LOGINSuara deru AC yang terlalu keras menjadi satu-satunya bunyi. Mencoba menenggelamkan detak jantung mereka yang kini berpacu kencang seperti drum yang tak terkendali. Tak Rava, tak wanita di depannya itu, mereka sama-sama terdiam sesaat. Hingga kemudian suara lembut itu kembali membakar udara di antara mereka.“Iya … ini aku, Kayla.” Rava terkesiap dan langsung turun perlahan dari atas tempat tidur. “Kau … jadi kau benar-benar Ibu Kayla?” tanya Rava belum sepenuhnya percaya.“Apa aku setua itu sampai harus kau panggil ‘Ibu’ terus?” “Tidak … e … maksudku … bagaimana bisa? Lisa mana? Ke mana dia?” Rava melihat ke kiri dan ke kanan. Seperti mencari keberadaan Lisa yang tiba-tiba saja menghilang dari kamar penginapan itu.“Mana aku tahu. Kan aku sudah bilang padamu, aku tidak bisa mengendalikan kapan aku datang dan kapan aku pergi. Dan aku tidak tahu ke mana jiwa sang pelakor ini,” jelas Kayla.Rava terdiam dan terus memperhatikan Kayla yang juga berdiri seraya melihat ke arahnya. Pandang
“Lumayan,” jawab Lisa singkat. Masih terlalu gengsi untuk memuji makanan tersebut. Rava pun hanya tertawa pelan mendengarnya. Lalu kembali melanjutkan menyantap makanannya hingga habis tak tersisa. Selesai makan, mereka duduk sebentar sebelum kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Di luar, udara dingin kian menusuk hingga ke tulang. Lisa mendekap dirinya karena tubuh yang mulai menggigil. Ditambah pakainya yang memang terbuat dari kain sifon yang tipis, membuat kulitnya begitu mudah disapu angin. “Pakai ini.” Tanpa diminta, tiba-tiba saja Rava membuka jaket sport-nya dan langsung memberikannya kepada Lisa. “Tidak perlu.” Lisa menolak cepat. “Sudah jangan gengsi. Nanti kalau kau sakit, aku juga yang repot.” “Idih, kenapa harus kamu yang repot. Aku kan tidak minta kamu untuk merawatku.” Lisa memasang raut wajah sinis. “Sekarang tidak, tapi nanti … kau pasti akan membutuhkanku,” ucap Rava dengan penuh percaya diri. Ia lalu naik ke motornya dan langsung memakai helm.
Lisa benar-benar terkejut dengan apa yang Rava lakukan. Tak sangka jika pria itu akan berbuat sesuatu yang membuat mereka seperti mengulang kisah lama. Duduk dan jalan-jalan dengan motor sport itu, rasanya benar-benar seperti baru saja terjadi. "Rava, tidak harus peluk." Lisa berusaha untuk menolak. "Ya sudah terserah kau. Kalau jatuh tanggung sendiri." Rava mulai menarik gas motornya. Lisa tersentak. Dan dengan gerakan refleks ia pun terpaksa memeluk erat tubuh Rava. "Rava, jangan balap-balap. Nanti kopernya jatuh." Lisa memperingati mantan kekasihnya itu. "Kau tenang saja, aku sudah bertahun-tahun mengendarai motor ini. Tidak akan terjadi apa-apa dengan kita." "Tapi aku takut Rava." Lisa memejamkan mata dengan kepala yang bersandar pada punggung pria itu. Tak lama, mereka pun sudah tiba di tepi jalan utama. Di sana, suasana sedikri lebih ramai dari desa Lisa. Banyak kendaraan yang lalu lalang. Rava langsung menghentikan motornya di depan sebuah toko yang sudah tutup.
Bruk! Lisa jatuh karena menabrak tempat sampah. Tubuhnya langsung terguling di atas tumpukan sampah yang berserakan. Bau busuk dan amis langsung menyeruak dan menempel pada bajunya. "Aduh ... sakit?" erang Lisa. Ia melihat kepada siku tangannya yang sedikit lecet. Sementara para pria mabuk itu sudah semakin dekat. Lisa ingin bangkit, tapi energinya sudah terlanjur habis saat lari dan terjatuh. Ia pun mulai pasrah. Berharap ada keajaiban yang mau membantunya. Tak lama, tiga pria penenggak miras oplosan itu sudah berdiri di dekatnya. "Yah ... jatuh kan? Makanya jangan lari, Neng. Coba kalau Neng tidak menghindar, kan tidak akan jatuh seperti ini." Para pria itu tergelak. Mereka benar-benar terlihat bahagia. Seperti seseorang yang mendapatkan hasil pancingan berupa seekor ikan besar. Puas dan senang sekali. "Malam ini kita senang-senang," gumam salah seorang dari mereka. Pria itu bersiap, hendak menyentuh wajah Lisa. Akan tetapi, belum juga niatnya itu terealisasikan, dari
Hari semakin larut, menyisakan gelap yang pekat dan aroma malam yang kian mencekam. Di bawah bias minim lampu jalan yang temaram, Rava duduk tak bergerak di atas jok kokoh motor sport miliknya. Sebuah kuda besi hitam legam yang berkilauan pasif, memantulkan sedikit sisa cahaya. Kepulan asap rokok itu tampak seperti bayangan putih yang melayang dalam kegelapan. Keheningan yang mendalam hanya dipecah oleh tarikan napasnya yang sesekali. Dan kini, ada makhluk lain yang tengah berdiri di dekatnya. "Mau ke mana kau malam-malam begini?" tanyanya pada Lisa yang berdiri seperti patung tak jauh dari posisi motornya. "Hah, kamu lagi. Kok bisa ya, kamu ada di mana-mana? Sudah seperti hantu saja, ck!" Lisa terlihat kesal. "Sudah, tak perlu kamu tanya ke mana aku. Aku mau ke mana itu bukan urusanmu, urus saja dirimu sendiri," lanjutnya yang setelah itu kembali menarik koper. Rava tersenyum miring. Kemudian kembali menarik dalam-dalam filter rokoknya, sebelum akhirnya ia buang ke tempat sam
"Bangsat ...! Aku diusir seperti sampah." Lisa membuka pintu lemari dengan gerakan murka yang membabi buta. Amarahnya benar-benar tak terkendalikan lagi. Mengambil pakaiannya dengan cara acak dan berantakan. Di belakangnya, Brayan berdiri di pintu dengan tatapan heran. Terus memperhatikan sang selingkuhan yang sedang mengamuk seperti banteng. "Mau ke mana kau?" tanyanya. Posisi kedua tangannya sudah berada di dalam saku celana. "Jangan tanya-tanya!" teriak Lisa. Ia sudah selesai dengan baju-bajunya dan segera menutup koper. Mengangkat dan bersiap untuk menyeretnya keluar dari rumah itu. "Tadi Mas yang sudah usir aku," ucapnya lagi dengan tatapan tajam dan menikam. Sorot mata permusuhan begitu kentara di wajah yang dulu selalu merayu dan membuat laki-laki itu menjadi candu. "Aku tidak mengusirmu." "DIAAAMM!" teriak Lisa lagi. Dadanya kembang kempis karena marah. Jika tak ingat kalau yang di depannya ini adalah Brayan, pasti sudah habis ia pukuli. Kalau perlu, sampai mati sek







