"Awas saja kalau kamu mati!"Dalam cahaya redup, Jose tiba-tiba berdiri dan masuk ke kamar mandi. Namun, di setiap sudut ruangan ini selalu ada jejak keberadaan Aura.Di meja wastafel, di bawah pancuran, seolah-olah di mana-mana ada bayangannya.Karena itu, Jose hanya mandi sebentar, lalu keluar dan berbaring di atas ranjang. Sudah lama sekali dia tidak benar-benar tidur. Baru saja terlelap sebentar, dia mendengar ada ketukan pintu.Mata yang baru saja terpejam kembali terbuka. "Ada apa?"Pintu kamar langsung terbuka, Tiano muncul di ambang pintu. "Pak Jose, orang itu menggigit lidahnya untuk bunuh diri."Jose sedikit mengernyit. Namun, raut wajahnya tidak banyak berubah. "Sudah mati?""Belum. Mau diselamatkan?" tanya Tiano.Jose mendengus dingin. "Benar-benar keras kepala. Kalau mati begitu saja, sayang sekali. Tentu saja harus diselamatkan. Kalau nggak, kita yang rugi."Tiga kata terakhir diucapkan Jose dengan sangat ringan, tetapi membuat Tiano tanpa sadar menggigil. Karena dia tahu
Selesai berbicara, Jose mengangkat pandangannya ke arah Black. Jari-jarinya yang panjang mengetuk pelan meja kecil di sampingnya. Bunyi itu seperti lonceng kematian untuk Black.Meskipun sudah sering melakukan kejahatan, saat ini Black tetap merasa takut. Walaupun tidak pernah banyak berurusan dengan Jose, dia sangat paham kalau pria ini punya metode-metode kejam. Jatuh di tangannya mungkin lebih menyakitkan daripada kematian."Coba bilang, siapa yang menyuruhmu?" Suara Jose terdengar malas dan datar, tidak bisa ditebak apakah marah atau tidak. Meskipun begitu, tetap saja membuat orang merinding.Black menggertakkan gigi, menjawab, "Aku nggak tahu apa maksudmu. Nggak ada yang menyuruhku."Melihat dia tidak kooperatif, Jose sama sekali tidak marah. Dia hanya melirik Tiano.Tiano langsung paham dan mengangkat pistol. Dor! Dia menembak kaki Black yang satu lagi"Argh!" Rasa sakit yang menusuk membuat Black tidak bisa menahan jeritannya.Wajah Jose tampak mengejek. "Sepertinya kamu ini san
Meskipun berkata begitu, pisau di tangan Black sama sekali tidak ada gerakan menyerang.Jose menatap ujung pisaunya. Alisnya sedikit terangkat, lalu dia mengangguk. "Baiklah, kamu boleh pergi."Wajah Black penuh kewaspadaan. "Kenapa aku harus percaya padamu?"Jose mengangkat jari panjangnya, memberi isyarat pada Tiano. "Beri tahu orang-orang, jangan ada yang menghalangi."Tiano menatap Jose dengan ekspresi terkejut. Orangnya sudah hampir ditangkap, kenapa sekarang dilepaskan? Dia merasa agak tidak rela, tetapi tidak berani membantah perintah Jose.Akhirnya, Tiano mengangguk, lalu berjalan ke jendela dan memerintahkan orang-orang di bawah, "Jangan ada yang menghalangi jalannya."Black pun merasa lega. Dia menyeret Sherly, perlahan berjalan ke arah jendela, dan mengintip ke bawah. Melihat orang-orang benar-benar mundur, barulah dia melepaskan Sherly.Begitu hendak melompat keluar jendela, suara tembakan terdengar dari belakang."Ah!" Sherly terkejut dengan kejadian mendadak itu. Matanya
"Pak Jose." Tiano mendorong pintu masuk, memanfaatkan cahaya redup untuk menatap Jose.Jose mengangkat mata padanya. "Ada kabar tentang Aura?"Tiano menekan bibirnya. "Belum ada."Dalam kegelapan, wajah Jose langsung berubah semakin dingin. Tiano bisa merasakan suhu ruangan menurun beberapa derajat, tahu bahwa kesabaran Jose sudah hampir habis.Dia buru-buru berkata, "Aku datang karena ...."Dia terhenti sejenak, lalu kembali menatap Jose. "Karena ada orang yang masuk lagi ke ruang rawat Bu Sherly."Jose sontak mendongak menatapnya. "Siapa yang mengizinkanmu mengawasi Sherly?"Nada suaranya dalam, membawa amarah yang jarang terdengar.Mendengar itu, Tiano hanya menunduk. "Aku hanya merasa, kecelakaan yang menimpa Bu Aura itu ....""Diam!"Tiano menggertakkan gigi, tetapi akhirnya tak kuat menahan tatapan tajam Jose. Dia menunduk dalam hening beberapa saat. "Kalau begitu, aku keluar dulu."Ucapannya singkat, tetapi nada kecewanya jelas terdengar. Dia berbalik hendak pergi.Namun, saat h
Roy melangkah maju, membukakan pintu mobil untuk Aura. Wajahnya tampak sedikit menyesal. "Maaf, karena aku, kamu sampai kena sindir begitu."Aura masuk ke mobil, lalu memasang sabuk pengamannya sendiri. "Nggak apa-apa."Roy menghela napas lega, lalu menoleh padanya. "Kamu belum makan, 'kan? Mau pergi makan?"Kebetulan Aura memang lapar, jadi dia tidak menolak. Dia membiarkan Roy berkemudi hingga mereka berhenti di depan sebuah restoran masakan rumahan.Meskipun baru mengenal Roy belum lama, Aura merasa pria ini cukup bisa diandalkan. Setidaknya lebih bisa dipercaya dibandingkan Renald.Roy menyadari tatapan Aura, lalu mengangkat kepala dan menatap balik. "Kenapa kamu menatapku begitu?"Aura menggigit bibirnya, menunduk, dan tertawa kecil. "Nggak apa-apa, aku hanya heran. Dengan sifatmu seperti ini, kok bisa berteman sama Renald?""Renald?" Roy tersenyum kecil mendengar itu. "Kami teman sekelas.""Jujur saja, dia sebenarnya orang yang baik." Roy membela temannya.Aura memutar bola mata
"Kalau kamu bersedia, gimana kalau tinggal saja di rumah sakit ini? Di sini tenaga medisnya lebih profesional dan kebetulan juga bisa menemani Kakek."Ekspresi Aura sedikit menegang. Tinggal di rumah sakit? Bukankah itu akan meninggalkan jejak?Seakan-akan bisa membaca pikirannya, Roy mengangkat alis pada Aura, mengisyaratkan agar dia tenang.Aura langsung paham. Benar juga, melihat betapa kuatnya Keluarga Kusuma di Kota Morimas, menghapus jejak seseorang bagi Roy bukanlah hal sulit.Dia pun mengangguk setelah terdiam sesaat. "Baiklah kalau begitu. Maaf kalau merepotkan Pak Roy."Mereka kembali menemani Parviz berbincang sebentar. Namun, karena usia Parviz sudah lanjut dan tubuhnya lemah, hanya berbicara sebentar saja Parviz sudah tampak kelelahan. Meskipun begitu, pandangannya tidak rela beralih dari wajah Aura.Aura tersenyum lembut menenangkannya. "Kakek, istirahatlah dulu. Kalau nanti Kakek bangun dan memanggilku, aku pasti ada di sini."Baru setelah itu, Parviz perlahan menutup ma