"Nggak ada yang bisa kubicarakan sama Ayah."Setiap kali Anrez menunjukkan ekspresi seperti itu, pasti tidak ada kabar baik yang datang. Aura pun malas membuang waktu dengannya.Dia berdiri dan melambaikan tangan, berkata, "Kalau Ghea nggak ada, ya sudah. Aku balik saja besok. Masih ada urusan."Wajah Anrez langsung berkerut karena tak senang dengan sikap Aura. Namun, Aura tak peduli. Lagi pula, Anrez jarang bersikap baik padanya. Kalaupun baik, pasti ada udang di balik batu. Entah rencana apa lagi kali ini, yang jelas dia tak akan terpancing.Namun, saat baru melangkah ke pintu, dia ditahan oleh Anrez. Ketika hendak berbicara, mata Anrez malah tertuju pada bajunya yang tampak sobek. Dia menekan bibir, lalu bertanya, "Kamu habis ngapain di luar?""Baju bisa sampai sobek begitu. Memalukan." Wajahnya serius, tatapannya seperti ayah yang tegas.Sayangnya, Aura tahu dia tidak benar-benar peduli. Dia cuma takut anaknya mempermalukan nama keluarga.Aura menoleh, baru sadar bagian belakang ba
Begitu mendengar nama Daffa, Aura langsung merasa tidak nyaman. Dia tiba-tiba teringat yang dikatakan oleh Kasih hari ini. Ghea dipaksa aborsi oleh Daffa dan sudah menangis seharian penuh di rumah.Aura mengatupkan bibir, lalu berkata dengan nada tegas pada Lulu, "Jangan pernah sebut-sebut nama orang itu di depanku lagi. Aku bisa muntah saking jijiknya."Sebelumnya, dia mengira Daffa hanyalah cowok kaya playboy biasa. Berengsek, tetapi belum bisa dibilang jahat.Namun, sekarang apa yang dilakukan Daffa benar-benar membuat orang muak. Meskipun begitu, Ghea juga sama busuknya.Kini masalah perusahaan sudah selesai, sudah waktunya dia pulang untuk melihat ayah tercintanya dan Ghea yang sedang hancur hatinya.Setelah mengakhiri telepon dengan Lulu, Aura langsung meminta sopir mengantar ke vila Keluarga Tanjung. Saat tiba, gerbang rumah tampak tertutup rapat, suasananya dingin dan sepi.Aura mengangkat sedikit alisnya, turun dari mobil, lalu mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu dibuka o
Aura berseru pelan, lalu menoleh menatap Jose.Jose mengangkat sedikit kelopak matanya. "Sampai kamu menargetkan Vitto?"Aura langsung memutar otak. Kemudian, dia mulai berpura-pura sedih. "Kalau bukan demi perusahaan, siapa juga yang mau ketemu dia."Aura mendekat sedikit ke arah Jose, menghela napas panjang. "Pak Jose, aku ini sampai hampir nggak bisa makan. Boleh minta sebutir nasi nggak?"Jose meliriknya sekilas, kali ini dengan sorot mata sedikit nakal. "Kamu sudah yakin?"Aura terdiam sesaat. Dia tidak bodoh. Dia tahu betul bahwa Jose sedang membahas hal yang dulu mereka sepakati.Waktu itu, Jose sempat mengusulkan agar hubungan mereka berlanjut. Namun, Aura menolaknya.Dia tak menyangka, ternyata Jose ini sangat pendendam. Toh dia juga bukan perempuan mulia. Jika bersama Jose, sebenarnya dirinya tidak rugi.Jose ganteng, tinggi, badannya bagus, benar-benar tipe idaman Aura. Namun, dulu dia mendengar Jose akan bertunangan dengan Kaley. Makanya, dia tidak ingin menjadi pelakor yan
Melihat Jose, Aura benar-benar merasa lega.Jose menunduk, melihat lengan bajunya yang ditarik oleh Aura, lalu diam sesaat sebelum menoleh ke arah Vitto."Pak Vitto, sudah lama nggak bertemu," sapa Jose.Vitto sama sekali tidak menyangka Jose akan membela Aura. Dia tertegun sesaat, lalu segera bangkit dengan susah payah dan tersenyum menjilat, "Pak Jose, aku ... aku cuma bercanda sama Bu Aura."Jose menaikkan alis. "Oh? Bercanda ya?"Dia menunduk sedikit, menatap Aura yang berantakan. Aura selalu menjaga penampilannya. Rambut yang biasanya tertata rapi sekarang tampak acak-acakan.Jose kembali memandang Vitto dengan alis terangkat tinggi. "Kalau ini cuma bercanda, berarti Pak Vitto nggak keberatan kalau kita teruskan candaan ini ya?"Vitto menelan ludah, bingung. "Maksud Pak Jose ...?""Kudengar katanya Pak Vitto jago minum. Aku belum pernah lihat secara langsung." Jose mendongak dengan senyuman tipis, seolah-olah benar-benar hanya mengobrol santai.Namun, orang yang jeli pasti bisa me
"Aura, kamu benar-benar nggak tahu diri ya!"Aura tersenyum sinis. "Mukamu benar-benar tebal ya, cocok sekali buat bangun tembok kota!"Dia melirik Vitto sekilas, memutar bola matanya dengan kesal. Usia Vitto sudah pantas menjadi ayahnya, entah dari mana datangnya keberanian untuk menyentuhnya.Aura mendengus dan berjalan pergi. Sebelum sempat melangkah jauh, Vitto telah mengadangnya.Aura menatapnya dengan kesal, tak menyangka Vitto masih begitu tidak tahu malu. Pria itu berkata, "Kamu pikir kamu bisa pergi begitu saja?""Berani sekali kamu menghinaku seperti ini. Harga bajuku ini 200 juta. Gimana kamu mau ganti rugi, hah?" sergah Vitto sambil menggertakkan gigi.Dia tidak pernah dipermalukan seperti ini oleh wanita mana pun. Berani sekali Aura menyiramkan satu teko teh ke tubuhnya!"Kenapa? Kamu pikir kamu siapa? Keluarga Santosa sudah mengumumkan nggak akan kerja sama denganmu lagi. Kamu kira apa alasanku buat repot-repot ketemu kamu?" Melihat Aura tidak menjawab, Vitto mengira dia
Dia tertegun, lalu menoleh dan melihat seorang pria paruh baya yang tampak berwibawa dan santun.Ekspresinya langsung berubah. Dia berdiri sambil tersenyum dan menyapa pria itu, "Senang sekali Pak Vitto bisa datang, sungguh suatu kehormatan. Silakan duduk."Vitto adalah direktur sebuah perusahaan makanan. Perusahaan tempatnya bekerja memiliki beberapa kerja sama bisnis dengan perusahaan Aura.Belakangan ini, Aura mendengar bahwa Vitto sedang membutuhkan mitra, jadi dia sendiri yang menelepon dan mengatur pertemuan untuk membicarakan kemungkinan melanjutkan kerja sama tersebut.Bagaimanapun, saat ini perusahaan sedang berada dalam masa sulit dan sangat membutuhkan arus kas.Vitto tersenyum ramah dan mengulurkan tangan kepadanya. "Sudah cukup lama kita nggak ketemu. Bu Aura makin cantik saja."Saat berbicara, jari-jarinya sempat menggosok tangan Aura secara halus. Aura memutar bola mata dalam hati, tetapi wajahnya tetap tenang.Dia menarik kembali tangannya dengan santai, merapikan rambu
Langkah Daffa terhenti sejenak. Dia menoleh dan kembali melihat Aura sekilas.Tangannya yang terkulai di sisi tubuh mengepal perlahan. Setelah terdiam beberapa saat, dia berkata dengan suara rendah, "Baiklah, aku antar kamu ke rumah sakit."Melihat Daffa menyetujuinya, wajah Ghea langsung tersenyum lega dan manis.Di dalam mobil, Daffa menyetir di depan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sementara itu, Ghea duduk di kursi penumpang dengan satu tangannya mengelus perut yang mulai tampak sedikit membuncit. Wajahnya menunjukkan senyum lembut dan puas."Kak Daffa, anak ini sudah mulai bergerak. Waktu aku bangun tadi pagi, dia bahkan menendangku sekali."Padahal usia kandungan baru tiga bulan, tetapi dia mengucapkan kebohongan itu dengan wajah yang sangat meyakinkan. Genggaman tangan Daffa di kemudi mengencang. Dia menoleh sekejap ke arah perut Ghea.Raut wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tidak bisa dia sembunyikan.Namun, Daffa tetap diam dan Ghea pun tidak merasa canggung. Dia
Aura hanya melirik sekilas, lalu mengerutkan kening dengan kesal dan berusaha berjalan melewati sisi koridor. Namun, pergelangan tangannya ditarik oleh Daffa.Dia langsung menepis dengan kasar dan menatapnya dengan tajam. Sesaat kemudian, Aura tersenyum dingin dan berkata, "Adik Ipar, tolong jaga sikapmu."Panggilan "adik ipar" itu membuat wajah Daffa memerah karena marah.Insiden beberapa hari lalu di konferensi pers telah mempermalukan seluruh Keluarga Santosa. Di rumah, dia terus-menerus dimarahi. Malam ini dia keluar untuk sekadar mencari pelarian dan minum, tapi tak disangka malah bertemu Aura."Aura, kamu belum puas membuat keributan?" Daffa menunduk menatapnya. "Ini hasil yang kamu inginkan?""Ayahku sudah menghubungi semua rekan bisnis dan meminta mereka memutus kerja sama dengan Grup Tanjung. Sekarang kalian pasti sedang kesulitan, bukan?"Aura mengernyit. "Jadi maksudmu apa?"Daffa menggertakkan gigi. Lalu setelah terdiam cukup lama, seolah-olah telah mengambil keputusan, dia
"Lagi lihat apa?" Menyadari Aura sedang melamun, Efendi lalu merangkul pundaknya sambil tertawa, "Lihat ke sini, dong."Aura menoleh dan melihat ekspresi Efendi yang sombong itu. Dia mendecak pelan, "Jangan-jangan 'pendukung' yang kamu maksud tadi itu kamu sendiri?"Efendi mendengus bangga. "Kalau bukan aku, siapa lagi?"Aura mendelik, lalu menepis lengannya dari pundaknya. Dia tertawa dingin. "Sebaiknya kamu kurangi nongkrong di klub malam. Jangan sampai nanti bukannya jadi pendukung, kamu malah dipukul bokongnya sama ayahmu."Efendi memang baik, tapi terlalu tidak fokus dalam hidup. Dia memiliki semua 'penyakit klasik' anak konglomerat, dari gonta-ganti pacar, hobi pesta, dan hidup santai tanpa beban.Sayangnya, dia tidak tahu apa pun dalam mengelola bisnis. Selama ini, dia sering dimarahi orang tuanya, lalu curhat ke Aura. Sekarang, dia malah dengan percaya dirinya mengatakan mau jadi pendukung Aura?Efendi merasa tidak terima saat ditatap sinis oleh Aura. Dia berdecak lagi sambil b