Share

Bab 4. Saya Bersedia!

Author: Rastri Quinn
last update Last Updated: 2023-07-07 12:47:39

Setengah jam lebih Alena berada di kamar mandi dengan isi kepala yang melanglang buana. Akhirnya gadis itu merasa lebih segar dari sebelumnya. Ia yang telah berganti dengan pakaian tidur merebahkan diri di kasur tanpa dipan miliknya. Kedua netranya berkedap-kedip menatap plafon kamar. Pikirannya mengawang. Ia benar-benar bimbang.

Meski memaksa kedua mata untuk memejam, tetapi ia merasa sulit untuk terlelap. Butuh perjuangan hingga akhirnya ia dapat terlelap pukul tiga dinihari. Dan pagi ini Alena sudah bangun dan membersihkan diri. Ia telah berdandan rapi, maksudnya berpakaian rapi dan sopan.

Setelah semalaman berpikir, ia memutuskan untuk menerima tawaran ibu Badai.

“Tante, saya bersedia menikah dengan Badai.”

Hening. Alena terlihat berpikir, menggeleng cepat. Lalu, mengulang ucapannya.

“Saya menerima tawaran Tante untuk menikah dengan Badai.”

Alena menghela napas berat dan menatap lurus pantulan dirinya yang berdiri di depan cermin. Ia tersenyum samar.

Kamu pasti bisa, Al. Batinnya menyemangati diri sendiri. Ia lekas meraih tas selempangnya. Ia sudah memantapkan diri untuk mengambil keputusan ini. Sekali lagi, gadis itu menatap lamat pantulan dirinya. Selangkah ia keluar dari rumah, masa depannya akan berubah.

***

Jantung Alena berdegup kencang. Meski tadi ia sudah begitu yakin, nyatanya setelah berdiri di depan ruang rawat Badai, tetap saja gugup. Gadis itu menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan.

Sejenak ragu, tetapi akhirnya ia mengetuk pintu kamar rawat Badai. Ia membuka pintu dan masuk. Namun, tidak mendapati keberadaan Badai atau sang ibu di dalam. Hanya ada perawat yang tengah merapikan ranjang rawat.

“Maaf, Sus. Pasien yang ada di sini kemana, ya?” tanya Alena.

“Oh, Pak Badai? Beliau baru saja keluar dan minta rawat jalan,” jawab perawat itu dengan ramah.

Alena buru-buru menyusul ke bawah setelah mengucap terima kasih. Sial, kenapa ia tidak berpapasan dengan mereka. Ah, mungkin lift yang mereka gunakan berselisih arah.

Alena melangkah tergesa di lobi dan memperhatikan sekeliling. Tidak ada Badai di sana, hingga netranya menangkap keberadaan orang yang ia cari sudah berada di titik jemput. Mereka hendak masuk ke mobil. Alena berlari menghampiri.

“Tunggu, Tante!” cegah Alena saat wanita paruh baya itu hendak masuk mobil. Badai sudah lebih dulu masuk.

Ibu Badai menoleh dan mengernyit sebentar, lalu menyadari siapa dirinya. Alena lekas mengangguk.

“Iya, saya Alena, Tante. Saya ke sini ada yang ingin saya katakan pada Tante.”

Ibu Badai memiringkan kepala sedikit seolah bertanya maksud ucapan gadis itu.

“Soal tawaran Tante kemarin. Saya bersedia, Tante,” ujar Alena lantang.

“Maksud kamu?” tanya wanita itu.

Alena mengangguk mantap. “Ya. Saya bersedia menikah dengan Badai,” jawab Alena dengan nada tegas.

Ibu Badai melongo tak percaya. Mulutnya terbuka sedikit, tetapi tidak ada kata yang keluar.

“Ma!” panggil Badai yang merasa sang ibu cukup lama di luar. Sepertinya laki-laki itu tidak mendengar pembicaraan mereka.

Sang ibu mendekat ke arah pintu. “Sebentar, Badai,” ujar sang ibu. Lalu wanita itu berbalik menghampiri Alena.

“Kamu serius?” tanya wanita itu memastikan.

Alena mengangguk. “Tapi… saya ada permintaan,” ujar Alena terdengar ragu.

“Ma, masih lama?” teriak Badai dari dalam mobil.

Sang ibu menoleh sebentar dan kembali menatap Alena. “Kita bicarakan ini di rumah,” ajak wanita itu.

Lalu Alena dibawa masuk mobil. Gadis itu duduk di kursi depan, sementara ibu Badai duduk di sebelah putranya di kursi tengah. Awalnya Badai hendak protes, karena gadis itu ikut mereka. Namun, sang ibu mengatakan akan menjelaskan semuanya di rumah.

***

“Apa maksud Mama? Jadi pengantin pengganti?” tanya Badai tidak percaya.

Meminta Alena menggantikan Stevia sebagai pengantinnya? Lelucon macam apa ini? Apakah ia terlihat semenyedihkan itu?

Tadi begitu tiba di rumah, mereka sempat berbicara sebentar sebelum akhirnya Badai meminta sang ibu untuk bicara berdua. Kini mereka tengah berada di kamar Badai, sementara Alena dibiarkan menunggu di ruang tamu.

Sang ibu mengangguk pelan. “Tidak ada cara lain. Hanya itu yang bisa kita lakukan.”

“Aku menolak!” ujarnya tegas. “Aku gak masalah pernikahan ini batal,” lanjutnya.

“Badai,” potong sang ibu. “Kamu harus pikirin nama baik kamu dan keluarga kita,” bujuk wanita itu.

“Apa Mama yakin gadis itu mau? Gadis gila mana yang mau manggantikan pernikahan orang lain, Ma?” Badai mendengkus pelan dan tersenyum kecut. Baginya, penolakan Stevia sudah cukup membuatnya terhina.

“Kalau gadis itu gak mau, gak mungkin dia mengajukan diri.”

“Tapi, Ma–” protes laki-laki itu.

“Sudah. Ayo, kita temui gadis itu sekarang,” ajak sang ibu.

Badai tak bisa lagi membantah, lebih tepatnya tidak diizinkan membantah oleh sang ibu. Wanita itu pun mendorong kursi rodanya menuju ruang tamu.

Hening suasana untuk beberapa saat. Alena yang sedari duduk menunggu, masih diam di tempatnya dengan kedua tangan saling meremas di pangkuan.

Badai memperhatikan gadis itu dengan tatapan menelisik. Seolah menilai diri gadis itu.

“Jadi, kita lanjutkan pembicaraan tadi. Kamu bersedia menikah dengan anak Tante, Badai?” tanya ibu Badai pada Alena.

Yang ditatap hanya bisa menelan ludah demi mengurangi rasa gugup. Gadis itu pun menggangguk pelan. "I-iya, tapi–” Alena terlihat ragu meneruskan ucapannya.

Ibunda Badai baru akan membuka mulut menyahuti ucapan Alena, tetapi Badai sudah lebih dulu menyerobotnya.

"Mama lihat, mana mungkin gadis itu mau. Mama gak usah bikin aku seperti gak punya harga diri. Lebih baik pernikahan ini batal saja," putus Badai terlihat emosi. Itu jelas terlihat dari rahangnya yang berkedut.

Alena yang juga melihat perubahan air muka Badai merasa sedikit takut. Apakah ada dari ucapannya yang menyinggung laki-laki itu? Ataukah ia ada salah bicara?

Sang ibu berbalik menghampiri putranya. "Badai! Apa-apaan sih kamu? Kita dengarkan dulu apa yang mau dikatakan gadis itu. Apa kamu mau melihat Mama ditertawakan orang-orang. Apa kamu mau jadi bahan olokan mereka? Hah?" sang ibu terdengar emosi. Ibu dan anak terlihat tarik urat.

"Aku gak masalah," jawab Badai berusaha terlihat tenang.

"Mama yang masalah. Kamu pikir Mama akan biarkan saja mereka mengolok anak Mama? Tidak semudah itu."

"Tapi..." Badai hendak menyampaikan rasa keberatannya.

"Tidak perlu banyak tapi. Yang penting sekarang kita urus semuanya," putus sang ibu.

Badai hendak memprotes, tetapi sang ibu memberi isyarat agar putranya itu diam dan menurut saja. 

Wanita itu kembali menatap Alena, mengajak gadis itu melanjutkan pembicaraan tadi yang tertunda.

"Jadi, kamu bersedia untuk menjadi pengantin Badai, tapi...?" Ibu Badai seolah mengulang jawaban Alena tadi. "Tapi apa?" lanjut wanita itu.

Alena terdiam sejenak, seolah meyakinkan diri tentang apa yang akan ia ucapkan. "Benar, Tante. Saya bersedia untuk menikah dengan putra Tante." Alena menjeda ucapannya. "Tapi ... bolehkah saya mengajukan permintaan?" tanya Alena ragu.

"Katakan, Sayang. Permintaan apa yang kamu inginkan. Tante, ah bukan, Mama akan menuruti," jawab wanita itu.

"Begini–” Alena terlihat ragu. Ia menatap takut-takut wanita yang menunggunya bicara.

“Bisakah, Tante meminjami saya uang 250 juta," lirih Alena sembari tertunduk.

Sebenarnya ia malu untuk mengatakan hal itu tetapi ia juga harus mendapat imbalan yang sepadan kan jika harus menyelamatkan pernikahan Badai? Bukan, bukan! Ia harus menggadaikan harga dirinya demi sejumlah uang untuk menebus sertifikat rumah ibunya.

Namun, melihat ibunda Badai hanya terdiam membuat Alena menjadi ciut nyali. Apakah wanita itu menilainya hanya seharga dua ratus lima puluh juta?

"Hanya itu permintaanmu?" tanya ibu Badai memastikan.

Alena mengangguk pelan. "Iya," jawabnya.

"Baiklah." Wanita itu pun tersenyum. Lalu bangkit menghampiri Alena. Beliau merentangkan tangan.

Melihat itu Alena lekas bangkit dan ibu Badai langsung memeluknya erat. Setelah beberapa saat, wanita itu merenggangkan pelukannya dan memegang kedua pundak Alena.

“Nama Mama, Sarah. Mulai sekarang, kamu boleh memanggilku Mama,” ujar wanita itu sembari tersenyum.

“I-iya, Tante,” ujar Alena canggung.

Mama Sarah tersenyum. “Setelah kalian menikah, kamu harus terbiasa memanggilku Mama. Mama juga ibumu.”

Alena hanya bisa mengangguk sekali dengan pelan. Ada perasaan yang tidak bisa Alena jelaskan. Yang pasti ia merasakan hatinya mendadak haru. Senyuman Tante Sarah begitu teduh.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 20. Siapa Kamu Sebenarnya?

    Bayu sedang menunggu asistennya mengambil mobil di parkiran. Tanpa sengaja, pandangannya menangkap sosok seorang wanita yang baru saja beberapa saat yang lalu dia temui. Ya, perempuan itu adalah Alena, istri dari Badai. Laki-laki itu tampak menatap lekat sosok Alena, dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ada senyum samar di bibir Bayu saat menatap perempuan itu. Lalu, pandangannya teralih pada mobil yang tengah melaju. Namun, terlihat mencurigakan. Ia pun menatap bergantian ke arah Alena juga mobil tersebut. Seketika ia tersentak, matanya membelalak saat menyadari. Sepertinya pengendara mobil itu ingin mencelakai Alena. Tak ingin membuang waktu, Bayu segera berlari ke arah Alena. Ia berharap masih sempat menyelamatkan perempuan itu.Teriakan orang-orang terdengar ramai. Yang meminta Alena segera minggir untuk menghindari mobil yang tengah melaju kencang. Namun, sepertinya perempuan itu seperti kehilangan kontrol akan kesadarannya. Ia mengalami freezing response. Di ma

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 19. Kecelakaan

    Bayu sedang mengadakan pertemuan dengan salah satu klien di sebuah restoran. Ia tidak sendirian. Tentu saja selalu ditemani oleh Reka, asistennya. Pertemuan dengan klien yang satu ini terbilang cukup sulit karena kesibukan pria dari perusahaan yang akan jadi mitra kerjanya itu cukup padat.Pria paruh baya di hadapan Bayu itu terlihat manggut-manggut membaca dokumen yang mereka bawa. Pria itu sepertinya tengah mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan.“Baik, saya suka dengan rencana yang kalian tawarkan,” ujar pria itu akhirnya.Bayu dan Reka pun dapat bernapas lega. Akhirnya…"Semoga kerjasama kita ini bisa sukses," ujar pria tersebut."Kalau begitu, silakan dinikmati hidangannya, Pak!” ujar Bayu mempersilakan dengan soapn.Pria itu mengangguk dan mereka pun mulai menyantap makan siang sambil sesekali diselingi obrolan ringan yang sama sekali bukan membahas masalah pekerjaan. Hingga akhirnya pria itu bersama dengan sekretarisnya pun pamit lebih dulu.“Kalau begitu, saya pamit dulu

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 18. Dendam Daniel

    Pagi itu, suasana pantry sudah terlihat ramai. Beberapa karyawan yang ingin membuat kopi ataupun teh, tengah mengantri bergantian untuk menyeduh minuman mereka. Sembari menunggu, mereka tampak berbincang ringan. Hingga salah satu karyawan yang menyeletuk. "Kalian tau, gak? Si Indah, kena semprot si Bos cuma gara-gara masalah sepele?" beritahu Irma dengan ekspresi wajah serius. "Hah, gara-gara apa emang?" tanya Nina terpancing ingin tahu. Irma pun memajukan wajah dengan sedikit merunduk, khas para tukang gosip. Kedua temannya pun ikut-ikutan mendekat sembari merunduk mengikuti Irma. Irma berkedip dengan bola mata bergerak-gerak, siap untuk bergosip. "Dia kena marah habis-habisan cuma gara-gara beresin susu coklat yang ada di meja Pak Bayu." "Hah?" Nina dan Sari kompak memekik terkejut dengan mulut membulat dan mata melebar. Kedua wanita itu seperti tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Irma barusan. "Serius?" tanya Sari tidak percaya. " Bukannya Pak Bayu paling benci ya

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 17. Gara-gara Sekotak Susu Cokelat

    Badai sudah cukup menahan kesabaran selama semalaman. Maka, begitu melihat Alena di pagi harinya, laki-laki itu sudah tidak bisa mengontrol emosinya.“Alena!” panggil Badai dengan suara setengah membentak.Alena yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan seketika terjengkit kaget.“A-ada apa, M-mas?” tanya Alena mendadak takut.Sepagi ini sudah mendapat bentakan dari laki-laki itu. Wajahnya mendadak berubah pucat.“Kan sudah kubilang, jangan sentuh barang-barang di dalam kamarku. Kamu itu bodoh atau gimana sih?” emosi Badai.Alena bingung, apa kiranya yang membuat Badai marah sepagi ini. Dengan takut-takut, ia pun bertanya.“Maaf, Mas. Memangnya apa yang sudah gak sengaja aku lakuin?” tanya Alena agar lebih jelas.Badai melebarkan mata. Gak sengaja, dia bilang?Laki-laki itu menghela napas kasar. Ia pikir, Alena ini adalah tipe orang yang tidak punya rasa bersalah meski telah melakukan kesalahan.“Ternyata kamu beneran bodoh, ya? Atau memang gak punya rasa bersalah? Di mana bingkai

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 16. Hidupku penuh dengan kerja keras

    “Tapi … ada satu masalah lagi.” Mahes terdengar ragu mengatakannya.“Apa?” Tatap mata Badai terlihat tajam penuh sorot waspada.“Salah satu klien kita, Pak Prana dari pihak PT Bumi Pertiwi, membatalkan kerjasama.”“Di mana mereka sekarang?” tanya Badai selanjutnya.“Mereka sedang makan siang di restaurant Tiga Saudara,” jawab Mahes memberitahu.Badai segera memutar kursi rodanya. Namun, kembali menghentikannya dan menoleh ke Mahes yang masih berdiri di tempat semula.“Tunggu apa lagi? Ayo kita susul mereka!” sentak Badai seakan menyadarkan Mahes yang masih berdiri terpaku.Laki-laki itu lekas mengambil alih untuk mendorong mursi roda sang bos meninggalkan kantor. Saat akan memasuki lift keduanya diperhatikan oleh sepasang mata milik seorang wanita yang tidak lain adalah sang ibu, Mama Sarah.“Badai?” gumam Mama Sarah seolah tidak percaya jika sang putra kini berada di kantor. Wanita itu mendecak pelan.“Anak itu, sudah dibilang tidak usah khawatir soal urusan kantor, tetap saja,” hera

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 15. Masalah di Kantor

    Bayu melangkah gontai memasuki kamar rawat Bu Winarsih. Laki-laki itu menatap wajah sang ibu asuh yang masih terbaring dengan mata terpejam. Ia menarik kursi ke sisi ranjang dan duduk di sana. Tangannya menggenggam tangan sang ibu. “Aku bertemu wanita itu, Bu. Dia … terlihat baik-baik saja dan bahagia bersama putranya.” Sebelah tangannya mengepal, sarat akan amarah tertahan dan … kecemburuan. Matanya memerah seolah menunjukkan semua derita yang dia tanggung selama ini. Kepalanya menunduk dalam. Tiba-tiba laki-laki itu merasakan sebuah usapan lembut di kepalanya. “Ngger!” panggil lembut suara wanita. Bayu mengangkat wajah mendengar panggilan lirih itu. Ia melihat Bu Winarsih kini menatapnya lemah. “Ibu sudah bangun? Bayu, panggil dokter dulu.” Laki-laki itu hendak beranjak. Namun, Bu Winarsih menahan tangan putranya dan menggelengkan kepala pelan. Bayu kembali duduk. “Apa ibu ngerasa gak nyaman?” tanya Bayu lagi merasa khawatir. Bu Winarsih kembali menggeleng. Tak lama, terden

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status