Kedua bola mata milik Aluna membola saat melihat siapa gerangan yang sudah masuk ke dalam kamar. Aluna terpaku beberapa saat. Tidak menyangka apakah ini sebuah kebetulan, atau memang sudah terencana.
"Ayah! Apa yang kau lakukan disini?" tanya Aluna. Tatapan tajam dilayangkan oleh Aluna. Ya, seseorang itu tidak lain dan tidak bukan adalah ayahnya. Bingung bercampur dengan rasa kaget. Itulah yang saat ini sedang dirasakan Aluna. "Tentu saja ingin melihat keadaanmu. Apakah kau baik-baik saja sayang?" ucap Tuan Abigael. Suaranya terdengar begitu lembut. Perlahan tapi pasti. Tuan Abigael mendekati Aluna. Tanpa peduli tatapan tak bersahabat tengah ditujukan kepadanya. "Kenapa ayah bisa tau aku ada disini? Tunggu dulu. Ini rumah siapa ayah?" tanya Aluna. Tiba-tiba saja rasa penasaran muncul dibenak Aluna. Saat kesadarannya telah pulih sepenuhnya. "Kau saat ini sedang berada di rumah Tuan Angga," jelas Tuan Abigael. Aluna tertegun mendengar pernyataan sang ayah. Apa yang sebenarnya terjadi? Sederet pertanyaan memenuhi isi kepala Aluna. Seingatnya sebelum tertidur, dirinya merasa sedang didalam sebuah mobil. Aluna baru teringat akan sesuatu yang mengganjal pikirannya sedari tadi. Ingatannya berputar tentang sederet kejadian bersama Angga yang memperkenalkan diri sebagai Wijaya. Pikirannya mulai menerka-nerka. Apa jangan-jangan Wijaya adalah suruhan dari keluarga Kusuma?Mengingat dia turut menghadiri acara pernikahan yang telah dihancurkan oleh Aluna di rumah ayahnya. 'Ternyata Tuan Wijaya adalah suruhan dari keluarga Kusuma. Pantas saja aku bisa berada disini. Ternyata mereka cukup licik. Dan sekarang aku benar-benar terjebak. Sial!' batin Aluna dalam hati. Aluna segera beranjak dari kasur busa yang empuk. Dengan langkah pasti Aluna berusaha abai saat berhadapan dengan sang ayah. Namun, saat Aluna ingin pergi, tangan besar Tuan Abigael menghalangi langkahnya. "Tunggu Aluna! Kau mau kemana?" sergah Tuan Abigael. Sembari mencengkeram kuat lengan Aluna. "Aku mau pulang!" "Aluna, dengarkan dulu ayah baik-baik. Bukankah kita sudah sepakat. Sebelum Alana kembali, bantu saudara kembarmu untuk selesaikan pernikahan ini terlebih dahulu," bujuk Tuan Abigael. Namun Aluna sudah tidak peduli. Sudah cukup karena sang ayah kehidupannya berubah menjadi sengsara. Hidup di desa terpencil. Hanya berdua dengan sang ibu. Bahkan ayahnya yang terkenal kaya selama ini, tidak sedikitpun mau memberikan uang kepadanya. Bahkan hanya sekedar bertukar kabar. Ayahnya tidak memberi kesempatan. "Maaf ayah. Kau tidak seharusnya mengorbankan diriku. Kita tidak tau sampai kapan Alana akan kembali kesini," keluh Aluna. "Putriku yang baik, ayahmu ini sudah mengirimkan beberapa orang untuk mencarinya. Kau hanya berpura-pura disini selama beberapa hari. Kau boleh pergi saat Alana kembali," rayu Tuan Abigael lagi. "Bagaimana bisa aku berpura-pura? Sedangkan Alana adalah wanita anggun yang jenius. Sedangkan aku, aku hanyalah seorang wanita biasa yang hidup di perkampungan dan hanya memiliki keahlian dalam bidang olahraga. Bagaimana jika mereka nanti curiga kepadaku ayah. Harusnya kau memikirkan hal itu!" Tangis Aluna pecah. Rasa sakit ditubuhnya akibat demam masih terkalahkan oleh rasa sakit dihatinya yang tercipta oleh ayahnya sendiri. Selama ini Aluna tidak pernah marah kala sang ayah tidak mau bertemu padanya. Aluna selalu menyayangi sang ayah dengan tulus. Dia akan menunggu waktu yang tepat. Waktu dimana sang ayah tidak terlalu sibuk. Agar dirinya bisa bertemu walau hanya sekejap. Akhirnya pertemuan yang ditunggu selama ini pun terwujud. Namun ekspektasinya terlalu tinggi. Dia berharap ayahnya tulus ingin bertemu. Ternyata ada niat terselubung yang tersimpan rapi didalamnya. Bodohnya Aluna tidak menyadari hal ganjil itu. Dan polosnya dia malah menerima begitu saja permintaan sang ayah. Hingga harus mengorbankan masa depan Aluna. "Kau harus tetap tinggal Aluna. Aku mohon padamu. Aku berjanji tidak akan lama," pinta Tuan Abigael. Suaranya terdengar memelas. "Akhirnya aku tau, mengapa ibu meminta cerai denganmu. Kenapa aku harus memiliki ayah sepertimu," ucap Aluna dengan suara tertahan. "Kau boleh membenciku. Tapi kau harus memikirkan kebahagiaan Alana. Mulai sekarang, kau adalah Alana Putri," ucap Tuan Abigael. Tangannya merogoh saku celana. Mengambil sebuah kartu indentitas. Milik Alana, kembaran dari Aluna. Setelah itu menyodorkan kepada Aluna. Aluna meraih kartu identitas tersebut dengan kasar. Sejenak melihatnya. Lalu membuangnya tepat didepan sang ayah. "Jangan selalu menggunakan Alana untuk mengancam ku," tolak Aluna. Dadanya naik turun dengan napas memburu. "Alana selalu menjagamu. Dan sekarang waktunya kau membalas budi baiknya. Kalau begitu aku pergi dulu," ucap Tuan Abigael. Dia segera berbalik dengan cepat. Bergegas menuju pintu. Sembari menutupnya dengan kencang hingga Aluna terlonjak. Rahang Aluna mengeras. Tangannya terkepal erat hingga buku-bukunya memutih. Giginya saling bergesekan menandakan emosinya mulai tidak terkontrol. Aluna mengambil langkah besar. Berniat untuk menyusul sang ayah. Dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Akan tetapi, baru saja Aluna membuka pintu, dirinya terhenyak kaget hingga terhuyung ke belakang. Mulutnya terbuka hingga membentuk huruf O. Terlihat dihadapannya seorang pria berdiri tegak. Pria yang memiliki postur badan tinggi dan gemuk. Memakai setelan kemeja lengkap dengan dasi kupu-kupu. Sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Dan melipat tangan ke belakang. 'Astaga! Siapa lagi ini?'Di malam yang tenang, langit tampak kelam dengan taburan bintang yang hanya sedikit menampakkan diri. Di lantai atas sebuah gedung pencakar langit yang menjadi markas besar perusahaan teknologi ternama, sebuah ruangan berlabel CEO menyala terang meski jarum jam telah menunjuk pukul sembilan malam.Angga duduk di balik meja kerjanya yang besar, bersandar lelah dengan memijat pelipis. Matanya sembab, tak hanya karena lelah, tapi juga karena pikiran yang tak kunjung usai. Tumpukan dokumen menanti untuk ditandatangani, laporan finansial perlu dianalisis, dan rapat dewan direksi masih menunggu.Di tengah heningnya ruangan, pintu terbuka perlahan. Leon, asisten pribadi sekaligus tangan kanan kepercayaannya, masuk dengan secangkir teh hangat yang mengepul lembut.“Bos,” ucap Leon sambil mendekat, nada suaranya penuh khawatir. “Jangan terlalu memaksakan diri kalau memang sedang tidak enak badan.”Angga mengangkat kepalanya, menatap Leon dengan pandangan k
Tak terasa, hari telah merangkak perlahan meninggalkan senja yang muram dan berubah menjadi malam yang dingin. Cahaya lampu kota mulai menyala satu per satu, menghiasi cakrawala dengan kelap-kelip bagaikan bintang yang turun ke bumi.Di lantai atas sebuah apartemen mewah, di salah satu kamar bernuansa hangat dan elegan, berdiri seorang wanita muda di tepi balkon. Angin malam yang lembut memainkan helaian rambut panjangnya yang tergerai, sesekali menyingkap sebagian wajahnya yang dipoles riasan tipis, menonjolkan kecantikannya yang tenang dan anggun.Tatapan matanya menerawang jauh menembus gelapnya langit malam. Ada kesedihan samar di sana. Ada rindu yang tidak terucapkan. Wajahnya begitu tenang, namun menyimpan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan. Siapa pun yang melihatnya akan berpikir bahwa dia adalah Aluna. Tapi tidak. Wanita itu adalah Alana—kembaran identik Aluna.Meski terlahir dari rahim yang sama, jalan hidup keduanya begitu berbeda. Aluna t
Daniel mengajak Aluna ke sebuah tempat makan sederhana yang terletak agak jauh dari pusat kota. Bukan restoran mewah yang biasa mereka datangi untuk urusan bisnis. Hari ini, Daniel ingin membicarakan sesuatu yang lebih pribadi, lebih dalam. Ia merasa ada hal-hal penting yang tak bisa dibahas di balik meja kerja atau suasana restoran yang terlalu formal. Kadang, tempat yang sederhana justru menghadirkan kenyamanan dan ketulusan yang sulit ditemukan di tempat bergengsi sekalipun.Café kecil itu berada di pinggiran kota London, tersembunyi di antara deretan toko-toko buku tua dan toko bunga klasik. Aromanya khas: campuran kopi hangat, kayu tua, dan kue kayu manis yang baru saja keluar dari oven. Aluna duduk di sudut ruangan, di balik jendela kaca yang menghadap ke jalan, menanti Daniel dengan secangkir cokelat hangat di tangan. Matanya sesekali melirik keluar, mengamati lalu lalang orang-orang yang berjalan cepat menantang angin musim gugur.Beberapa menit kemudian, Daniel muncul di depa
Setelah menyelesaikan urusannya di dalam ruangan Daniel, Aluna segera melangkah keluar dari restoran Tanpopo’s. Namun langkahnya terhenti secara mendadak.Tepat di depan pintu keluar, berdiri seseorang dengan tubuh tegap dan wajah penuh keyakinan. Angga. Pria yang sebelumnya mengaku bernama Wijaya itu kini berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatap Aluna dengan sorot mata penuh perhitungan.Saking kagetnya, Aluna tanpa sengaja menabraknya. Tubuh mungilnya sedikit terpental ke belakang. Ia hampir jatuh, namun segera menegakkan tubuh dan menatap pria itu dengan mata membulat.“Ya Tuhan… kau?” ucap Aluna, setengah terkejut dan setengah kesal.Angga hanya menaikkan sebelah alisnya. “Kau hendak pergi ke mana? Biar aku antar,” katanya datar, seolah tidak ada kejadian berarti barusan.Namun bukannya terharu, Aluna justru memandangnya tajam. Napasnya terdengar berat, seperti menahan amarah.“Kenapa kamu ada di sini? Jangan bilang kamu menguntitku,” katanya penuh curiga.“Kalau aku bilan
Setelah selesai sarapan pagi, Aluna segera bersiap. Hari itu cuaca cukup cerah, langit tampak bersih dengan semburat jingga yang belum sepenuhnya menghilang.Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan.“Ini yang terbaik, Aluna… Demi semua orang,” gumamnya pelan, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri.Tak berapa lama, taksi yang ia pesan lewat aplikasi pun tiba. Dengan langkah ringan namun hati berat, Aluna masuk ke dalam mobil tersebut. Sepanjang perjalanan menuju restoran milik Daniel, pikirannya melayang-layang. Ia menatap keluar jendela, memandangi pepohonan dan orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan. Semua tampak berjalan seperti biasa, seolah dunia tak peduli dengan konflik kecil yang tengah berkecamuk di hatinya.'Kalau aku tetap bekerja di sana, mungkin semuanya akan jadi rumit. Aku tidak ingin membuat masalah baru untuk orang lain,' batinnya.Sesampainya di depan restoran, taksi berhenti perlahan. Aluna
Pagi itu, sinar matahari menyelinap malu-malu di balik tirai jendela kamar Aluna. Udara terasa segar, langit tampak biru cerah, seolah hari menjanjikan kebahagiaan. Namun, tidak bagi Aluna. Pagi yang biasanya ia sambut dengan semangat dan senyuman lebar, kali ini terasa hambar. Wajahnya kusut, matanya sembab, bibirnya mengerucut dalam diam.Ia duduk di tepi ranjang cukup lama, menatap nanar lantai kamar yang dingin. Tak ada suara, hanya detik jam dinding yang berdetak pelan seiring waktu yang terus berjalan.Biasanya, pagi adalah momen yang paling ia nantikan. Ia akan bersiap-siap pergi ke restoran Tanpopo’s, tempat ia bekerja sekaligus tempat hatinya berlabuh diam-diam. Daniel, pemilik restoran itu, bukan hanya sahabat masa kecilnya, tapi juga seseorang yang selama ini diam-diam mengisi ruang hati Aluna.Namun, malam tadi telah mengubah semuanya.Saat James mendadak masuk ke kamarnya hanya untuk mengantar black card dari Angga. Aluna masih ingat jelas bagaimana James, dengan ekspres