Dugh!
Bening menendang ban mobilnya yang kempes. Mendadak sekali mobilnya bermasalah padahal semalam baik-baik saja. Sudah pukul tujuh lebih tapi dia masih ada di rumah. Kalau di jalan macet, bisa-bisa dia terlambat. Lalu apa yang akan terjadi pada dirinya nanti? Atasannya, Junar, pasti akan mengamuk kalau pekerjaan yang harus dia selesaikan tiba-tiba terlambat diserahkan."Kenapa?" tanya Galih, pria itu sudah mengantongi kunci mobil dan siap berangkat ketika melihat Bening menendang ban tidak bersalah itu."Kempes, Om."Galih menunduk, memperhatikan benda bulat penopang kelancaran jalan, lalu menggeleng ragu, "Bocor sepertinya.""Yah, menyebalkan sekali." Bening menenteng tasnya ke bahu kanan. Dia berniat mencari taksi melalui aplikasi supaya lebih cepat. Tapi Galih tiba-tiba meraih tas ke dalam pelukan lengannya, "loh kok diambil, Om?""Ikut saya saja. Lagi pula perjalanan kita searah." ucap Galih sambil beralih pada mobilnya, lalu membuka pintu untuk Bening, "masuklah!"Bening ragu. Dia tidak terlalu suka gagasan itu. "Aku naik taksi saja, Om.""Kenapa? Lebih menghemat tenaga dan biaya kan kalau kita berjalan satu arah. Masuklah! Saya nggak mungkin gigit kamu," canda Galih. Dia mengisyaratkan Bening untuk masuk ke dalam mobilnya, gelengan kepalanya yang tidak sabar membuat Bening akhirnya melangkah masuk.Galih meletakkan tas Bening di kursi belakang, lalu dia masuk ke pintu lain. Sebelum berangkat, dia memberikan senyuman tipis pada Bening. "Siap?""Si-siap, Om.""Baik. Kita berangkat."Selama perjalanan, Galih berusaha membuka pembicaraan tapi Bening tidak terlalu menanggapi. Canggung rasanya berada dalam satu mobil dengan Galih. Dia mengedarkan pandangannya ke sisi jalan, melihat orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya. Dia juga akan sibuk sebentar lagi, apa bedanya?"Mau makan mie ayam nanti pulang kerja?" tanya Galih sebelum mereka turun dari mobil. Ide itu muncul begitu melihat Bening. Apa hubungannya? Tentu tidak ada. Mungkin Galih hanya ingin berduaan lebih lama dengan Bening."Kedengarannya bagus, Om," ucap Bening. Dia mengambil tasnya dan berjalan pergi. Dia pikir Galih akan berlalu tapi entah kenapa pria itu justru turun dan melangkah bersamanya, tepat di sisi kanan Bening. Pria itu juga membukakan pintu untuk Bening, tersenyum manis ketika Bening menatapnya bingung."Om, kenapa mengikuti saya?" tanya Bening bingung. Mereka berjalan perlahan, lebih tepatnya merayap karena Bening menunggu jawaban Galih. Diedarkannya pandangan ke sekitar, kalau-kalau dia menjadi pusat perhatian. Tapi dilihatnya keadaan sekitar aman terkendali. Bening menggeleng tanpa sadar, kenapa orang-orang harus mempedulikan dia? Dia juga hanya pegawai rendahan."Mau menyapa teman lama dulu.""Pak Junar?" tebak Bening. Matanya membulat begitu memikirkan kemungkinan bahwa Galih akan memperkenalkannya sebagai istrinya di depan atasannya. "Jangan macam-macam, Om!""Siapa yang macam-macam? Saya hanya menyapa. Lagi pula lantai ruangannya sama lantai ruangan kamu beda kan?" tanya Galih dengan bahu terangkat."Tapi kan Om bisa bicara seenaknya kalau tidak ada saya. Benar kan?" tanya Bening curiga. Dia mengekori langkah Galih dengan kesusahan. Pria itu malah menekan tombol lift dan berniat untuk melakukan apa yang dia inginkan. Memangnya Galih tahu dimana ruangan Junar?Belum juga mereka masuk lift, seseorang menepuk bahu Galih. Mereka menoleh bersamaan dan mendapati seorang pria dengan pakaian layaknya eksekutif memasang tampang ramah, terutama melihat Galih.'Siapa?' batin Bening. Dia merasa terintimidasi dengan kehadiran pria tersebut. Seperti ada yang tertarik untuk berlaku sopan padanya."Galih? Kejutan sekali kamu datang ke sini," ucap pria berambut hitam kelam dengan gel rambut yang terpancar berkilauan. Dasi dengan pin menambah ketampanannya berikut tas kerja yang Bening yakin harganya tidak hanya satu atau dua juta rupiah saja.Galih menepuk bahu pria itu pelan, "Hei, teman lama. Aku baru saja mau ke ruangan kamu."'Baru saja mau ke ruangan kamu? Berarti pria ini Junar. Wah, atasan yang belum pernah aku lihat ada di depan mata. Tampan juga. Nggak terlalu tua. Mungkin usianya seperti Om Galih. Aku harus bersikap gimana ya? Menyapa? Atau aku hanya diam? Tapi kalau Om Galih benar-benar memperkenalkan aku sebagai istrinya gimana? Ya, meskipun kenyataannya itu benar. Tapi kan ... duh, Bening, kamu banyak berpikir' batin Bening bingung."Oh, ya? Ya udah kalau begitu kita naik sama-sama," ucap Junar senang.Kebetulan sekali pintu lift terbuka dan mereka masuk. Awalnya Bening ingin menunggu dua pria itu pergi baru dia naik, tapi Galih menarik pergelangan tangannya agar dia tidak terjebak dalam kerumunan orang-orang yang menyapa Junar.Junar melihat kedekatan mereka dengan bingung. "Kalian punya hubungan apa?"Pintu lift tertutup. Hanya ada tiga orang di dalamnya.Galih memeluk lengan Bening dengan erat, "Namanya Bening, wanita ini istriku.""Kamu sudah menikah? Kenapa tidak ada undangan yang datang? Wah, kamu kejam sekali padaku, Galih," keluh Junar sembari memukul perut Galih tanpa niat untuk melukai.Galih tertawa singkat, "Kejutan!""Oh, ngomong-ngomong istri kamu bekerja di bagian apa? Kenapa aku belum pernah melihatnya?" tanya Junar yang kemudian melirik ke arah Bening. Dia meyakini bahwa dia belum pernah melihat Bening di kantornya.Galih menoleh pada Bening, dia sendiri tidak tahu bekerja di bagian mana istrinya. Dengan lembut, dia kembali bertanya, "Kamu bagian apa, Sayang?""Sekretaris manager produksi, Pak Junar," jawab Bening, mengabaikan pertanyaan Galih. Wanita itu justru menoleh pada Junar, berharap sang CEO mengingat wajahnya. Bukan karena dia ingin dikenal sebagai istri Galih, lebih tepatnya dia ingin Junar tahu siapa yang sering dia tekan untuk menyelesaikan pekerjaan. Bukan manager produksi yang sibuk tapi sekretarisnya yang selalu mendapat amukan.Junar mengerutkan keningnya, seolah mengerti arti tatapan Bening. "Jadi, kamu sekretaris yang paling aktif di perusahaan ini? Saya dengar proposal kamu selalu bagus, laporan yang kamu buat juga tidak pernah mengecewakan meskipun terkadang terlambat beberapa menit. Saya senang bisa melihat pegawai berbakat sekaligus istri dari teman lama saya. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik." Junar mengulurkan tangannya lebih dulu pada Bening, begitu Bening membalasnya Junar cepat-cepat menarik tangannya.Pria dengan penampilan yang sempurna itu berdehem, "Meskipun kamu istri teman saya, saya tidak akan menaikkan jabatan kamu kecuali kalau kamu berbakat dan mendapat prestasi. Kamu pasti tahu bagaimana sifat saya bukan?"Bening juga tahu itu, "Saya juga tidak meminta kenaikan jabatan, Pak. Tapi saya punya uneg-uneg yang ... duh, kok ditendang sih, Om?""Om?" tanya Junar tanpa sadar ketika mendengar sapaan Bening. Dia memandang Galih dengan ekspresi bertanya, "Om?"Galih malu jika dirinya menikah karena terpaksa. Dia mencari alasan yang lebih masuk akal pada Junar, "Panggilan kesayangan, bukan begitu, Bening?"'Panggilan kesayangan? Ish, siapa yang bicara begitu?' batin Bening."Bukan begitu, Bening?" desak Galih dengan usapan lembut pada pinggang wanita itu."I-iya, Om, eh, Pak, eh, Mas," gumam Bening dengan semburat keengganan.Junar tertawa terbahak-bahak melihatnya.°°°Junar tidak bisa berhenti tertawa melihat ekspresi Galih yang menahan malu. Bagaimana tidak? Tampang Bening tidak bisa berbohong mengenai hubungan mereka. Kalau Junar percaya ucapan Bening, itu sama saja dia yang bodoh.Galih mendesis, "Sialan! Puas menertawakanku?"Junar menghapus setitik air mata karena tawanya yang tidak berujung itu dengan ujung jari, lalu dia mengatupkan dua telapak tangannya dalam satu tangkupan. "Puas sekali. Bagaimana kamu bisa menikahi wanita yang tujuh tahun di bawah kamu? Atau jangan-jangan kamu main dukun? Kelihatan sekali kalau dia nggak suka sama kamu."Galih mendaratkan punggungnya pada sofa, "Ya, kamu benar. Bening memang nggak suka padaku karena usiaku ini. Selain itu, kami juga nggak punya ikatan sebelumnya. Wajar kalau dia memanggilku Om."Junar menyesal kopinya setelah sebelumnya menghirup aromanya yang menenangkan. Di meletakkan kembali cangkir tehnya, lalu berkata, "Kamu memaksanya?""Bukan begitu. Aku hanya memberikan pilihan dan dia menerima. S
'Om Galih berusaha menggodaku? Apa tadi katanya? Dia belum makan malam hanya karena menungguku? Menakjubkan. Jantungku bahkan melompat dari sarangnya karena ucapan itu' batin Bening.Galih mengibaskan telapak tangannya di depan Bening, "Melamun? Ayo, bergeraklah! Aku sudah lapar."Bening tergagap, "Em, kita makan di bawah saja, Om." Wanita itu mana mungkin memasukkan Galih ke dalam kamarnya. Yang ada dia tidak bisa fokus makan. "Di dalam saja. Kejauhan kalau harus turun lagi." Galih membuka pintu kamar Bening lebih dulu, memastikan bahwa Bening bisa masuk dengan aman. Lalu dia menutup pintu tersebut. Pria itu lebih dulu melangkah ke arah balkon setelah membawa nampan tersebut, meskipun Bening bisa membawanya dengan mudah. Galih menaruh nampan tersebut ke atas meja, lalu memperbaiki kursi agar posisinya nyaman. "Duduklah!"Bening menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia duduk dengan kikuk. Melihat Galih yang tergoda dengan penampakan makanan di depannya membuat pria itu menelan luda
Pergi? Oh, tidak. Itu sama saja dengan penghinaan baginya. Bening memasang muka datar, namun sarat akan janji bahwa dia bisa bekerja dimanapun dia berada."Pak Galih tenang saja. Saya bukan tipe orang yang suka berdalih. Saya akan bekerja dengan sangat baik tapi saya tidak akan pernah mau menolerir kalau seandainya bapak melakukan nepotisme pada karir saya lagi. Saya permisi dulu, Pak Galih," tandas Bening. Dia membalikkan tubuhnya seiring dengan senyum dikulum Galih. Akhirnya Galih bisa membuat Bening tidak lagi protes. Wanita itu pasti akan menunjukkan seberapa besar bakatnya dalam dunia perkantoran. Junar pernah mengatakan padanya bahwa Bening termasuk pegawai yang teladan hanya saja dia sering memberontak jika pekerjaan yang seharusnya sudah selesai malah diminta untuk merevisi. Meskipun begitu dalam hitungan jam, tugas-tugas itupun selesai."Aku yakin kamu akan terbiasa dengan kedekatan kita, Bening. Saat itulah aku yakin berhasil membuat kamu lepas dari Genta sepenuhnya," gumam
"Ini nggak seperti yang bapak, eh, maksudnya Om pikirkan," ucap Bening salah tingkah. Dahi Genta mengerut, dia berpikir bahwa hubungan Bening dan Galih tidak semulus yang dia bayangkan. Pria itu tidak ingin minta maaf pada Galih karena apa yang dia lakukan bukan suatu kejahatan. "Senang bertemu kalian lagi di tempat ini.""Gimana kabar kamu, Genta?" tanya Galih. Basa-basi kah?Genta menyeringai, "Baik. Sangat baik. Makanya aku datang ke tempat ini untuk mengenang masa lalu, Om Galih.""Masa lalu?"Genta melirik Bening, "Ternyata kamu masih suka datang ke tempat ini? Kupikir kamu akan menghindari tempat favorit kita, Bening."Bening bungkam. Ada rasa asing yang menyelusup dalam hatinya. Rasa tidak ingin mengatakan sesuatu. Dia takut jika Galih berpikir yang bukan-bukan. Alasannya datang ke sana bukan karena dia ingin mengenang masa lalu, tapi dia memang ingin batagor. Apakah alasannya akan tepat?Galih berdehem selagi melihat kediaman Bening. Dia kemudian mengapit lengan Bening, memba
Galih mengerjakan berulangkali untuk mencerna apa yang dia dengar. Apakah Bening sedang berusaha membuat dirinya bersikap lebih baik?"Terkadang bukan anak kecil saja yang butuh dibujuk," ucap Galih santai. Kemarahannya menguap begitu saja. Dia lega karena Bening memikirkannya sampai menangis dan tidak bisa tidur.Bening merengut, "Belum diobati juga?""Belum.""Ikut aku kalau begitu!"Bening membalikkan tubuhnya lebih dulu. Ketika dia tidak mendengar langkah kaki mengikutinya, dia kembali berbalik, "Kenapa masih di sana? Kalau Om nggak mau, aku balik ke kamar lagi nih!"Galih bergerak cepat untuk menyusul langkah Bening. Dalam hatinya dia ingin mencubit bibir manyun yang sudah membuat hatinya berbunga-bunga malam ini.Mereka duduk di ruang televisi, saling berhadapan dengan Bening yang sibuk mengutak-atik kotak obat di pangkuannya. Dia mencari salep yang bisa dia gunakan untuk memudarkan warna lebam di wajah Galih. "Tolong tutup mata, Om!" pinta Bening."Kenapa?""Karena aku malu ka
"Kenapa?" tanya Galih dengan suara parau.Dua pria yang dikenal sebagai manager keuangan dan wakil manager produksi terlihat kikuk ketika masuk ke dalam lift. Belum lagi seorang wanita yang Galih tidak ingat siapa namanya. Bening mendengus samar. Posisinya menyempil ke bagian kanan, kepalanya menunduk malu. Apakah mereka semua melihat apa yang sedang dia lakukan bersama atasannya? Yang menjadi pertanyaan apakah semua orang di kantor itu mengenalnya sebagai istri Galih? Tidak mungkin. Kalau iya, pasti dia disapa dengan sangat ramah. Diam-diam Galih mencengkeram jari-jari Bening tanpa mengalihkan pandangannya. "Kalian tadi melihat apa?" tanya Galih pada bawahannya.Tiga orang itu saling pandang, lalu adu bisikan. Mereka harus mencocokkan jawaban agar Galih tidak curiga. "Em, nggak melihat apa-apa, Pak," jawab sang manager keuangan. "Iya, saya juga tidak melihat apapun," sahut sang wakil manager produksi. Sang wanita juga sama. Dia tidak melihat apapun. Itu hanya sebuah kiasan kare
Bening uring-uringan setelah mendengar ucapan yang tidak masuk akal dari Galih. Malam pertama? Bagaimana dia bisa menghadapi Galih kalau hatinya saja masih bersama Genta. Harusnya dia tidak bermain api tadi. Tinggal bilang iya apa susahnya?"Semua salah kamu, Bening," gumam Bening seorang diri. Dia menepuk kepalanya yang kerasnya bagai batu."Ibu Bening salah apa?" tanya seseorang yang tidak asing. Josua duduk di depan Bening senyum cerahnya. Ada apa dengan pria itu? Kenapa dia tahu Bening ada dimana? Padahal lobby itu masih sepi mengingat semua orang sedang makan siang. Galih mengajaknya makan siang, tapi Bening beralasan pusing dan tidak mau pergi ke luar kantor. "Kalau begitu biar saya saja yang membelikan kamu makan siang. Kamu mau apa? Nasi padang, mie goreng, atau apa?" Begitulah pria itu menyebutkan semua jenis makanan dari yang paling murah sampai ke harga jutaan rupiah untuk sekali makan. "Bu Bening?" panggil Josua bingung. "Em, kamu tanya apa? Eh, maksud saya Pak Josua ta
"Ini sudah kelewatan, Om," tukas Bening. Tangannya memegang bahu Genta, memastikan bahwa mantan kekasihnya itu baik-baik saja. Wanita itu menjadi penengah ketika suaminya mencoba menghajar Genta habis-habisan. Di ujung sana, Galih berusaha meredam amarahnya dengan mencoba mengulangi proses pernapasan normal. Menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya dengan teratur. Tapi melihat kedekatan Bening dan Genta, mustahil emosinya akan mudah surut."Om sengaja menjebakku untuk datang bukan?" tanya Genta sengit. Apa yang dia coba lakukan? Sikapnya tidak terlalu menggebu-gebu bahkan ketika dia dipukul, dia tidak mencoba melawan. Bening terpaku mendengar alasan Genta. Dia menoleh pada Galih, "Apa maksudnya ini?""Om Galih sengaja menyuruhku datang hanya untuk memukuliku," aku Genta. Kini, Bening sepenuhnya menghadap Galih. Dia tidak pernah menyangka jika orang sedewasa Galih bisa berbuat kecurangan. "Aku nggak suka cara Om.""Aku hanya ingin tahu apa kalian masih punya ikatan itu? Aku mel