Share

2 - Apa Aku Sudah Mulai Menyukai Om Galih?

Bening menguap berulangkali. Dia tidak bisa tidur. Entah kenapa di ruangan yang bukan tempat biasanya dia tidur membuat dia terjaga hingga pukul dua dini hari. Dia mengeluh, berkali-kali mengatur napas. Penyesalan mungkin ada, tapi dia yakin jika takdirnya memang begini.

Bening memutuskan untuk keluar dari kamar yang baru beberapa jam menjadi miliknya. Dia berniat mencari minuman dingin yang mungkin saja bisa membuatnya mengantuk. Bodohnya dia. Harusnya dia minum yang hangat supaya bisa cepat terlelap.

Kulkas di dapur bersih rumah itu, lebih tampak supermarket berjalan. Bening mengambil minuman kaleng dengan rasa jeruk peras asli, lalu membawanya naik. Di tengah perjalanan menuju lantai dua, dia penasaran dengan sesuatu. Wanita itu akhirnya merubah haluan kakinya menuju ke halaman belakang.

Halaman luas yang tampak kosong itu hanya berisi pepohonan, kolam renang dan ayunan. Bening tidak melihat adanya gazebo atau semacamnya.

"Sejuk," gumam Bening sembari berjalan. Dia duduk di tepi kolam renang dengan kaki menjuntai ke dalam air. Diteguknya minuman dalam genggamannya hingga separuh habis. Meskipun cuaca sudah memasuki musim kemarau, dengan udara dingin yang menusuk tulang, Bening tidak merasakan apapun. Malah tubuhnya terasa memanas. Aneh bukan?

Berselang beberapa menit, Bening merasakan seseorang mengalungkan kain pada bahunya. Wanita itu menoleh dengan mata membulat, takut kalau orang jahat berusaha menerjunkannya ke dalam kolam.

"Om Galih?" panggil Bening dengan suara yang hilang entah kemana.

Galih tersenyum. Dia ikut duduk di samping Bening. "Pagi buta begini kenapa di luar? Bukannya dingin?"

"Cari angin, Om," jawab Bening.

"Cari angin kalau pagi buta begini nggak baik buat kesehatan. Tidurlah!"

"Saya masih belum mengantuk, Om," tolak Bening.

"Kamu menyesal menikah dengan saya?"

"Sejujurnya saya juga nggak tahu. Saya masih merasa ini mimpi."

Galih mengangguk, paham dengan suasana hati Bening, "Saya juga merasa begitu karena saya tiba-tiba bisa menikah kamu, Bening. Mimpi apa semalam sampai saya sudah resmi menjadi suami kamu meskipun kamu belum mengakuinya secara langsung."

"Om memang suami saya," aku Bening.

"Kalau saya memeluk kamu boleh?"

Bening terperanjat. Dia ingin menolak karena takut terjadi sesuatu di antara mereka. Dia menganut prinsip harus melakukan sesuatu dengan hati dan cinta agar prosesnya terasa nikmat. Kalau dipaksa, pasti hambar.

"Ya sudah kalau nggak boleh," lanjut Galih tanpa menunggu Bening memutuskan.

"Maaf ya, Om," gumam Bening.

Galih menepuk dadanya sebagai tanda pujian untuk dirinya sendiri, "Nggak masalah. Menunggu bukan hal yang sulit."

Ketika tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka, Galih meminta Bening untuk kembali ke kamar begitu juga dengan dirinya.

°°°

"Kamu mau kemana? Nggak sarapan dulu?" tanya Galih pada Bening yang buru-buru pergi padahal belum sarapan. Makanan di meja makan juga masih utuh, hanya beberapa yang diambil oleh Galih.

Bening meminta maaf, "Saya harus ke kantor. Pagi ini ada rapat penting dengan klien, jadi sekalian sarapan bersama. Terimakasih tawarannya, Om."

Galih berdiri dan mengejar Bening sampai ke pelataran rumah, "Kamu yakin nggak mau sarapan? Atau karena ada saya?"

"Bukan begitu, Om. Saya memang benar-benar nggak bisa sarapan di rumah," ucap Bening menyesal.

"Baiklah. Hati-hati di jalan. Mobil kamu sudah dibawah ke sini semalam."

"Terimakasih, Om." Bening mengangguk pada Galih dan berlalu dengan cepat. Dia menghela napas lega setelah dia berhasil kabur dari Galih. "Kenapa aku takut berduaan dengan Om Galih?"

°°°

Bening memutar kursi kerjanya dengan gusar. Dia sudah berbohong pada Galih dan sekarang termakan omongannya sendiri. Rapat yang melelahkan membuat dia harus ekstra mengeluarkan tenaga. Padahal dia hanya makan bubur ayam semangkuk kecil karena tidak selera makan.

"Sudah selesai proposalnya?" tanya atasannya yang tidak lain adalah manager produksi. Sementara Bening, sekretaris manager produksi dan selalu siap jika diminta untuk ikut rapat. Dia harus menarikan jemarinya tanpa henti agar uraian dalam rapat tidak terlupakan.

"Sebentar lagi, Pak," ucap Bening dengan senyum lebar yang harus dia tunjukkan setiap saat.

"Saya tunggu sepuluh menit lagi. Kita masih ada pekerjaan soalnya. Produksi tas baru kita bakal launching, jadi kita pasti repot. Tolong siapkan segalanya kalau tidak atasan kita akan mengamuk. Kamu tahu sendiri kan gimana marahnya CEO kalau kita sedikit saja terlambat mengerjakan tugas?"

Bening mengangguk. Meskipun dia belum pernah melihat secara langsung siapa CEO perusahaan itu, dia yakin semua CEO juga akan memandang sesuatu secara sempurna. Tapi dia tidak suka atasan yang diktator. Kalau dia sampai melihat CEO perusahaan secara langsung, dia akan mengeluarkan uneg-unegnya bahwa para pegawai juga butuh energi lebih untuk beristirahat.

Bening tidak menyuarakan kekesalannya dan bersiap untuk menarikan jemarinya dengan lebih cepat. Dia tidak boleh sampai lembur.

°°°

Bening mendaratkan punggungnya di permukaan sofa dengan helaan napas panjang. Lelahnya luar biasa. Baru beberapa detik dia mengisyaratkan kepalanya, seseorang menempelkan minuman dingin pada keningnya. Bening ingin mengumpat tapi kepala Galih menyeruak dari belakang.

"Sedang memikirkan apa?" tanya Galih sembari melangkah untuk duduk di depan Bening. Muka kusut Bening membuat Galih yakin jika wanita itu sedan dalam mood yang tidak bagus.

"Pekerjaan. Lelah rasanya, Om," tukas Bening. Dia membuka penutup kaleng dan meneguknya tanpa permisi.

"Bos kamu galak?"

Bening yang meneguk sepertiga isi kaleng tersebut, menggenggam benda bulat itu dengan gelengan kepala, "Bukan galak, Om, tapi banyak pekerjaan. Apalagi CEO yang selalu minta tepat waktu untuk menyelesaikan tenggat pekerjaan. Ya, aku tahu kalau bekerja nggak boleh setengah-setengah tapi kan lelah rasanya." Tanpa sadar Bening mengeluarkan uneg-unegnya.

"Nah itu kamu tahu kalau bekerja harus full tenaga dan pikiran. Kenapa masih ribut?"

"Bukan ribut, Om, tapi menyuarakan isi hati. Kalau nggak, bisa stress aku," keluh Bening.

"Siapa bos kamu?"

"Aku hanya tahu namanya. Pak Junar, Om. Junar Setiadi kalau nggak salah. Itu CEO perusahaan tapi aku belum pernah melihatnya secara langsung," tukas Bening. Dia hanya karyawan rendah yang tidak mungkin bertemu CEO kecuali kalau dia diberi kesempatan. Meskipun dia sering ikut rapat tapi tidak pernah dia lihat Junar ikut serta.

Galih mengangguk paham. Dia tahu siapa Junar. "Kamu mau dapat jabatan bagus? Aku bisa bicara pada Junar soal kamu. Kalau dia tahu kamu istriku pasti dia akan menaikan jabatan kamu. Gimana?"

"Hah? Nepotisme? Nggak deh, Om. Aku bekerja senormalnya orang saja. Lebih baik pelan tapi hasil jerih payah sendiri daripada langsung naik tapi malah dihujat," tukas Bening masuk akal.

Galih terharu mendengar ucapan Bening. Dia memajukan tubuhnya, lalu mengulurkan lengan untuk meraup rambut depan Bening. "Bagus. Ini baru namanya anak pintar."

Deg!

Jantung Bening berlompatan merasakan sentuhan Galih. Pasalnya dia kurang belaian dari Genta karena pria itu sibuk berbisnis. Jadi, bukan salah Bening kalau wanita itu sedikit terpengaruh.

'Apa aku sudah mulai suka sama Om Galih? Ah, nggak mungkin. Paling aku hanya terpesona dengan ucapan bijaknya itu. Iya, pasti begitu' batin Bening.

°°°

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Qidam Okta
Keren abis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status