Bening uring-uringan setelah mendengar ucapan yang tidak masuk akal dari Galih. Malam pertama? Bagaimana dia bisa menghadapi Galih kalau hatinya saja masih bersama Genta. Harusnya dia tidak bermain api tadi. Tinggal bilang iya apa susahnya?"Semua salah kamu, Bening," gumam Bening seorang diri. Dia menepuk kepalanya yang kerasnya bagai batu."Ibu Bening salah apa?" tanya seseorang yang tidak asing. Josua duduk di depan Bening senyum cerahnya. Ada apa dengan pria itu? Kenapa dia tahu Bening ada dimana? Padahal lobby itu masih sepi mengingat semua orang sedang makan siang. Galih mengajaknya makan siang, tapi Bening beralasan pusing dan tidak mau pergi ke luar kantor. "Kalau begitu biar saya saja yang membelikan kamu makan siang. Kamu mau apa? Nasi padang, mie goreng, atau apa?" Begitulah pria itu menyebutkan semua jenis makanan dari yang paling murah sampai ke harga jutaan rupiah untuk sekali makan. "Bu Bening?" panggil Josua bingung. "Em, kamu tanya apa? Eh, maksud saya Pak Josua ta
"Ini sudah kelewatan, Om," tukas Bening. Tangannya memegang bahu Genta, memastikan bahwa mantan kekasihnya itu baik-baik saja. Wanita itu menjadi penengah ketika suaminya mencoba menghajar Genta habis-habisan. Di ujung sana, Galih berusaha meredam amarahnya dengan mencoba mengulangi proses pernapasan normal. Menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya dengan teratur. Tapi melihat kedekatan Bening dan Genta, mustahil emosinya akan mudah surut."Om sengaja menjebakku untuk datang bukan?" tanya Genta sengit. Apa yang dia coba lakukan? Sikapnya tidak terlalu menggebu-gebu bahkan ketika dia dipukul, dia tidak mencoba melawan. Bening terpaku mendengar alasan Genta. Dia menoleh pada Galih, "Apa maksudnya ini?""Om Galih sengaja menyuruhku datang hanya untuk memukuliku," aku Genta. Kini, Bening sepenuhnya menghadap Galih. Dia tidak pernah menyangka jika orang sedewasa Galih bisa berbuat kecurangan. "Aku nggak suka cara Om.""Aku hanya ingin tahu apa kalian masih punya ikatan itu? Aku mel
Suasana macam apa ini? Bening benar-benar tidak bisa tidur saat di sampingnya terisi oleh seseorang yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Dia terbiasa sendiri, tiba-tiba tidak ada ruang kosong rasanya kikuk.Bening memiringkan tubuhnya membelakangi Galih. Dia tidak berani menimbulkan suara berisik meskipun hanya sekedar gesekan pakaiannya dan selimut berwarna cerah itu. Hembusan napasnya bahkan tidak terdengar sama sekali. Jangan-jangan wanita itu justru menahan napasnya. Galih menoleh, memastikan bahwa Bening baik-baik saja. "Kamu kenapa?"Bening mengerjap, apa Galih bicaranya padanya?"Sudah tidur?"Bening berdehem, "Bel, eh, sudah, Om. Kenapa? Om butuh sesuatu?""Nggak. Hanya saja kamu terlihat gusar. Kamu nggak suka aku ada di sini?" Galih membalikkan tubuhnya persis menghadap punggung Bening. Bening mengumpat dalam hati. Hembusan napas Galih terasa sampai ke punggungnya. Kegugupannya semakin besar dan dia tidak bisa meminta Galih untuk menyingkir. "Suka, Om," jawab Bening s
Karisma, Mama Galih, yang juga kakak kandung dari orangtua Genta, memang sempat bersitegang karena pernikahan Galih. Sejujurnya Fitri tidak ambil pusing, tapi karena sifat yang tidak mau kalah Fitri membuat wanita itu tidak bisa menerima.Karisma mengenal Bening dari lama. Dia dikenalkan oleh Genta sekali waktu itu. Karisma tidak punya pendapat apapun tentang Bening karena dia masa bodoh. Setelah Galih meminta restu darinya untuk menikah dengan Bening, barulah dia mempertanyakan bagaimana hubungan mereka. "Saling mengenal dalam rumah tangga itu penting. Jadi, masalah anak bisa dibicarakan," tutur Galih. Dia membawa Karisma untuk duduk sementara dia pergi ke kamarnya untuk mandi lebih dulu. Bening membawa secangkir teh dengan suhu air yang tidak terlalu panas. Dia duduk di samping Karisma, meletakkan cangkir tersebut, berniat mendekati mertuanya. "Mama suka teh kan?" tanyanya pelan. Dari jarak dekat, wajah Karisma terlihat lebih kentara. Lekukan keriput yang tidak bisa menipu meskip
Dalam sebuah artikel di situs dewasa yang tidak sengaja muncul di beranda pencarian, Bening mempunyai ide gila untuk membuat sang suami terpesona padanya. Sungguh, dia tidak pernah berpikiran kotor meskipun dia sudah berpacaran dengan Genta selama lima tahun. Anggap saja selama itu mereka hanya proses memupuk cinta sejati. Begitu melihat deretan lingerie berwarna cerah yang terpajang di manekin, hasrat untuk membelinya sangat tinggi. Bening melihat harga yang terselip di sana, tidak terlalu mahal untuk satu set pakaian berbahan satin. "Ini keluaran terbaru, Bu," ucap sang pramuniaga dengan sopan. Bening terperanjat, "Eh, oh, iya, Mbak.""Ada warna lain kalau memang ibu berminat. Ungu, merah muda, merah marun, biru tua, hitam juga ada. Kalau yang dipajang di sini warna best seller, Bu," ucap sang pramuniaga dengan name tag Susi itu. Bening mengerjap bingung. Dia belum sepenuhnya ingin membeli tapi wanita itu menjelaskan secara rinci. "Bahannya dari satin premium kualitas nomor sat
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" tanya Kasih yang bergegas menghampiri meja makan. Dia baru pergi beberapa menit tapi Fitri sudah berbuat ulah. "Kamu ngapain Bening, Fitri?"Fitri menghendikkan bahunya, pura-pura tidak tahu, "Aku nggak melakukan apapun, Mbak. Dia saja yang bersikap sok tersakiti."Bening diam. Tangan kanannya yang mengusap pipinya perlahan turun. Saat itulah Galih datang untuk memastikan istrinya baik-baik saja. "Aku nggak apa-apa, Om, em, Mas," ucap Bening. Fitri mendesis, "Panggil suaminya saja masih Om? Emangnya kamu pikir Galih Om kamu?""Mama, apa-apaan ini?" sela Genta. Dia baru datang karena ada acara mendadak. Seharusnya dia datang lebih awal bersama keluarganya. Pria itu memandang Bening yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. "Kamu menuduh mama?" sentak Fitri, dia sudah menduga bahwa Genta akan mendukung Bening dari pada dirinya.Kondisi benar-benar tidak menyenangkan. Suami Fitri -Tsabbit- muncul dengan kebingungan. "Ada apa ini, Ma? Kenapa ribut-ribut
"Oh, obrolan tadi? Bening sudah cerita. Kamu nggak perlu menyombongkan pembicaraan kalian," sahut Galih dengan senyum bijaknya. Selebihnya pria itu berusaha menenangkan Bening bahwa dia baik-baik saja.Genta mengumpat dalam hati. Dia berniat membuat mereka bertengkar tapi malah tidak terjadi apa-apa. "Em, baguslah. Kupikir om dan Bening bukan suami istri yang saling berbagi cerita.""Tentu saja nggak mungkin. Dalam pernikahan nggak ada yang namanya rahasia. Bukan begitu, Sayang?" tanya Galih manja pada istrinya.Bening mengangguk. Sejujurnya dia takut kalau Galih marah, tapi kelapangan hati Galih seluas samudera. Apa jangan-jangan Galih bukan manusia?°°°"Lelah?" tanya Galih. Kakinya melangkah ke arah gazebo samping, dimana istrinya sedang sendiri. Suasana malam yang terlihat agak mendung, semakin diperparah dengan angin sepoi-sepoi yang dingin. Dilihatnya Bening tidak membawa jaket, pria itu panik. "Aku ke dalam sebentar."Bening mengangguk.Galih kembali masuk, meminta selimut ata
"Hah? Aku? Aku yang buka?" tanya Galih dengan kebingungan. Mimik mukanya persis kucing yang menunggu diberi ikan pemiliknya. Kode hijau sudah berkibar?"Iya. Aku malas. Kalau nggak aku lepas sendiri deh. Lama sekali," keluh Bening. Dia sudah berniat menggerakkan tubuhnya tapi Galih menahannya. "Apa?""Aku saja.""Oke."Perlahan Galih melepaskan sepatu olahraga yang menempel pada kaki Bening lalu menarik kaus kaki berwarna merah muda itu. Melihat kaki jenjang istrinya yang mulus, membuat pikiran Galih teralihkan. Hari pertama menginap di hotel, Galih membawa Bening untuk jogging dan bermain sebentar di area gym. Bening yang belum terbiasa memainkan alat-alat fitness hanya bisa pasrah ketika suaminya memaksa. Setelah sampai di kamar, wanita itu bergegas naik ke tempat tidur tanpa melepas sepatu. Galih tipe pria yang selalu suka dengan kemudahan hidup, melihat Bening tersiksa dengan kakinya, dia menawarkan diri melepasnya.Tapi, ketika dia berjongkok di depan istrinya, sesuatu yang mul