjadi mahasiswa bimbinganku." Senja tidak bisa berkata-kata. Hanya bulir bening yang mewakili rasa harunya. Ternyata cintanya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Ia merasa kurang sabar memahami lelaki yang dikasihinya. "Mas Adam. Maafkan aku!" Adam meletakkan telunjuknya di bibir Senja. "Sttt, kamu tidak pantas meminta maaf. Seharusnya aku yang berjuang." Tangan kanan Adam mencoba merapikan rambut poni Senja. "Senja, maukah kita memulai semuanya dari awal? Aku mau kita menjalin hubungan serius sebagai pasangan halal bukan pasangan kontrak." Senja mengangguk tanpa kata. Adam pun membalas dengan senyuman. Tanpa aba-aba, Adam melabuhkan sebuah kecupan dikening Senja. Meleburkan rasa rindu yang menggebu. Kini kesalah pahaman itu telah berlalu menyisakan kerinduan yang ingin terbayarkan. "Aku mencintaimu Senja Kamila Rahmawan." "Aku juga, Mas Adam Syail
"Ough. Sakit, Ja! Kenapa kamu pukul suamimu?!" "Hah?! Pak Adam?" Senja syok mendapati Adam yang ada di kamarnya. Namun, kesadarannya langsung pulih dengan ekspresi marah dan berkacak pinggang. "Pak Adam sengaja menakuti saya?! Kenapa masuk ke kamar ini diam-diam?" Adam yang terjungkal ke lantai karena tak siap dilawan Senja hanya bisa mengaduh. Ia berdiri lalu mengusap bagian tubuhnya yang sakit. "Kamu gimana sih, Ja. Suami sendiri malah dih4jar gini? Untung kamu nggak nendang...." Belum selesai Adam mengucap, Senja sudah terkikik geli sambil memegang perutnya. Namun, beberapa detik kemudian wajahnya berubah datar lagi. "Mau apa kemari? Bukannya Pak Adam udah balikan sama mantan?!" ucapnya seraya mendecis. Ia pun mendaratkan pant*tnya ke r4njang. "Maksud kamu apa, Ja?" "Kenapa Pak Adam tanya sama saya? Tanya saja pada diri sendiri." Lagi, Senja masih berbicara dengan nada ketus. Hal itu membuat Adam semakin tak mengerti. "Sebentar, Ja! Jangan bilang kalau kamu selama ini salah
"Ya Rabb, kenapa harus ketemu dia di rumah ini?" "Sudah pulang, Pa." Suara Sekar terdengar di telinga Senja yang masih mematung. "Senja, ini Mas Ardian suamiku. Yang ini Adam Syailendra adikku." "Hah, Adik?" Senja membatin sambil mengerutkan dahi. Ia juga mengerjapkan mata berulang, berharap itu hanya mimpi." "Kenapa jadi Pak Adam adik Mbak Sekar? Lalu Andika? Gawat, nih." "Yuk, masuk, Dam. Mbak kenalin kolega dari Yogya. Ada Senja sama Andika." "Ma, diajak duduk dulu lah. Adam dari tadi suntuk tuh. Kelaparan kayaknya. Papa ajak makan nggak mau," celetuk Ardi. Senja hanya bisa menelan ludahnya kala tatapan tajam Adam mengarah padanya. Sedetik kemudian ia justru tidak menggubris ucapan Sekar. Memilih duduk di Sofa, Adam bersikap tak acuh pada Senja maupun Andika. "Lho ternyata Pak Adam adiknya Mbak Sekar, ya? Dunia ini sempit sekali," ucap Andika santai. Namun tidak dengan Senja yang ketar-ketir sedari tadi. Ia berharap Andika tidak membuat rencana kerja samanya dengan Sekar gat
"Fifi?! Kanget tahu, nggak? Kenapa nggak bilang kalau pindah ke sini, sih?" Senja berlari lalu mem3luk tubuh Fifi. Ia tidak pernah berubah. Dilihat oleh Fifi, sahabatnya itu masih saja sama seperti saat kuliah. Suka teriak heboh sendiri. "Udah nyer0cosnya? Kayak kereta aja," sahut Fifi sambil bersungut. Senja melepas p3lukannya sambil terkikik geli. "Lagian kamu nih nggak ada kabarnya." "Yeay, siapa yang ga ada kabar. Nggak kebalik? Kamu kan yang super sibuk. Sejak jadi bos, lupa deh sama sahabat sendiri," cibir Fifi. Keduanya berjalan menuju ruang tunggu stasiun. Sebab kedatangan orang tua Fifi untuk menjenguk cucu sekaligus liburan masih sejam lagi. "Sini, ceritakan tentang kabarmu! Katanya mau nikah? Kapan? Jangan-jangan udah ya? Sejak terakhir ketemu Pak Adam di restoran, aku sudah nggak dapat kabarmu lagi, Ja. Gimana hubungan kalian?" "Nih, gini nih. Tadi aja ngatain aku myerocos kayak kereta. Giliran nanya, kamu juga nggak ada jedanya sama sekali, Fi." Fifi terbahak disusul
Seminggu berlalu, pagi-pagi sekali Senja sudah berangkat menuju kantor Sekar. Ia menginap di hotel tak jauh dari kantor. Padahal Sekar sudah menawarinya menginap. Senja merasa belum akrab, alhasil hanya mengiyakan kalau masa tinggal di hotel telah habis. "Andre!" Senja sudah sampai di kantor Sekar karena permintaan bos besar itu sendiri. "Hah, aku nggak salah lihat?" Andre mengucek matanya dengan salah satu tangan. Sementara tangan lain memegang berkas. "Ini Senja, Ndre." "Astaga! Kamu beneran Senja? Kok kamu bisa sampai sini, Ja?" "Ishh, sini aku yang harusnya tanya kenapa kamu bida di sini, Ndre?" "Aku memang pindah ke sini sudah tiga bulan, Ja." "Apa?! Fifi juga?" Senja menarik lengan Andre lalu celingukan mencari tempat duduk yang nyaman. "Sini lho kalau mau ngobrol. Memangnya kamu sudah hafal tempat-temapat di sini?" celetuk Andre. Senja hanya meringis. Dia terlalu pede dan tidak ingat kalau sedang di perusahaan orang. "Kamu pindah sama Fifi nggak kasih kabar sih, Ndre. A