Begitu semua orang pergi, Aura juga melambaikan tangannya pada Leona di belakangnya sebagai isyarat agar Leona keluar. Dalam sekejap, hanya tersisa dia dan Anrez di ruangan rapat yang begitu luas itu. Dia menatap Anrez dengan tatapan yang agak kejam, tetapi Anrez seolah-olah tidak melihat apa pun. Sikap Anrez tidak ketus seperti biasanya, melainkan tersenyum dengan sangat ramah padanya."Rara, selama aku nggak ada, kamu mengurus perusahaan dengan sangat baik. Bahkan kejadian aku masuk kantor polisi pun sampai nggak berdampak pada perusahaan, volume bisnis malah meningkat. Ayah benar-benar sangat bangga padamu," kata Anrez.Mendengar perkataan Anrez, Aura hampir saja muntah. Dia pun berkata dengan tersenyum sinis, "Nggak perlu berpura-pura di sini. Aku benar-benar nggak menyangka kamu masih bisa duduk dengan tenang di sini, padahal masalah ini sudah ada bukti jelasnya. Aku sudah terlalu meremehkanmu."Saat mengatakan itu, Aura menggertakkan giginya dan perasaan benci juga perlahan-lahan
Aura buru-buru melambaikan tangan. "Nggak, aku bisa tidur. Bisa tidur kok."Dia tersenyum canggung saat mengatakan itu, lalu diam-diam membalikkan tubuhnya dan kembali membelakangi Jose. Namun, baru saja berbalik, tangan Jose sudah diletakkan di pinggangnya. Entah sengaja atau tidak, telapak tangan Jose yang hangat itu malah memegang perutnya. Dia secara refleks ingin menyingkirkan tangan Jose, tetapi dia akhirnya mengurungkan niatnya.Malam itu, Aura hampir saja tidak bisa tidur dan baru tertidur keesokan fajarnya. Saat matahari sudah bersinar dengan terang, dia tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Saat itu, sudah tidak ada siapa pun di sampingnya. Dia biasanya tidak akan bersikap sentimental, tetapi hari ini entah mengapa dia merasa agar kecewa saat meraba ranjang di sampingnya yang kosong serta dingin.Setelah tertegun sejenak, Aura berbalik dan masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Dia sudah beberapa hari ini tidak pergi ke perusahaan dan tidak bertemu dengan Anrez juga, entah bag
Aura langsung diam, lalu tersenyum manis pada Jose. Dengan patuh, dia meletakkan tangannya di dada pria itu. Jose memang terlihat menakutkan, tetapi Aura menyadari setiap kali dia bertingkah manja dan menggemaskan, hampir semua masalah bisa lewat begitu saja.Jari-jarinya mengetuk-ngetuk dada Jose pelan, menampilkan ekspresi sedih. "Bukannya kita sudah beberapa hari nggak ketemu? Aku kira kamu mau ngomong soal perpisahan."Awalnya itu cuma alasan yang dia ucapkan asal saja. Namun, setelah diucapkan, dia merasa tangan Jose yang memeluk punggungnya sempat membeku."Perpisahan?"Aura hanya menggumam pelan. Suaranya terdengar teredam.Tiba-tiba, Jose tersenyum, mengangkat tangan, dan mengait dagunya. Tatapannya pun tak sedingin tadi lagi."Kalau kamu masih ikut-ikutan Fendro cari mati, kamu nggak bakal bisa pisah dariku meskipun ingin. Soalnya nyawamu sudah melayang."Kedengarannya menakutkan, tetapi kalau didengar lebih saksama, sebenarnya ada nada khawatir di dalamnya.Aura tersenyum, ma
Aura segera menarik kembali pikirannya, lalu tersenyum pada Jose. "Hah? Nggak kok.""Oh ya?" Jose tersenyum tipis. "Tapi, aku lihat kamu kayaknya lagi ada pikiran."Ekspresi Aura sedikit menegang, tetapi dia buru-buru tersenyum sambil menyangkal, "Benaran nggak ada."Dia berdeham pelan, gerakan tangannya pun menjadi lebih cepat. Begitu menurunkan pandangan, matanya tak bisa menghindar melihat manset di kemeja Jose.Itu manset yang waktu itu dia pilihkan ketika mereka kebetulan bertemu Sherly di mal. Tatapannya sedikit menyempit, tetapi dia cepat-cepat mengalihkan pandangan seolah-olah tak terjadi apa-apa."Sudah," ucap Aura pelan.Jose hanya menggumam. Aura mengira Jose akan berbalik dan masuk ke kamar mandi, jadi dia pun berbalik untuk duduk di sofa. Namun, baru saja dia memutar badan, tangannya sudah ditangkap oleh Jose.Pada saat yang sama, Jose juga menarik ritsleting di bagian belakang terusan Aura. Sret! Suara ritsleting terdengar jelas.Aura spontan ingin menghindar, tetapi saat
"Hasil pemeriksaan? Bukannya sudah dilihat?"Perawat itu tersenyum. "Sebaiknya Ibu ke sana saja. Dokter bilang ini cukup penting."Fendro langsung terlihat agak cemas. "Jangan-jangan dia sakit?"Perawat menggeleng. "Entahlah."Aura hanya menggumam pelan, lalu bangkit dan mengikuti perawat menuju ruang dokter. Saat mereka sampai, sang dokter sedang memegang selembar hasil pemeriksaan.Begitu melihat Aura masuk, dokter menunjuk kursi di hadapannya. Ekspresinya serius. "Bu Aura, silakan duduk."Aura mengangguk dan duduk. Melihat ekspresi serius dokter, entah kenapa Aura merasa sedikit panik. Meskipun begitu, wajahnya tetap terlihat tenang.Dengan suara lembut, dia bertanya, "Dokter, apa aku kena penyakit mematikan? Katakan saja, aku bisa menerimanya."Mendengar itu, dokter tak kuasa menahan tawa. Tawanya membuat Aura bingung. Setelah puas tertawa, dokter menyerahkan hasil pemeriksaan itu kepada Aura. "Tenang, ini bukan penyakit mematikan. Justru kabar baik.""Kabar baik?" Aura tertegun. D
Aura sebenarnya tidak ingin merepotkan Jose. Di rumah sakit ada perawat dan dia sendiri juga masih bisa berjalan. Namun, Tiano bilang itu adalah perintah dari Jose. Jadi, Aura tak punya alasan untuk menolak.Aura juga tidak pernah bertanya kepada Tiano soal apa pun tentang Jose. Sebagai seekor "burung kenari emas" yang baik, dia tahu mana yang boleh ditanyakan dan mana yang sebaiknya tidak.Saat keluar dari rumah sakit, Aura tetap mampir ke kamar sebelah untuk melihat Fendro. Fendro sedang berbaring di tempat tidur dengan ekspresi bosan, tak bisa bergerak. Begitu melihat Aura, matanya langsung berbinar."Aku kira kamu marah dan nggak bakal datang jenguk aku lagi." Dia sedikit memiringkan kepala, berkata kepada Aura, "Violet itu orangnya aneh, selalu nempel sama aku. Jangan salah paham. Kami nggak ada hubungan apa-apa."Aura tersenyum tipis. "Hal seperti itu nggak perlu kamu jelasin ke aku."Dia paham maksud Fendro, tetapi untuk urusan berpacaran dengan pria yang lebih muda, dia benar-b