Jangan lupa tinggalkan like dan komen yuk. Vote juga ya biar semangat UP nya.🥰
"Yang benar saja, Bapak sudah nekat. Ngapain juga saya harus pura-pura? Kan sudah ada Nona Reva. Lagian berbihing sama orang tua dosa, Pak. Saya nggak mau kena getahnya.""Reva belum siap, jadi kamu yang menggantikan.""TIDAK!""IYA!""Saya nggak mau Pak Adam yang terhormat.""Saya nggak terima penolakan. Tiga hari tiga malam segera beri jawaban atau saya carikan dosbing lain.""Ckk, dasar pemaksa."*****Sejak pertemuan dengan dosennya di kampus siang itu, Senja tidak tenang. Bayangan kelulusan yang terhambat selalu menghantui. Ini sudah dua hari yang berarti tinggal sehari dari batas yang diberikan Adam."Aku harus gimana, Fi? Buruk nih, buruk nasibku ganti dosbing." Berkali-kali Senja memukul meja di kantin. Fifi hanya mengulas senyum. Dengan sabar ia menunggu Senja melampiaskan emosinya."Fi, jangan cuma senyum dong. Bantuin aku mikir.""Lha gimana? Aku juga ga punya uang pribadi yang banyak, Ja. Gimana kalau kamu terima saja tawaran Pak Adam. Lagian cuma pura-pura juga." Fifi sebe
"Fi, di mana kamu?"Senja sudah sampai di sebuah bangunan gedung tinggi. Katanya kantor baru tempat Fifi kerja. Ia masih menunggu pesan singkat yang belum dibalas sahabatnya.Ting."Masuk aja, Ja! Parkirkan motorku di tempat yang pas. Jangan sembarangan parkir!"Melihat pesan balasan dari Fifi membuat Senja tergelak. Ia menahan tawa, tentu saja menertawakan dirinya sendiri. Suka ceroboh memarkirkan motor temannya saat di kampus atau di manapun."Stop! Stop dulu, Mbak!""Ah iya, maaf, Pak.""Mbak ada perlu ke kantor ini?" tanya satpam dengan muka serius. Senja yang tadinya kaget lantas mengobral senyum."Eh, itu, Pak. Saya ingin melamar kerja.""Maaf di sini nggak ada lowongan kerja, Mbak. Dua minggu yang lalu sudah ditutup lowongannya. Malahan udah ada yang masuk kerja karyawan yang diterima." Ungkapan satpam membuat Senja mengerutkan kening. "Bapak nggak bohong sama saya, kan?" ujar Senja sambil memainkan telunjuknya di depan wajah."Lha, mana mungkin saya berbohong. Itu coba baca p
"SENJA!" "Apa sih, Fi?" Senja merasa tidak ada yang janggal sementara Fifi justru tidak enak hati diperhatikan Restu sambil senyum sedari tadi."Ini Pak Restu bos aku. Bisa sopan nggak sih?"Senja membelalak sempurna. Urat malunya seolah putus, ia mati-matian sksd dengan lelaki ini di depan pos satpam. Ternyata lelaki yang dimaksud adalah bos di kantor ini. Menarik napas panjang, ia mengukir senyuman semanis madu."Selamat pagi Pak Restu," ucap Senja dibuat sebisa mungkin tidak gugup. Sambil memberi kode dua jarinya yang diangkat. Sontak saja Fifi menyikut sahabatnya yang sudah membuatnya malu benar."Kamu karyawan baru, bukan?" tanya Restu masih dengan mengul*m senyum. Tatapannya mengarah ke Fifi yang reflek menunduk. Senja justru mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan Restu. Tentu saja ini mengingatkannya saat di kantor Opa Zein."Iya, Pak. Saya Fifi. Ini teman saya Senja Kamila yang ingin mengisi lowongan sebagai cleaning service." Fifi menoel lengan Senja yang pandangann
Senja berangkat mengikuti kajian di salah satu masjid besar di kota Bandung. Ia sudah janjian dengan Fifi seperti biasa mengikuti kajian ustad Akbar idolanya."Hai, Ja. Di sini." Fifi terlihat melambaikan tangan setelah Senja memarkirkan motor."Naik apa tadi, Fi?""Dianter Andre. Dia langsung ke kafe.""Kalian ini nempel terus. Buruan dihalalin, takut kelamaan bosan nanti," celetuk Senja."Nunggu tabungan ngumpul dulu lah," balas Fifi cekikikan sambil merapikan pasminanya. Ia membuka tas selempangnya lalu menyerahkan satu lagi pasmina yang dipinjam Senja. Keduanya mencoba merapikan di sisi samping masjid dekat toilet."Ini kan pasmina mahal. Apa Fifi sebenarnya orang kaya? Kenapa ngaku orang nggak punya," batin Senja. Ia jelas tahu pasmina bermerk yang dibawa Fifi. Pasmina yang juga sering dipakai mama sama omanya."Gimana sih, susah amat pasminamu, Fi.""Ckk, kamu aja yang belum terbiasa, Ja." "Kayaknya besok beli jilbab yang langsung pakai aja, Fi. Repot pakai beginian. Yang kemari
Seminggu berlalu terasa cepat. Senja sudah mewanti-wanti dirinya agar tetap tenang. Namun, apa saja yang dikerjakan serba salah karena gugup. Ucapan Adam terngiang-ngiang di telinganya. "Ja. Yang ini belum lengkap snacknya. Nah ini malah dobel," tegur Fifi. "Maaf, Fi. Maaf." "Kamu kenapa salah-salah terus dari tadi. Biasa ceroboh tapi nggak ceroboh juga kalau soal makanan," ledek Fifi. Reflek Senja menyengir kuda. "Habisnya Pak Adam bikin otakku buntu tahu, nggak? Mana hari ini beliau minta aku ke rumahnya." Tawa Fifi seketika meledak. Senja pun bertambah kesal dibuatnya. "Kamu malah ikutan meledek sih, Fi." "Siapa suruh buat kesepakatan konyol sama Pak Adam?" "Uang, Fi. Demi uang buat bayar utang." "Iya-iya. Terima aja kalau gitu. Toh cuma pura-pura juga. Kalau beneran ya rejeki kamu, Ja." "What?! Rejeki apaan, yang ada aku rugi tahu nggak. Rugi waktu dan tenaga ditambah dosa berbohong sama orang tuanya." "Ya udah niatin yang baik aja biar nggak jadi dosa." "Gimana caran
"Hah?!" Dua kakak adik reflek matanya membola. Sementara itu, Senja hanya berkomat kamit sambil menunduk. Salah sendiri, ia menerima kesepakatan dua laki-laki muda di depannya hanya demi sejumlah uang untuk melunasi utang modal bisnis. Kesepakatan untuk menjadi kekasih bayaran. Ternyata lelaki itu kakak adik. "Sini, mana calon yang mau kalian kenalin ke Umi? Katanya hari ini mau kalian ajak ke rumah." "Ini Mi calonnya," tunjuk Adam dan Restu bersamaan ke arah Senja. Umi Nayla pun terperanjat mendengar ungkapan kedua putranya. "Astaga, kenapa aku terlibat masalah rumit begini. Ingin rasanya bumi menelan bulat-bulat hingga aku menghilang dari dua laki-laki yang menyusahkanku." Senja meringis sambil menangkupkan kedua tangan. Ia melihat Umi Nayla syok. "Siapapun tolong bawa aku kabur dari sini!" "Ckk, kalian ini nggak usah mengarang. Ayo Sela ikut saya!" Baik Adam dan Restu hanya melongo sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Nayla dengan santainya mengajak masuk Senja ke rumah.
"Antar saja saya ke kafe." Adam tertegun mendengarnya. "Mau ngapain di sana? Meluapkan emosi? Nggak! Nanti kamu malah minum-minum nggak jelas. Udah pulang aja ke kos." "Pak Adam nggak ngerti perasaan saya. Saya bilang antar ke kafe. Kalau nggak mau, saya turun saja." Senja mencoba membuka pintu mobil tapi terkunci otomatis. Ia menggedor-gedor sambil marah-marah. Adam lalu menepikan mobilnya. "Bilang dulu kamu mau ngapain di sana? Baru saya antar. Saya nggak mau hal buruk terjadi menimpa kamu." Senja menoleh ke samping menatap lelaki yang baru saja mengucapkan kalimat perhatian. "Pak Adam nggak usah pura-pura perhatian sama saya. Itu nggak masuk dalam skenario tahu, nggak?" sungut Senja. Adam pun tergelak melihat raut wajah lucu Senja yang tidak pernah ia duga. "Kenapa tertawa? Meledek, ya?" "Habisnya kamu lucu persis kayak anak kecil yang nggak dibelikan es krim ibunya." "Ckkk, menyebalkan." Semakin Senja marah, Adam justru semakin terhibur. Tawa lepasnya tak terbendung me
"Pak Adam," lirih Senja. Ia membetulkan pasmina yang melorot ke lehernya."Apa? Pakainya yang bener biar nggak lepas. Bisa pakai bros untuk mengaitkan," seloroh Adam. Ia sendiri tidak menyangka sampai mengomeli Senja masalah penampilan pasminanya. Senja hanya bersungut mendengarnya."Itu," tunjuk Senja ke arah eskalator. Adam mengikuti arah yang ditunjuk Senja."Itu Mbak Reva, kan? Perempuan gaun merah yang jalan sama laki-laki." Tubuh Adam menegang, mata tak berkedip memastikan objek yang dilihatnya."Reva.""Pak Adam nggak apa-apa?" tanya Senja ragu. Namun, begitu melihat wajah Adam santai, Senja malah heran."Benar itu Mbak Reva kan, Pak?""Iya, Reva sama atasannya."Senja hanya ber oh ria. Ia melihat Adam menjauh dari kedai es krim lalu menempelkan benda persegi ke telinganya. Senja masih mengamati dari jauh sambil menikmati es krim yang tersisa."Halo Rev, kamu lagi off?""Ah iya, Dam. Bos ada urusan jadi aku dikasih off untuk menemani bertemu koleganya.""Oh. Kenapa nggak ngabari