"Bu Aura baik-baik saja? Bu Aura!"Siapa yang memanggilnya? Aura mengerutkan alis, berusaha membuka matanya. Namun, sekuat apa pun dia mencoba, tetap tak bisa terbuka.Tiano panik. Dia mengangkat tangannya dan menekan titik di bawah hidung Aura. Setelah beberapa saat, Aura akhirnya membuka matanya dengan linglung.Begitu melihat Tiano, dia secara refleks mengerutkan dahi. "Kenapa kamu bisa ada di sini?""Pak Jose menyuruhku mengikuti Ibu," jawab Tiano pelan.Aura mulai sadar dan langsung memegang tenggorokannya sambil batuk hebat."Siapa kamu? Ngapain masuk ke rumahku?" seru Anrez yang tadi sempat ditendang oleh Tiano hingga terlempar. Dia berusaha bangkit sambil memegangi dadanya, sementara wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa takut."Kamu ini masuk rumah orang seenaknya. Kalau nggak keluar sekarang juga, aku panggil polisi!"Tiano menatapnya dengan tatapan sedingin es. Anrez yang tadi masih berbicara lantang sontak mundur selangkah. Tatapan Tiano membuatnya gentar.Anrez mungk
"Kamu masih punya muka buat pulang? Aku kira kamu sudah mati di luar sana." Suara Anrez serak saat berbicara.Seperti biasa, tidak ada satu pun kalimat yang menyenangkan keluar dari mulutnya. Aura juga sudah terbiasa dengan sindiran dan cercaan dingin dari Anrez.Dia mengangkat bahu, lalu tersenyum santai. "Orang bilang yang jahat biasanya panjang umur. Karena kamu begitu benci aku, ya tentu aku harus hidup lama-lama biar kamu makin sebal."Anrez menggertakkan gigi. Dia tahu kalau soal berdebat, dirinya tak akan menang dari Aura. Pada akhirnya, dia diam saja, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya lagi.Aura tidak terburu-buru. Dia mengeluarkan ponsel dan memutar rekaman yang barusan dia dapat dari Serra.Begitu rekaman diputar, wajah Anrez yang awalnya datar langsung berubah menjadi terkejut. "Di mana dia?"Aura tersenyum tipis. "Kenapa terburu-buru? Dengar dulu pengakuannya sampai habis.""Pengakuan?" Anrez menyipitkan mata, bertanya, "Pengakuan apa?"Aura tidak menjawab.Rekaman
Jose melihat wajah kecil Aura yang tiba-tiba memucat. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman jahat. "Dasar penakut. Jangan pernah bilang kamu orangku lagi."Ujung jarinya mengusap pelan bagian belakang leher Aura. Sentuhannya yang lembut dan geli membuat Aura tersadar kembali."Kamu yang duluan nakut-nakutin aku," gumam Aura sambil cemberut. Dia mengangkat tangan, menepuk dadanya dengan kesal.Jose terkekeh-kekeh. Tiba-tiba, dia berkata, "Sebenarnya syaratku sederhana.""Apa?" tanya Aura.Ketika Jose hendak berbicara, ponsel di sakunya malah berdering. Saat Jose mengeluarkan ponselnya, Aura sempat melirik. Terlihat jelas dua kata di layar, Sherly.Aura mengatupkan bibir. Tanpa berbicara, dia langsung duduk menjauh dari pelukan Jose.Jose mengangkat telepon itu. Aura tak bisa mendengar apa yang dikatakan dari seberang sana. Namun, melihat alis Jose yang mulai berkerut, dia tahu pasti bukan kabar baik.Benar saja, Jose menenangkan Sherly sebentar, lalu menoleh ke Aura dan berkata, "
Aura dan Jose berjalan ke pintu dan membukanya, lalu melihat Tiano berdiri di sana. "Pak Jose, Bu Aura, Serra pingsan.""Begitu saja sudah pingsan?" Aura mengernyit. "Padahal tadi masih ketawa kencang banget."Tiano menggeleng. "Nggak tahu pasti, mungkin pingsan karena kesakitan."Aura mengangguk pelan, lalu menoleh ke Jose. Jose bertanya dengan datar, "Selanjutnya kamu mau gimana urus?"Kata "mengurus" yang dilontarkan Jose kemungkinan besar merujuk pada metode yang cukup ekstrem.Aura menggigit bibir dan berpikir sejenak, lalu menjawab, "Tetap kirim ke kantor polisi saja."Jose mencibir. Jelas dia tidak terlalu setuju dengan cara Aura.Meskipun begitu, dia tetap menoleh ke Tiano dan berkata, "Panggil dokter. Kalau dia sudah sadar, kirim ke kantor polisi sekaligus sama semua buktinya."Tiano langsung pergi. Aura juga tidak ingin lagi melihat wajah Serra. Setelah menutup pintu, Jose berbalik dan duduk di sofa, menoleh ke arah Aura dengan malas. "Merepotkan."Aura tahu yang dimaksud Jos
Aura tidak mau mendengar lebih jauh lagi. Dia membalikkan badan dan langsung keluar dari ruangan kecil yang gelap itu.Jose berdiri perlahan, matanya yang hitam pekat menatap Serra sejenak. Kemudian, dia berkata kepada Tiano, "Awasi dia baik-baik."Aura masuk ke kamar sebelah dan menuju kamar mandi. Dia membuka keran dan mulai membasuh wajahnya berkali-kali dengan air.Akhirnya merasa itu belum cukup, dia pun membenamkan seluruh wajahnya ke dalam air. Perasaan sesak justru tidak membuatnya takut. Sebaliknya, dia malah merasa lebih tenang.Jose berdiri di ambang pintu kamar mandi. Matanya yang dalam menatap Aura yang seperti sedang menyiksa diri sendiri. Namun, dia sama sekali tidak mencegah.Ketika merasa dirinya benar-benar akan kehabisan napas, Aura baru mengangkat kepalanya dari wastafel. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat.Wajah kecilnya memerah karena terlalu lama menahan napas. Dia tidak ingin menangis, tetapi air mata tetap saja jatuh tanpa kendali. Dia mengusapny
Jose melihat cara Aura berbicara barusan, seperti rubah kecil yang hanya bisa galak karena sedang berada di belakang harimau.Tangannya tiba-tiba mencubit pelan bagian lembut di pinggang Aura. Tubuh Aura sontak menegang sejenak. Dia menoleh dan memelototi Jose dengan kesal. Apa ini saatnya untuk merayu?Melihat sudut bibir Jose melengkung membentuk senyuman menyebalkan, Aura langsung tahu pria ini sedang memikirkan hal yang tidak-tidak.Namun, karena ini wilayah Jose, Aura hanya bisa menatapnya penuh permohonan, meminta agar dia tidak macam-macam.Jose mengangkat alis dan melepaskannya. Aura langsung berdiri dan berjalan ke arah Serra. "Kalau begitu, tolong ceritakan semuanya dari awal tanpa ada yang disembunyikan."Dia mengeluarkan ponsel, menyalakan fitur rekaman, lalu meletakkannya di lantai dengan tenang."Jangan bohong ya. Kalau aku sudah tanya, artinya aku sudah pegang bukti dan saksi. Kalau kamu berani bohong ...." Aura tersenyum manis kepada Serra. Wajah mungilnya begitu cantik