Share

Bab 4. Saya Bersedia!

Setengah jam lebih Alena berada di kamar mandi dengan isi kepala yang melanglang buana. Akhirnya gadis itu merasa lebih segar dari sebelumnya. Ia yang telah berganti dengan pakaian tidur merebahkan diri di kasur tanpa dipan miliknya. Kedua netranya berkedap-kedip menatap plafon kamar. Pikirannya mengawang. Ia benar-benar bimbang.

Meski memaksa kedua mata untuk memejam, tetapi ia merasa sulit untuk terlelap. Butuh perjuangan hingga akhirnya ia dapat terlelap pukul tiga dinihari. Dan pagi ini Alena sudah bangun dan membersihkan diri. Ia telah berdandan rapi, maksudnya berpakaian rapi dan sopan.

Setelah semalaman berpikir, ia memutuskan untuk menerima tawaran ibu Badai.

“Tante, saya bersedia menikah dengan Badai.”

Hening. Alena terlihat berpikir, menggeleng cepat. Lalu, mengulang ucapannya.

“Saya menerima tawaran Tante untuk menikah dengan Badai.”

Alena menghela napas berat dan menatap lurus pantulan dirinya yang berdiri di depan cermin. Ia tersenyum samar.

Kamu pasti bisa, Al. Batinnya menyemangati diri sendiri. Ia lekas meraih tas selempangnya. Ia sudah memantapkan diri untuk mengambil keputusan ini. Sekali lagi, gadis itu menatap lamat pantulan dirinya. Selangkah ia keluar dari rumah, masa depannya akan berubah.

***

Jantung Alena berdegup kencang. Meski tadi ia sudah begitu yakin, nyatanya setelah berdiri di depan ruang rawat Badai, tetap saja gugup. Gadis itu menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan.

Sejenak ragu, tetapi akhirnya ia mengetuk pintu kamar rawat Badai. Ia membuka pintu dan masuk. Namun, tidak mendapati keberadaan Badai atau sang ibu di dalam. Hanya ada perawat yang tengah merapikan ranjang rawat.

“Maaf, Sus. Pasien yang ada di sini kemana, ya?” tanya Alena.

“Oh, Pak Badai? Beliau baru saja keluar dan minta rawat jalan,” jawab perawat itu dengan ramah.

Alena buru-buru menyusul ke bawah setelah mengucap terima kasih. Sial, kenapa ia tidak berpapasan dengan mereka. Ah, mungkin lift yang mereka gunakan berselisih arah.

Alena melangkah tergesa di lobi dan memperhatikan sekeliling. Tidak ada Badai di sana, hingga netranya menangkap keberadaan orang yang ia cari sudah berada di titik jemput. Mereka hendak masuk ke mobil. Alena berlari menghampiri.

“Tunggu, Tante!” cegah Alena saat wanita paruh baya itu hendak masuk mobil. Badai sudah lebih dulu masuk.

Ibu Badai menoleh dan mengernyit sebentar, lalu menyadari siapa dirinya. Alena lekas mengangguk.

“Iya, saya Alena, Tante. Saya ke sini ada yang ingin saya katakan pada Tante.”

Ibu Badai memiringkan kepala sedikit seolah bertanya maksud ucapan gadis itu.

“Soal tawaran Tante kemarin. Saya bersedia, Tante,” ujar Alena lantang.

“Maksud kamu?” tanya wanita itu.

Alena mengangguk mantap. “Ya. Saya bersedia menikah dengan Badai,” jawab Alena dengan nada tegas.

Ibu Badai melongo tak percaya. Mulutnya terbuka sedikit, tetapi tidak ada kata yang keluar.

“Ma!” panggil Badai yang merasa sang ibu cukup lama di luar. Sepertinya laki-laki itu tidak mendengar pembicaraan mereka.

Sang ibu mendekat ke arah pintu. “Sebentar, Badai,” ujar sang ibu. Lalu wanita itu berbalik menghampiri Alena.

“Kamu serius?” tanya wanita itu memastikan.

Alena mengangguk. “Tapi… saya ada permintaan,” ujar Alena terdengar ragu.

“Ma, masih lama?” teriak Badai dari dalam mobil.

Sang ibu menoleh sebentar dan kembali menatap Alena. “Kita bicarakan ini di rumah,” ajak wanita itu.

Lalu Alena dibawa masuk mobil. Gadis itu duduk di kursi depan, sementara ibu Badai duduk di sebelah putranya di kursi tengah. Awalnya Badai hendak protes, karena gadis itu ikut mereka. Namun, sang ibu mengatakan akan menjelaskan semuanya di rumah.

***

“Apa maksud Mama? Jadi pengantin pengganti?” tanya Badai tidak percaya.

Meminta Alena menggantikan Stevia sebagai pengantinnya? Lelucon macam apa ini? Apakah ia terlihat semenyedihkan itu?

Tadi begitu tiba di rumah, mereka sempat berbicara sebentar sebelum akhirnya Badai meminta sang ibu untuk bicara berdua. Kini mereka tengah berada di kamar Badai, sementara Alena dibiarkan menunggu di ruang tamu.

Sang ibu mengangguk pelan. “Tidak ada cara lain. Hanya itu yang bisa kita lakukan.”

“Aku menolak!” ujarnya tegas. “Aku gak masalah pernikahan ini batal,” lanjutnya.

“Badai,” potong sang ibu. “Kamu harus pikirin nama baik kamu dan keluarga kita,” bujuk wanita itu.

“Apa Mama yakin gadis itu mau? Gadis gila mana yang mau manggantikan pernikahan orang lain, Ma?” Badai mendengkus pelan dan tersenyum kecut. Baginya, penolakan Stevia sudah cukup membuatnya terhina.

“Kalau gadis itu gak mau, gak mungkin dia mengajukan diri.”

“Tapi, Ma–” protes laki-laki itu.

“Sudah. Ayo, kita temui gadis itu sekarang,” ajak sang ibu.

Badai tak bisa lagi membantah, lebih tepatnya tidak diizinkan membantah oleh sang ibu. Wanita itu pun mendorong kursi rodanya menuju ruang tamu.

Hening suasana untuk beberapa saat. Alena yang sedari duduk menunggu, masih diam di tempatnya dengan kedua tangan saling meremas di pangkuan.

Badai memperhatikan gadis itu dengan tatapan menelisik. Seolah menilai diri gadis itu.

“Jadi, kita lanjutkan pembicaraan tadi. Kamu bersedia menikah dengan anak Tante, Badai?” tanya ibu Badai pada Alena.

Yang ditatap hanya bisa menelan ludah demi mengurangi rasa gugup. Gadis itu pun menggangguk pelan. "I-iya, tapi–” Alena terlihat ragu meneruskan ucapannya.

Ibunda Badai baru akan membuka mulut menyahuti ucapan Alena, tetapi Badai sudah lebih dulu menyerobotnya.

"Mama lihat, mana mungkin gadis itu mau. Mama gak usah bikin aku seperti gak punya harga diri. Lebih baik pernikahan ini batal saja," putus Badai terlihat emosi. Itu jelas terlihat dari rahangnya yang berkedut.

Alena yang juga melihat perubahan air muka Badai merasa sedikit takut. Apakah ada dari ucapannya yang menyinggung laki-laki itu? Ataukah ia ada salah bicara?

Sang ibu berbalik menghampiri putranya. "Badai! Apa-apaan sih kamu? Kita dengarkan dulu apa yang mau dikatakan gadis itu. Apa kamu mau melihat Mama ditertawakan orang-orang. Apa kamu mau jadi bahan olokan mereka? Hah?" sang ibu terdengar emosi. Ibu dan anak terlihat tarik urat.

"Aku gak masalah," jawab Badai berusaha terlihat tenang.

"Mama yang masalah. Kamu pikir Mama akan biarkan saja mereka mengolok anak Mama? Tidak semudah itu."

"Tapi..." Badai hendak menyampaikan rasa keberatannya.

"Tidak perlu banyak tapi. Yang penting sekarang kita urus semuanya," putus sang ibu.

Badai hendak memprotes, tetapi sang ibu memberi isyarat agar putranya itu diam dan menurut saja. 

Wanita itu kembali menatap Alena, mengajak gadis itu melanjutkan pembicaraan tadi yang tertunda.

"Jadi, kamu bersedia untuk menjadi pengantin Badai, tapi...?" Ibu Badai seolah mengulang jawaban Alena tadi. "Tapi apa?" lanjut wanita itu.

Alena terdiam sejenak, seolah meyakinkan diri tentang apa yang akan ia ucapkan. "Benar, Tante. Saya bersedia untuk menikah dengan putra Tante." Alena menjeda ucapannya. "Tapi ... bolehkah saya mengajukan permintaan?" tanya Alena ragu.

"Katakan, Sayang. Permintaan apa yang kamu inginkan. Tante, ah bukan, Mama akan menuruti," jawab wanita itu.

"Begini–” Alena terlihat ragu. Ia menatap takut-takut wanita yang menunggunya bicara.

“Bisakah, Tante meminjami saya uang 250 juta," lirih Alena sembari tertunduk.

Sebenarnya ia malu untuk mengatakan hal itu tetapi ia juga harus mendapat imbalan yang sepadan kan jika harus menyelamatkan pernikahan Badai? Bukan, bukan! Ia harus menggadaikan harga dirinya demi sejumlah uang untuk menebus sertifikat rumah ibunya.

Namun, melihat ibunda Badai hanya terdiam membuat Alena menjadi ciut nyali. Apakah wanita itu menilainya hanya seharga dua ratus lima puluh juta?

"Hanya itu permintaanmu?" tanya ibu Badai memastikan.

Alena mengangguk pelan. "Iya," jawabnya.

"Baiklah." Wanita itu pun tersenyum. Lalu bangkit menghampiri Alena. Beliau merentangkan tangan.

Melihat itu Alena lekas bangkit dan ibu Badai langsung memeluknya erat. Setelah beberapa saat, wanita itu merenggangkan pelukannya dan memegang kedua pundak Alena.

“Nama Mama, Sarah. Mulai sekarang, kamu boleh memanggilku Mama,” ujar wanita itu sembari tersenyum.

“I-iya, Tante,” ujar Alena canggung.

Mama Sarah tersenyum. “Setelah kalian menikah, kamu harus terbiasa memanggilku Mama. Mama juga ibumu.”

Alena hanya bisa mengangguk sekali dengan pelan. Ada perasaan yang tidak bisa Alena jelaskan. Yang pasti ia merasakan hatinya mendadak haru. Senyuman Tante Sarah begitu teduh.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status