Share

3 - I-iya Om, Eh, Pak, Eh, Mas!

Dugh!

Bening menendang ban mobilnya yang kempes. Mendadak sekali mobilnya bermasalah padahal semalam baik-baik saja. Sudah pukul tujuh lebih tapi dia masih ada di rumah. Kalau di jalan macet, bisa-bisa dia terlambat. Lalu apa yang akan terjadi pada dirinya nanti? Atasannya, Junar, pasti akan mengamuk kalau pekerjaan yang harus dia selesaikan tiba-tiba terlambat diserahkan.

"Kenapa?" tanya Galih, pria itu sudah mengantongi kunci mobil dan siap berangkat ketika melihat Bening menendang ban tidak bersalah itu.

"Kempes, Om."

Galih menunduk, memperhatikan benda bulat penopang kelancaran jalan, lalu menggeleng ragu, "Bocor sepertinya."

"Yah, menyebalkan sekali." Bening menenteng tasnya ke bahu kanan. Dia berniat mencari taksi melalui aplikasi supaya lebih cepat. Tapi Galih tiba-tiba meraih tas ke dalam pelukan lengannya, "loh kok diambil, Om?"

"Ikut saya saja. Lagi pula perjalanan kita searah." ucap Galih sambil beralih pada mobilnya, lalu membuka pintu untuk Bening, "masuklah!"

Bening ragu. Dia tidak terlalu suka gagasan itu. "Aku naik taksi saja, Om."

"Kenapa? Lebih menghemat tenaga dan biaya kan kalau kita berjalan satu arah. Masuklah! Saya nggak mungkin gigit kamu," canda Galih. Dia mengisyaratkan Bening untuk masuk ke dalam mobilnya, gelengan kepalanya yang tidak sabar membuat Bening akhirnya melangkah masuk.

Galih meletakkan tas Bening di kursi belakang, lalu dia masuk ke pintu lain. Sebelum berangkat, dia memberikan senyuman tipis pada Bening. "Siap?"

"Si-siap, Om."

"Baik. Kita berangkat."

Selama perjalanan, Galih berusaha membuka pembicaraan tapi Bening tidak terlalu menanggapi. Canggung rasanya berada dalam satu mobil dengan Galih. Dia mengedarkan pandangannya ke sisi jalan, melihat orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya. Dia juga akan sibuk sebentar lagi, apa bedanya?

"Mau makan mie ayam nanti pulang kerja?" tanya Galih sebelum mereka turun dari mobil. Ide itu muncul begitu melihat Bening. Apa hubungannya? Tentu tidak ada. Mungkin Galih hanya ingin berduaan lebih lama dengan Bening.

"Kedengarannya bagus, Om," ucap Bening. Dia mengambil tasnya dan berjalan pergi. Dia pikir Galih akan berlalu tapi entah kenapa pria itu justru turun dan melangkah bersamanya, tepat di sisi kanan Bening. Pria itu juga membukakan pintu untuk Bening, tersenyum manis ketika Bening menatapnya bingung.

"Om, kenapa mengikuti saya?" tanya Bening bingung. Mereka berjalan perlahan, lebih tepatnya merayap karena Bening menunggu jawaban Galih. Diedarkannya pandangan ke sekitar, kalau-kalau dia menjadi pusat perhatian. Tapi dilihatnya keadaan sekitar aman terkendali. Bening menggeleng tanpa sadar, kenapa orang-orang harus mempedulikan dia? Dia juga hanya pegawai rendahan.

"Mau menyapa teman lama dulu."

"Pak Junar?" tebak Bening. Matanya membulat begitu memikirkan kemungkinan bahwa Galih akan memperkenalkannya sebagai istrinya di depan atasannya. "Jangan macam-macam, Om!"

"Siapa yang macam-macam? Saya hanya menyapa. Lagi pula lantai ruangannya sama lantai ruangan kamu beda kan?" tanya Galih dengan bahu terangkat.

"Tapi kan Om bisa bicara seenaknya kalau tidak ada saya. Benar kan?" tanya Bening curiga. Dia mengekori langkah Galih dengan kesusahan. Pria itu malah menekan tombol lift dan berniat untuk melakukan apa yang dia inginkan. Memangnya Galih tahu dimana ruangan Junar?

Belum juga mereka masuk lift, seseorang menepuk bahu Galih. Mereka menoleh bersamaan dan mendapati seorang pria dengan pakaian layaknya eksekutif memasang tampang ramah, terutama melihat Galih.

'Siapa?' batin Bening. Dia merasa terintimidasi dengan kehadiran pria tersebut. Seperti ada yang tertarik untuk berlaku sopan padanya.

"Galih? Kejutan sekali kamu datang ke sini," ucap pria berambut hitam kelam dengan gel rambut yang terpancar berkilauan. Dasi dengan pin menambah ketampanannya berikut tas kerja yang Bening yakin harganya tidak hanya satu atau dua juta rupiah saja.

Galih menepuk bahu pria itu pelan, "Hei, teman lama. Aku baru saja mau ke ruangan kamu."

'Baru saja mau ke ruangan kamu? Berarti pria ini Junar. Wah, atasan yang belum pernah aku lihat ada di depan mata. Tampan juga. Nggak terlalu tua. Mungkin usianya seperti Om Galih. Aku harus bersikap gimana ya? Menyapa? Atau aku hanya diam? Tapi kalau Om Galih benar-benar memperkenalkan aku sebagai istrinya gimana? Ya, meskipun kenyataannya itu benar. Tapi kan ... duh, Bening, kamu banyak berpikir' batin Bening bingung.

"Oh, ya? Ya udah kalau begitu kita naik sama-sama," ucap Junar senang.

Kebetulan sekali pintu lift terbuka dan mereka masuk. Awalnya Bening ingin menunggu dua pria itu pergi baru dia naik, tapi Galih menarik pergelangan tangannya agar dia tidak terjebak dalam kerumunan orang-orang yang menyapa Junar.

Junar melihat kedekatan mereka dengan bingung. "Kalian punya hubungan apa?"

Pintu lift tertutup. Hanya ada tiga orang di dalamnya.

Galih memeluk lengan Bening dengan erat, "Namanya Bening, wanita ini istriku."

"Kamu sudah menikah? Kenapa tidak ada undangan yang datang? Wah, kamu kejam sekali padaku, Galih," keluh Junar sembari memukul perut Galih tanpa niat untuk melukai.

Galih tertawa singkat, "Kejutan!"

"Oh, ngomong-ngomong istri kamu bekerja di bagian apa? Kenapa aku belum pernah melihatnya?" tanya Junar yang kemudian melirik ke arah Bening. Dia meyakini bahwa dia belum pernah melihat Bening di kantornya.

Galih menoleh pada Bening, dia sendiri tidak tahu bekerja di bagian mana istrinya. Dengan lembut, dia kembali bertanya, "Kamu bagian apa, Sayang?"

"Sekretaris manager produksi, Pak Junar," jawab Bening, mengabaikan pertanyaan Galih. Wanita itu justru menoleh pada Junar, berharap sang CEO mengingat wajahnya. Bukan karena dia ingin dikenal sebagai istri Galih, lebih tepatnya dia ingin Junar tahu siapa yang sering dia tekan untuk menyelesaikan pekerjaan. Bukan manager produksi yang sibuk tapi sekretarisnya yang selalu mendapat amukan.

Junar mengerutkan keningnya, seolah mengerti arti tatapan Bening. "Jadi, kamu sekretaris yang paling aktif di perusahaan ini? Saya dengar proposal kamu selalu bagus, laporan yang kamu buat juga tidak pernah mengecewakan meskipun terkadang terlambat beberapa menit. Saya senang bisa melihat pegawai berbakat sekaligus istri dari teman lama saya. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik." Junar mengulurkan tangannya lebih dulu pada Bening, begitu Bening membalasnya Junar cepat-cepat menarik tangannya.

Pria dengan penampilan yang sempurna itu berdehem, "Meskipun kamu istri teman saya, saya tidak akan menaikkan jabatan kamu kecuali kalau kamu berbakat dan mendapat prestasi. Kamu pasti tahu bagaimana sifat saya bukan?"

Bening juga tahu itu, "Saya juga tidak meminta kenaikan jabatan, Pak. Tapi saya punya uneg-uneg yang ... duh, kok ditendang sih, Om?"

"Om?" tanya Junar tanpa sadar ketika mendengar sapaan Bening. Dia memandang Galih dengan ekspresi bertanya, "Om?"

Galih malu jika dirinya menikah karena terpaksa. Dia mencari alasan yang lebih masuk akal pada Junar, "Panggilan kesayangan, bukan begitu, Bening?"

'Panggilan kesayangan? Ish, siapa yang bicara begitu?' batin Bening.

"Bukan begitu, Bening?" desak Galih dengan usapan lembut pada pinggang wanita itu.

"I-iya, Om, eh, Pak, eh, Mas," gumam Bening dengan semburat keengganan.

Junar tertawa terbahak-bahak melihatnya.

°°°

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status