Share

Bab 5. Sah!

Semua persiapan pernikahan dilakukan serba kilat. Begitu mencapai kata sepakat antara pihak Badai dan Alena, orang kepercayaan Badai segera mengurus administrasi dan kelengkapan syarat pernikahan di KUA. Jika uang yang berbicara, semua bisa dipercepat.

Alena juga memberitahukan pada sang ibu soal pernikahannya. Awalnya sang ibu terlihat terkejut dengan kabar mendadak ini. Namun, Alena menjelaskan jika Badai adalah laki-laki pilihannya. Pernikahan disegerakan lebih cepat lebih baik, tanpa menjelaskan alasan yang sebenarnya.

“Apa gak sebaiknya kita kasih tau Pap–maksud Mama Om Surya, soal pernikahan kamu?” saran Bu Mirna.

“Gak perlu kasih tau Om Surya. Dia bukan siapa-siapa. Apa Mama mau Om Surya tau tempat tinggal Mama sekarang?” Alena menatap sang ibu penuh rasa penasaran. Biar bagaimanapun, pria itu masih suami sah ibunya. Apakah ia begitu jahat jika memaksa sang ibu bercerai di usia yang tidak lagi muda?

Memang sejak kejadian tempo hari, Alena membawa sang ibu ke rumah kontrakannya. Setidaknya di sini lebih aman, karena Om Surya tidak tahu alamat ini. Biarlah lelaki itu pulang ke rumah anak kandungnya karena Alena meminta pada orang suruhan rentenir untuk menyita rumah mereka. Setidaknya pura-pura menyita, agar Om Surya tidak kembali ke rumah itu.

Bu Mirna hanya terdiam. Mungkin wanita itu sedikit membenarkan tindakan putrinya. Mungkin memang sudah saatnya ia terbebas dari lelaki itu. Meski tidak bisa dipungkiri hidup bersama selama belasan tahun, tentu ada rasa yang tumbuh di hati. Namun, di usianya kini, masih pentingkah rasa cinta itu?

Ponsel Alena berdering. Sebuah panggilan dari nomor tanpa nama, tetapi ia jelas mengenali nomor ini. Alena menjawab panggilan. Namun, belum juga ia benar-benar menempelkan benda itu ke telinga, terdengar umpatan dari seberang sana.

“Heh, anak sialan. Sembunyi di mana kalian? Cepat kasih tau di mana kalian tinggal!” perintah Om Surya dengan nada marah.

Alena pun tersulut emosi dan menjawab perkataan Om Surya tak kalah sengit. “Om pikir aku bakalan ngasih tau!”

Setelahnya Alena memutuskan panggilan secara sepihak tanpa basa-basi. Lalu gadis itu memblokir nomor sang ayah tiri. Sudah cukup hidupnya penuh drama selama ini. Setelah pernikahannya selesai, ia akan mengurus perceraian sang ibu.

***

Tidak banyak keluarga yang diundang dari pihak Alena. Hanya beberapa kerabat keluarga dari pihak ayahnya dan teman kuliah. Tamu lebih banyak dari pihak Badai, karena memang undangan telah terlanjur tersebar.

Badai menuju meja akad diantar sang ibu yang mendorong kursi rodanya. Tak lama setelahnya, Alena juga duduk di sebelahnya. Badai menoleh sekilas, menatap wajah calon pengantinnya yang dibalut kebaya pengantin berwarna putih. Alena terlihat cantik, Badai mengakui itu, tetapi entah kenapa hatinya masih belum bisa menerima. Mungkin bukan belum bisa, tetapi ia sengaja membangun benteng dalam hatinya.

“Bisa kita mulai?” tanya penghulu memastikan setelah mengecek berkas kelengkapan pernikahan. Ada Om Jordi, kakak sang ibu dan Om Lukman yang merupakan paman Alena yang bertindak sebagai saksi.

Ijab qabul pun dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari pihak mempelai juga para saksi. Begitu Badai mengucap ijab qabul dengan lancar dan disambut teriakan sah para saksi, resmi sudah Alena menyandang gelar sebagai istri dari laki-laki itu.

Ada helaan napas pelan lolos dari mulutnya. Setelah ini, ia punya tanggung jawab baru. Berbakti pada suami.

Sayup-sayup terdengar keributan di luar sana. Badai menoleh pada Mahes, sang asisten yang duduk tak jauh dari tempatnya. Seolah memberi kode, laki-laki itu bangkit meninggalkan tempatnya. Alena turut memperhatikan, tetapi tidak berani bertanya.

“Lepas! Aku harus ketemu Badai!”

Sayup, Alena bisa mendengar suara seorang perempuan seperti tengah berontak.

Ia menoleh ke arah luar. Terlihat samar seorang perempuan tengah diseret paksa menjauh oleh seseorang. Namun, sepertinya ia mengenali sosok itu. Seperti… Stevia!

Mata Alena sukses membulat. Ia lalu beralih menoleh pada Badai. Laki-laki terlihat tak acuh. Alena ingin berbicara, tetapi tidak tahu bagaimana memulainya.

Sementara di sudut lain tak jauh dari lokasi akad, Mahes, yang tadi diminta Badai untuk membereskan kekacauan di luar baru saja mengunci sebuah pintu. Dari arah dalam terdengar gedoran dan teriakan seorang perempuan.

“Mahes! Keluarkan aku dari sini, aku harus ketemu Badai!” teriak Stevia diiringi gedoran pintu.

Mahes menendang pintu, mengagetkan Stevia di dalam. “Sebaiknya kamu simpan tenagamu itu. Kamu akan capek sendiri karna tidak akan ada orang yang mendekat ke sini!” ancam Mahes. Tentu saja itu bukan sekedar ancaman, karena memang suasana acara yang ramai tidak memungkinkan untuk orang mendekat ke arah ruangan kosong yang cukup jauh dari lokasi acara.

Stevia masih menggedor pintu berharap Mahes akan membukanya. Namun, tentu saja laki-laki itu tidak akan melakukannya. Stevia bisa saja mengganggu acara. Laki-laki itu berlalu begitu saja membiarkan Stevia membuang energi dengan berteriak dan menggedor pintu. Nanti jika capek pasti akan diam sendiri.

***

Begitu para tamu berangsur pulang, Badai kembali memanggil asistennya. Mahes pun mendekat ke arah sang bos.

“Antar aku ke sana!” perintah laki-laki itu dengan suara rendah.

Mahes pun lekas mengangguk dan mendorong kursi roda Badai. Alena yang melihat Badai menjauh, hanya bisa menatap kepergian laki-laki itu karena ia masih diajak berbincang oleh para kerabat.

“Alena gak kalah cantik ya, Jeng, dari Stevia,” celetuk salah seorang kerabat jauh Mama Sarah.

Raut wajah wanita itu berubah dingin. “Tidak perlu membahas seseorang yang tidak penting. Alena, adalah menantuku. Dan selamanya hanya satu.” Wanita itu berkata dengan nada yang terdengar tenang, tetapi penuh penekanan.

Alena melirik ibu mertuanya. Entah ucapan wanita itu barusan demi menjaga perasaannya atau perasaan wanita itu sendiri yang sakit hati atas penghinaan Stevia. Yang jelas, Mama Sarah telah membentangkan garis batas agar orang lain tidak sembarangan melewatinya. Masalah keluarganya bukan untuk konsumsi publik.

Sementara Badai yang memilih menepi dari sisa keramaian acara pernikahannya, kini terpaku di depan pintu sebuah ruangan.

“Buka pintunya!” perintah Badai.

Mahes pun lekas menjalankan perintah atasannya. Begitu pintu terbuka, Stevia yang berada di dalam turut menoleh ke arah pintu.

“Badai!” pekiknya. Wajahnya berbinar melihat sosok laki-laki yang sangat dikenalnya.

Perempuan itu terseok menghampiri laki-laki yang duduk di kursi roda. Ia berusaha memeluk lelaki itu. Namun, Badai sigap mendorong bahu Stevia hingga perempuan itu terpundur. Jatuh dalam posisi terduduk. Sama sekali tidak ada keramahan di wajah laki-laki itu.

“Kamu pasti lapar.” Badai melemparkan bungkusan plastik tepat ke hadapan Stevia. “Makan itu dan segera pergi dari sini!” lanjutnya seraya mengusir.

Stevia yang sempat akan senang seketika menjadi tidak percaya dengan perubahan sikap Badai. Ia kembali berlari mengejar saat laki-laki itu berbalik memutar kursi rodanya. Stevia bersimpuh di hadapan Badai.

“Minggir!”

Stevia menggeleng cepat. Matanya berkaca-kaca. “Aku minta maaf. Jangan usir aku!” pintanya dengan air mata yang sudah tergenang. Namun, sedikit pun tidak membuat Badai iba.

“Meski kamu ku maafkan, tidak akan merubah apapun.” Bagi Badai, sudah cukup penolakan gadis itu. Ia tidak ingin punya urusan apapun dengan perempuan itu.

“Mahes!” panggil Badai pada asistennya. Laki-laki itu tahu apa yang harus dilakukan tanpa harus Badai bicara. Ia lantas mendorong tubuh Stevia menyingkir dari hadapan atasannya dan lekas mendorong pergi kursi roda Badai.

Laki-laki itu tidak memedulikan lagi Stevia yang panik memanggil namanya. Badai memilih untuk menulikan kedua telinganya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status