Share

BAB 5. BABY CASSEL YANG NAKAL DAN BABY RECCEL YANG MANJA

LIMA TAHUN KEMUDIAN...

“Cassel-nya Mami, ayo cepat Sayang. Kita bisa terlambat!”

Dalena menatap anak laki-laki mungil dan imut yang kini tengah berdiri sambil bersedekap di tengah keramaian bandara internasional Barcelona.

Bocah itu cemberut menatap Maminya yang anggun dan cantik kembali menyeret koper mendekat untuk membujuk putra tampannya lagi.

“Cassel, ayo dong Sayang. Tante Melinda dan Om Heins sudah menunggu kita,” kata Dalena sambil mengusap pipi gembil Cassel. “Atau mau Mami gendong saja?”

“Cassel tidak mau! Cassel mau pulang ke London! Tidak mau digendong juga. Cassel itu sudah dewasa, Mami!” pekik anak itu sembari memeluk erat boneka dinosaurusnya.

“Kita akan kembali setelah bertemu dengan teman Mami. Janji deh!” Dalena tersenyum mengarahkan jari kelingkingnya di hadapan Cassel.

Si kecil tampan bermanik mata cokelat gelap, rambut hitam legam, kulit putih, serta bertubuh mungil itu menautkan jari kelingkingnya pada Dalena. Raut wajahnya masih cemberut.

“Janji ya Mami, nanti bertemu sama Papi,” pinta Cassel seraya mengulurkan kedua tangan.

“Emmm, bagaimana ya?”

“Mami harus janji, kalau tidak Cassel nangis nih!” seru bocah dengan bibir mengerucut.

Dalena terkekeh gemas dan mengangguk. Ia langsung mengangkat tubuh mungil Cassel dan kembali melangkah tanpa meladeni kenakalannya.

Lima tahun hidup di London dan memulai bisnis fashion bersama temannya, Dalena kini terbilang sukses dan memiliki beberapa usaha yang cukup untuk membahagiakan anaknya.

Dalena membesarkan Cassel dengan penuh perjuangan dan air mata, bahkan hingga detik ini ia juga belum mempunyai pasangan.

Setiap kali Cassel bertanya di mana Papinya, Dalena mengalihkan pertanyaannya ke hal lain hingga Cassel sering marah padanya.

Kini, Dalena kembali ke Barcelona untuk menemui Raccel. Ia ingin membawanya dari Damien Escalante.

Selama ini, Dalena cukup banyak mendengar informasi tentang Damien dan putrinya dari media.

“Dalena!”

Suara teriakan seorang laki-laki membuat Dalena menoleh cepat.

Laki-laki tampan berbalut kemeja biru laut berlari ke arahnya.

“Hai! Bagaimana kabarmu? Ya ampun, aku sangat merindukanmu...” Dalena memeluk laki-laki itu.

Sementara Cassel hanya diam memperhatikan laki-laki asing yang kini mendekapnya dan Maminya.

Jangan-jangan ...

“Papi?”

Cassel langsung merentangkan kedua tangan mungilnya. “Cassel kangen Papi!” serunya berbinar-binar.

Dalena menarik putra mungilnya perlahan, membuat anak itu memasang ekspresi bingung.

“Cassel, ini bukan Papi. Ini Om Heins, teman Mami.”

“Lalu Papinya Cassel di mana? Katanya Mami mau ajak Cassel bertemu Papi? Ihhhh... Mami nakal!” kesal anak itu cemberut.

Heins pun terkekeh gemas dan kasihan. Dia mengambil alih Cassel dari gendongan Dalena.

“Om Heins ini juga sama seperti Papinya Cassel kok,” kata Heins.

Cassel tersenyum dan melingkarkan kedua tangannya di leher laki-laki itu. Dia bahkan meletakkan kepalanya di pundak kekar Heins, menunjukkan seberapa rindunya Cassel pada sosok seorang Ayah yang selama ini tak bisa dia rasakan.

Heins menatap Dalena yang kini memperhatikan putranya.

"Apa kepulanganmu saat ini benar-benar untuk mengambil Raccel?" tanya Heins menatap sahabatnya.

Dalena mengangguk yakin. "Ya. Aku akan mengambil anakku. Kabarnya Damien Escalante sedang mencari seorang pengasuh untuk Raccel, bukan?"

"Jangan bilang kau—"

"Aku akan melamar menjadi pengasuh untuk Raccel. Dengan begitu aku bisa lebih dekat dengannya."

Senyuman manis terukir di bibir Dalena. Ia mengusap pucuk kepala Cassel yang kini dalam gendongan Heins.

"Aku titip Cassel padamu dan Melinda, ya? Anakku tidak akan nakal. Sore nanti aku akan menemuinya lagi."

"Mami tidak lama kan..." ucap Cassel cemberut.

Dalena tersenyum mengecup pipi Cassel. "Sebentar saja, Sayang. Cassel ikut Om Heins dulu ya? Kalau Cassel tidak nakal, nanti Mami belikan hadiah. Setuju?"

"Setujuuu!" Cassel mengacungkan jempolnya antusias.

Dalena pun meninggalkan kopernya bersama Heins.

Langkahnya mantap, tekadnya bulat.

Dalena akan menemui Damien Escalante, sebagai calon pengasuh putrinya.

**

“Raccel tidak mau makan daging! Tidak mau pokoknya! Buang saja!”

Suara pekikan keras dan tangisan seorang anak perempuan kecil menggelegar di ruang makan.

Anak cantik dengan manik mata cokelat dan rambut bergelombang berponi lengkap dengan jepit lucu. Ia memakai dress merah muda dan sepatu yang cantik.

Namun, anak itu sangat susah dibujuk untuk makan bila bukan Daddy-nya yang menyuapi. Ia juga tidak mudah akrab dengan orang luar.

“Nona Raccel, Daddy sedang sibuk sekarang. Bibi saja yang menyuapi Nona Raccel ya,” bujuk pelayan lagi.

“Tidak mau! Raccel tidak usah makan, biar Raccel pingsan lalu kalian dimarahin Daddy!” pekik anak itu sambil turun dari atas kursi.

“Ya ampun, Nona Raccel...”

Tak satu orang pun bisa mendekati Raccel selain Daddy-nya.

“Jangan paksa Raccel!” seru anak itu. “Ihhh Bibi! Raccel kesal, Raccel marah!” teriaknya sambil menjerit dan menangis. “Daddy! Huwaa, Raccel mau Daddy!”

Suara tangisan yang menggema itu mengundang kemunculan laki-laki tampan dengan kacamata tipis yang bertengger di hidung mancungnya.

Damien tersenyum hangat melihat raut cemberut dengan kedua pipi gembil yang memerah itu.

Pria itu menekuk satu lututnya di hadapan Raccel.

“Ada apa, Princess? Kenapa marah-marah lagi?” Damien merapikan poni lucu putri kesayangannya.

“Raccel tidak mau makan itu! Tidak mau disuapi mereka! Raccel tidak mau!” teriak anak itu keras dan mengentak-entakkan kakinya di lantai.

Damien mengangkat tubuh Raccel dan mendudukkan tubuh mungilnya di atas meja marmer.

Ia menatap putrinya yang menjerit dan menangis. Kalau sedang tantrum, apapun yang diminta harus terwujud detik itu juga. Kalau tidak, Raccel pasti mengamuk seperti saat ini.

Sejenak, Damien membiarkan Raccel menumpahkan emosinya. Setelah tenang, ia usap pipi gembilnya dengan sayang.

“Kenapa makan sayur tidak mau, makan daging tidak mau? Princess mau makan dengan apa?” tanya Damien lembut.

Pria yang terkenal kasar dan dingin itu, hanya bisa lembut di depan putri kecilnya.

“Hamburger!” jawab Raccel cepat.

“No! Itu bukan makanan yang sehat untukmu Princess!”

“Ihhh Daddy jahat!” teriak anak itu lagi-lagi dia marah.

Raccel meraih tangan Damien dan menggigitnya. Laki-laki itu hanya bisa diam dan membiarkannya.

Tumbuh tanpa sosok Ibu membuat Raccel menjadi anak yang keras kepala, mudah marah, dan sangat manja.

“Daddy bad! Daddy jahat! Tidak sayang Raccel lagi!” pekik anak itu sesenggukan. “Raccel mau punya Mommy, mau ikut Mommy saja! Tidak mau ikut Daddy! Daddy nakal!”

Mendengar itu, Damien seketika merasa kesal. Ia teringat pada sosok wanita yang sangat ia benci karena telah menelantarkan putri mereka.

Namun, Damien menahan diri. Dengan lembut ia mengusap pipi Raccel.

“Oke, kita beli hamburger. Tapi ingat pesan Daddy, jangan sebut-sebut soal Mommy lagi. Paham, Princess?”

Raccel mengerucutkan bibirnya kesal, sampai tiba-tiba muncul Thom dari arah depan.

Laki-laki berpakaian serba hitam itu mendekati Damien.

"Permisi, Tuan, di depan ada seseorang yang ingin melamar menjadi pengasuh Nona Raccel," ujar Thom melaporkan.

Damien menatap dua pelayan yang ada di sana. "Jaga Raccel sebentar," perintah laki-laki itu.

Raccel menatap Daddy-nya cemberut. "Daddy bad!"

Damien hanya tersenyum tipis. “Sebentar saja, Princess. Daddy akan kembali,” katanya sambil mengusap kepala Raccel.

Damien melangkah ke depan untuk menemui calon pengasuh baru putrinya.

Sementara di depan, sosok Dalena tengah duduk di ruang tamu rumah super megah.

Dalena gemetar, keringat dingin membasahi tangannya saat menatap ruangan itu dipenuhi foto-foto Damien dan si kecil Raccel.

"Cantiknya…" lirih Dalena, berkaca-kaca menatap foto menggemaskan Raccel. "Dia benar-benar memanjakan Raccel."

Perhatian Dalena teralihkan saat seorang pria tampan menghampirinya.

Jantung Dalena berdegup kencang hanya ditatap dengan iris cokelat itu.

Damien Escalante ….

"Selamat Siang, Tuan," sapa Dalena sambil sedikit membungkukkan badan. Setelah itu, ia mengulurkan tangan, meski tidak yakin apakah ulurannya akan disambut.

Kedua mata Damien terpaku pada paras cantik Dalena. Ia menatapnya cukup lama, lalu menjabat tangan yang terasa mungil dalam genggamannya.

Dalena gugup bukan main. Ia berusaha keras menekan rasa takutnya.

"T-Tuan…." lirih Dalena.

Tatapan mata Damien yang semula intens, kini sedikit memicing. Sepasang matanya menatap Dalena penuh selidik.

"Saya seperti tak asing dengan Anda,” katanya. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status